Part 61
By
Mario
“Bukan itu, Kakak. Bukan hal-hal heboh yang... seheboh itu.
Nggak perlu se-Indonesia. Sekomplek ini aja.”
“Tentang komplek ini?” Jeng Nunuk mengingat-ingat lagi. “Sebetulnya sebelum
Nike Ardila meninggal, dia dikabarkan lewat komplek ini sebelumnya.”
Siapa pula itu Nike Ardila?
“Bukan tentang orang lain, tapi tentang Granny. Apa ada yang heboh terjadi di
keluarga Granny?” seruku, frustasi karena Jeng Nunuk nggak ngerti juga. Padahal
di awal aku sudah menyampaikannya dengan jelas!
Telinga Jeng Nunuk memerah waktu aku menyebut nama Granny. Kelihatannya dia
nggak suka aku membahas tentang Granny. Kelihatannya dia pikir aku benar-benar
ingin sembuh dari gay waktu aku meminta dia ketemuan. Tapi Jeng Nunuk kemudian
melirik-lirik panik ke arahku, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.
“Pasti ada sesuatu, kan?” desakku.
Jeng Nunuk menelan ludah. Mendelik sekali lagi ke arahku, bimbang antara
menceritakannya atau tetap diam. Aku melihat tangannya gemetaran dan gugup.
Berkali-kali dia menggosok tangannya, seolah apa yang barusan kutanyakan adalah
rahasia besar FBI.
“Yah, ada beberapa hal sih...”
“Nah, itu!” sahutku bersemangat. “Apa itu?”
“Tapi Kakak mestinya nggak nyeritain ini. Nanti Allya marah.”
“For God’s sake, you two are fighting right now!
Kenapa masih mikir kalo Granny bakal marah? It won’t make any difference!”
Jeng Nunuk masih ragu. “Ini sebenernya topik sensitif. Sampe sekarang Kakak
juga masih nyelidikin apa yang terjadi.”
“Nyelidikin?” ulangku. “Apa maksudnya?”
“Ya, nyelidikin. Investigasi. Kayak FBI itu.”
“Emangnya apa yang mau diselidikin?”
Jeng Nunuk menelan ludah. “Kakak lagi nyelidikin...” Kepalanya lalu mendekat,
berbisik, seolah di sekitar kami sedang ada mata-mata dan kami harus bicara
sepelan ini supaya nggak ketahuan. “... sebuah misteri.”
“Misteri apa?”
“Ya sebuah misteri. Kakak nggak tahu misteri apa. Kalo Kakak tahu misterinya
apa, berarti bukan misteri lagi,dong?”
“Maksudnya, hal apa yang diselidikin ini? Pasti ada alasannya dong sampe
‘misteri’ itu muncul?”
“Oooh, tentunya. Ini tentang kematian tukang kebunnya Allya, Pak Darmo. Polisi
sih udah nganggap kasus ini ditutup, tapi Kakak belum. Kakak masih yakin ada
yang nggak beres sama kasus ini. Kamu tau Pak Darmo, Gas?”
“Ya, sedikit. Makanya aku di sini mau nanyain juga. Lanjut, Kak...”
“Waktu Kakak pertama kali pindah ke sini, ada kasus heboh. Tukang kebunnya
Allya meninggal tragis di belakang rumah Allya. Kakak sih belum kenal deket
sama Allya, tapi gara-gara kasus itu Kakak jadi sering datang ke rumah Allya,
bareng-bareng The Jandaz yang lain, waktu itu clique
ini baru terbentuk.”
Clique? Astaga, memangnya mereka
anak SMA?!
“Ada satu orang yang sempet jadi tersangka. Dia juga sempet dipenjara. Tapi
karena masih dibawah umur, dia nggak dihukum terlalu lama dan malah akhirnya
diketahui bahwa pembunuhan itu sifatnya pertahanan diri, bukan pembunuhan
berencana. Kamu tahu lah siapa orangnya.”
Bang Dicky? batinku.
Aku agak terkejut mendengar cerita tersebut. Apakah itu artinya Bang Dicky
pernah dipenjara semasa kecilnya?
“Nah, yang Kakak heranin, kenapa anak itu masih diterima di rumahnya Allya?
Kenapa malah dibesarkan sampai sekarang dan dikasih ini itu dan malah dijadiin
suruhan? Kalau Kakak sih bakal usir anak itu karena udah bunuh tukang kebun
Kakak, tapi Allya malah sayang sama anak itu.”
Setengah hati aku mendengarkan cerita dari Jeng Nunuk. Sejak aku menyadari
bahwa Bang Dicky pernah dipenjara, pikiranku langsung buyar. Aku langsung
membayangkan Bang Dicky meringkuk di balik teralis besi, dalam gelap,
kedinginan dan kelaparan, lalu disiksa oleh teman satu selnya... lalu mungkin
setiap hari memecah batu dengan kaki terikat bola besi. I mean, sebelum zaman Millenium,
bisa jadi penjara macam begitu masih eksis, kan?
“Di situlah misterinya muncul. Kakak curiga sebetulnya Allya yang bunuh Pak
Darmo.”
“Apa?”
Jeng Nunuk manggut-manggut mantap. “Kamu pikir dong secara logika, Gas. Tukang
kebun kamu dibunuh sama anak kecil, anak itu jadi tersangka dan dipenjara, dan
begitu keluar langsung kamu terima lagi di rumah kamu? Gimana kalo anak itu
jadi anak liar? Gimana kalo dia disodomi di penjara dan jadi bandar narkoba?”
Bang Dicky jadi anak liar?
Aku nggak sanggup membayangkannya, tapi melihat apa yang Bang Dicky lakukan di
Cimahi kemarin... well, memang dia
jadi anak liar. Tapi aku menganggap dia frustasi. Apapun itu yang terjadi di
masa lalu, seiyanya benar Bang Dicky membunuh Pak Darmo, aku percaya itu karena
pertahanan diri. Nggak mungkin Bang Dicky jadi anak durhaka yang dengan
dinginnya membunuh ayahnya sendiri. Pasti ada alasan di balik itu semua.
“Bisa jadi Allya pengen nyingkirin tukang kebun itu,” lanjut Jeng Nunuk. “Bisa
jadi karena tukang kebun itu jelek atau minta gaji tinggi atau apa gitu, maka
dia suruh anak-anak itu ngebunuh biar si Allya nggak dipenjara. Lagipula
anak-anak pasti kebal penjara,kan? Anak-anak dibawah umur biasanya susah masuk
penjara. Rencana si Allya ini emang brilian.”
“Buat apa Granny bunuh tukang kebunnya sendiri?!” tukasku. “Itu nggak masuk
akal.”
“Itu masuk akal,” sahut Jeng Nunuk dengan nada bijak. “Maka dari itu Kakak
sampe sekarang masih mencari tahu misteri di balik matinya si tukang kebun.
Kakak malah namain ini: The Garden People Die Project.”
“Jadi itu alasannya Kakak sama Esel masuk ke rumah kami waktu Granny ke
Jakarta?”
Jeng Nunuk menyeringai malu. “Hehe...” desahnya. “Y-yaa... salah satunya sih
itu. Tapi Kakak juga penasaran sama kuntilanak itu, kok. Malah, bisa jadi
kuntilanak itu tuh hantu gentayangannya Pak Darmo. Ini masuk akal, kan?”
Aku terdiam dan terpana mendengar apa yang dikatakan Jeng Nunuk. Otakku terlalu
kaget menerima informasi baru itu. Apakah yang dikatakan Jeng Nunuk benar?
Ataukah dia hanya ingin menjelek-jelekkan Granny saja di depanku? I mean, mereka berdua kan sedang
bermusuhan.
“Jadi, Agas,” lanjut Jeng Nunuk, “kira-kira kamu mau ikut seminar yang mana?
Kakak bisa bantu pilih yang bagus, lho.”
-XxX-
Ketika aku tiba di rumah, ada banyak motor matic parkir
di carport kami. Pasti Granny sudah berkumpul bareng girlband Sweet
Strawberry-nya. Ingar bingar musik juga membahana dari dalam rumah. Tapi untung
ketika aku masuk, nggak ada sofa yang dipinggirkan atau rombongan nenek-nenek
yang sedang latihan menari.
...
One-two-three-four!
Lalu terdengar intro musik yang nge-beat dan Granny bersama Sweet
Strawberry sudah berdiri di ruang tengah, menggenggam microphone beserta
selembar kertas.
I
want youuu...
I need youuu...
I love youuu...
Di dalam benakku..
Keras berbunyi irama myu-u-ji-i-ku..
Heavy... Rotation...
Mereka semua lalu bertukar posisi. Berpose genit dan berputar-putar. Berlari crossing
satu sama lain, melompat seperti balerina, dan berputar lagi. Finally,
Granny maju ke depan dan mulai menyanyi solo.
...
Seperti popcorn...
Yang meletup-letup...
Kata-kata suka menari-nari...
“Agas sini!” panggil Granny di tengah nyanyiannya.
...
Wajahmu suaramu...
Selalu kuingat...
Membuatku menjadi tergila-gila...
Lalu mereka semua maju dan menyanyi bersama.
...
Oooh, senangnya miliki prasaan ini...
Ku sangaaat...
Merasa beruntung...
Astaga.
...
I want youuu...
I need youuu...
I love youuu...
Bertemu denganmu...
Semakin dekat jarak di antara kita...
Maximum High Tension...
Aku duduk di sofa dan menonton mereka menyanyi. Sepanjang lagu aku
geleng-geleng kepala. Jelas banget mereka kalah telak. Pertama, nama Sweet
Strawberry udah pertanda kekalahan mutlak. Kedua, song selection-nya
nggak se-chic pilihan Itchy Bitchy. Gimana caranya Granny bisa menang?
“Gimana, Sayank?” tanya Granny ketika lagu sudah selesai dan semua anggota
Sweet Strawberry langsung mengambil segelas punch di meja makan. “Kita
emang belum pake koreo, tapi yang penting kita tahu konsepnya apa.”
“For God’s sake, Granny. Itu lagu Pocari Sweat!” seruku.
“Itu emang soundtrack-nya, Darling. Tapi itu lagu JKT48. Lagunya nge-beat
dan asyik. Dan semua orang tahu lagu itu.”
“Tapi Jeng Nunuk lagunya lebih bagus lagi! Mereka pake lagu Girls Generation
yang English version!”
Granny menatapku dengan heran. Oh, sial. Aku keceplosan.
“Dari mana kamu tahu lagunya si Nunuk Blekuk?”
“Eh... kebetulan, tadi waktu pergi ke warung, kan lewat rumah Jeng Nunuk. Aku
denger mereka nyetel lagu ini keras-keras. Kayaknya mereka lagi latihan
koreonya.”
Granny terperangah kaget. “Mereka udah latihan koreonya?!” Buru-buru Granny
menghampiri anggota Sweet Strawberry yang lain dan menyerukan sesuatu. Semua
nenek-nenek itu menjerit panik, seolah kami sedang mengalami gempa bumi atau
gunung meletus. Semuanya beringsutan mencari tas masing-masing, meraih kunci
motor, dan mencuri kue-kue tradisional warna hijau yang di atasnya ditaburi
kelapa ke dalam tas mereka, lalu serombongan nenek-nenek itu keluar dari rumah
Granny.
“Kita mesti cepet-cepet pergi ke studio! Latihan koreo! Kurang ajar si Nunuk
Blekuk itu! Dia udah curi start!” jerit Granny.
Curi start? Bukankah kompetisinya sudah dimulai sejak semalam? Bagian
mananya yang curi start?
“Granny mau ke mana?”
“Nenek mau ke daerah Dago sayang, ke tempat latihannya Wannabe Dancer. Katanya
Jeng Imas kenal sama si Gege, dancer terkenal dari Bandung itu. Nenek tadi pagi
emang udah booking dia buat ngasih koreo Sweet Strawberry. Sekarang kita
mau latihan tari ama dia. Kamu mau ikut, Sayank?”
“Nggak, ah! Ngapain? Aku mau jaga rumah.”
Granny manggut-manggut nggak peduli. Dia sudah setengah jalan menuju teras
depan. “Jangan lupa angkatin jemuran, ya!”
“Emang Bang Zaki ke mana?” teriakku.
“Kerja! Seperti biasa! Jaga rumah, Darling!”
Rrrrrmmmm... Rrrrmmmm...!!
Dan sekumpulan nenek-nenek itupun lenyap berombongan menaiki motor matic cantik
mereka, seperti mafia yang hendak menyerbu suatu lokasi. Salah satu dari mereka
bahkan ada yang membawa bendera warna biru, tulisannya: Wasit Goblog!
Aku menepuk dahi dan geleng-geleng kepala dari teras depan. Kututup pintu dan
mencoba melupakan betapa gilanya nenek yang kumiliki. Aku penasaran, di dunia
ini ada berapa cucu yang memiliki nenek periang macam Granny? Tentunya banyak,
betul. I mean, Granny dan teman-temannya saja jumlahnya sudah sepuluh.
Berarti ada puluhan cucu yang pusing dengan tingkah laku nenek mereka.
Aku mengambil segelas punch dan membawanya ke teras belakang. Aku duduk
di atas sofa rotan yang semalam digunakan Zaki dan Granny untuk mengobrol. Dari
sini aku bisa melihat banyak tanaman anggur merambat meliliti rangka bambu, dan
di balik tetumbuhan itu, aku bisa melihat workshop tempat Bang Dicky
biasa membuat frames.
Hmmh, Bang Dicky.
Aku masih nggak percaya Bang Dicky pernah dipenjara. Bahkan mungkin saja
direhabilitasi, karena semalam aku denger banget Granny nyebut soal
rehabilitasi, tapi karena aku terlalu shock di rumah Jeng Nunuk tadi,
aku lupa menanyakannya.
Sekelam itukah masa lalu Bang Dicky? Itukah alasannya dia selalu tampak aneh?
Tampak gemetar, ketakutan, seperti seseorang yang seumur hidup mengalami
trauma. Pantas saja Lita nggak mau nikah sama Bang Dicky, mungkin sebetulnya
dia sudah tahu masa lalu Bang Dicky yang kelam dan kotor... oke, berlebihan
disebut kotor, mengingat aku sama sekali belum tahu alasan Bang Dicky membunuh
Pak Darmo itu apa.
Masa gara-gara diperkosa ayahnya sendiri?
Sejak aku sering melihat residual energy di rumah ini, aku sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa bisa jadi Bang Dicky membunuh Pak Darmo karena sering
diperkosa ayahnya tersebut. I mean, aku nyaris melihat “perbuatannya” itu, kan
di kamar terlarang? Emang sih, aku belum melihat dengan pasti “perbuatan” apa
yang terjadi, tapi ciri-cirinya jelas banget. Kalau seseorang mengoyak celana
orang lain sampai merobek-robeknya, pasti itu maksudnya pemerkosaan.
Tapi apakah aku yakin anak kecil topless itu Bang Dicky? Jujur aja, kedua bocah
residual energy itu nggak mirip sama sekali dengan Bang Dicky. Aku memang
merasa pernah melihat mereka, mungkin matanya mirip dengan mata siapa gitu,
tapi aku nggak ingat pernah melihatnya di mana. Bocah-bocah itu terlalu muda.
Masih tujuh atau delapan tahun, jadi kalau sekarang mereka berusia dua puluh
delapan tahun seperti Bang Dicky, ciri-cirinya bakalan hilang.
“Dicky... Dicky...!”
Tiba-tiba kudengar sebuah suara dari arah workshop. Suaranya sayup-sayup.
Sangat keciiilll. Seperti suara seseorang yang berteriak dari jarak satu
kilometer. Tapi jelas banget aku mendengarnya.
“Dickyy...! Dickyyy!!”
Suara itu diiringi dengan ketukan-ketukan di kayu tapi aku nggak bisa
menentukan di mana tepatnya suara itu berasal. Mungkin ini residual energy lain
yang muncul di rumah ini. Jarang-jarang kan aku dapat residual energy di
halaman belakang? Ya Tuhan, sepertinya aku mesti sering-sering keliling rumah
Granny untuk mencari semua residual energy yang muncul akhir-akhir ini.
Bello bilang kejadian ini berulang setiap tahun pada tanggal
dan bulan yang sama. Dan parahnya, pada jam yang sama. Hanya terjadi sekitar
dua mingguan saja. Kadang sampai satu bulan. Aku percaya bahwa semua residual energy ini merupakan
petunjuk akan sesuatu.
“Dickkyyy...!!”
Suara itu muncul lagi. Memanggil-manggil nama Bang Dicky. Aku bangkit dari sofa
dan langsung mengenakan sandalku. Kutelusuri rangka bambu tanaman anggur dan
mencari di semak-semak. Semakin aku dekat dengan workshop,
semakin jelas suara itu terdengar. Tapi aku nggak bisa menemukan residual energy apapun di sini.
Hanya ada suara sayup-sayup nama Bang Dicky dipanggil, tapi suara itu pun
terdengar lemah, seperti tenggelam dalam sesuatu, dan nggak ada satupun
visualisasinya.
Bukan berarti aku sekarang berani menghadapi hantu. Hanya karena keseringan
melihat sosok residual energy kedua bocah itu,
aku jadi terbiasa. Ditambah lagi Bello juga masih sering berpenampilan seperti
kuntilanak. Makanya lama kelamaan aku sudah terbiasa melihat sosok hantu.
Bahkan mungkin jika mata batinku dibuka, aku sudah siap melihat dunia lain.
Tapi bukan berarti aku menginginkan mata batinku dibuka, ya.
“Hihihi...” Tiba-tiba kudengar suara
cekikikan anak kecil dari arah lain. “Jangan ngumpet di situ, Ki! Entar
ketahuan!”
“Nggak apa-apa! Aku mah udah ketutupan sama pohon jambu!”
Pohon jambu? Secepat kilat aku meneliti halaman belakang rumah Granny. Yang
mana di antara jutaan vegetasi di sini yang merupakan pohon jambu? Kenapa sih
halaman belakang Granny nggak kayak Jeng Nunuk aja? Di sini terlalu banyak
jenis tumbuhan.
“Kata kamu pohon belimbing ini aman, nggak?”
“Aman, lah, aman. Nggak akan ketahuan.”
Lalu mereka pun tergelak bersama.
Tunggu.
Mereka kedengarannya sedang bersembunyi. Tapi kenapa mereka tertawa-tawa?
Bukankah akhir-akhir ini mereka bersembunyi sambil ketakutan dan menangis?
Tiba-tiba aku melihat Granny muncul dari pintu belakang. Dia mengenakan dress tanpa lengan yang panjangnya
selutut. Dress itu bercorak bunga-bunga besar dan agak ketat di bagian
pinggangnya. Granny bahkan kelihatan lebih fresh dengan
rambut lurus diurai dan keriput yang nggak terlalu banyak seperti sepuluh menit
lalu. Di tangannya ada dua cone ice cream
rasa vanilla dan cokelat.
Granny berjalan menghampiriku. Berdiri tepat di hadapanku tapi matanya melirik
ke sana kemari.
“Granny! Kenapa udah balik lagi? Ada yang ketinggalan?” tanyaku. “Dan kapan
Granny ganti baju? Rambut Granny juga jadi lurus! Emangnya tadi ke salon, ya?
Katanya mau latihan koreo!”
“Anak-anak!” panggil Granny.
“Granny?”
Memangnya Granny nggak melihat aku di hadapannya? Kenapa dia dari tadi menoleh
ke sana kemari.
“Granny... hello... can you see me?” Aku
melambaikan tanganku di depan wajahnya. “Itu eskrim buat aku?”
“Anak-anak!” panggilnya lagi.
Tunggu... masa sih, Granny...
“Kalo nggak keluar juga, es krimnya nggak jadi dikasihin nih!” Granny
mengacungkan kedua cone eskrim itu.
“Ini Indoeskrim Meiji, lho! Yang bentuknya Monas itu. Yang iklannya Rano
Karno!”
Seorang bocah tiba-tiba muncul dari bawah rangka tanaman anggur. “Mauuuu!”
pekiknya sambil berlari ke arah Granny. Dia langsung merebut es krim itu dan
menjilatinya dengan puas.
Bocah itu si tukang nangis berbaju Power Ranger.
“Iiih, curang!” Tiba-tiba si anak topless muncul
dari bawah semak-semak dekat workshop. “Nenek
ngerayu pake eskrim segala!”
“Ah, tapi kamunya juga mau, kan?” Granny tertawa. “Udah sini kamu, makan aja es
krimnya. Kita udahan dulu main petak umpetnya. Itu anak Nenek udah datang,
kalian sapa dulu mereka.”
“Yang punya bayi itu?”
“Iya, yang punya bayi itu.”
“Baju Nenek baru ya?” tanya anak berbaju Power Ranger.
“Iya dong Sayang, ini Baju Tersanjung. Tadi Nenek kan ke Pasar Baru dulu. Oh,
Nenek juga beli Topi Tersayang buat kalian!”
“Aku topinya Dion! Cup!” klaim anak topless.
“Jadi aku dapetnya topi si Mayang?” Anak berbaju Power Ranger menyipitkan mata.
“Nggak bisa! Aku duluan ya Kila!” Anak itu pun berlari ke arah rumah,
menjerit-jerit takut dikejar, mendului si anak topless
yang sedang sibuk membuka tutup plastik eskrimnya.
“Udah, ayo kita masuk!” sahut Granny sambil tergelak.
Tunggu.
Nggak mungkin kan ini fenomena residual energy?
Kenapa ada Granny?
Kenapa Granny bisa menjadi fenomena residual energy?!
Granny kan masih hidup!
-XxX-
Part 62
By
Mario
Oh, ternyata yang masih hidup pun
masih bisa menjadi residual energy. Mungkin untuk alasan-alasan khusus,
entahlah. Intinya kan residual energy adalah rekaman aktifitas manusia
yang terjadi di masa lalu, yang direkam oleh objek-objek di sekitarnya, yang
kemudian diulang lagi di masa depan dengan bentuk dan format yang sama. Granny
kan termasuk manusia masa lalu dan masa sekarang, jadi wajar dia punya residual
energy sendiri.
“Gimana tempatnya?” Zaki menoleh ke arahku sambil nyengir. Dia kelihatan
ganteng dan menggoda hari ini. (Atau mungkin ini efek aku belum jack-off
berhari-hari sehingga Zaki tampak seksi?)
“Gimana caranya Bang Zaki dapet tempat ini?”
“Ini punya temen saya, Bos. Kemaren waktu lagi nganterin kayu, buat bangun
pondok di sana tuh, kelihatan nggak? Saya tuh ngobrol-ngobrol ama dia, dan
katanya boleh pake tempat ini dua jam aja hari ini. Ya udah, sekalian aja ajak
bos ke sini.”
Ini adalah sebuah komplek pemandian air panas di daerah Ciater, Subang.
Tempatnya berupa vila-vila kecil menghadap ke lereng bukit, dengan
balkon-balkon pribadi yang dilengkapi outdoor jacuzzi, sehingga siapapun
bisa menikmati berendam di alam terbuka tanpa perlu khawatir diintip orang
lain.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba saja kutemukan mobil pick-up
Zaki sudah parkir di depan sekolahku. Dia langsung membawaku menelusuri
Lembang, melewati Gunung Tangkuban Perahu, dan akhirnya tiba di Kabupaten
Subang. Aku masih nggak mengerti alasan Zaki membawaku ke sebuah vila kecil
dengan halaman luas, membawaku masuk ke dalamnya, melintasi ruang tengah, tiba
di balkon kecil dengan jacuzzi, dan dia sibuk menuang orange juice
yang tadi kami beli di minimarket ke dalam gelas berkaki yang cantik.
“Jadi, ngapain kita di sini?” tanyaku.
“Ya berduaan dong...” Zaki tiba-tiba membuka kausnya. “Liburan.”
Oh, sial. Sekarang dia sudah telanjang dada. Dan entah kenapa hari ini
otot-otot dadanya kelihatan menggiurkan. Dengan puting gelapnya yang mungil
itu, perut berlekuk-lekuk dan kulit terang mulus yang masih kupertanyakan
kenapa bisa semulus itu untuk ukuran pekerja kuli.
“Masa liburan cuma dua jam?”
sindirku, sambil memalingkan muka ke arah lain dan berusaha menahan godaan.
“Jadi bos maunya semaleman?”
“Bukan itu maksudnya... I mean, liburan kan mestinya berhari-hari. Pergi
ke luar kota dan nikmatin waktu senggang.”
Zaki memutar otak. “Tapi saya cuma diizinin pake ini dua jam aja, Bos. Kalo
pengen berhari-hari mesti nyewa... meskipun pasti dapet discount, sih.”
“Doesn’t have to be here, Dude...”
Ketika aku menoleh lagi ternyata Zaki sudah telanjang.
Bulat.
Dia sedang merapikan snack di atas meja dan membiarkan little-jack-nya
yang literally little berayun ke sana kemari. Otomatis aku jadi
bergairah dan mukaku merah. Buru-buru aku menepi ke pagar balkon, mencoba
melupakan fakta bahwa ada laki-laki menggoda sekitar tiga meter di belakangku.
“Ayo masuk, Bos!” BYUR! Beberapa cipratan air hangat mengenai kulit
lenganku. Aku masih belum sanggup menoleh tapi aku yakin Zaki sedang menikmati jacuzzi
dengan air hangat, yang di bagian bawahnya ada air menyembur seperti air
mancur, yang rasanya pasti nikmat sekali seperti dipijat. “Bos?”
“T-tunggu bentar... a-aku lagi lihat... pemandangan.”
“Di sini aja lihatnya, Bos. Lebih enak.”
Selintas aku menoleh ke arah Zaki, bukan karena penasaran dan nafsu, tapi
karena formalitas saja. I mean, nggak mungkin kan aku ngobrol sambil
terus memunggunginya. Sesekali aku harus menatap ke arah matanya... oh, lihat!
Dia menggoda sekali!
Zaki bersandar di jacuzzinya, meletakkan kedua tangan di pinggiran
jacuzzi dan membiarkan otot-otot lengannya berkumpul. Rambut ketiaknya basah
sehingga warnanya jadi gelap dan putingnya tiba-tiba kemerahan di bawah air
hangat jacuzzi.
Okay, Agas. Palingkan kepalamu ke arah lain.
Bukan!
Bukan ke arah little jack-nya! Tapi ke arah lain!
“Ayo, Bos!” panggil Zaki dengan suara menggoda. Astaga, aku nggak habis pikir
kenapa si Zaenab suka melecehkan Zaki. Padahal cowok ini begitu memukau... ya
kecuali ukuran kejantanannya sih. Tapi sisanya kan memukau.
“A-aku nggak bawa baju ganti,” kataku.
“Saya juga, Bos. Makanya baju Bos lepas aja semuanya.”
“Ini pasti modus,” sahutku. “Modus biar aku telanjang dan Bang Zaki bisa
pegang-pegang badan aku.”
“Emang iya,” Zaki tertawa. “Jadi Bos nggak mau?”
Apa? Dia sudah gila, ya, pake bilang aku nggak mau? Cuma gay nggak normal yang
nggak mau. Aku sih yakin straight pun rela telanjang berdua bareng Zaki.
“Tunggu bentar...”
Aduh, gimana ini? Apakah aku harus telanjang dan masuk ke dalamnya? Masalahnya,
yang sekarang lagi ngegantung di bawah perutku tiba-tiba berdiri tegak,
menyesak celana seragamku, dan bisa-bisa dianggap rudal nuklir yang siap
ditembakkan kalau aku membuka celanaku.
Well, Zaki sih sebetulnya nggak masalah sama itu. Dia malah selalu
terpukau melihat punyaku itu. Tapi aku jadi malu sendiri.
Tiba-tiba aku teringat Cazzo, lalu mendadak aku dapat ide. “Tapi aku lagi
kedinginan,” kataku. “Jadi si ‘Joni’-nya lagi berdiri.”
“Sama Bos, saya juga. Nih si Ucok lagi nantang langit!” Zaki tergelak.
Aku melirik ke arah little jack Zaki, dan memang benar, si Ucok sedang
“menantang langit”. Hanya gara-gara ukurannya yang mungil saja yang membuatku
nggak sadar kalau si Ucok sudah berdiri dari tadi.
Aku akhirnya melepas semua seragamku dan buru-buru masuk ke dalam jacuzzi dalam
kondisi telanjang. Joni tentunya sama-sama menantang langit, dan Zaki menyeru
“Uuuhh..” saat melihatnya. Tapi Zaki langsung menarikku ke pelukannya, membuatku
bersandar di bahunya dan didekap dengan salah satu tangannya.
Oh, nikmat sekali. Pertama, ada jacuzzi, air hangat, dan pemandangan perbukitan
yang menakjubkan. Kedua, ada cowok seksi, telanjang, dan menggiurkan. Ketiga,
aku didekap oleh cowok seksi tersebut, leherku sesekali diendus dan kepalaku
diusap-usap. What could be romantic (yet exciting) other than that?
“Bos kenapa dari tadi ngelamun aja?” tanya Zaki setelah kami berpelukan selama
sepuluh menit. Atau mungkin tiga puluh menit, entahlah, rasanya sudah lama
sekali.
“Kapan aku ngelamun?”
“Waktu di mobil, waktu mau ke sini.”
“Oh, aku lagi mikirin pelajaran di sekolah.”
Which is bullshit, karena aku justru lagi mikirin Bang Dicky yang pernah
dipenjara dan masuk rehabilitasi. Oke, aku mestinya berhenti membayangkan Bang
Dicky terlibat narkoba dan masuk rehab. Sebab belum ada statement menguatkan
yang bilang Bang Dicky pernah masuk rehab.
Tapi aku masih penasaran dengan misteri Bang Dicky dan lain-lain. Mungkin aku
akan memulai proyek rahasia juga, seperti Jeng Nunuk, mencari petunjuk-petunjuk
layaknya Steve McGarret di Hawaii Five-0, dan mungkin melibatkan alat-alat
canggih, lalu menemukan jawaban atas masa lalu yang terjadi di rumah Granny.
I mean, kenapa juga residual energy itu hanya muncul di
periode-periode tertentu? Kenapa harus pada bulan yang sama setiap tahun,
kenapa nggak terjadi di bulan yang lain? Memangnya residual energy punya
kalender?
“Tuh, kan, ngelamun lagi.” Zaki mencubit hidungku dan membuyarkan
pikiranku.”Mikirin apa sih, Bos?”
“Nggak kok, nggak mikirin apa-apa.” Buru-buru aku memainkan si Ucok untuk
mengalihkan perhatianku. Zaki otomatis menggelenyar menikmati usapan tanganku.
“Yah, Bos.... jangan dikocok... aaahhh... nanti muncrat dong isinya.”
“Emang itu kan kepengen Bang Zaki?”
“Ya tapi nggak sekarang. Entar aja, di akhir-akhir, biar nikm—aaahhh... Lagi
Bos yang barusan!”
Akhirnya, aku dan Zaki mesum-mesuman lagi. Kali ini lebih jauh daripada
biasanya. Kami seperti pasangan suami istri yang sedang honeymoon dan
melakukan hubungan sex romantis di depan panorama alam. Ya. Kami melakukan
penetrasi lebih jauh. Kami melakukan anal sex!
Dua menit sejak aku memainkan si Ucok, kami mendadak berciuman. Kali ini nggak
perlu pake alasan latihan ciuman segala. Aku yang memulai ciumannya karena aku
udah nggak tahan lagi. Rasanya nikmaaat banget. Dan oke, mesti Zaki pencium
yang buruk, karena dia hobi sekali menjilat-jilati bibirku daripada memainkan
lidahnya di dalam mulutku, tapi aku tetap merasa bergairah menikmatinya. Ketika
hembusan napas Zaki yang hangat menerpa wajahku, atau saat tangan-tangan Zaki
yang besar menelurusi setiap lekuk tubuhku...
Pokoknya itu ciuman terlama yang pernah kulakukan. Menit-menit berikutnya kami
isi dengan blowjob, saling mengoral. Aku nyaris orgasme kalau saja aku
nggak menghentikan kuluman Zaki yang tiba-tiba terasa nikmat itu. Huh, aku
mesti sering-sering onani nih setiap hari. Aku nggak mau mengalami ejakulasi
dini gara-gara aku jarang melatih si Joni di bawah sana.
Nah, bedanya mesum kali ini dengan mesum biasanya, berhubungan ini tempatnya
romantis dan wonderful banget, kami memutuskan untuk melakukan hal yang
lebih jauh lagi. Aku nggak akan menceritakannya lebih detail, biarkan itu
menjadi sensasi yang bisa kukenang sendiri. Tapi intinya kami saling melakukan anal
sex. Awalnya aku yang dipenetrasi.
“Udah belum, Bang?”
“Udah Bos! Dari tadi udah masuk. Udah masuk semuanya.”
“Oh, masa sih?” Sebab aku pikir yang masuk ke dalam lubangku adalah jempolnya
Zaki, bukan alat kelaminnya.
Bagian tusuk menusuk ini bagian yang cukup mendebarkan. Zaki mengalami orgasme
ketika masih menggauliku di dalam. Which means,
kalau aku wanita, aku sudah hamil besok pagi. Air mani Zaki muncrat di dalam
tubuhku dan aku sama sekali nggak merasakan cairan itu mengalir keluar. Dan
saat itulah aku baru teringat kondom dan HIV AIDS... which is too late now.
Gimana kalau Zaki terinfeksi penyakit menular dari cewek-ceweknya? I mean, dia kan rajanya mesum di
sekitar rumahnya.
“Sekarang giliran Bos!”
“Apa?”
“Mau dimasukin nggak?”
“Are you sure? With this size?”
Zaki mengerutkan alisnya. Memutar otak. “Sure dong Bos. Why not?”
“Entar Bang Zaki kesakitan. Punya aku kan kegedean.”
Zaki tergelak. “Kalo saya nggak kesakitan, Bos mesti jadi pacar saya. Deal?” tantangnya.
“Itu mah kepengen Bang Zaki!”
“Emang iya, kok! Kan udah pernah bilang, kalo saya sayang Bos dan pengen ada di
sisi Bos terus.” Zaki buru-buru memposisikan tubuhnya di atas diriku dan dengan
ahli menempatkan lubangnya di atas Joni-ku. “Siap, Bos?”
Tunggu. Kenapa Zaki bisa sepercayadiri itu? Apa dia pernah disodomi sebelumnya?
Ketika punyaku memasuki tubuhnya, nggak ada hambatan sama sekali seperti yang
kupikir bakal kualami dengan alat kelamin segede ini. Entah karena Zaki barusan
mengoleskan banyak sekali V-Gel di Joni-ku, entah memang dubur Zaki didesain
untuk disodomi. Who knows. I mean, seperti di
film-film bokep Amerika, kelihatannya gampang banget nyodomi orang. Seolah-olah
memasukkan sesuatu ke dubur tuh sesuatu yang nikmat. Seolah-olah tanpa rasa sakit
sedikit pun. Padahal kan kenyataannya nggak seperti itu. Jadi aneh aja ketika
Zaki bisa melakukannya dengan lancar.
“Kenapa, Bos? Kesempitan?” Zaki mendongak di sela-sela gerakan pantat
naik-turunnya.
“Oh, nggak kok. Justru semuanya udah pas.”
Okay, aku nggak akan menceritakan
detail lebih lanjut. Intinya sih aku orgasme juga di dalam usus besar Zaki dan
kami tertawa-tawa sambil kemudian menikmati lagi pemandangan di hadapan kami.
Masih ada lima belas menit lagi sebelum waktu kami di sini habis. Dan kami
menghabiskannya dengan saling berpelukan, saling mengecup satu sama lain lalu
membahas rencana bagus untuk Sweet Strawberry di girlband
fight.
Sampai akhirnya aku teringat lagi soal penjara dan rehabilitasi itu.
Tapi tentunya aku nggak akan bertanya ke Zaki soal penjara dan rehab. Apalagi
secara spesifik bertanya, “Jadi Bang Dicky pernah masuk penjara dan rehab, ya?”
Zaki kan nggak tahu kalau aku menguping pembicaraannya dengan Granny tempo
hari. Dan kayaknya turn off banget
mengungkit soal itu di tengah suasana menggairahkan macam begini.
Mungkin aku akan bertanya lain kali saja, saat kondisinya tepat. Aku mesti
berhenti memikirkannya untuk beberapa jam saja. Sampai kami tiba di rumah atau
apa gitu.
Atau mungkin aku akan menanyakannya selintas saja. Yah, membuat percakapan yang
menjurus ke sana. Misalnya, “Bang Zaki tahu Mrs Puff di Spongebob? Lucu, ya.
Dia sering banget masuk penjara. Oh, omong-omong soal penjara, Bang Dicky juga
pernah masuk penjara, ya?” Semacam itulah, nggak terlalu kentara ataupun
mendesak.
Aku menarik napas dan memeluk Zaki lebih erat lagi. Kemudian dengan hati-hati,
aku menyinggung-nyinggung soal penjara. “Jadi Bang Dicky pernah masuk penjara
dan rehab, ya?”
Oh, sial. Aku lupa menyebutkan “intro”-nya. Bukan berarti aku nggak sabaran
sampe-sampe langsung bertanya sespesifik itu.
Zaki menoleh dan mengerutkan alisnya. Jelas dia terkejut dengan pertanyaanku.
“Hah? Siapa yang bilang Bang Dicky masuk penjara?”
“Ada deh, yang bilang. Aku udah tahu semuanya,” kataku percaya diri. “Nggak
semuanya, sih. Tapi lumayan banyak, lah.”
“Tahu apa? Dari mana?” Zaki mengerutkan alisnya dan benar-benar heran.
For God’s sake, masa sih dia masih
pura-pura aja?
“Ya pokoknya, tahu. Bukan berarti aku suka nguping atau apa ya. Aku ini
kebetulan pernah research...”
Zaki masih menatapku dengan pandangan heran. Memang kelihatan cute, sih. Tapi dia tetap
penasaran, aku ini lagi ngomong apa?
Sepuluh detik Zaki menatap mataku, menimang-nimang, lalu dia memutuskan untuk
mendesah dan melemparkan pandangannya ke arah lain. “Terus, yang mau Bos
bicarain apa soal penjara itu?”
“Nggak ada apa-apa, kok, aku cuma...” Astaga, benar juga. Apa yang mau aku
bicarain tentang penjara itu, ya? Kenapa aku tiba-tiba mengungkitnya barusan?
“Aku cuma mau ngasih dukungan aja. Aku ngerti kondisi di masa lalu, sampe-sampe
ada yang mesti dipenjara segala. Aku nggak akan ngejudge
orang yang masuk penjara sebagai orang yang nggak baik atau gimana.”
“Bener?” Zaki menoleh sambil nyengir.
“Ya!” sahutku menantang. “Aku percaya, kok, Bang Dicky masuk penjara juga pasti
karena alasan yang masuk akal. Nggak mungkin Bang Dicky bisa sejahat itu
ngebunuh orang. Pasti ada alasan-alasan kuat kenapa kejadian itu mesti
terjadi.”
Zaki melamun sambil menatapku beberapa saat. Kemudian dia bangkit dan keluar
dari jacuzzi. “Udah abis waktunya, Bos. Pulang, yuk?”
-XxX-
Part 63
By
Mario
Esoknya, aku berencana memberi
kejutan pada Zaki. Bukan kejutan heboh semacam birthday surprise, hanya
mau membalas kebaikan Zaki saja yang sudah mau menemaniku selama Bang Dicky
nggak ada, dan tentunya karena telah mengajakku berendam (then hookup)
dengan latar belakang bukit-bukit hijau.
Aku mau memberinya dua majalah dan satu buku ensiklopedia. Satu majalah
Airliner World versi British (karena aku tahu Zaki sekarang bercita-cita jadi
pilot dan dia masih terobsesi belajar bahasa Inggris), satu majalah FHM versi
english (yang penuh gambar-gambar wanita berbikini di dalamnya—dan dalam bahasa
Inggris juga—tapi aku tetap menyiapkan majalah Playgirl di rumahku, andai Zaki
sudah berubah haluan menjadi homosexual... I mean, who knows, kan? Videonya
hook up dengan cewek udah bejibun tapi melihatku telanjang juga tetap
“on”. Mestinya Zaki jadi gigolo. Bisa jadi dia sudah kaya raya sekarang), dan
terakhir satu buku pengetahuan besar tentang hewan-hewan marsupilia Australia
(karena kapan itu aku pernah denger Zaki pengen punya Koala di rumahnya).
Terlebih sih karena aku tahu, Zaki pengen banget sekolah lagi—Zaenab kan bilang
begitu waktu itu. Jadi at least dengan ngasih ensiklopedia, aku udah ngasih
sedikit kontribusi buat pendidikan Zaki.
Kesemua hadiah itu aku bungkus dalam kado dan kuletakkan di lokerku di
perpustakaan. Kebetulan setelah ditumpuk seperti itu, jadinya berat, dan aku
nggak mau menaruhnya di ranselku lalu menggendongnya kemana-mana.
“Siap pulang?” sapanya ketika tiba di CIS sambil menaikkan salah satu alis.
“Nggak ada anak nakal yang gangguin lagi?”
Aku tergelak. “Nggak kok, Bang. Udah aman semuanya. Bang Zaki turun dulu, yuk?
Anterin aku ke dalem.”
“Ke mana?” tanya Zaki bingung. “Bos ada pensil yang ketinggalan?”
“Ya nggak, lah. Ngapain juga ketinggalan pensil mesti ngajak Bang Zaki ke
dalam. Udah yuk, sini ikut aja.” Aku membuka pintu mobil dan menarik Zaki
turun. “Aku mau ngasih sesuatu buat Bang Zaki.”
Zaki terlihat berbinar-binar. “D-di sini, Bos? Aduh, saya
belum mandi, nih!”
Aku mematung dan berbalik. “For God’s sake,
Bang Zaki, emangnya Abang pikir aku mau ngasih apa? No
sexual content, here. Jadi nggak usah cemas kalo belum mandi.”
“Oh.” Sekarang dia kelihatan kecewa.
Dasar ya, cowok. Prioritas utama tuh sex. Nggak peduli
straight, bi, atau gay. Selama
kebutuhan biologis terpenuhi, maka hidup berlangsung normal.
Tapi mungkin aku akan memberikan blowjob sebagai
kejutan tambahan. Hanya blowjob saja.
“Beneran Bos, saya masuk juga?” tanya Zaki ketika kami melewati gerbang CIS dan
mengendap-endap ke koridor kosong di utara gedung. “Gimana kalo kepergok? Saya
kan nggak pake seragam!”
“Tenang aja. Semua guru udah pulang. Murid-murid juga udah pada nggak ada,
paling anak-anak yang lagi ekstrakurikuler aja.”
Kami tiba di perpustakaan CIS semenit kemudian. “Aku punya kunci cadangan buat
ruangan ini, dan sekarang giliran piket aku. Di dalem nggak ada siapa-siapa.”
Aku membuka pintu perpus dan mengajak Zaki masuk.
Perpustakaan itu begitu hening dan sepi. Aroma kayu, debu, dan buku langsung
menusuk hidung. Tidak ada orang, tidak ada petugas perpus, yang ada hanya
jutaan buku, lounge baca, karpet pakistan cantik
dengan bantal-bantal cushion, perapian
yang bisa dinyalakan karena menggunakan electric fire...
Lama-lama tempat ini lebih cocok digunakan mesum daripada untuk membaca buku
“Rental buku?” tanya Zaki.
“Oh, bukan. Ini perpustakaan. Bukan rental buku.” Aku menarik Zaki ke lorong
loker anggota perpustakaan, yang terletak di sebuah sudut yang gelap.
“Jadi di sini nggak bisa minjem buku?”
“Ya bisa dong, asal dikembaliin tepat waktu.”
“Berarti ini rental buku,” ujar Zaki percaya diri.
Terserah, deh. Aku membuka lokerku, mengeluarkan sebuah kado, dan tanpa
basi-basi langsung menyerahkannya pada Zaki. “Kejutaaaannn!!” Okay, mungkin ini
kejutan paling garing yang pernah ada, tapi who cares. Toh
yang penting kan apa yang bisa kuberikan.
“Bos!” Zaki terheran-heran. “Saya nggak lagi ulang tahun, Bos!”
“Emang kenapa kalo nggak ulang tahun? Emang mesti ulang tahun dulu buat nerima
kado?”
“Iya, Bos. Biasanya kado kan buat ulang tahun.”
Zaki membolak-balik kado itu, sesekali mendengar isi di dalamnya, barangkali
dia bisa mendapat petunjuk atau apa gitu. “Ini jam dinding, ya?” tanyanya.
“Atau pigura?”
“Enak aja. Buka aja sendiri kalo pengen tahu.”
Zaki cekikikan sambil merobek kertas kado. “Biasanya sih, kalo bentuknya
begini, isinya jam dinding atau pigura.” Dia berhasil menarik kotak kardus yang
barusan terbungkus kertas kado. “Tuh, kan. Ada kardusnya. Saya pernah
ngebantuin si Memet, tetangga saya yang kawin pas bulan Maret kemaren,
rata-rata yang bentuknya gini tuh jam dinding.”
“Ini bukan jam dinding,” sahutku sambil membawanya ke lounge baca.
Zaki mengeluarkan isi kotak kardus itu dan terpukau dengan majalah yang pertama
kali ditariknya. “Bos! Ini majalah pesawat! Pake bahasa Inggris!” Zaki berseru
girang dan mendahuluiku duduk di atas bantal-bantal cushion
di lounge baca. “Ada banyak gambar
pesawat, Bos!”
Ketika dia melihat majalah berikutnya, FHM, dia makin berteriak-teriak girang. “Eduuun,
Bos! Bisa dapet majalah Playboy!”
“Itu bukan Playboy.”
“Ini Playboy, Bos! Lihat nih, gambar depannya cewek cuma pake kutang sama
cangcut doang!”
“Itu bikini!” Eeerrgghh...
Aku baru hendak menunjukkan tulisan FHM di cover depan tetapi Zaki sudah sibuk
membuka-buka majalah. Apalagi ini edisi baru. Jadi Zaki pasti lagi
semangat-semangatnya.
Selama lima menit pertama, Zaki nggak bisa diganggu. Aku mengambil minum dari
dispenser, mengecek siapa petugas piket untuk besok, lalu kembali ke lounge baca dan duduk di samping
Zaki. Dia sudah nyaris tamat mengagumi gambar model berbikini yang sedang
berpose di bathub.
“Makasih Bos, buat kadonya.” Zaki nyengir dan tanpa pikir panjang langsung
mengecup bibirku.
“Ngapain kamu?” Aku mendorong kepalanya ke belakang. “Ini di sekolah, jangan
ngelakuin adegan mesum, deh.”
“Tapi Bos kan pacar saya sekarang!” Zaki nyengir.
“Sejak kapan?”
“Sejak saya nggak kesakitan waktu Bos tusuk kemaren...”
“Apa?”
Memoriku memutar lagi ingatan sewaktu... Oh, tidak. Aku dan Zaki memang pernah
bikin deal soal itu. Kalau Zaki nggak
kesakitan pas aku “tusuk”, dia bakal jadi pacarku. Tapi kupikir itu hanya
basa-basi semata. Sebab Zaki nggak membahasnya setelah kami pulang. Aku bahkan
lupa dengan deal itu.
“Tapi itu kan cuma basa-basi,” kataku sambil tergelak. “Bang Zaki nggak serius
waktu itu.”
“Aku serius.” Zaki meletakkan majalahnya di atas karpet dan mulai menatapku
dengan serius.
Astaga, aku benci tatapan seperti itu. Apalagi dari mata Zaki. Dia kan biasanya
penuh ketololan dan gairah seks. Melihatnya memandangku penuh keseriusan seolah
aku sedang ditatap oleh Kepala Sekolahku.
“No, Bang Zaki. Abang nggak serius. Itu kan konteksnya bercanda.” Aku masih
berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Setidaknya, apa yang kupikir adalah
sebenarnya.
“Saya mah nggak bercanda, Bos. Saya kirain sejak kemaren kita udah pacaran,
Bos. Saya kirain Bos ngasih ini buat hadiah pacaran kita.”
“Nggak kok...” tukasku. “Aku ngasih ini karena aku mau berterima kasih sama
Bang Zaki, karena udah nemenin aku selama Bang Dicky nggak ada, karena udah
ngajak aku maen ke Subang kemaren itu, lah...”
“Oh.” Zaki patah hati. Aku bisa melihat dari kilatan matanya.
“Bang Zaki—“
Zaki menyelaku dengan mengangkat tangannya. Dia lalu membereskan dua majalah
yang ada di karpet, meletakkannya kembali ke dalam kotak kardus, dan tangannya
gemetaran.
“Nggak apa-apa, Bos, saya udah ngerti, kok,” ujarnya lirih. Untuk beberapa
detik pertama, dia mencoba menghindar dari tatapanku, membuang mukanya
jauh-jauh sampai akhirnya berani menatapku lagi, nggak benar-benar menatapku
sih tapi lumayan dekat lah, memberikan tatapan kosong ke arah langit-langit dan
kulihat bola matanya berair. “Ini semua soal si Dicky lagi, kan? Saya emang
nggak pernah bisa ngalahin si Dicky... Selalu dia aja yang dapet semuanya.”
Aku mendongak dan berniat membantah, bahwa ini nggak ada hubungannya dengan
Bang Dicky, tapi tak satupun kata keluar dari mulutku.
“Selalu si Dicky yang jadi pusat perhatian. Selalu si Dicky yang dipilih semua
orang. Masakannya, lah. Beres-beresnya, lah. Apa karena saya mah cuma kurir
kayu, gitu? Karena saya lebih miskin?”
“Ya nggak, lah,” sanggahku. “Apa-apaan sih Bang Zaki ngomong kayak gitu? Aku
temenan sama orang bukan karena hartanya, jadi nggak pantes Bang Zaki ngomong
soal itu.”
“Tapi Bos tetep milih si Dicky, kan? Karena dia lebih ganteng, kan?”
“For God’s sake, Bang Zaki. Antara
Bang Zaki sama Bang Dicky masih lebih gantengan Bang Zaki. Aku nggak milih
orang karena kegantengannya juga.”
“Saya lebih ganteng? Lalu kenapa nggak milih saya juga? Saya mesti lebih jelek
dari si Dicky, gitu?”
Aku menghela napas. “Aku... aku
belum siap untuk ini.” Beberapa detik jeda dan kami hanya terdiam. “Lagipula
aku pikir, Bang Zaki nggak mungkin bisa cinta sama aku.”
“Saya cinta, Bos!” tukas Zaki buru-buru. “Kenapa Bos mikir kayak gitu?”
“Karena aku tuh laki-laki, Bang! Dan aku yakin Bang Zaki normal. Aku yakin Bang
Zaki sebenernya suka perempuan, I mean, lihat aja jumlah video bokep
Bang Zaki sama cewek-cewek se-Kelurahan, pasti jumlahnya jutaan. Satupun nggak
ada video bokep sama laki-laki. Sementara aku ini laki-laki. Jadi kesannya...
nggak normal aja. Ini bukan yang Bang Zaki cari.”
“Tapi saya pengennya ama, Bos. Saya nyamannya sama Bos.”
“Yang kita lakuin selama ini cuma have fun, Bang. Abang seneng sama aku
karena punyaku gede, lalu Abang kagum ngeliatnya, lalu Abang suka main-mainin
karena Abang nggak punya yang segede aku, tapi bukan berarti Abang berubah
jadi... suka cowok juga. Ini semua cuma sugesti Abang aja.”
“Sugesti?” ulang Zaki dengan nada tersinggung. “Saya tahu kok Bos, apa yang ada
di hati saya. Apa yang ada di hati sama apa yang ada di sugesti saya tuh,
beda.”
Aku kehabisan kata-kata. Tiba-tiba saja semua hal yang sebelumnya pernah
kupikirkan tentang Zaki, lenyap begitu saja dari otakku. Bersembunyi dalam
sebuah folder nun jauh di sana yang nggak bisa kujangkau dan kumuntahkan
di depan Zaki.
“Udah, Bos. Saya nggak mau debat sama Bos. Lagian saya tahu kok endingnya
gimana. Pasti Bos tetep pilih si Dicky.”
“Aku nggak pilih siapa-siapa.”
“Ya tapi nantinya bakal pilih si Dicky.” Zaki mendengus. “Oh! Atau temen Bos
yang imut-imut itu, yang ganggu itu. Si Kejo? Si sangu. Kejo kan artinya nasi,
Bos. Berarti kalo nggak ada si Dicky, pilihan kedua mah si Kejo. Udah ketebak.
Saya mah nggak pernah ada di daftarnya, Bos.”
Zaki membereskan hadiahnya, lalu merapikan kertas kado yang sudah dirobeknya.
Jemarinya masih gemetar saat melipat-lipat kertas kado barusan. Pandangannya
pun sering kosong. Kepalanya terus menerus menunduk... dan aura charmingnya
lenyap.
Dia benar-benar patah hati.
“Tapi tenang aja, Bos,” kata Zaki kemudian. “Dicky pasti pulang ke rumah Nenek
sekitar dua minggu dari sekarang. Setiap tahun selalu begitu. Jadi bos udah
bisa ketemu Dicky sebentar lagi.” Zaki berdiri dan berjalan meninggalkan karpet
pakistan di lounge baca. “Pulang yuk, Bos?” Astaga, lihat lututnya yang
gemetaran.
Zaki sedang menahan rasa sakit. Dia sedang menahan tangis.
“Bang Zaki tunggu!”
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menghampiri Zaki, memutarnya,
menjinjitkan kakiku... dan mulai mengecupnya. Bukan, aku mencumbunya. Aku
menarik kepala Zaki mendekat ke arahku, meletakkan bibirku di bibirnya,
mendesak mulut itu agar membuka dengan lidahku, dan mulai menelusuri rahang
mulutnya sambil mengecup-ngecup bibirnya. Aku menutup mataku. Merasakan sensasi
hangat dari deru napas Zaki.
Aku nggak suka membuat orang begitu kecewa. Apalagi ini Zaki. Siapapun yang
kupilih, sebetulnya aku sayang Zaki. Mungkin tidak sebesar sayangku pada Bang
Dicky, tapi bagaimanapun juga, Zaki adalah salah satu orang yang pernah
menghiasi perjalanan hidupku. Dia telah memberikanku banyak petualangan baru.
Dia telah mengajariku banyak hal.
Aku nggak mau mengecewakan Zaki. Aku nggak mau membuatnya patah hati. Aku nggak
mau membuatnya sedih. Apapun yang terjadi, sebetulnya aku sayang Zaki.
“Bos?” Zaki melepaskan kecupanku. “Ngapain, Bos?”
“Aku sayang Bang Zaki. Please, jangan kayak yang patah hati gitu, aku nggak
tega ngeliatnya.”
“Tapi ini kan di sekolah, Bos. Jangan mesum-mesuman.”
“Who cares! Nggak ada yang ngelihat ini, kok.”
Zaki mengerutkan alisnya. “Sebenernya ada, Bos.” Dia lalu mengedikkan kepalanya
ke belakang dan dengan ngeri aku menoleh....
DEG.
Sial!
SIAL SIAL SIAL!!
Ada Cazzo di situ!
Tubuhku langsung merinding ketika menyadari Cazzo sedang berdiri di pintu
perpustakaan, menggenggam ranselnya yang disampirkan di bahu dan menatapku
dengan tatapan dingin. Kami bertatapan selama sekitar sepuluh detik sampai
akhirnya Cazzo berbalik dan meninggalkan perpustakaan.
FOR GOD’S SAKE!! Kenapa harus selalu ada Cazzo?!
Kenapa dia selalu muncul di saat-saat yang tidak tepat?!
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari keluar perpustakaan, meninggalkan Zaki
sendirian. Aku menghampiri Cazzo yang berjalan tergesa-gesa di sepanjang koridor,
pikiranku langsung melantur kemana-mana membayangkan skenario terburuk. Bisa
jadi Cazzo melihatku berlari menghampiri Zaki dan dengan romantis menciumnya,
sesuatu yang sekalipun nggak pernah aku dan Cazzo lakukan kecuali ciuman
pemaksaan waktu di bandara. Dan sial, mungkin dia juga mendengar kata-kata “Aku
sayang Bang Zaki” yang setelah dipikir-pikir kelihatan sangat tulus sekali,
bukan sekedar orang yang sayang pada orang lain sebagai teman atau sahabat.
Perutku langsung mulas membayangkannya. Makin runyamlah hubunganku dengan
Cazzo. I mean, bukannya aku mengejar-ngejar dia atau apa, tapi kan aku
nggak mau seseorang menganggapku brengsek gara-gara aku cium sana cium sini.
Lagipula aku orangnya nggak tegaan. Aku nggak bisa ngelihat orang patah hati
gara-gara aku.
Astaga, cepat sekali Cazzo jalannya! “Cazzo! Tunggu!”
Dulu Adam pernah bilang, dia iri dengan diriku karena didekati tiga cowok
ganteng dan semua-muanya straight act, dan semua-muanya perfect.
Hidupku sebagai gay katanya sempurna! Well, sekarang, masih irikah dia
kalau tahu kondisinya kayak begini? Yang satu jadi orang gila dan ngumpet
bareng ibunya, yang satu salah paham melulu dan selalu berada di tempat yang
salah, dan yang satu kurang percaya diri ditambah aku nggak cinta-cinta amat
ama dia.
Jadi sekarang, bagian mana yang sempurnanya?
“Cazzo!” Aku berhasil mendahuluinya dan mendorongnya ke dinding, membuatnya
berhenti. Cazzo memang berhenti tapi dia malas melihat mukaku. Aku membuka
mulutku, kemudian... kemudian... apa yang mau aku bicarakan sebenarnya?
Cazzo mendelik sekilas ke arahku, sinis. Dan aku hanya menganga saja, masih
meramu kalimat apa yang mesti kulontarkan dalam kondisi seperti ini. Selintas
aku menyesal, kenapa juga aku harus mengejarnya? Memangnya apa yang mau kujelaskan?
“It’s over, Bro,” ujar Cazzo kemudian, getir. Aku melihatnya menelan
ludah dan dia sekuat tenaga menahan tenggorokannya yang tercekat. “Gue udah
nyerah, kok. Gue nggak pernah bisa jadi orang dewasa seperti yang lo pengenin.”
“Siapa yang pengen orang dewasa, emangnya?” tukasku.
“Itu, buktinya! Lo emang cuma bisa sayang ama yang lebih tua daripada lo. Bukan
yang seumuran ama lo.” Cazzo menelan ludah lagi. “Seumuran yang bahkan lebih childish
daripada umurnya.”
Cazzo mencoba tersenyum di tengah kegetirannya. Dan aku makin merasa bersalah.
“Gue datang barusan karena gue pikir... gue pikir masih ada harapan antara gue
ama lo... gue pikir gue bisa percaya ama apa yang lo coba buat jelasin selama
ini... kalo yang kemarin tuh cuma latihan, lah... kalo lo tuh nggak ada
apa-apanya sama... dia, lah...”
“Aku emang nggak ada apa-apa—“
“Masih nyangkal juga?” Cazzo mengerutkan alisnya dan dia tampak tertekan. “Gue
denger banget apa yang lo bilang tadi, Bro. Sekarang lo mau bilang apa lagi? Lo
mau bilang kalo tadi pun cuma latihan?”
Part 64
By
Mario
“A-aku...”
Cazzo mengangkat tangannya.
“Seperti yang gue bilang, it’s over.” Cazzo mendesah dan memalingkan
mukanya. “Lo nggak usah khawatir lagi sekarang, nggak usah ngirim-ngirim message
lagi buat ngejelasin apapun, gue udah bisa nerima. Sorry kalo gue
ngebikin lo ngirim ratusan message cuma buat minta maaf ama gue,
sementara guenya malah cuek ama lo.”
“Tapi aku—“
“Please, Bro.” Cazzo meletakkan jemarinya di depan mulutku. “Nggak usah
ngomong apa-apa lagi. Biarin gue belajar buat nerima apa yang gue dapet. Biarin
gue belajar buat ngadepin perasaan gue sendiri.”
Cazzo menatapku serius. “Gue juga sekali-sekali pengen belajar buat dewasa,
nggak melulu ngikutin kata hati gue. Gue juga sesekali mesti belajar ngorbanin
perasaan gue. Gue kan ngefollow kata-kata bijak di twitter, katanya kadang
manusia mesti belajar buat menghilangkan sesuatu.”
“Kehilangan,” ralatku.
“Nah, itu. Jadi please, tolong biarin gue sendiri dulu, oke Bro?”
Cazzo mendesah meletakkan tangannya di bahuku. “Gue nggak akan marah ama lo,
kok. Gue bakal belajar buat nerima lo apa adanya, seperti yang lo lakuin ke gue
selama ini. Lo tetep temen gue. Dan thank you udah ngebiarin gue jadi
diri sendiri di depan lo.”
Cazzo melangkah perlahan meninggalkanku. Menoleh selintas, melontarkan senyum
getir, lalu berkata, “Mungkin lain kali gue lebih beruntung?” dan tergelak.
Beberapa langkah kemudian, kulihat bahunya berguncang.
-XxX-
Tepat sekali saat Granny menyebutku galau begitu aku sampai di rumah. Granny
sedang latihan bersama Sweet Strawberry-nya di ruang tengah, memutar lagu
soundtrack Pocari Sweat itu berulang-ulang dan melatih pose Jeng Imas agar
nggak kaku lagi. Sebuah pose inappropriate, karena mengharuskan
nenek-nenek ini menunggingkan pantatnya sambil membungkuk. I mean, nggak
ada pose lain yang lebih Nenek-siawi, gitu?
“Pasti gara-gara Esel lagi, kan?” tanya Jeng Novi saat Granny bilang aku sedang
galau. “Kita mesti bener-bener ngalahin Itsy Bitsy itu! Saya juga sebenernya
nggak suka sama cucunya Jeng Nunuk yang itu. Terlalu lebay, dan terlalu...
mencolok.”
“Bener banget, Jeng Novi,” sambut Jeng Imas. “Kapan itu si Esel jajan di warung
saya dia pake hot pants sama kaus lekbong. Belum lagi rambutnya
dikucir lima belas. Astagfirullah, mau jadi apa coba dia? Tata Dado?”
Aku, yang sedang galau, langsung mengganti seragamku, mandi, dan duduk-duduk di
bangku semen depan workshop. Bandung kebetulan cerah malam itu. Langit
penuh bintang dan bulan bulat sempurna. Sayangnya suasana hatiku nggak seindah
malam itu. Perasaanku gundah gulana. Seolah ada orang yang baru saja merenggut
nyawaku dan aku ini zombie yang berjalan-jalan tanpa roh.
Menyebalkan sekali kalau sudah merasa bersalah seperti ini.
Aku melamun menatap vegetasi halaman belakang Granny. Selintas berharap ada
pertunjukan residual energy yang menghibur, misalnya dahulu kala ada
pertunjukan drama di sini atau apa gitu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, nggak
ada gunanya juga pertunjukan drama. Aku bakal tetap merasa galau.
Aku masih tak dapat melupakan wajah Cazzo yang tersakiti sore tadi. Bagaimana
tatapan matanya mencoba tegar menghadapi cobaan padahal dapat kulihat kilatan
rasa perih di bola matanya. Dan saat bahunya berguncang, entah bagaimana,
hatiku ikut teriris. Aku merasa bersalah sekali. Aku merasa tolol sekali.
Aku sudah tiba di sebuah fase di mana mati bukanlah ide buruk. Aku serius.
Hatiku rasanya hampa mengingat-ingat lagi pemandangan itu. Maksudku, untuk apa
lagi aku hidup? Image-ku sudah buruk karena seantero dunia sudah
mencapku gay. Aku sudah nggak mungkin menikah dengan perempuan karena mereka
semua sudah tahu aku cuma suka laki-laki. Nenekku perang, dan itu semua
gara-gara aku. Dan yang kulakukan dalam hidupku hanya membuat kalut perasaan
orang lain saja? Membuat banyak orang patah hati sementara orang yang kukejar
bahkan nggak menginginkan aku ada di sampingnya?
Masuk akal, bukan, kalau aku menyusul Mom and Dad? Jelas-jelas aku bisa
berkumpul bersama mereka di alam baka sana. Aku nggak perlu mikirin lagi soal
cinta, soal sekolah, soal semua tetek bengek kehidupan yang hanya membuat
kepalaku frustasi. Mungkin di alam baka justru aku bisa hidup tenang. Mungkin
bahkan semua masalah-masalah duniawi ini bakal lenyap kalau aku masuk ke alam
baka.
Sekarang tinggal mikirin gimana caranya biar aku bisa mati.
“Dickyyy!!”
Nah, kan, residual energy halaman belakang udah mulai bermunculan. Dan
anehnya, aku nggak ngerasa takut sedikitpun. Mungkin karena aku sedang galau,
jadi kalau tiba-tiba muncul pocong pun aku bakal biasa-biasa saja. Bukan
berarti aku mengharapkan ada pocong di depanku atau apa, ya.
“Dickyyy!!”
Suara itu masih sayup-sayup kudengar. Saking sayupnya, aku malas mencari
sumbernya.
Aku sudah membuat beberapa kesimpulan dari residual energy yang muncul
di rumah Granny. Pertama, aku yakin banget anak tukang nangis itu adalah Bang
Dicky. Wajahnya mirip banget dengan salah satu anak di foto-foto kamar
terlarang, dan kalau kamu melihat alisnya, kamu pasti setuju dengan pendapatku.
Apalagi ternyata residual energy Granny pun sanggup muncul, which
means, dua orang anak itu bisa jadi masih hidup saat ini.
Kedua, aku yakin Bang Dicky sering diperkosa oleh Pak Darmo dan itulah
satu-satunya alasan dia membunuh bapaknya sendiri. Sesuatu hal yang memang
pantas dilakukan, sebetulnya. Gara-gara kejadian itulah makanya Bang Dicky
mendadak gila dan mengasingkan diri di saat residual energy itu banyak
bermunculan di rumah Granny. Mungkin dia menderita trauma atau phobia sesuatu.
Selain phobia-nya terhadap pemakaman, yang sampai saat ini masih misteri
bagiku.
Ketiga, Bang Dicky punya teman bernama Kila yang kelihatannya heroik dan best
friend banget. Dan si Kila ini dulu sering main ke sini, which means
dia tahu banyak tentang masa lalu rumah ini, which means Granny kenal, which
means aku bisa mencari keberadaan Bang Kila ini di mana pun itu, karena
bisa saja Kila masih hidup, kan? Umurnya pasti seumuran Bang Dicky. Mungkin dia
sudah menikah dan punya anak? Mungkin dia juga tinggal di Cimahi dan selama ini
Bang Dicky keep in touch?
Tapi sungguh, deh, melihat kondisiku seperti ini, malas banget kalau mesti
nyari di mana Bang Kila berada. Jujur aja, aku udah setengah nggak peduli
dengan misteri rumah ini. Mungkin misteri memang ada untuk tetap menjadi
misteri. Mungkin beberapa hal memang sebaiknya dibiarkan rahasia untuk
kepentingan banyak pihak. Mungkin memang benar kata Granny, ini bukan waktuku
untuk mengetahui semuanya.
Mestinya aku fokus dengan masa depanku. Mestinya aku bahkan nggak mikirin ini
sama sekali. Aku punya cita-cita kembali ke New Jersey dan melanjutkan kuliah
di sana, at least di Amerika nggak ada yang tahu aku gay, kecuali ada anak CIS
yang move out ke sana dan menyebarkannya seantero United States. Aku ingin jadi
pengusaha yang sukses. Aku ingin seperti ayahku yang bisa dipindahkan dari
Indonesia ke Amerika karena prestasi kerjanya. Aku ingin banyak uang supaya aku
bisa berfoya-foya.
“Dickyyy!!”
“Berisik!” desisku. Kenapa suara sayup-sayup itu tetap muncul, sih? Kenapa nama
Bang Dicky dipanggil-panggil terus? Memangnya petunjuk apa yang mau dipertontonkan
padaku? Beneran, deh. It is absolutely clueless.
“Namaku Dicky! Dickyyy!! Di sini!”
Oh, sekarang sudah ada kemajuan
ternyata—setelah aku sindir dalam hati. Tapi tetap saja, it shows me nothing.
Aku masih nggak tahu dari arah mana suara sayup-sayup itu muncul. Seperti
berada... jauh, sekali. Seperti ada seseorang yang berteriak dari rumah Jeng
Nunuk ke rumah Granny. Bukan, mungkin sekitar tiga rumah dari sini, dan yang
berteriak itu seperti berada dalam sebuah kotak kaca di mana suara susah keluar.
Intinya suara itu keciiiil sekali. Mungkin untuk beberapa orang, kedengarannya
seperti suara tikus yang mencicit.
Eh, tunggu! Ke mana workshop Bang Dicky?
Ketika aku menoleh ke sana kemari mencari sumber suara itu, aku menemukan bahwa
workshop yang selama ini ada di pojok halaman belakang tiba-tiba
menghilang. Semuanya digantikan dengan taman bunga indah yang ada kolam
ikannya.
Sial. Aku pasti sedang masuk dunia residual energy. Kenapa mesti
sekarang, sih? Kenapa mesti di halaman belakang? Kenapa mesti malam-malam dan
saat aku lagi galau?
Aku tetap duduk di bangku semen, menatap sekeliling taman dan mencoba mencari
sebuah pergerakan yang signifikan. Tapi halaman belakang ini tetap sepi. Tidak
ada aktifitas visual residual energy di sini. Yang ada hanyalah nama
Dicky yang terus menerus dipanggil. Yang kelihatannya berasal dari Bang Dicky
sendiri.
Lima menit. Sepuluh menit.
Ya Tuhan, mana penampakannya? Kenapa nggak ada yang muncul sedikitpun? Kenapa workshopnya
belum kembali ke halaman belakang? Aku masih terjebak di dunia residual
energy, kan?
Dengan kesal aku meninggalkan tempat itu. Biar saja halaman belakang tetap
tampil dalam mode residual energy, toh aku tetap bisa masuk ke rumah dan
tidur di kamarku. Aku perlu istirahat. Semua kegalauan ini menguras energiku.
Mungkin aku butuh spa, atau Thai Massage, atau...
Tunggu. Kenapa dapur Granny seperti ini? Ini jelas bukan dapur yang biasanya.
Ketika aku masuk dari pintu belakang, aku melihat posisi dapur yang 100%
berbeda dari dapur biasanya. Kulkasnya berbeda, kompornya berbeda, kumpulan
pancinya berbeda. Astaga... memangnya dapur Granny juga kena efek residual
energy?
Memangnya aku masih ada di dunia lain?
Tiba-tiba rasa ngeri merayapi tubuhku. Entah kenapa otakku tiba-tiba teringat
film Silent Hill yang pernah kutonton waktu aku masih SD. Itu salah satu film
terseram yang pernah kulihat. I mean, siapa yang mau terjebak di dunia
lain?
Sekarang aku seperti Rose Da Silva, wanita di Silent Hill yang terjebak itu.
Sial. Jantungku berdebar kencang sekarang. Gimana caranya aku bisa kembali?
“Mau teh manis anget?” Tiba-tiba Granny menghambur masuk ke dapur, mengenakan dress
bunga-bunga seperti yang pernah kulihat sebelumnya, tapi kali ini warnanya
lebih cerah. Rambut Granny dipotong pendek. Mirip Princess Diana yang gambarnya
pernah kulihat di buku ensiklopedia.
“Nggak usah, Bu. Ambilin piring kecil aja. Saya udah bawa termos dari rumah,
kok!”
Tunggu. Suara itu kukenal. Suara itu seperti pernah kudengar sebelumnya...
bahkan mungkin aku sering mendengarnya. Nggak mungkin itu...
Aku berlari secepat kilat menuju ruang tengah, yang tentunya memiliki dekorasi
berbeda dibandingkan yang kuhuni sekarang. Tidak ada tirai putih kuntilanak di
jendela, tidak ada gadget canggih seperti laptop dan sophisticated-speaker yang
sebetulnya saat ini sedang digunakan Granny yang asli untuk latihan, tidak ada
juga TV plasma besar yang biasanya nongkrong di ruang tengah.
Ruangan ini lebih lembut dan hangat, dengan sofa warna mocca dan cover lampu
meja motif retro. Lemari dan meja kayu jati bertengger di sepanjang ruangan,
dengan lampu warna warni berbentuk air mancur diletakkan di sudut ruangan.
Tapi jantungku langsung berhenti berdetak saat melihat siapa yang duduk di atas
sofa mocca itu.
Itu..
Itu...
Mom...
Dan Dad...
Dan seorang balita berumur dua tahun yang berlari kesana kemari menabrak sofa,
sambil mengenakan sweter pink bergambar kelinci.
Itu...
Itu aku.
“Mangkok segede gini cukup?” Granny muncul sambil membawa sebaki teh manis
disertai mangkuk bayi plastik warna putih. “Kayaknya punya Agas ketinggalan
waktu bulan kemaren ke sini. Udah Ibu cuci, kok.”
“Makasih, Bu.” Mom buru-buru mengaduk tasnya mencari sesuatu. “Agas, sini! Itu
salam dulu sama Nenek!”
“Agas... cucu cakep kesayangan Neneeek...” Granny membentangkan kedua tangannya
dengan lebar, tapi Agas kecil malah menatapnya dengan pandangan “Apa sih kamu?”
lalu berlari menuju lampu hias air mancur itu.
Tubuhku gemetar melihat pemandangan itu. Itu aku. Diriku. Belasan tahun lalu
saat aku masih berumur dua tahun?
Aku terduduk di salah satu sofa, terpana melihat residual energy yang
terhampar di depan mataku. Nggak mungkin aku bisa melihat ini semua. Nggak
mungkin. Pasti aku mimpi. Pasti aku—
Oh, Mom! Aku kangen!
Tanpa sadar aku memeluk Mom tapi tubuhku menembus sosoknya. Aku terduduk lagi
di sofaku sambil meneteskan airmata. Sudah beberapa bulan aku nggak melihat
Mom. Dan Dad! Ya Tuhan, Dad begitu muda dan ganteng. Dan sekarang mereka berdua
ada di hadapanku. Tampak lively! Tampak muda! Dan tampak... bahagia.
“Si Agas ini suka banget sama Promina lho, Bu,” ujar Mom sambil mengaduk-aduk
semangkuk bubur lembut warna merah muda yang sudah dicampur air hangat. “Susah
banget dikasih makanan lain kecuali Promina. Apalagi kalo dikasih buah-buahan,
iiihh, dia benci.”
Aku benci buah-buahan?!
For God’s sake! Residual energy ini mengada-ada! Aku cinta
buah-buahan!
“Tapi kemaren dia makan melon, kok,” timpal Dad. “Sebetulnya kalo dikasih susu,
bakal dimakan ama si Agas.”
“Tapi tetep aja rewel kalo ngelihat ada buah-buahan di atas meja.” Mom memutar
bola mata. “Agas sini Sayang... mamam dulu...!”
Aku menangis terisak-isak melihat pemandangan itu. Melihat Dad mengawasi Agas
kecil berlari ke sana kemari, dengan tatapan khasnya yang penuh keyakinan. Lalu
melihat Mom memutar bola matanya... aku rindu saat Mom sering memarahiku karena
menjadi remaja bandel dan yang dia lakukan hanyalah memutar bola matanya. Andai
aku bisa kembali ke masa-masa itu, aku nggak akan berkedip sedikit pun demi
bisa melihat Mom lebih lama lagi.
“Mungkin kalian bisa coba Buah Naga,” usul Granny. “Ada temen Ibu yang tinggal
di Thailand, katanya ada buah-buahan bagus yang bentar lagi mau diimpor ke
Indonesia. Namanya Dragonfruit. Kali aja Agas suka.”
“Saya juga pernah denger,” sahut Dad. “Di Vietnam. Tapi kalo nggak salah itu
tanaman hias. Hey-hey, Agas! Jangan narik-narik tirai.”
Agas kecil mengerutkan alisnya dan ngambek ke ayahnya. Dia berlari ke arah
Ibunya lalu memeluknya.
Astaga, itu pasti bukan aku! Bukan! Aku kan nggak secengeng itu!
Tapi sekarang aku iri. Andai aku ini residual energy, mungkin sekarang aku
sudah bisa memeluk Mom dan Dad.
Diubah terakhir kali oleh MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 1:48 am, total
pengubahan 1 kali.
Part 65
By
Mario
“Eh, Agas mau main
sama Kila sama Dennis, nggak?” tanya Granny. “Mereka masih ada di sini, lho...”
“Emangnya belum pada pulang?” tanya Mom.
“Mereka nginep kayaknya. Bantuin pak Darmo bikin hiasan pagar buat kebun
belakang.”
Kila dan Dennis?
“Tunggu bentar. Kilaaa? Denniiis?” Granny bangkit dan pergi ke kamar belakang.
Meninggalkanku, Mom dan Dad, dan Agas kecil.
Aku terpana menatap keluarga kecil itu. Sebuah keluarga baru. Keluarga yang
masih penuh senyuman. Dengan seorang anak balita tanpa dosa, yang sekarang
sedang melempar-lemparkan bubur bayi ke arahku (untungnya hanya bayangan), lalu
Mom marah dan menggendongnya... dan Dad malah asyik mencicipi bubur bayi itu.
“Mereka tuh jadinya diasuh sama si Ibu?” tanya Dad.
“Ah, nggak kok. Mereka juga pulang ke rumah,” jawab Mom. “Agas, jangan nakal!
Jangan sampe Mama hukum Agas kayak malem kemarin waktu Agas mainin Lipstick
Mama.”
Mukaku memerah. Astaga, sudah sejak kecil ternyata aku berbakat menjadi gay.
“Yang satu itu yatim-piatu kan, ya?” Dad menggelitiki Agas kecil yang nggak
bisa diam. “Siapa sih, si Kila kan ya?”
“Iya. Dennis kan anaknya Pak Darmo. Anaknya tuh ada dua, yang paling gede tuh
si Dicky.”
Dad merenung. Menatap Agas kecil yang merengek minta turun. Mendadak Dad manggut-manggut.
Biasanya dia begitu kalau sedang mendapat ide. “Kalo kita bawa si Kila gimana?”
“Ke Amrik?”
“Yup. Nemenin si Agas.”
“Urusan administrasinya gimana? Kita mesti ngurus custody
dulu, nggak?”
Dad mendesah. “Kita pikirin entar aja. Kita obrolin entar ama si Ibu. Lagian
kita juga belum bilang soal itu.”
“Agaaasss!” Tiba-tiba dua bocah kecil yang akhir-akhir ini sering kulihat
penampakan residualnya, muncul dari dapur. Granny berjalan di belakang mereka
sambil tertawa-tawa. Anak yang biasa mengenakan baju Power Ranger langsung
menggendong Agas kecil dan membawanya turun. Si anak topless pun dengan riang gembira
langsung mencubit-cubit pipi balita itu.
Aku terperangah menatap pemandangan itu. Jadi bocah itu bukan Bang Dicky? Jadi
itu adalah Dennis?
Orang yang dicari-cari Pak Darmo dan disayang Bang Dicky? Pantas saja dilihat
dari mana pun, bocah itu nggak mirip Bang Dicky. Alisnya sih sama, dan caranya
memberikan ekspresi lucu itu juga sama. Tapi dia bukan Bang Dicky.
“Main ke sana, yuk!” Dennis menggendong Agas kecil ke ruang makan. Kila dengan
sigap menawarkan buah pisang yang ada di atas meja, dan Agas kecil langsung
membuangnya ke lantai.
“Jadi kenapa nih, tumben malem-malem datang ke sini?” tanya Granny. Dia duduk
di sofa dan meminum teh buatannya sendiri. “Mau ngambil celana-celana Agas yang
ketinggalan di sini.”
“Ya nggak lah, Bu. Ada hal lain.” Mom menoleh ke arah Dad, dan Dad menoleh ke
arah Mom, mereka berdua berpandangan, seolah sedang melakukan telepati di dalam
hati mereka: “Kamu aja yang bilang”, “Nggak, ah, kamu aja yang bilang”.
“Melihat kondisi Indonesia yang kacau seperti ini,” Dad memulai, “Kemungkinan
besar kami mau ke luar negeri.”
“Ke luar negeri? Ke mana? Thailand? Ibu punya temen lho di Thailand, mungkin
kalian bisa mampir-mampir sebentar di sana.”
“Bukan, Bu. Bukan Thailand. Tapi lebih jauh dari itu.”
“Oooh, Ibu tahu.” Granny menjentikkan jarinya. “Pasti Jepang, kan? Nggak
apa-apa kok, Darling. Meski Jepang pernah ngejajah negeri kita, tapi it’s okay kok kalo kalian ke sana.”
Dad menelan ludah. “Ngng... Bu, kami mau ke luar Asia. Kami mau pergi ke...
Amerika.”
“Kalian mau liburan ke sana? Ke mananya? Disneyland?”
Mom menarik napas dan dengan hati-hati menjawab. “Kami mau pindah ke sana, Bu.
Kami mau tinggal di sana.”
Kretek! Kretek! Tiba-tiba kudengar
cangkir dan piring kecil yang dipegang Granny mengeluarkan bunyi. Granny
terguncang. Tangannya gemetar dan napasnya seolah berhenti. Tapi kemudian
Granny mencoba tergelak dan menganggap ucapan Mom barusan hanya lelucon saja.
“Kalian pasti bercanda, kan?”
“Nggak, Bu, kami nggak bercanda. Kami mau pindah ke sana. Bukan dalam waktu
dekat, sih, tapi kami bakal pindah ke sana,” ujar Mom.
Dad menambahkan, “Negara kita lagi krisis moneter. Ekonomi se-Asia nggak begitu
stabil. Nilai tukar dollar udah terlalu tinggi dan perusahaan tempat saya
bekerja mau narik semua sahamnya di sini lalu fokus dulu di negara asalnya, di
Amerika. Di Indonesia bakal terjadi PHK besar-besaran, dan saya bisa jadi salah
satu dari pegawai yang di-PHK, kecuali saya mau pindah ke Amerika dan
menyelamatkan diri. Saya nggak bisa membuang kesempatan ini, Bu.”
Granny masih menunduk menatap cangkir tehnya, mencoba tegar, tapi tetap
kelihatan terguncang. “Jadi kalian mau pergi dari hidup Ibu selama-lamanya?”
“Ya nggak lah, Bu,” Mom memutar bola mata. “Setiap tahun kami pasti pulang ke
sini. Dan nggak usah khawatir, Agas pasti saya ajarin Bahasa Indonesia.”
“Kami berencana mudik ke Indonesia dua kali setahun,” tambah Dad. “Mungkin
setiap lebaran dan setiap natal. Ibu juga boleh ngunjungin kami di sana, kok.
Kami pasti nunggu kedatangan Ibu di sana.”
Granny masih terguncang. Mematung. “J-jadi... kapan kalian berangkat?”
“Itu kabar baiknya,” jawab Dad. “Kami nggak akan berangkat dalam waktu dekat.
Kami berangkat sekitar dua atau tiga tahun lagi dari sekarang. Saya ditunjuk
sama perusahaan buat ngurusin cabang di sini yang nyaris cease operation.
Apakah nantinya bangkrut atau justru bertahan lewat dari tahun sembilan delapan
ini, saya bakal tetep pindah ke Amerika. Semua dokumen udah diurus. Tinggal
nunggu berangkat aja.”
Granny menyesap tehnya lagi, berusaha mengendalikan diri.
“Dan satu lagi,” ujar Dad, namun sebelumnya menoleh ke arah Mom minta dukungan,
“tapi ini baru wacana aja, belum terlalu pasti. Rencananya kami pengen bawa
Kila ke Amerika juga supaya Agas ada temen. Menurut Ibu gimana?”
“Kila yang itu?” sahut Granny sambil menoleh ke ruang makan. “Dia kan nggak
bisa bahasa Inggris.”
“Agas juga belum bisa bahasa Inggris, Bu,” tukas Mom. “Ini bukan soal bahasa.
Tapi gimana menurut Ibu kalau kita bawa dia ke Amerika?”
Granny merenung sebentar. Menatap ke langit-langit dan berpikir. “Yah...
sebenernya kasihan juga si Kila itu, hidup numpang ke sana ke sini, tapi nggak
pernah mau ngerepotin orang lain. Orang tuanya udah nggak ada. Ibu sih ragu dia
mau ikut ke Amerika. Terakhir Ibu pergi ke Dufan, dia nggak mau ikut karena dia
ngerasa nggak pantes aja. Aneh, kan? Padahal dia tinggal ikut, nggak usah bayar
apa-apa.”
“Sounds like a good kid,” gumam Dad. “Tapi nggak usah terlalu dipikirin kok,
itu cuma wacana aja.”
“Emang good kid,” sambut Granny. “Dan dia juga punya bibit-bibit ganteng.
Mungkin kalo udah gede, Ibu mau kawin sama dia.”
“Ya ampun, Ibu... Ibu kan udah punya cucu!”
Lalu mereka semua tertawa.
Aku memutuskan untuk pergi ke ruang
makan dan menonton Agas kecil bermain-main bersama Dennis dan Kila. Kakiku
masih gemetar karena barusan aku melihat Mom dan Dad tampak sehat di hadapanku.
Sudah berbulan-bulan aku nggak mendengar tawa mereka. Sudah berbulan-bulan aku
nggak melihat Mom dan Dad duduk berdua, berdiskusi, melontarkan senyuman yang
bikin rindu itu...
“Udah, aku aja yang gantiin.”
Ketika aku tiba di ruang makan, Agas Kecil sedang dibiarkan mengacak-acak kotak
mainan di bawah meja. Dennis dan Kila berada satu meter di belakang Agas kecil,
mendiskusikan sesuatu.
“Nggak usah, La. Udah cukup kamu bantuin aku terus.”
“Ngebantuin orang tuh nggak pernah cukup. Aku ikhlas, kok.”
Dennis menatap Agas kecil, lalu menatap Kila. Dia bimbang dan ragu. “Nggak
usah, biar aku aja yang ke sana. Kila main ama Agas aja.” Dennis baru saja
berbalik ketika Kila tiba-tiba menahan bahunya.
“Kamu gila ya?” seru Kila, tapi berbisik. “Masa depan kamu tuh lebih cerah.
Jangan disia-siain demi hal kayak begitu.”
“Tapi itu bapak aku! Aku harus nurut kata-kata dia. Entar kata Pak Kiyai juga
bisa durhaka kalo ngelawan orangtua. Entar aku dikutuk jadi batu kayak malin
kundang!”
“Nggak mungkin! Yang bisa ngutuk tuh cuma ibu-ibu. Ibunya malin kundang, ibunya
Sangkuriang si Dayang Sumbi, terus ibunya si Samosir. Lagian surga di telapak
kaki ibu. Bukan di telapak kaki bapak. Udah kamu di sini aja sama Agas, aku
yang ke sana.”
Belum juga Dennis merespon, Kila langsung mendorong Dennis ke arah Agas dan
dirinya berlari keluar dari ruang makan. Kila lenyap dalam sedetik,
meninggalkan Dennis menemani Agas kecil dengan perasaan hampa. Pikiran Dennis
melayang ke sana kemari, tatapannya kosong. Bahkan saat Agas kecil melemparkan
mobil-mobilan ke arah Dennis, anak itu masih saja merenung.
“Agas...” bisik Dennis. “Menurut kamu aku mesti gimana?”
“Ini! Ini!” Agas kecil menyuruh Dennis menerima boneka Barbie yang entah kenapa
ada di kotak mainan itu.
“Aku pengen kabur, Gas. Aku boleh nggak tinggal di rumahnya Agas? Jadi tukang
kebun kayak si Bapak juga boleh, lah.”
“Egang! Gang!” Sekarang Agas kecil menyerahkan sehelai dress Barbie yang
mungil, kemudian dia kembali menyelusup ke kotak mainan mencari sesuatu.
“Aku udah nggak kuat, Gas.” Dennis terisak-isak. Sekuat tenaga dia menahan
tangis. Sayangnya, nggak ada respon dari Agas kecil. Dia masih sibuk mencari
sesuatu di kotak mainan. “Entar kalo Agas udah gede, udah banyak duit, bawa aku
pergi, ya? Pokoknya jauh dari sini. Jadi pembantu juga nggak apa-apa.”
Dennis menunduk dan terisak-isak lagi. Sementara itu Agas kecil menjerit riang,
“Naaaahh..!” sambil mengeluarkan boneka Barbie yang lain.
Astaga... orang lagi curhat kamu malah nyari boneka Barbie?!
Dennis mendongak dan langsung memeluk Agas kecil. Balita dua tahun itu berontak
nggak mau dipeluk. Dia memukul-mukulkan boneka Barbie-nya ke kepala Dennis
tetapi bocah itu tetap memeluk Agas tanpa peduli dengan barbie yang
mengetuk-ngetuk kepalanya. Beberapa saat kemudian Dennis berbisik, “Kalo aku
nggak ada, kamu janji ya bakal jagain Kila? Sebab aku sayang Kila, dan Agas
juga pasti sayang Kila. Aku juga sayang Agas.”
“Agas? Agas?”
Mendadak dunia berubah gelap dan kepalaku pusing. Di telingaku terdengar
suara-suara orang memanggil namaku. Bahkan dapat kurasakan bahuku
diguncang-guncang.
Aku membuka mataku perlahan-lahan, membiasakan mataku dengan intensitas cahaya
yang tiba-tiba masuk setelah dunia yang mendadak gelap barusan. Ketika
pandanganku kembali jelas, aku melihat diriku terbaring di lantai, dikelilingi
nenek-nenek Sweet Strawberry dan salah satu di antara mereka sedang menggenggam
segelas air putih.
“Oh, Agas bangun!” pekik beberapa nenek.
“Minum ini,” sahut Jeng Imas. “Relax ya Sayang. Kalo kamu bisa duduk,
cobain duduk. Kalo sesak napas, tidurin aja.”
“Kamu nggak apa-apa, Gas?” tanya nenek-nenek yang lain.
“Kamu tenang aja, Gas. Kamu berhasil ngelawan teluh jahat itu.”
Teluh jahat?
Lima menit kemudian aku sudah duduk di sofa ruang tengah, dikelilingi Sweet
Strawberry yang langsung bergunjing ria.
“Keterlaluan mereka, pake cara mistik,” ujar salah satu di antaranya.
“Pantesan aku sering lihat si Esel nyabutin kembang dari kuburan,” balas yang
lain.
“Hah? Esel suka nyabut kembang dari kuburan?”
“Iya. Bisa jadi dia dateng ke dukun santet, mungkin dia mau ngasih guna-guna ke
rumah ini. Kayaknya kita pindah latihan aja ke rumahnya Jeng Dedeh, kan banyak
lukisan kaligrafi Al-Quran tuh di dindingnya. Pasti kebal ngelawan santet. Buat
amannya aja.”
“Boleh-boleh, tuh. Ide bagus. Supaya nggak ada korban kayak begini lagi.”
“Untung Agas bisa siuman, betul? Rendahan banget si Nunuk pake ngirim setan ke
sini buat bikin orang-orang di sini kesurupan.”
Jadi mereka pikir aku kesurupan? Dan Jeng Nunuk lah yang membuatku kesurupan?
Aku mencari-cari Granny di antara Sweet Strawberry ini, tapi tak kutemukan
batang hidungnya di manapun. Ketika aku menegakkan tubuhku, aku akhirnya
menemukan Granny sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Granny tampak
terguncang. Pandangannya kosong.
Sedetik kemudian pandanganku dan Granny bertemu. Dan dari tatapannya aku bisa
melihat bahwa Granny tahu kalau aku masuk ke dunia residual energy itu.
-XxX-
Kalau dipikir-pikir, aku seperti masuk ke Pensieve-nya Harry Potter. Hanya saja
aku nggak bisa mengontrol adegan apa yang ingin kumasuki. Makin sini fenomena residual
energy-nya makin parah. Mulai dari muncul tokoh-tokohnya saja, sampai
akhirnya aku benar-benar masuk ke dalam dunia tersebut. Which is
questionable, karena aku belum bisa menemukan di Google soal masuk ke dunia
residual energy tersebut.
Sepanjang malam aku nggak bisa tidur. Aku terus memikirkan fenomena residual
energy yang baru saja kualami. Pikiranku terus menerus berputar
membayangkan adegan-adegan itu, kata per kata yang diucapkan Dad waktu bilang
mau pindah ke Amerika, dan bagaimana mirisnya mendengar bocah tujuh tahun
curhat tentang kepahitan hidupnya.
Dan dini hari tadi, sekitar pukul dua, saat Bello sedang asyik menggoda tukang
nasi goreng yang lewat depan rumah, aku tersentak dari tidurku karena aku
memimpikan sesuatu. Aku memimpikan saat pertama kali aku bertemu dengan Zaki.
“Saya Zakila,” kata Zaki, menjabat tanganku, “panggilnya Zaki aja, bos!”
Dan di situlah aku mulai menyadari sesuatu.
Can you see?
Nggak mungkin ini hanya kebetulan semata.
Aku yakin ada hubungan erat antara Zaki dan Kila. Which I think... is just
the same person.
-XxX-
Sore itu aku begitu bersemangat saat menyusuri gang menuju rumah Zaki. Pertama,
makin siang makin yakinlah aku kalau Kila adalah Zaki dan Zaki adalah Kila.
Zaki dan Kila sama-sama yatim piatu. Coincidence? No. Lalu, Zaki nggak tamat SD
dan kapan itu aku dengar Kila dan Dennis membicarakan tentang sekolah:
“Iya, aku tahu.” Kila mendesah. “Lagian aku nggak pinter-pinter amat di
sekolah. Nggak kayak kamu. Kalo kamu putus sekolah, sayang negeri ini. Entar
Indonesia kehilangan anak pinter kayak kamu.”
Dari situ JELAS ada salah satu anak yang dikorbankan untuk putus sekolah,
meskipun aku nggak tahu gara-gara apa, tapi memang Zaki lah yang putus sekolah
dan dia berharap Dennis tetap sekolah supaya jadi anak yang pinter. Mestinya
waktu itu aku lebih aware sama kata-kata makhluk residual energy
ini, karena di dalam percakapan mereka tersimpan petunjuk yang sangat jelas.
Diubah terakhir kali oleh MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 2:07 am, total
pengubahan 2 kali.
Part 66
By
Mario
Misalnya soal topless itu.
Kenapa aku nggak nyadar sih kalo Zaki di zaman sekarang pun masih suka
bertelanjang dada kemana-mana? Bukankah aku pernah berdebat dengan Cazzo soal
Zaki yang suka mengumbar-ngumbar bagian atas tubuhnya? Mestinya—
Astaga, aku jadi keingetan Cazzo, deh. Dan perutku mulas lagi.
Lupakan-lupakan-lupakan!
Intinya, petunjuk bahwa Zaki adalah Kila, Kila adalah Zaki begitu banyak. Jadi
hari ini aku bakal mendatangi Zaki dan menceritakan semuanya. Kalau perlu aku
akan memeluk Zaki, seperti di film-film, membisikkan kata-kata seperti, “Aku
udah tahu semuanya,” lalu kami berdua menangis, lalu Zaki akhirnya bercerita
soal masa lalunya yang kelam, dan aku mendengarkan kisahnya dengan penuh
seksama.
Mungkin pada akhirnya kami akan bersama. Maksudku, Dennis memintaku untuk
menjaga Zaki. Jadi wajar kalau aku—misalnya—pacaran dengan Zaki. Lagipula Zaki
jatuh cinta padaku, kan? Lagipula dia memang ingin sekali pacaran denganku. Apa
salahnya, coba?
Harapanku dengan Cazzo sudah pupus, dan aku nggak bisa terus menerus berharap
sama Bang Dicky. Kenapa aku nggak mengambil kesempatan yang ada di depan mata?
Lagipula Zaki nggak jelek, kok. For God’s sake, dia malah lebih ganteng
dibandingkan Cazzo dan Bang Dicky.
Gelombang rasa sayang langsung menyelimuti tubuhku saat aku teringat setiap
adegan Kila di fenomena residual energy yang selalu kulihat. Bagaimana
Kila menjaga Dennis dengan seksama, memberitahukan posisi sembunyi yang aman,
atau saat dia dengan heroiknya menggantikan posisi Dennis (aku mesti bertanya
ke Zaki, posisi apa sih yang diperbincangkan di sini? Memangnya apa yang Pak
Darmo lakukan pada mereka? Pelecehan seksual?"Benar-benar" pelecehan
seksual?).
Zaki sedang menepuk-nepuk keset ke pagar ketika aku datang. Dan ya, dia topless
sekarang. In fact, dia hanya mengenakan celana basket warna merah
yang sekarang jadi kelihatan jelas betapa miripnya Zaki dan Kila. Kenapa nggak
dari awal aku curiga kalau Kila tuh Zaki? Padahal warna kulitnya sama, dan
sebetulnya kalau dipikir-pikir, mata mereka juga sama.
“Bos?” Zaki mendongak, terkejut melihatku sudah ada di hadapannya. “Bos nggak
apa-apa, kan? Denger-denger semalem Bos kesurupan.”
“Oh, itu. Tahu dari mana?”
“Dari Jeng Novi. Dia cerita katanya Bos tiba-tiba jalan ke ruang tengah kayak zombie.
Pandangannya kosong, udah gitu dipanggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Bos nggak
apa-apa, kan?”
“Ah, nggak apa-apa, kok. Tenang aja.”
Aku menelan ludah. “Aku mau ngomong sesuatu ama Bang Zaki.”
“Saya juga, Bos.” Zaki merapikan keset di pagar lalu mengajakku duduk di kursi
teras.
“Bang Zaki dulu yang bilang,” usulku. “Udah gitu aku.”
“Bos aja dulu...”
“Ah, Bang Zaki dulu. Yang aku ini penting banget!”
Sebab aku mau nembak Zaki jadi pacarku, jadi ini mesti spesial. Aku udah
mikirin soal ini seharian, bagus jeleknya aku pacaran dengan Zaki. Salah satu
bagusnya sih Zaki bisa jadi bodyguard-ku, jadi Mahobia nggak akan pernah
macam-macam lagi. Jeleknya ya semua orang kayaknya makin yakin aku ini gay,
sekeras apapun aku berusaha membantahnya.
Lagipula aku pengen banget nyenengin Zaki. I mean, setelah segala
sesuatu yang dia alami waktu kecil, dia berhak buat hidup bahagia sekarang. Aku
bakal mengajarinya bahasa Inggris. Kalau perlu, kalau memang ada uang sisa
begitu harta warisan Dad jatuh ke tanganku, aku akan mengajak Zaki ke Amerika,
dan mungkin saja menyekolahkannya di sekolah pilot. Nggak ada batasan usia
untuk sekolah pilot. Yang penting dapet CPL maka bisa kerja di airline.
Lagian juga, berita apa sih yang mau disampaikan Zaki sampai-sampai beritaku
harus duluan?
Zaki merenung mengambil keputusan. Belum juga dia mengatakan sesuatu, tiba-tiba
dari rumah Zaki muncul Zaenab, hanya mengenakan daster tipis yang saking
tipisnya aku bisa melihat puting payudaranya.
“Bebeb, ari panci anu—eeeh, ada si juragan!” Zaenab buru-buru
menyodorkan tangannya dan aku dimintanya mencium tangannya. “Baru datang, kamu téh?
Kenapa atuh nggak disuruh masuk?”
“Masuk, Bos?” Zaki mengedikkan kepalanya.
Sialan. Aku benci wanita ini.
“Ah, nggak usah, aku di sini aja.” Aku nyengir basa-basi ke arah Zaenab dan
cewek itupun membalasnya dengan cengiran terlalu tulus.
“Bebeb,” Zaenab kembali ke Zaki. “Panci anu bekas masak mieh semalem
téh disimpen di mana? Kenapa nggak ada di dapur?”
“Di belakang mungkin?”
“Oooh, yang konéng itu? Ooohh.. sugan téh Bebeb semalem pake yang
héjo!”
Zaenab pun masuk lagi ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di teras. Zaki
menoleh perlahan-lahan ke arahku, lalu dengan malu-malu mulai membuka mulutnya.
Awalnya dia ragu, apalagi dia melirik sekilas ke arahku, meyakinkan dirinya
sendiri. Tapi kemudian Zaki mengatakan juga maksudnya.
“Itu yang mau aku bilangin, Bos.”
“Apa? Soal Zaenab?” Aku menyipitkan mata. “Bukannya udah sering si Zaenab ke
sini?”
Zaki menarik napas dan mengumpulkan keberanian. “Aku mau nikah sama Zaenab,
Bos. Aku udah ngelamar dia kemarin.”
-XxX-
Tanganku masih gemetaran ketika aku tiba di rumah. Aku nggak percaya beginilah
rasanya patah hati. Well, aku nggak cinta-cinta banget sama Zaki, tapi
mendengar kabar tersebut membuat jantungku serasa ditusuk dan tubuhku
menggigil.
“Saya nggak mau bikin masa depan Bos jadi suram gara-gara saya,” ujar Zaki
beralasan. “Lebih baik saya nikah sekarang aja, biar saya tahu saya punya
tanggungan yang pasti. Lagipula saya sama Bos nggak akan pernah berhasil.”
Zaki terus saja mengoceh alasannya menikah dengan Zaenab, termasuk soal Zaenab
merupakan satu-satunya cewek yang mau hook up ama dia jutaan kali regardless
his tiny dick. Pikiranku melantur saat itu, aku bahkan nggak mendengarkan
keseluruhan alasan Zaki karena aku terlalu shock mendengarnya.
Kenapa semua mesti berakhir seperti ini? Kenapa semua harus terjadi seperti
ini? Mestinya kami berdua berpelukan, Zaki menjadi pacarku dan kami membahas
panjang lebar soal Dennis dan masa kecilnya. Aku bahkan belum menyebut-nyebut
soal Kila sampai aku pulang ke rumah. Itupun karena Zaenab menginterupsi kami
melulu, katanya mereka berdua mau pergi ketemu orangtuanya Zaenab di daerah
Antapani, mau ngebicarain soal perkawinan mereka, jadi Zaki nggak bisa bicara
lama-lama.
Dengan gontai aku masuk ke kamar dan menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Aku
lelah sekali dan badanku masih menggigil mendapati semua rencanaku nggak
berjalan dengan baik. Well, sekarang jelas sudah, nggak ada alasan lagi
Adam bilang hidupku perfect. I mean, salah satu cowok yang
sebetulnya bisa saja jadi pacarku sekarang mau menikah dengan seorang cewek.
Cewek kampung, to be exact. Aku masih nggak ngerti, kenapa harus Zaenab?
“Bang Dicky?”
Saat aku sedang asyik bergundah gulana di atas ranjangku, aku melihat Bang
Dicky lewat dari ruang tamu menuju ruang tengah. Aku yakin banget itu Bang
Dicky! Pintu kamarku terbuka lebar dan aku bisa melihat dengan jelas wajah Bang
Dicky barusan. Apa dia sudah memutuskan untuk kembali? Apakah
masalah-masalahnya sudah selesai?
Diubah terakhir kali oleh MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 2:16 am, total
pengubahan 1 kali.
Buru-buru aku turun dari ranjang dan menghambur ke ruang
tengah. Bang Dicky sedang berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kelihatan lebih
kurus dari belakang. Dan badannya menggigil. Dia menyeret-nyeret kakinya lalu
terjatuh lemas di depan pintu belakang. Aku berlari menghampirinya, bermaksud
membantunya berdiri, tapi begitu aku mencoba menyentuh lengannya...
... tanganku menembusnya.
Ini bukan Bang Dicky.
Ini residual energy.
Bang Dicky perlahan-lahan bangkit, menyeret kakinya ke halaman belakang,
bersembunyi di belakang workshop, lalu terduduk lesu. Aku mengikutinya
sampai dia berhenti. Bang Dicky tampak pucat. Banyak sekali bekas luka di
tubuhnya, beberapa bagian kausnya sobek. Meski Bang Dicky hanya sebuah
bayangan, tapi aku bisa melihat keringat di wajahnya. Dan tatapan ketakutan
itu. Tatapan yang sama yang terakhir kali kulihat di ruang tengah sebelum Bang
Dicky menghilang berminggu-minggu.
Bang Dicky kembali gemetaran, memeluk lututnya. Dia kelihatan seperti orang
gila. Cemas melihat ke sekitar, menggigil nggak keruan, menggemeretakkan
giginya. Badannya bergerak maju mundur, seperti anak kecil gugup yang
ketakutan.
“Bang Dicky?” panggilku perlahan. Which of course, sekeras apapun aku
berteriak, Bang Dicky nggak akan menoleh.
Bang Dicky menoleh ke arah rumah Granny, lalu ke tanaman anggur, sesekali ke langit
dan kembali ke rumah Granny. Dia seperti menunggu sesuatu. Dia pun seperti
sedang dikejar sesuatu.
Aku memerhatikan setiap inchi dari Bang Dicky. Dia kelihatan seperti remaja
akhir. Ada bekas jerawat di beberapa bagian wajahnya dan tubuhnya yang agak
kurus membuatku merasa miris. Pipinya nggak sepadat biasanya. Bang Dicky
kelihatan sangat... muda.
Dan rapuh.
“A Dicky!” seru seseorang dari rumah Granny. Aku menoleh dan melihat Kila
sedang berlari ke arah kami. Kila kelihatan lebih tua sekarang, tubuhnya
membesar dan lengan-lengannya lebih berisi. Dia juga kelihatan lebih fresh.
Dengan gaya rambut baru, kulit terang mulus, dan pakaian yang layak. Aku
menduga dia sudah sebelas tahun sekarang. Dua belas, lah. Masih kelihatan
seperti anak kecil, tapi jelas dia ‘tumbuh’.
“Dennis ilang, La...” desah Bang Dicky dengan cemas. Dia langsung menarik Kila
bersembunyi ke balik sesuatu apapun itu di masa lalu, yang jujur saja sekarang
tidak ada lagi kecuali semak-semak kecil di sekitarnya.
“Iya, aku udah tau, A,” bisik Kila. Bocah itu kelihatan ragu tapi akhirnya dia
mengatakan sesuatu, “Aku juga tau soal si Bapak.”
Bang Dicky mendelik ke arah Kila dan mengerutkan alisnya. “K-kamu tau apa?”
Bang Dicky terdengar panik.
Kila menelan ludah dan dengan takut memandang Bang Dicky. “Aku tau soal...
yah... apa yang Bang Dicky... lakuin, ke... si Bapak.” Kila menunduk dan
menggigit bibirnya. Bersiap jika Bang Dicky tiba-tiba marah padanya.
Tapi Bang Dicky hanya mematung ketakutan, napasnya memburu. Tanpa respon apa-apa.
Dia menatap Kila dengan tatapan kosong.
“J-jadi sekarang... kamu mau lapor... ke polisi...?”
Kila menggeleng mantap. “Nggak, A. Aku mah nggak akan laporin Aa ke
polisi.” Kila menunduk lagi. “Aku tau kok alasan Aa nge... ngng...” Zaki ragu
menyebutkan kata itu. “Yah itu, si bapak. Aku mah ngerti, A. Dan itu bukan
salah Aa, kok.”
“Tapi ngebunuh orang itu dosa, La!”
“Ah, kata Pak Kiyai juga kalo kita lagi posisinya kayak begitu, ngebunuh pun
jadi halal.” Kila tiba-tiba memeluk Bang Dicky. “Aa tenang aja, lah. Nggak usah
mikirin apa-apa.”
“T-tapi...” Bahu Bang Dicky berguncang, dia terisak-isak menangis.
“Sekarang Aa mah santai aja. Bentar lagi kayaknya polisi ke sini, sebab
udah banyak tetangga yang ngelihat jasad si Bapak. Kalo polisi datang...” Kila
menelan ludah. “Aku yang bakal bilang ke polisi kalo aku yang bunuh si Bapak.”
Bang Dicky mendongak. “Kamu tolol, ya?”
“Iya, A, mumpung aku tolol,” jawab Kila. “Lagian sayang pisan atuh kalo
Aa masuk penjara gara-gara si Bapak. Kata Nenek, kalo kita pernah dipenjara,
kita nggak bisa ngelamar kerja kemana-mana. Katanya juga nggak bisa kuliah di
kuliahan. Aa kan mau masuk kuliah sekarang.”
“Tapi kalo kamu masuk penjara—“
“Aku nggak peduli, A,” potong Kila. “Lagian aku mah kan udah nggak sekolah
lagi. Nggak ngaruh, lah. Sekolah juga nggak akan dapet ranking satu kayak
Dennis.”
Mereka berdua terdiam. Sementara aku gemetar mendengar informasi baru tersebut.
“Aa nggak usah khawatir,” bisik Kila. “Aku sayang Aa sama Dennis. Sekarang
Dennis udah ilang, nggak tau kabarnya gimana. Aku nggak mau kehilangan Aa juga.
Jadi biarlah aku aja yang ditangkep polisi, A. Aku mah ikhlas.”
Bang Dicky menggeleng. “Nggak, Kila, kamu nggak boleh gitu. Ini sama sekali
bukan kesalahan kamu. Lagian bulan depan kamu mau ke Amerika bareng keluarganya
Agas.”
“Aa aja yang ke Amerika. Aku mah nggak bisa Bahasa Inggris ah, A. Malu entar
ngomongnya gimana.”
“Nggak bisa...” Bang Dicky tetap menggelengkan kepala dan terisak-isak. “Kamu
nggak mesti nanggung ini semua.”
“Udah terlanjur, A...”
“Maksud kamu apa?”
Kila menarik napas. “Aku udah bilang sama Nenek kalo aku yang ngebunuh si
Bapak.”
Bang Dicky terpana. Bahunya kembali berguncang dan dia tampak tertekan.
“Sekarang Aa fokus aja nyari Dennis, biar aku aja yang ikut sama polisi entar.
Aku nggak takut kok ikut sama polisi.” Kila berdiri dan berjalan mundur. “Cari
Dennis ya A!”
Bang Dicky mendongak dan berteriak. “Zakila! Tunggu!”
Aku berlutut lemas di atas tanah, tak percaya dengan apa yang baru saja
kulihat. Bahuku berguncang. Mataku meleleh. Jadi beginikah yang terjadi selama
ini? Jadi sejauh inikah pengorbanan yang sudah dilakukan Zaki untuk semua orang
di sini? Jadi itukah yang dimaksud Granny cobaan yang besar?
Dadaku sesak dan napasku putus-putus. Sekelebat bayangan Zaki muncul di otakku.
Bagaimana dia kecewa ketika dia tahu bahwa aku nggak mungkin milih dia waktu di
perpus... Bagaimana dia kecewa ketika aku lebih memilih untuk mengejar Cazzo...
Bagaimana dia akhirnya terpaksa menikahi Zaenab... Wajah polos Zaki itu... Yang
selalu dengan jujur mengungkapkan apa yang dia inginkan... Yang dengan ikhlas
selalu mengalah...
Yang menggantikan Bang Dicky untuk masuk penjara?
Sekarang aku ingin mati. Benar-benar ingin mati. Kenapa aku harus menyakiti
hati banyak orang? Siapa lagi yang bakal jadi korbanku?
To Be Continued...
Fiuh! Akhirnya selesai juga. Meski meleset 2 jam dari perkiraan (dikirain bakal
finish jam 12 malem, eeeh, ga taunya sekarang udah jam setengah tiga), tapi
lega banget akhirnya chapter 9 udah terbit.
Semoga chapter ini bisa dinikmati layaknya chapter2 sebelumnya.
Mohon maaf kalau kurang menarik dibandingkan chapter2 dulu.
dan Mohon maklum kalo misal ceritanya ketebak, sebab ternyata sulit banget
reveal sebuah rahasia satu persatu tanpa menimbulkan kesan gampang ditebak. dan
saya masih belajar untuk jadi penulis yang karyanya ga gampang ditebak. jadi
mohon feedback-nya, supaya ke depannya bisa saya perbaiki lagi.
mohon maaf juga di beberapa post terakhir banyak kata yang mestinya dimiringin,
tapi ga saya miringin... kenapa? karena udah malem, Bos... Bro... udah ngantuk
dan sebagian besar yang mestinya dimiringin jadi missed.. hehe.. mohon maklum
yaa...
jangan lupa juga laporan dari pembaca2 saya yang tersayang soal:
- Mistype
- Mispell
- Grammar Error
- Plot Error (yang nggak nyambung dengan cerita sebelumnya)
- Distraction (hal2 yang mengganggu/mengganjal... tapi yang jelas bukan Esel,
yaa.. LOL)
Supaya saya bisa langsung edit dan evaluasi.
terima kasih yang sebesar2nya buat kalian semua karena masih mau juga baca
cerita saya yang panjang nggak ketulungan ini. di saat yang lain tampil simpel
di gay story-nya GIF, eeeeh saya malah tampil ala sinetron, panjang kesana
kemari...
sekali lagi. selamat menikmati.
Diubah terakhir kali oleh MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 2:32 am, total
pengubahan 2 kali.