Jumat, 25 Mei 2012

Fan Service


ONESHOOT HOT
Fan Service
By: Yanz
SINOPSIS: Juan adalah penyanyi yang sedang naik daun. Fansnya tersebar diseluruh negri, dari perempuan bahkan lelaki pun mengaguminya. WTH? Dia memiliki fans boy? Fans yang sangat fanatic bernama Alvin itu akhirnya mendapatkan fan service special dari Juan, apakah FS yang Alvin dapatkan?


*Alvin POV*
“KYAAAAA~” teriak para fans ketika melihat Juan (24 tahun) yang berprofesi sebagai penyanyi solo itu baru keluar dari gedung selesai menggelar konser. Terlihat dia sedang dilindungi oleh banyak pengawal karena fans begitu beringas ingin memeluk, mencubit bahkan mencakar dia yang membuatnya harus menyediakan banyak pengawal. Wajar saja, karena ketampanannya yang sangat menawan, rambut hitam kebiruan, kulit putih, tubuh tinggi dengan bahu bidang dan sorot mata tajamnya yang mencerminkan dia orang yang begitu cool.

Aku adalah salah satu fansnya haha, labil memang maklum umurku baru 16 tahun dan lagi udik-udiknya melihat artis kesukaanku ini. Dengan membawa spanduk pendukung Juan aku berdesakan disela-sela gerombolan para fans ganas, aku disikut, didorong, ditendang namun semangatku tidak goyah. Dengan semangat 45 aku menerjang kerumunan itu berharap bisa berpapasan langsung dengan Juan dan akhirnya dia ada di depan hidungku, meski dilingkari pengawal yang badannya besar-besar, aku berteriak, “Juan… Juan… Izinkan aku berfoto denganmu!” teriakku sekeras mungkin dan merayap di atas tubuh pengawal yang besar itu. Karena penampakanku telihat mengancam maka pengawal garang itu menyikutku dengan bringas hingga aku tersungkur.

“Aaaakkhh…” erangku dan tersungkur di lantai beton yang menghantam pipi, lutut dan tanganku. Sakit sekali, sehingga aku tidak bisa menahannya. Tatapanku mulai gelap, terlihat wajah tampan itu dengan panik mengguncang tubuhku namun aku benar-benar tidak bisa menahan sakitku hingga penglihatanku langsung gelap.


0o0o0

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, pening sekali. Haah… Sepertinya aku masih bermimpi? Segitu cintanya kah aku dengan Juan hingga aku memimpikannya? Waah dia tampan sekali, walau hanya mimpi namun aku sangat senang bisa melihat wajah Juan yang rasanya sangat jelas bagaikan kenyataan…

“Hm.. Kau sudah bangun ya fans bodoh?” kata suara itu sambil mengelus keningku.

“Ju-Juan?!!” tanyaku terkejut kemudian bangkit dari tidurku. Kulihat sekitar, terdapat ruangan yang indah, luas, dekorasi sangat modern karena dinding dan lantainya terbuat dari cermin. Aku sangat takjub dengan ruangan mewah ini namun aku lebih takjub ketika melihat wajah tampan yang ada di hadapanku ini.

“Hn… Ini aku. Tadi kau ditendang pengawalku hingga pingsan, aku merasa harus bertanggung jawab dan membawamu ke apartemenku.”

Mata biruku berbinar-binar, mulutku menganga lebar, tidak dapat berkata apapun seolah tidak percaya dengan apa yang aku lihat, “Kau sungguhan Juan?” tanyaku lagi yang kali ini mencubit pipiku.

Dia menatapku dingin kemudian membantu mencubit pipiku dengan keras, “Iya ini aku, sudah jelas bukan mimpi kan?” tanyanya dengan mendekatkan wajah denganku.

Wajahku sedikit merona karena wajahnya yang sangat dekat, posisi kami seolah akan berciuman sekarang, “Aw… Hahahaha! Ternyata ini sungguh kau! Boleh aku mengambil foto bersamamu?” tanyaku sambil merogoh kantongku dan mengambil kameraku. Kusodorkan dengannya kameraku dengan senyum penuh harap.

Dia menaikkan satu alisnya, “Hn…” gumamnya dingin yang membuat hatiku berteriak riang, hmm dia sungguh cool. Dia mengambil posisi duduk bersebelahan denganku mengarahkan kamera sambil menempelkan pipinya dengan pipiku, aku sedikit salting. Melirik ke arahnya dengan pandangan bodoh namun…

Krikk!

Dia malah memotret wajah bodohku tadi, “He-hei aku belum siap!” teriakku panik.

Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian naik lagi hingga tatapannya berhenti di leherku. Terlihat tonjolan di lehernya bergerak naik turun menandakan dia sedang menelan air liurnya. Apa yang dia fikirkan dengan tatapannya yang seolah ingin memangsaku itu?

“Kau ingin berfoto denganku lagi?” bisiknya dengan suara erotis sambil menempelkan bibirnya di kupingku. Wajahku merona namun mengangguk dengan semangat, “Tapi kau harus melakukan sesuatu dulu untukku.”

“APAPUN ITU PASTI AKU LAKUKAN!” kataku semangat dengan mata berbinar.

“Anything? Segitu fanatiknya kah kau denganku?” tanyanya dengan senyuman nakal. Aku kembali mengangguk semangat, “Bahkan jika aku memintamu berhubungan sex denganku?” lanjutnya.

Mataku membulat, mulutku menganga lebar, hanya diam. Tatapannya bertambah liar, dia berlutut di sisi pahaku, meletakkan dua tangannya di kedua sisi pahaku dan wajah kami berhadapan. Sangat dekat.

“Ku-kurasa tidak sejauh itu…” kataku ragu sambil memundurkan tubuhku.

Namun dia mencengkram bahuku, bibirnya kembali menempel di kupingku, “Katanya kau fansku? Sangat mencintaiku bukan? Karena kau fans yang special maka aku ingin sekali memberikanmu fan service yang belum tentu bisa didapatkan fans lain.”

Aku menelan air ludahku, aku memang sangat menyukainya namun fikiranku tidak sejauh itu, aku belum pernah having sex, dengan wanita pun belum pernah bahkan berciuman pun belum pernah! Aku masih polos 100%. Namun lidah basahnya menyentuh dauh telingaku yang membuatku memejamkan mataku karena rasanya yang… Waw! Geli, nyaman, dan wajahku benar-benar memerah.

“Pernah mendengar cinta pada pandangan pertama? Kurasa hanya kau yang mampu membuatku merasakannya. Aku ingin kau selalu bersamaku, bahkan wajahmu sekarang terlalu menggoda sehingga aku ingin ‘memakanmu’” katanya lagi kemudian memasukkan seluruh kupingku kedalam mulutnya. Aku yang merasakan sensasi yang luar biasa, hanya bisa mencengkram kerah bajunya.

“I-iya… Aku percaya itu Juan!” kataku yang masih memejamkan mata. Kemudian aku merasa ada benda hangat dan lembab menyentuh bibirku, mataku terbelalak ketika melihat kami berciuman…

BRUUK!

Tonjokan keras mendarat cantik di hidung mancungnya hingga dia terpental dari kasur, “Hei apa yang kau lakukan?!!!” teriaknya marah, hidungnya berdarah, “Bukankah kau mencintaiku? Tidak seharusnya kau bersikap begini terhadap idolamu!”

Aku gemetaran dan memegang bibirku, mataku juga berair. Kenapa aku menangis? Bodoh! Bukankah aku sangat menyukainya? Kenapa aku marah dia melakukan itu padaku… Bodoh sekali kau Alvin… Nikmati saja c’mon! “Ma-maaf… Aku hanya terkejut,” kataku gugup dan masih dengan air mata yang mengalir.

Tatapannya melunak, mungkin dia sadar telah melakukan hal yang salah padaku, “Maaf… Aku yang salah. Kau masih kecil tidak seharusnya aku begitu,” katanya bangkit kemudian mengusap rambutku, memeluk kepalaku di dada bidangnya.

“Ehehehe… Juan aku sangat senang bisa bertemu dengamu!” kataku sambil memeluk perutnya erat. Dia berlutut di kasur.

“Sudah jangan menangis… Lihat, betapa jeleknya kau sekarang dengan ingus yang meleleh.”

“Ehehehe…” aku menyengir lebar kemudian menyeka ingusku dengan tangan namun yang malah lengket dan tambah berantakan wajahku. Dia tidak dapat menahan tawanya saat melihat wajah ingusanku. Diambilnya selimut kemudian mengelap wajahku dengan lembut. Aku memiringkan kepalaku, menatapnya dengan tatapan polos…

Croott!!

Darah di hidungnya malah tambah muncrat, aku panik dan menangkup pipinya, “Ti-tidak apa-apa. Aku hanya tidak tahan melihat wajah polosmu yang begitu menggoda.”

Aku menatapnya sekilas, kemudian menutup mataku. Rupanya dia mengerti isyaratku sehingga dapat kurasakan benda lembab itu kembali mendarat di bibirku, kecupan yang ringan dan lembut yang bisa membuat dadaku serasa ingin meledak dan sangat menikmati ciumannya.

“Enghhh… Aaaaahh…” aku mendesah pelan saat tangannya meraba dadaku dan memilin nippleku dari balik baju.

“Eeemmhhh… Sssrpphh... Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhmu,” katanya sambil mencium dan menghisap leher dan daguku, dadaku benar-benar bergetar.

Dia membaringkan tubuhku ke kasur, “Ka-kau mau apa?” tanyaku gugup, dia menaiki tubuhku, memasukkan tangannya dalam bajuku dan kembali memilin nippleku, aku menggeliat.

“Aku ingin melakukan fan service yang aku janjikan, kau mau menerimanya kan?” katanya dengan cengiran mesum. Aku semakin gugup tapi rasanya sangat senang bisa sedekat ini dengan idolaku.

“Emmmhhh… Geli… Uuuuhh…” aku mendesah lagi, bibirnya menjelajah di leherku, menghisap leherku hingga meninggalkan bercak merah.

“Kau sangat imut,” katanya kemudian menghisap bibirku, sedangkan tangannya menggerayangi pahaku, aku begitu kegelian namun nyaman.

“Uuuhh… Emmmmhhhhh… A-aaaaahhhhh…” aku mendesah keras saat tangannya meremas penisku yang ada di balik celana jeansku, perlahan penisku membengkak.

“Kubuka ya?” bisiknya sexy kemudian menurunkan resletingku, membuang celanaku ke pinggir dan hanya menyisakan CDku. Aku sangat gugup, tapi aku sudah terjebak dengan kenikmatan yang sangat… uuh…

“I-iya… Aaaaahhh…” kataku terputus karena dia kembali meremas penisku.

Kami kembali berciuman dengan mesra, lidahnya bermain indah di mulutku yang membuatku menggeliat nikmat. Kutarik bajunya ke atas sebagai isyarat agar dia membuka bajunya dan dia pun membuka bajunya, menampakkan tubuh putih indah yang dihiasi perut yang six pack. Aku menelan ludah, tubuhnya sangat mengagumkan.

Dia menggesek-gesekkan kejantanannya dengan kejantananku yang membuatku semakin disengat gejolak nafsu. Lidahnya menjilat bibir ranumku, kemudian daguku, turun lagi ke leher jenjangku dia bertahan disana terlihat dari nafasnya yang memburu dia sangat menikmati leherku. Dia mengangkat bajuku sedikit, menghisap-hisap perutku di bawah sana sedangkan aku melepaskan bajuku. Bibirnya kembali naik ke atas, menjilat kedua dadaku secara bergantian sedangkan tangannya menggerayangi seluruh tubuhku.

“Aaaaah… Emmm… Aaaaaakkhh… Sakit, Oooooohhh…” erangku keras saat dia menggigit nippleku dan disaat bersamaan dia meremas penisku.

“Emmhhh… Ssssrrppphhh… Enak bukan?” tanyanya dengan senyuman liciknya itu.

Aku memejamkan mataku nikmat, tanganku meremas rambutnya sedangkan dia menghisap perut langsingku dengan penuh nafsu. Dia menatap penisku yang sudah menegang, tidak seberapa memang besarnya karena aku masih remaja tapi bukankah nanti akan tumbuh? “Emmmhhhh… Uuuuuuuhhh…” aku kembali mendesah ketika dia menciumi penisku dengan erotis di balik CDku namun cukup terasa nikmatnya.

Aku kembali menggerang keras saat dia mengigit pelan penisku yang membuat sensasi yang begitu nikmat, “Aaaaakkkkhhhh… Juan… Emmmhhhh… Ooooohhhh…” aku meremas rambutnya.

Dia menatapku, “Manis sekali~” katanya yang menciumi penisku sedangkan tangannya meremas testisku.

“Ja-jangaaan… Aaaaaakkkhhh…” erangku sambil meremas rambutnya.

“Hn?” gumamnya sambil menghisap penisku.

“Jangan hentikan uuuuuhhh… Terusss aaaaaakhhh…” desahku keras. Dia menarik CDku sehingga penisku mengacung tinggi, dia tersenyum mesum melihat penisku  yang kemerahan itu.

“Terlihat nikmat~” katanya kemudian menjilat ujung penisku, aku meremas spray keras.

“U-uuuhhhhhh…” dia mengocok penisku pelan namun dia berhenti, aku mengerutkan kening kesal.

Dia bangkit dan melepaskan celananya, terlihat penisnya yang besar, kokoh dan terlihat urat biru di penis bersihnya itu. Aku cukup shock karena ini kali pertama aku melihat kelamin orang lain, aku kalah besar.

Dia kembali menaiki tubuhku kemudian menggesek-gesekkan penisnya dengan penisku, “Aaaaaaahhh… Oooooooohh… Eummhhh…” aku mendesah nikmat atas sensasinya ditambah lagi dia menghisap-hisap leherku.

Dia kembali turun, menghisap paha mulusku penuh nafsu dan tangannya mengocok penisku dengan cepat, “Aaaahh… Ooooohh… Aaaaakhh… Enghhhh… Aaaaaakhhh…” erangku menikmati kocokannya.

Tangannya mencengkram penisku, aku gugup namun mulutnya mendekati ujung penisku dan menghisap-hisap lubang penisku. Wajahku benar-benar memerah sekarang.

“Ssssrrrppphh…. Srrrpphh…” terdengar suaranya sedang menghisap seluruh penisku penuh nafsu, aku menggerang hebat, aku juga tidak bisa menahan tubuhku yang ingin menggeliat.

“AAAAARRRGGHHH….” Aku semakin histeris merasakan dia menggila di bawah sana, hisapannya benar-benar liar. Entah dia yang professional atau aku yang tidak berpengalaman? Yang pasti sekarang tubuhku benar-benar… Aah… Baru kali ini aku merasakannya dan begitu fantastik. Kepalanya naik-turun dengan cepat, aku sudah tidak tahan…

“He-hei!!!” teriakku kesal saat dia melepaskan hisapannya.

“Kenapa? Kau kesal aku menghentikannya?” tanyanya dengan senyuman licik.

Aku menggembungkan pipiku, “Iya… Cepatlah! Jangan permainkan aku.”

“Memohon dulu untukkku!”

“Uhh… Lakukan lagi~”

“Lakukan apa?”

“Hei jangan mempermainkanku! Cepatlah lakukan, aku sangat menginginkannya!”

“Aku tidak suka diperintah. Memohonlah?”

“Uuuhh… Tolong hisap penisku lagi~”

“Aku tidak mendengarmu sayang~”

“TOLONG HISAP PENISKU LAGI!” dia tersenyum dan kembali turun, dihisapnya penisku dengan lebih bringas.
Rasanya sudah mau di ujung, aku benar-benar….

Croooottt… Crrooottt…. Crooott…

Penisku menyemprotkan banyak sperma yang kental karena sudah lama aku tidak mimpi basah. Tubuhku mengejang hebat, “Hn… Nikmat sekali~” katanya sambil menelan spermaku. Aku menatapnya ngeri.

Dia kembali menciumku, menggesek-gesekkan penis kerasnya ke penisku, “Uuuuuhh… Lelah sekali~”

“Lelah? Tapi tugasmu belum berakhir~” dia membuka selangkanganku lebar, menggesekkan penisnya ke lubangku.

“Uuuuhh… Jangan! Penismu besar, aku takut…”

Dia menciumi leherku, sehingga aku kembali horny dan menggeliat, “Jangan takut, aku akan melakukannya dengan penuh perasaan…”

Perlahan penisnya masuk, aku mencengkram kuat bahunya, “AAAAAAKKHHH! Aaaaahhhh tidaaak… Oooohhh sakit sekali Juan, tolong aaaaahhhh,” aku menggerang liar saat penis besarnya menerobos lubang sempitku. Sakit, benar-benar sakit. Namun dia menjilati wajahku, menatap wajah tampannya yang teramat aku kagumi aku kembali tenang walau erangan tetap saja tidak dapat aku tahan.

“Uuuuhh… Emmmh, tenang imut. Ini hanya sementara.”

Perlahan dia menarik penisnya, kemudian kembali menusuknya. Beberapa kali dia mengulanginya sampai gerakannya lebih cepat. Aku sedikit lega saat beberapa sodokan dia memberikan kenikmatan, aku melenguh nikmat seiring dengan pompaannya yang cepat. Penisku kembali tegang, dia menyadari itu dan kembali memijat penisku.

“AAAARRRGGHH!” aku kembali menggerang saat dia menusuk kasar lubangku, tusukannya semakin bringas. Dia hanya tersenyum menatap wajahku yang sangat menderita.

“Aaaahhh… Sempit sekali emmmmhh…”

Enjotannya semakin cepat seiring dengan kocokan penisku, aku hanya bisa meremas spray merasakan nikmat dan sakit yang luar biasa ini.

Crooottt…. Crrrooott… Crooottt…

Kami pun mencapai klimaks secara bersamaan, tubuh kami mengejang karena nikmat yang luar biasa. Dia merebahkan tubuhnya yang mengkilat karena dihiasi keringat, benar-benar sexy. Aku memiringkan tubuhku dan memeluk bahu kokohnya, “Hebat sekali…” bisikku sambil menempelkan bibirku di lehernya.

Dia menatapku lekat kemudian mengecup bibirku, “Thanks… Kau milikku selamanya. Mulai sekarang.”

Aku tersenyum bahagia, “Aku tidak menyangka ini…”

“Hn… Ngomong-ngomong… Siapa namamu?”

“APA??? Kita sudah melakukannya tapi kau tidak tau namaku? Aku Alvin!”

“Hn… Alvin, kau fan specialku maka kau harus selalu hadir disetiap konserku. Aku akan menjemputmu.”

Aku tersenyum lembut menatapnya. Hubungan antara fans dan idola bisa menjadi kekasih? Sungguh sebuah kebahagiaan buatku.

END

Maaf, lagi sakit yang lumayan parah otak mimin yanz malah omes. Habisnya bosan baringan saja sepanjang hari wueheheh mohon doanya ya? Oiya cerita ini terinspirasi dari mimpiku 3 hari lalu waw… aku akan terus meneliti mimpi dan kegiatanku karena selalu jadi ide mesum *nyengir mesum*

Thanks sudah baca. bagaimana? Komentar please, karena komentar kalian adalah nafas dan semangat admin yanz yang membuat yanz bertahan menulis detik ini, dan komentar kalian adalah penghargaan yang sangat berarti buat yanz.

Numpang promo FB: http://m.facebook.com/yanuar.cassielf/ berlangganan FBku please? Kalau ada keperluan kalian bisa menghubungiku langsung.


Reinkarnasi Salah Tubuh
Penulis: Yanz/ Ide: Robby Hendrawan
CATATAN: ini adalah sebuah fanfiction tentang boy band Indonesia. Fan artinya penggemar sedangkan fiction artinya karangan jadi fanfiction adalah karangan seorang penggemar terhadap idolanya, dan tolong jangan cekal aku gara2 cerita ini karena bukan hanya aku, banyak fans lain yang membuat fanfiction, mohon pengertiannya. Ini hanya fiksi semata, adapun kesamaan nama tolong jangan didramatisir cukup nikmati ceritanya.


*Xing POV*

“Haaah…” ini untuk kesekian kalinya aku menghela nafas panjang.
Aku hanya duduk di tangga sambil melihat si pirang itu, panggil saja dia Xander, adik kelasku yang memiliki tubuh lebih besar dariku, berambut pirang, berkulit putih, sangat cool, jauh lebih manly dariku. Aku menyukainya, sudah terlalu lama memendam perasaan terhadapnya namun tidak ada secuil pun keberanian yang muncul, tentu saja karena gender kami yang sama.

Di tangga aku menatap dia yang sedang seru memamerkan bakat dancenya, ditonton dan disoraki banyak orang membuatnya semakin bersemangat menggerakkan tubuhnya dengan lincah. Dia menyeka keringatnya kemudian menatapku yang duduk di kejauhan, rasanya seperti baru saja ada yang memanah hatiku, aku begitu gugup. Xander melambai ke arahku, karena takut salah orang akhirnya aku melihat ke belakang dan sekitarku namun tak ada satu pun orang. Aku mengarahkan jempol ke dadaku, Xander hanya tertawa dan kembali melambai, aku yang sadar ternyata lambaian itu untukku akhirnya membalas lambaian itu dan tersenyum dengan wajah yang bersemu.

Begitu saja aku sudah geer, payah kau Xing! Aku menggigit bibir bawahku, tidak bisa menahan senyuman bahagia, rasanya ingin melayang haaah…

“Sedang memperhatikan si pirang lagi? Kalau memang suka nyatakan saja,” kata sebuah suara yang ternyata berasal dari tangga di belakangku.

Aku sangat terkejut, rasanya dadaku sangat berdegup kencang bagaikan maling yang tertangkap basah, coba bayangkan posisiku sekarang. Dia orang baru yang masuk ke dalam kehidupanku, selalu mengikutiku diam-diam dan sangat tau apapun tentang aku padahal aku saja baru mengenalnya.

*Flashback*

Namaku Xing Hermina, aku siswa kelas XII SMA sekarang. Pagi itu aku bangun terlambat, mandi pun aku tidak sempat. Aku cuci muka, gosok gigi, pakai seragam dan tanpa sarapan aku langsung menyambar motorku.

Di depan gerbang aku berteriak-teriak pada pak satpam agar jangan ditutup dulu gerbangnya dan syukurlah walau sudah pukul 07:40 tapi beliau tetap memberikan kesempatan masuk. Dengan cepat aku berlari di lorong, tidak memperdulikan banyaknya guru yang memarahiku ataupun orang-orang yang kesal kutabrak aku tetap berlari, sedikit lagi sampai kelas namun…

BRUUK!

Aku langsung terduduk begitu dada bidang itu gagal kuterjang di persimpangan lorong kelas, “Kau tidak apa-apa?” tanya suara hangat itu sambil berjongkok di hadapanku.

“Tidak apa-apa, aaakkhh aku sudah telat! Permisi,” kataku pelan dan kembali ingin lari. Namun tangan kokoh itu menahan pinggang dan leherku, aku sangat terkejut. Kutolehkan wajah ternyata pemuda yang kutabrak tadi sedang membelengguku dalam pelukannya.

“Juliet…” bisiknya di kupingku dan hembusan nafasnya membuatku geli. Kesal karena dihambat aku pun menyikut perutnya dan kembali berlari ke kelas.

>>>>>>> 

“HOAAAH!” teriakku ketika sampai di dalam kelas, semua menatapku heran seolah aku makhluk aneh saja. Namun senyumku merekah dan bersorak riang ketika menyadari ternyata belum ada guru yang datang, aku tidak terlambat! Aku terus meloncat kegirangan yang membuat seisi kelas tertawa melihat kelakuan konyolku.

“Ehem…” deheman itu menyadarkanku kemudian membalikkan tubuh.

“Ka-kau tadi yang aku tabrak?”

“Silakan kembali ke tempat dudukmu nak.”

Aku pun duduk sesuai perintahnya. Siapa orang ini? Orang ini memang baru pertama kali aku temui tapi entah mengapa perasaanku mengatakan sepertinya aku pernah mengenalnya.

“Perkenalkan saya adalah guru TIK baru kalian, nama saya adalah Handi Morgan Winata. Namun kalian bisa memanggil saya Pak Morgan ataupun Kak Morgan karena umur saya masih 24 tahun. Cukup dari saya, ada yang perlu ditanyakan?”

“Kak Morgan, sudah punya pacar belum?” Tanya Anissa Chibi malu-malu.

“WUUUUU!” sontak semua bersorak karena pertanyaan tadi.

Morgan juga sedikit menahan senyum namun dia tetap mempertahankan ke-coolannya itu, “Sebenarnya ini pertanyaan yang tidak penting. Namun saya belum memiliki pacar.”

Semua gadis bersorak riang begitu mengetahui guru muda itu menjawab pertanyaan gak penting tadi. Kemudian dia mengapsen untuk menghafal nama tiap murid, dia kembali menatapku dalam-dalam saat memanggil namaku, ada apa ini..

>>>>>> 

Sepulang sekolah aku langsung merebahkan badanku yang lelah di kasur, sebelumnya kubuka jendela dengan lebar. Tapi aku kembali dikejutkan dengan pemandangan di jendela yang berseberangan dengan jendela tetangga sebelah yaitu seorang pemuda yang rasanya aku kenal sedang membuka bajunya dan membuat wajahku memerah.

“Hei kau Xing, rupanya kita bertetangga,” katanya memanggilku saat menyadari aku menghintipnya.

Aku langsung bersembunyi, tapi dia kembali memanggilku yang terpaksa membuatku keluar menatap jendela, “Iya Pak Morgan…” kataku lemas.

Dia tersenyum geli, “Sekarang kita ada di rumah, panggil saja aku Morgan tanpa embel-embel.”

Dia mengajakku mengobrol jadinya aku ke luar jendela, duduk di balkon dan dia pun menyebrang ke tempatku duduk. Kami berbincang-bincang namun anehnya dia tau banyak hal tentang aku bahkan dia tau kalau aku menyukai cowok WTH! Sebenarnya siapa dia? Kenapa begitu misterius dan pertemuan dengannya serba kebetulan? Dimana ada aku pasti dia selalu muncul secara mendadak dan membuatku terkejut.

*END FLASHBACK*

“Tidak semudah itu pak… Mana mungkin aku berani menyatakan cinta terlarang ini.”

“Hmm… Pengecut, apa salahnya mencoba?” katanya yang duduk di sampingku kemudian menarik hidungku.

“Bapak itu kan guru, harusnya tidak mendukung tindakanku kali ini!”

“Tapi kau muridku yang special, aku akan terus mendukungmu, melindungimu dan berada di sampingmu sampai kau mengingatnya.”

“Hah? Mengingat apa? Selalu itu yang kau katakan tapi tidak juga memberI tahuku mana aku ingat.”

“Nanti kau pasti akan ingat pada waktunya,” kata Morgan sambil bangkit, mengusap kepalaku pelan sebelum meninggalkanku.

Aku menatap Xander lekat-lekat, dia juga mulai berjalan mendekatiku, “Haah… Lelah sekali. Bagaimana penampilanku tadi Xing?” Tanya Xander yang duduk di sebelahku dan merangkul bahuku. Aku hanya terdiam dengan wajah pucat, “Kau pucat sekali, aku bau keringat ya? Hahaha sorry…” kata Xander sambil jaga jarak.

“Bukan begitu…” kataku terpotong.

“Lalu apa?” katanya dengan senyuman dan tangannya menarik daguku agar bertemu pandang. Aku sangat gugup.

“Boleh aku bicara sesuatu? Tapi bukan di sini. Di tempat lain yang lebih sepi?”

Xander mengangguk tanda dia setuju. Kami pun pergi ke kolam renang sekolah yang kemungkinan sepi saat jam pulang begini. Kami berdiri berhadapan di sisi kolam. Aku menelan air liurku, menyiapkan kata-kata untuk diucapkan nanti dan mentalku pun siap!

“Xander, sebenarnya aku sangat menyukaimu, mencintaimu! Sudah lama aku simpan, tapi baru kali ini aku berani,” kataku atau tepatnya teriakku sambil menunduk. Aku tidak berani melihat expresinya.

Dia mengangkat daguku, menemukan pandangan kami dan tatapannya sangat dingin. Kemudian dia menepuk bahuku dan mendekatkan wajah, “Jadi kau gay?” katanya dengan hidung kami yang bersentuhan.

Jantungku rasanya berhenti saat itu juga, mataku lari karena tidak dapat menatap matanya yang sangat dekat, “Aku…”

“Ah.. Ahhahahaha… Astaga! Pesonaku bukan hanya memikat wanita tapi pria pun terpikat hahaha… Tapi aku bukan gay dan tentu saja kita tidak mungkin menyukaimu,” katanya dengan tawa mengejek.

Kreakk… Rasanya jantungku robek detik itu juga, mataku berkaca-kaca namun aku berusaha menipu wajahku, “Ahahaha… Tentu saja kau normal, aku pun normal! Aku cuma mengetesmu!”

“Tapi tadi wajahmu memerah dan kau sangat gugup?” tanyanya menyindir.

Aku terus tertawa sampai tidak sadar kalau air mataku menetes, aku bingung bagaimana menyembunyikan wajah bodohku sehingga aku nekat jalan mundur walau aku tau di belakangku ada kolam, walau aku tau aku tidak bisa berenang. Tapi demi harga diriku, aku tidak boleh ketahuan menangis.

BRUUSSSHHH

Tubuh mungilku terjatuh dalam kolam, aku yang merasa sesak karena terminum air mencoba mengapung tapi tidak bisa. pandanganku gelap, rasanya sakit sekali aku tidak bisa bernafas. Namun aku merasakan tangan hangat menarik pinggangku sebelum kesadaranku hilang. Aku bisa merasakan udara kembali namun nafasku masih sesak. Aku merasa ada yang menekan dadaku kemudian meniup-niup mulutku, setelah kubuka mata ternyata XANDER! Wajahku langsung merah sekali.

“Bodoh… Harusnya kau lebih hati-hati, aku sangat khawatir tadi,” kata Xander dengan manarik hidungku.

Aku memandangnya sayu, tanpa bicara aku langsung bangkit dan meninggalkannya, “Kita masih teman kan Xing? Maaf kalau aku mengecewakanmu, tapi aku mau kita hanya berteman. Aku menyayangimu sebagai teman, kuharap kau tidak sakit hati dan bisa menemukan yang lebih baik dariku. Aku menerimamu apa adanya, tetepalah jadi temanku.”

Aku tidak bisa lagi menahan derasnya air mataku tapi bisa disamarkan dengan wajahku yang basah, aku menoleh, “Thanks Xander. Kita teman,” kataku saat menoleh dan tersenyum pahit. Dia berlari mendekatiku, memelukku sangat erat yang membuat perasaan sakit dan gugup bercampur menjadi satu.

>>>>>>>> 

Sesampainya di rumah aku langsung menghempas tubuh ke kasur, membiarkan bantal menelan wajahku. Aku terhisak di atas bantal, benar-benar memalukan. Aku tau kalau aku akan ditolak, tapi ternyata mentalku belum cukup kuat, sakit sekali! Dan aku masih bersyukur Xander tidak menjauhiku dan bahkan memohon agar aku tidak menjauhinya tapi tetap saja… Haaah… Sudahlah Xing, paling tidak aku tidak penasaran lagi.

Tok.. Tok..

Aku mendengar suara jendela diketuk, kuangkat wajahku dan menyeka wajahku.

“Ada apa Morgan?” tanyaku dengan tatapan sayu sambil membuka jendela.

Dia masuk, menatapku dengan tatapan dingin tanpa banyak bicara dia menarik tengkukku dan melumat bibirku. Aku sangat terkejut dan..

BUK!

Bogem mentahku mendara di perutnya, dia langsung meringis, “Ukhh… Kau ganas sekali!” katanya kembali menarik tengkukku namun aku tahan dadanya dengan tangan, “Kenapa menangis? Ternyata firasat burukku benar Juliet.”

“Kau bicara apa sih Pak Morgan!” kataku sambil menatapnya takut.

“Dari jauh aku mencarimu, aku mendapat petunjuk kalau jiwamu adalah jiwa Juliet dan aku pemilik jiwa Romeo. Kau mungkin menganggapku gila, tapi aku benar-benar merasakan kehadiranmu Juliet. Meskipun kenyataannya kau bereinkarnasi di tubuh yang salah, namun meskipun tubuhmu pria aku tetap mencintaimu.”

“Gila! Kau gila! Hissshh… sudahlah.. Morgan, keluar dari kamarku!” kataku sambil mendorongnya. Dia berusaha mengetuk jendela tapi aku hanya membelakanginya dan mengusap hidungku yang merah.

Dia benar-benar gila, bagaimana bisa dia bilang aku ini reinkarnasi Juliet? Adanya reinkarnasi pun belum jelas adanya. Tapi aku kembali merenung, sepertinya aku pernah mengenalnya? Aahh gak mungkin!

>>>>>>>>>>> 

Di sekolah, tetap menjalani hari seperti biasa berkumpul dengan Xander, Andi, Val, Thomas, Alex dan Nicko. Xander bersikap seperti biasa dan tetap ramah tapi tetap saja aku galau dan lesu.

Seharian aku habiskan dengan kegalauan hingga akhirnya jam pulang pun tiba, saat aku mau ke parkiran malah sakit perut dan terpaksa ke toilet. Aku kembali menangis di toilet, Tuhaaan kenapa aku secengeng ini! Aaaah aku begitu menyukai Xander!

Selesai dari toilet aku pun kembali ke parkiran namun tiba-tiba hujan lebat, aku lihat sekitar begitu sepi semuanya telah pulang. Haaah… harus menunggu hujan reda sendirian. Aku pun melipat tangan di dada namun ada yang meletakkan jaket di bahuku, “Pak Morgan…” desisku.

“Menunggu hujan reda juga rupanya. Hmmm… Dingin ya?”

“Eumm… Iya pak.”

Namun kilat dan petir nyaring menyambar yang membuatku reflek memeluk Morgan, “Ughh…” aku memeluknya erat karena petir tidak juga berhenti. Tiba-tiba perasaanku seperti ditarik sesuatu, seperti ada yang membawa ingatanku ke suatu tempat, kulihat sepasang kekasih di pikiranku dan tiba-tiba… Aku ingat! Aku sangat ingat moment itu, aku…. Aku pernah mengalaminya.

“Kau sudah mengingatnya?” kata Morgan menarik daguku ke atas.

“I-iya… Ini sangat aneh, tapi aku sudah ingat masa lalu kita,” kataku pelan. Tiba-tiba saja wajahku memerah saat menghirup aroma tubuhnya, jantungku sangat berdebar.

“Thanks Xing, aku akan menerima ragamu sebagai Xing tapi jiwamu tetaplah kekasihku di masa lalu,” katanya sambil mendekatkan wajah. Jantungku semakin berdegup kencang, dapat kurasakan nafasnya yang mendekat, kupejamkan mata dan bibir hangat dan lembab itu menyentuh bibirku dengan lembut..

Akulah Juliet yang memasuki raga yang salah..

END

Jelek ya? Gak ada nyawanya kan nih cerita? Heu heuuu… maaf yanz imut lagi sakit dan kurang mood makanya jelek, tapi karena sakit dan kurang kerjaan mending ngetik cerita! Tolong konkrit ya? Kritik dan saran membangun, flame pun aku terima yang penting KOMENTAR! XD

Catatan kecil kalau aku bukan smashblast Cuma aku lumayan mengagumi ketampanan Morgan, hanya MORGAN! Selain itu aku suka semua personil FAME! Bagaimana dengan kalian?

Thanks sudah baca. bagaimana? Komentar please, karena komentar kalian adalah nafas dan semangat admin yanz yang membuat yanz bertahan menulis detik ini, dan komentar kalian adalah penghargaan yang sangat berarti buat yanz.

Numpang promo FB: http://m.facebook.com/yanuar.cassielf/ berlangganan FBku please? Kalau ada keperluan kalian bisa menghubungiku langsung.



Senin, 21 Mei 2012

KADANG CUPID TUH TOLOL 9


Part 61
By Mario


“Bukan itu, Kakak. Bukan hal-hal heboh yang... seheboh itu. Nggak perlu se-Indonesia. Sekomplek ini aja.”
“Tentang komplek ini?” Jeng Nunuk mengingat-ingat lagi. “Sebetulnya sebelum Nike Ardila meninggal, dia dikabarkan lewat komplek ini sebelumnya.”
Siapa pula itu Nike Ardila?

“Bukan tentang orang lain, tapi tentang Granny. Apa ada yang heboh terjadi di keluarga Granny?” seruku, frustasi karena Jeng Nunuk nggak ngerti juga. Padahal di awal aku sudah menyampaikannya dengan jelas!

Telinga Jeng Nunuk memerah waktu aku menyebut nama Granny. Kelihatannya dia nggak suka aku membahas tentang Granny. Kelihatannya dia pikir aku benar-benar ingin sembuh dari gay waktu aku meminta dia ketemuan. Tapi Jeng Nunuk kemudian melirik-lirik panik ke arahku, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.

“Pasti ada sesuatu, kan?” desakku.

Jeng Nunuk menelan ludah. Mendelik sekali lagi ke arahku, bimbang antara menceritakannya atau tetap diam. Aku melihat tangannya gemetaran dan gugup. Berkali-kali dia menggosok tangannya, seolah apa yang barusan kutanyakan adalah rahasia besar FBI.

“Yah, ada beberapa hal sih...”
“Nah, itu!” sahutku bersemangat. “Apa itu?”
“Tapi Kakak mestinya nggak nyeritain ini. Nanti Allya marah.”
For God’s sake, you two are fighting right now! Kenapa masih mikir kalo Granny bakal marah? It won’t make any difference!”

Jeng Nunuk masih ragu. “Ini sebenernya topik sensitif. Sampe sekarang Kakak juga masih nyelidikin apa yang terjadi.”
“Nyelidikin?” ulangku. “Apa maksudnya?”
“Ya, nyelidikin. Investigasi. Kayak FBI itu.”
“Emangnya apa yang mau diselidikin?”

Jeng Nunuk menelan ludah. “Kakak lagi nyelidikin...” Kepalanya lalu mendekat, berbisik, seolah di sekitar kami sedang ada mata-mata dan kami harus bicara sepelan ini supaya nggak ketahuan. “... sebuah misteri.”
“Misteri apa?”
“Ya sebuah misteri. Kakak nggak tahu misteri apa. Kalo Kakak tahu misterinya apa, berarti bukan misteri lagi,dong?”

“Maksudnya, hal apa yang diselidikin ini? Pasti ada alasannya dong sampe ‘misteri’ itu muncul?”
“Oooh, tentunya. Ini tentang kematian tukang kebunnya Allya, Pak Darmo. Polisi sih udah nganggap kasus ini ditutup, tapi Kakak belum. Kakak masih yakin ada yang nggak beres sama kasus ini. Kamu tau Pak Darmo, Gas?”

“Ya, sedikit. Makanya aku di sini mau nanyain juga. Lanjut, Kak...”

“Waktu Kakak pertama kali pindah ke sini, ada kasus heboh. Tukang kebunnya Allya meninggal tragis di belakang rumah Allya. Kakak sih belum kenal deket sama Allya, tapi gara-gara kasus itu Kakak jadi sering datang ke rumah Allya, bareng-bareng The Jandaz yang lain, waktu itu clique ini baru terbentuk.”

Clique? Astaga, memangnya mereka anak SMA?!

“Ada satu orang yang sempet jadi tersangka. Dia juga sempet dipenjara. Tapi karena masih dibawah umur, dia nggak dihukum terlalu lama dan malah akhirnya diketahui bahwa pembunuhan itu sifatnya pertahanan diri, bukan pembunuhan berencana. Kamu tahu lah siapa orangnya.”

Bang Dicky? batinku.
Aku agak terkejut mendengar cerita tersebut. Apakah itu artinya Bang Dicky pernah dipenjara semasa kecilnya?

“Nah, yang Kakak heranin, kenapa anak itu masih diterima di rumahnya Allya? Kenapa malah dibesarkan sampai sekarang dan dikasih ini itu dan malah dijadiin suruhan? Kalau Kakak sih bakal usir anak itu karena udah bunuh tukang kebun Kakak, tapi Allya malah sayang sama anak itu.”

Setengah hati aku mendengarkan cerita dari Jeng Nunuk. Sejak aku menyadari bahwa Bang Dicky pernah dipenjara, pikiranku langsung buyar. Aku langsung membayangkan Bang Dicky meringkuk di balik teralis besi, dalam gelap, kedinginan dan kelaparan, lalu disiksa oleh teman satu selnya... lalu mungkin setiap hari memecah batu dengan kaki terikat bola besi. I mean, sebelum zaman Millenium, bisa jadi penjara macam begitu masih eksis, kan?

“Di situlah misterinya muncul. Kakak curiga sebetulnya Allya yang bunuh Pak Darmo.”
“Apa?”
Jeng Nunuk manggut-manggut mantap. “Kamu pikir dong secara logika, Gas. Tukang kebun kamu dibunuh sama anak kecil, anak itu jadi tersangka dan dipenjara, dan begitu keluar langsung kamu terima lagi di rumah kamu? Gimana kalo anak itu jadi anak liar? Gimana kalo dia disodomi di penjara dan jadi bandar narkoba?”

Bang Dicky jadi anak liar?
Aku nggak sanggup membayangkannya, tapi melihat apa yang Bang Dicky lakukan di Cimahi kemarin... well, memang dia jadi anak liar. Tapi aku menganggap dia frustasi. Apapun itu yang terjadi di masa lalu, seiyanya benar Bang Dicky membunuh Pak Darmo, aku percaya itu karena pertahanan diri. Nggak mungkin Bang Dicky jadi anak durhaka yang dengan dinginnya membunuh ayahnya sendiri. Pasti ada alasan di balik itu semua.

“Bisa jadi Allya pengen nyingkirin tukang kebun itu,” lanjut Jeng Nunuk. “Bisa jadi karena tukang kebun itu jelek atau minta gaji tinggi atau apa gitu, maka dia suruh anak-anak itu ngebunuh biar si Allya nggak dipenjara. Lagipula anak-anak pasti kebal penjara,kan? Anak-anak dibawah umur biasanya susah masuk penjara. Rencana si Allya ini emang brilian.”

“Buat apa Granny bunuh tukang kebunnya sendiri?!” tukasku. “Itu nggak masuk akal.”
“Itu masuk akal,” sahut Jeng Nunuk dengan nada bijak. “Maka dari itu Kakak sampe sekarang masih mencari tahu misteri di balik matinya si tukang kebun. Kakak malah namain ini: The Garden People Die Project.”

“Jadi itu alasannya Kakak sama Esel masuk ke rumah kami waktu Granny ke Jakarta?”
Jeng Nunuk menyeringai malu. “Hehe...” desahnya. “Y-yaa... salah satunya sih itu. Tapi Kakak juga penasaran sama kuntilanak itu, kok. Malah, bisa jadi kuntilanak itu tuh hantu gentayangannya Pak Darmo. Ini masuk akal, kan?”

Aku terdiam dan terpana mendengar apa yang dikatakan Jeng Nunuk. Otakku terlalu kaget menerima informasi baru itu. Apakah yang dikatakan Jeng Nunuk benar? Ataukah dia hanya ingin menjelek-jelekkan Granny saja di depanku? I mean, mereka berdua kan sedang bermusuhan.

“Jadi, Agas,” lanjut Jeng Nunuk, “kira-kira kamu mau ikut seminar yang mana? Kakak bisa bantu pilih yang bagus, lho.”

-XxX-

Ketika aku tiba di rumah, ada banyak motor matic parkir di carport kami. Pasti Granny sudah berkumpul bareng girlband Sweet Strawberry-nya. Ingar bingar musik juga membahana dari dalam rumah. Tapi untung ketika aku masuk, nggak ada sofa yang dipinggirkan atau rombongan nenek-nenek yang sedang latihan menari.
... One-two-three-four!


Lalu terdengar intro musik yang nge-beat dan Granny bersama Sweet Strawberry sudah berdiri di ruang tengah, menggenggam microphone beserta selembar kertas.
I want youuu...
I need youuu...
I love youuu...
Di dalam benakku..
Keras berbunyi irama myu-u-ji-i-ku..
Heavy... Rotation...


Mereka semua lalu bertukar posisi. Berpose genit dan berputar-putar. Berlari crossing satu sama lain, melompat seperti balerina, dan berputar lagi. Finally, Granny maju ke depan dan mulai menyanyi solo.
... Seperti popcorn...
Yang meletup-letup...
Kata-kata suka menari-nari...


“Agas sini!” panggil Granny di tengah nyanyiannya.
... Wajahmu suaramu...
Selalu kuingat...
Membuatku menjadi tergila-gila...


Lalu mereka semua maju dan menyanyi bersama.
... Oooh, senangnya miliki prasaan ini...
Ku sangaaat...
Merasa beruntung...


Astaga.
... I want youuu...
I need youuu...
I love youuu...
Bertemu denganmu...
Semakin dekat jarak di antara kita...
Maximum High Tension...


Aku duduk di sofa dan menonton mereka menyanyi. Sepanjang lagu aku geleng-geleng kepala. Jelas banget mereka kalah telak. Pertama, nama Sweet Strawberry udah pertanda kekalahan mutlak. Kedua, song selection-nya nggak se-chic pilihan Itchy Bitchy. Gimana caranya Granny bisa menang?

“Gimana, Sayank?” tanya Granny ketika lagu sudah selesai dan semua anggota Sweet Strawberry langsung mengambil segelas punch di meja makan. “Kita emang belum pake koreo, tapi yang penting kita tahu konsepnya apa.”

For God’s sake, Granny. Itu lagu Pocari Sweat!” seruku.
“Itu emang soundtrack-nya, Darling. Tapi itu lagu JKT48. Lagunya nge-beat dan asyik. Dan semua orang tahu lagu itu.”
“Tapi Jeng Nunuk lagunya lebih bagus lagi! Mereka pake lagu Girls Generation yang English version!”

Granny menatapku dengan heran. Oh, sial. Aku keceplosan.
“Dari mana kamu tahu lagunya si Nunuk Blekuk?”
“Eh... kebetulan, tadi waktu pergi ke warung, kan lewat rumah Jeng Nunuk. Aku denger mereka nyetel lagu ini keras-keras. Kayaknya mereka lagi latihan koreonya.”

Granny terperangah kaget. “Mereka udah latihan koreonya?!” Buru-buru Granny menghampiri anggota Sweet Strawberry yang lain dan menyerukan sesuatu. Semua nenek-nenek itu menjerit panik, seolah kami sedang mengalami gempa bumi atau gunung meletus. Semuanya beringsutan mencari tas masing-masing, meraih kunci motor, dan mencuri kue-kue tradisional warna hijau yang di atasnya ditaburi kelapa ke dalam tas mereka, lalu serombongan nenek-nenek itu keluar dari rumah Granny.

“Kita mesti cepet-cepet pergi ke studio! Latihan koreo! Kurang ajar si Nunuk Blekuk itu! Dia udah curi start!” jerit Granny.

Curi start? Bukankah kompetisinya sudah dimulai sejak semalam? Bagian mananya yang curi start?

“Granny mau ke mana?”
“Nenek mau ke daerah Dago sayang, ke tempat latihannya Wannabe Dancer. Katanya Jeng Imas kenal sama si Gege, dancer terkenal dari Bandung itu. Nenek tadi pagi emang udah booking dia buat ngasih koreo Sweet Strawberry. Sekarang kita mau latihan tari ama dia. Kamu mau ikut, Sayank?”
“Nggak, ah! Ngapain? Aku mau jaga rumah.”

Granny manggut-manggut nggak peduli. Dia sudah setengah jalan menuju teras depan. “Jangan lupa angkatin jemuran, ya!”
“Emang Bang Zaki ke mana?” teriakku.
“Kerja! Seperti biasa! Jaga rumah, Darling!”

Rrrrrmmmm... Rrrrmmmm...!!


Dan sekumpulan nenek-nenek itupun lenyap berombongan menaiki motor matic cantik mereka, seperti mafia yang hendak menyerbu suatu lokasi. Salah satu dari mereka bahkan ada yang membawa bendera warna biru, tulisannya: Wasit Goblog!

Aku menepuk dahi dan geleng-geleng kepala dari teras depan. Kututup pintu dan mencoba melupakan betapa gilanya nenek yang kumiliki. Aku penasaran, di dunia ini ada berapa cucu yang memiliki nenek periang macam Granny? Tentunya banyak, betul. I mean, Granny dan teman-temannya saja jumlahnya sudah sepuluh. Berarti ada puluhan cucu yang pusing dengan tingkah laku nenek mereka.

Aku mengambil segelas punch dan membawanya ke teras belakang. Aku duduk di atas sofa rotan yang semalam digunakan Zaki dan Granny untuk mengobrol. Dari sini aku bisa melihat banyak tanaman anggur merambat meliliti rangka bambu, dan di balik tetumbuhan itu, aku bisa melihat workshop tempat Bang Dicky biasa membuat frames.

Hmmh, Bang Dicky.
Aku masih nggak percaya Bang Dicky pernah dipenjara. Bahkan mungkin saja direhabilitasi, karena semalam aku denger banget Granny nyebut soal rehabilitasi, tapi karena aku terlalu shock di rumah Jeng Nunuk tadi, aku lupa menanyakannya.

Sekelam itukah masa lalu Bang Dicky? Itukah alasannya dia selalu tampak aneh? Tampak gemetar, ketakutan, seperti seseorang yang seumur hidup mengalami trauma. Pantas saja Lita nggak mau nikah sama Bang Dicky, mungkin sebetulnya dia sudah tahu masa lalu Bang Dicky yang kelam dan kotor... oke, berlebihan disebut kotor, mengingat aku sama sekali belum tahu alasan Bang Dicky membunuh Pak Darmo itu apa.

Masa gara-gara diperkosa ayahnya sendiri?

Sejak aku sering melihat residual energy di rumah ini, aku sampai pada suatu kesimpulan, bahwa bisa jadi Bang Dicky membunuh Pak Darmo karena sering diperkosa ayahnya tersebut. I mean, aku nyaris melihat “perbuatannya” itu, kan di kamar terlarang? Emang sih, aku belum melihat dengan pasti “perbuatan” apa yang terjadi, tapi ciri-cirinya jelas banget. Kalau seseorang mengoyak celana orang lain sampai merobek-robeknya, pasti itu maksudnya pemerkosaan.

Tapi apakah aku yakin anak kecil topless itu Bang Dicky? Jujur aja, kedua bocah residual energy itu nggak mirip sama sekali dengan Bang Dicky. Aku memang merasa pernah melihat mereka, mungkin matanya mirip dengan mata siapa gitu, tapi aku nggak ingat pernah melihatnya di mana. Bocah-bocah itu terlalu muda. Masih tujuh atau delapan tahun, jadi kalau sekarang mereka berusia dua puluh delapan tahun seperti Bang Dicky, ciri-cirinya bakalan hilang.

“Dicky... Dicky...!”

Tiba-tiba kudengar sebuah suara dari arah workshop. Suaranya sayup-sayup. Sangat keciiilll. Seperti suara seseorang yang berteriak dari jarak satu kilometer. Tapi jelas banget aku mendengarnya.

“Dickyy...! Dickyyy!!”

Suara itu diiringi dengan ketukan-ketukan di kayu tapi aku nggak bisa menentukan di mana tepatnya suara itu berasal. Mungkin ini residual energy lain yang muncul di rumah ini. Jarang-jarang kan aku dapat residual energy di halaman belakang? Ya Tuhan, sepertinya aku mesti sering-sering keliling rumah Granny untuk mencari semua residual energy yang muncul akhir-akhir ini.

Bello bilang kejadian ini berulang setiap tahun pada tanggal dan bulan yang sama. Dan parahnya, pada jam yang sama. Hanya terjadi sekitar dua mingguan saja. Kadang sampai satu bulan. Aku percaya bahwa semua residual energy ini merupakan petunjuk akan sesuatu.

“Dickkyyy...!!”

Suara itu muncul lagi. Memanggil-manggil nama Bang Dicky. Aku bangkit dari sofa dan langsung mengenakan sandalku. Kutelusuri rangka bambu tanaman anggur dan mencari di semak-semak. Semakin aku dekat dengan workshop, semakin jelas suara itu terdengar. Tapi aku nggak bisa menemukan residual energy apapun di sini. Hanya ada suara sayup-sayup nama Bang Dicky dipanggil, tapi suara itu pun terdengar lemah, seperti tenggelam dalam sesuatu, dan nggak ada satupun visualisasinya.

Bukan berarti aku sekarang berani menghadapi hantu. Hanya karena keseringan melihat sosok residual energy kedua bocah itu, aku jadi terbiasa. Ditambah lagi Bello juga masih sering berpenampilan seperti kuntilanak. Makanya lama kelamaan aku sudah terbiasa melihat sosok hantu. Bahkan mungkin jika mata batinku dibuka, aku sudah siap melihat dunia lain.

Tapi bukan berarti aku menginginkan mata batinku dibuka, ya.

Hihihi...” Tiba-tiba kudengar suara cekikikan anak kecil dari arah lain. “Jangan ngumpet di situ, Ki! Entar ketahuan!”
“Nggak apa-apa! Aku mah udah ketutupan sama pohon jambu!”

Pohon jambu? Secepat kilat aku meneliti halaman belakang rumah Granny. Yang mana di antara jutaan vegetasi di sini yang merupakan pohon jambu? Kenapa sih halaman belakang Granny nggak kayak Jeng Nunuk aja? Di sini terlalu banyak jenis tumbuhan.

“Kata kamu pohon belimbing ini aman, nggak?”
“Aman, lah, aman. Nggak akan ketahuan.”
Lalu mereka pun tergelak bersama.

Tunggu.
Mereka kedengarannya sedang bersembunyi. Tapi kenapa mereka tertawa-tawa?
Bukankah akhir-akhir ini mereka bersembunyi sambil ketakutan dan menangis?

Tiba-tiba aku melihat Granny muncul dari pintu belakang. Dia mengenakan dress tanpa lengan yang panjangnya selutut. Dress itu bercorak bunga-bunga besar dan agak ketat di bagian pinggangnya. Granny bahkan kelihatan lebih fresh dengan rambut lurus diurai dan keriput yang nggak terlalu banyak seperti sepuluh menit lalu. Di tangannya ada dua cone ice cream rasa vanilla dan cokelat.

Granny berjalan menghampiriku. Berdiri tepat di hadapanku tapi matanya melirik ke sana kemari.
“Granny! Kenapa udah balik lagi? Ada yang ketinggalan?” tanyaku. “Dan kapan Granny ganti baju? Rambut Granny juga jadi lurus! Emangnya tadi ke salon, ya? Katanya mau latihan koreo!”
“Anak-anak!” panggil Granny.
“Granny?”

Memangnya Granny nggak melihat aku di hadapannya? Kenapa dia dari tadi menoleh ke sana kemari.

“Granny... hello... can you see me?” Aku melambaikan tanganku di depan wajahnya. “Itu eskrim buat aku?”
“Anak-anak!” panggilnya lagi.

Tunggu... masa sih, Granny...

“Kalo nggak keluar juga, es krimnya nggak jadi dikasihin nih!” Granny mengacungkan kedua cone eskrim itu. “Ini Indoeskrim Meiji, lho! Yang bentuknya Monas itu. Yang iklannya Rano Karno!”
Seorang bocah tiba-tiba muncul dari bawah rangka tanaman anggur. “Mauuuu!” pekiknya sambil berlari ke arah Granny. Dia langsung merebut es krim itu dan menjilatinya dengan puas.

Bocah itu si tukang nangis berbaju Power Ranger.

“Iiih, curang!” Tiba-tiba si anak topless muncul dari bawah semak-semak dekat workshop. “Nenek ngerayu pake eskrim segala!”
“Ah, tapi kamunya juga mau, kan?” Granny tertawa. “Udah sini kamu, makan aja es krimnya. Kita udahan dulu main petak umpetnya. Itu anak Nenek udah datang, kalian sapa dulu mereka.”
“Yang punya bayi itu?”
“Iya, yang punya bayi itu.”

“Baju Nenek baru ya?” tanya anak berbaju Power Ranger.
“Iya dong Sayang, ini Baju Tersanjung. Tadi Nenek kan ke Pasar Baru dulu. Oh, Nenek juga beli Topi Tersayang buat kalian!”
“Aku topinya Dion! Cup!” klaim anak topless.
“Jadi aku dapetnya topi si Mayang?” Anak berbaju Power Ranger menyipitkan mata. “Nggak bisa! Aku duluan ya Kila!” Anak itu pun berlari ke arah rumah, menjerit-jerit takut dikejar, mendului si anak topless yang sedang sibuk membuka tutup plastik eskrimnya.

“Udah, ayo kita masuk!” sahut Granny sambil tergelak.

Tunggu.
Nggak mungkin kan ini fenomena residual energy?
Kenapa ada Granny?
Kenapa Granny bisa menjadi fenomena residual energy?!
Granny kan masih hidup!

-XxX-

Part 62
By Mario


Oh, ternyata yang masih hidup pun masih bisa menjadi residual energy. Mungkin untuk alasan-alasan khusus, entahlah. Intinya kan residual energy adalah rekaman aktifitas manusia yang terjadi di masa lalu, yang direkam oleh objek-objek di sekitarnya, yang kemudian diulang lagi di masa depan dengan bentuk dan format yang sama. Granny kan termasuk manusia masa lalu dan masa sekarang, jadi wajar dia punya residual energy sendiri.

“Gimana tempatnya?” Zaki menoleh ke arahku sambil nyengir. Dia kelihatan ganteng dan menggoda hari ini. (Atau mungkin ini efek aku belum jack-off berhari-hari sehingga Zaki tampak seksi?)

“Gimana caranya Bang Zaki dapet tempat ini?”
“Ini punya temen saya, Bos. Kemaren waktu lagi nganterin kayu, buat bangun pondok di sana tuh, kelihatan nggak? Saya tuh ngobrol-ngobrol ama dia, dan katanya boleh pake tempat ini dua jam aja hari ini. Ya udah, sekalian aja ajak bos ke sini.”

Ini adalah sebuah komplek pemandian air panas di daerah Ciater, Subang. Tempatnya berupa vila-vila kecil menghadap ke lereng bukit, dengan balkon-balkon pribadi yang dilengkapi outdoor jacuzzi, sehingga siapapun bisa menikmati berendam di alam terbuka tanpa perlu khawatir diintip orang lain.

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba saja kutemukan mobil pick-up Zaki sudah parkir di depan sekolahku. Dia langsung membawaku menelusuri Lembang, melewati Gunung Tangkuban Perahu, dan akhirnya tiba di Kabupaten Subang. Aku masih nggak mengerti alasan Zaki membawaku ke sebuah vila kecil dengan halaman luas, membawaku masuk ke dalamnya, melintasi ruang tengah, tiba di balkon kecil dengan jacuzzi, dan dia sibuk menuang orange juice yang tadi kami beli di minimarket ke dalam gelas berkaki yang cantik.

“Jadi, ngapain kita di sini?” tanyaku.
“Ya berduaan dong...” Zaki tiba-tiba membuka kausnya. “Liburan.”

Oh, sial. Sekarang dia sudah telanjang dada. Dan entah kenapa hari ini otot-otot dadanya kelihatan menggiurkan. Dengan puting gelapnya yang mungil itu, perut berlekuk-lekuk dan kulit terang mulus yang masih kupertanyakan kenapa bisa semulus itu untuk ukuran pekerja kuli.


“Masa liburan cuma dua jam?” sindirku, sambil memalingkan muka ke arah lain dan berusaha menahan godaan.
“Jadi bos maunya semaleman?”
“Bukan itu maksudnya... I mean, liburan kan mestinya berhari-hari. Pergi ke luar kota dan nikmatin waktu senggang.”

Zaki memutar otak. “Tapi saya cuma diizinin pake ini dua jam aja, Bos. Kalo pengen berhari-hari mesti nyewa... meskipun pasti dapet discount, sih.”
Doesn’t have to be here, Dude...”

Ketika aku menoleh lagi ternyata Zaki sudah telanjang.
Bulat.
Dia sedang merapikan snack di atas meja dan membiarkan little-jack-nya yang literally little berayun ke sana kemari. Otomatis aku jadi bergairah dan mukaku merah. Buru-buru aku menepi ke pagar balkon, mencoba melupakan fakta bahwa ada laki-laki menggoda sekitar tiga meter di belakangku.

“Ayo masuk, Bos!” BYUR! Beberapa cipratan air hangat mengenai kulit lenganku. Aku masih belum sanggup menoleh tapi aku yakin Zaki sedang menikmati jacuzzi dengan air hangat, yang di bagian bawahnya ada air menyembur seperti air mancur, yang rasanya pasti nikmat sekali seperti dipijat. “Bos?”

“T-tunggu bentar... a-aku lagi lihat... pemandangan.”
“Di sini aja lihatnya, Bos. Lebih enak.”

Selintas aku menoleh ke arah Zaki, bukan karena penasaran dan nafsu, tapi karena formalitas saja. I mean, nggak mungkin kan aku ngobrol sambil terus memunggunginya. Sesekali aku harus menatap ke arah matanya... oh, lihat! Dia menggoda sekali!

Zaki bersandar di jacuzzinya, meletakkan kedua tangan di pinggiran jacuzzi dan membiarkan otot-otot lengannya berkumpul. Rambut ketiaknya basah sehingga warnanya jadi gelap dan putingnya tiba-tiba kemerahan di bawah air hangat jacuzzi.

Okay, Agas. Palingkan kepalamu ke arah lain.
Bukan!
Bukan ke arah little jack-nya! Tapi ke arah lain!

“Ayo, Bos!” panggil Zaki dengan suara menggoda. Astaga, aku nggak habis pikir kenapa si Zaenab suka melecehkan Zaki. Padahal cowok ini begitu memukau... ya kecuali ukuran kejantanannya sih. Tapi sisanya kan memukau.

“A-aku nggak bawa baju ganti,” kataku.
“Saya juga, Bos. Makanya baju Bos lepas aja semuanya.”
“Ini pasti modus,” sahutku. “Modus biar aku telanjang dan Bang Zaki bisa pegang-pegang badan aku.”
“Emang iya,” Zaki tertawa. “Jadi Bos nggak mau?”

Apa? Dia sudah gila, ya, pake bilang aku nggak mau? Cuma gay nggak normal yang nggak mau. Aku sih yakin straight pun rela telanjang berdua bareng Zaki.

“Tunggu bentar...”
Aduh, gimana ini? Apakah aku harus telanjang dan masuk ke dalamnya? Masalahnya, yang sekarang lagi ngegantung di bawah perutku tiba-tiba berdiri tegak, menyesak celana seragamku, dan bisa-bisa dianggap rudal nuklir yang siap ditembakkan kalau aku membuka celanaku.

Well, Zaki sih sebetulnya nggak masalah sama itu. Dia malah selalu terpukau melihat punyaku itu. Tapi aku jadi malu sendiri.

Tiba-tiba aku teringat Cazzo, lalu mendadak aku dapat ide. “Tapi aku lagi kedinginan,” kataku. “Jadi si ‘Joni’-nya lagi berdiri.”
“Sama Bos, saya juga. Nih si Ucok lagi nantang langit!” Zaki tergelak.

Aku melirik ke arah little jack Zaki, dan memang benar, si Ucok sedang “menantang langit”. Hanya gara-gara ukurannya yang mungil saja yang membuatku nggak sadar kalau si Ucok sudah berdiri dari tadi.

Aku akhirnya melepas semua seragamku dan buru-buru masuk ke dalam jacuzzi dalam kondisi telanjang. Joni tentunya sama-sama menantang langit, dan Zaki menyeru “Uuuhh..” saat melihatnya. Tapi Zaki langsung menarikku ke pelukannya, membuatku bersandar di bahunya dan didekap dengan salah satu tangannya.

Oh, nikmat sekali. Pertama, ada jacuzzi, air hangat, dan pemandangan perbukitan yang menakjubkan. Kedua, ada cowok seksi, telanjang, dan menggiurkan. Ketiga, aku didekap oleh cowok seksi tersebut, leherku sesekali diendus dan kepalaku diusap-usap. What could be romantic (yet exciting) other than that?

“Bos kenapa dari tadi ngelamun aja?” tanya Zaki setelah kami berpelukan selama sepuluh menit. Atau mungkin tiga puluh menit, entahlah, rasanya sudah lama sekali.
“Kapan aku ngelamun?”
“Waktu di mobil, waktu mau ke sini.”
“Oh, aku lagi mikirin pelajaran di sekolah.”

Which is bullshit, karena aku justru lagi mikirin Bang Dicky yang pernah dipenjara dan masuk rehabilitasi. Oke, aku mestinya berhenti membayangkan Bang Dicky terlibat narkoba dan masuk rehab. Sebab belum ada statement menguatkan yang bilang Bang Dicky pernah masuk rehab.

Tapi aku masih penasaran dengan misteri Bang Dicky dan lain-lain. Mungkin aku akan memulai proyek rahasia juga, seperti Jeng Nunuk, mencari petunjuk-petunjuk layaknya Steve McGarret di Hawaii Five-0, dan mungkin melibatkan alat-alat canggih, lalu menemukan jawaban atas masa lalu yang terjadi di rumah Granny.

I mean, kenapa juga residual energy itu hanya muncul di periode-periode tertentu? Kenapa harus pada bulan yang sama setiap tahun, kenapa nggak terjadi di bulan yang lain? Memangnya residual energy punya kalender?

“Tuh, kan, ngelamun lagi.” Zaki mencubit hidungku dan membuyarkan pikiranku.”Mikirin apa sih, Bos?”
“Nggak kok, nggak mikirin apa-apa.” Buru-buru aku memainkan si Ucok untuk mengalihkan perhatianku. Zaki otomatis menggelenyar menikmati usapan tanganku.

“Yah, Bos.... jangan dikocok... aaahhh... nanti muncrat dong isinya.”
“Emang itu kan kepengen Bang Zaki?”
“Ya tapi nggak sekarang. Entar aja, di akhir-akhir, biar nikm—aaahhh... Lagi Bos yang barusan!”

Akhirnya, aku dan Zaki mesum-mesuman lagi. Kali ini lebih jauh daripada biasanya. Kami seperti pasangan suami istri yang sedang honeymoon dan melakukan hubungan sex romantis di depan panorama alam. Ya. Kami melakukan penetrasi lebih jauh. Kami melakukan anal sex!

Dua menit sejak aku memainkan si Ucok, kami mendadak berciuman. Kali ini nggak perlu pake alasan latihan ciuman segala. Aku yang memulai ciumannya karena aku udah nggak tahan lagi. Rasanya nikmaaat banget. Dan oke, mesti Zaki pencium yang buruk, karena dia hobi sekali menjilat-jilati bibirku daripada memainkan lidahnya di dalam mulutku, tapi aku tetap merasa bergairah menikmatinya. Ketika hembusan napas Zaki yang hangat menerpa wajahku, atau saat tangan-tangan Zaki yang besar menelurusi setiap lekuk tubuhku...

Pokoknya itu ciuman terlama yang pernah kulakukan. Menit-menit berikutnya kami isi dengan blowjob, saling mengoral. Aku nyaris orgasme kalau saja aku nggak menghentikan kuluman Zaki yang tiba-tiba terasa nikmat itu. Huh, aku mesti sering-sering onani nih setiap hari. Aku nggak mau mengalami ejakulasi dini gara-gara aku jarang melatih si Joni di bawah sana.

Nah, bedanya mesum kali ini dengan mesum biasanya, berhubungan ini tempatnya romantis dan wonderful banget, kami memutuskan untuk melakukan hal yang lebih jauh lagi. Aku nggak akan menceritakannya lebih detail, biarkan itu menjadi sensasi yang bisa kukenang sendiri. Tapi intinya kami saling melakukan anal sex. Awalnya aku yang dipenetrasi.


“Udah belum, Bang?”
“Udah Bos! Dari tadi udah masuk. Udah masuk semuanya.”
“Oh, masa sih?” Sebab aku pikir yang masuk ke dalam lubangku adalah jempolnya Zaki, bukan alat kelaminnya.

Bagian tusuk menusuk ini bagian yang cukup mendebarkan. Zaki mengalami orgasme ketika masih menggauliku di dalam. Which means, kalau aku wanita, aku sudah hamil besok pagi. Air mani Zaki muncrat di dalam tubuhku dan aku sama sekali nggak merasakan cairan itu mengalir keluar. Dan saat itulah aku baru teringat kondom dan HIV AIDS... which is too late now.

Gimana kalau Zaki terinfeksi penyakit menular dari cewek-ceweknya? I mean, dia kan rajanya mesum di sekitar rumahnya.

“Sekarang giliran Bos!”
“Apa?”
“Mau dimasukin nggak?”
Are you sure? With this size?

Zaki mengerutkan alisnya. Memutar otak. “Sure dong Bos. Why not?”
“Entar Bang Zaki kesakitan. Punya aku kan kegedean.”
Zaki tergelak. “Kalo saya nggak kesakitan, Bos mesti jadi pacar saya. Deal?” tantangnya.
“Itu mah kepengen Bang Zaki!”

“Emang iya, kok! Kan udah pernah bilang, kalo saya sayang Bos dan pengen ada di sisi Bos terus.” Zaki buru-buru memposisikan tubuhnya di atas diriku dan dengan ahli menempatkan lubangnya di atas Joni-ku. “Siap, Bos?”

Tunggu. Kenapa Zaki bisa sepercayadiri itu? Apa dia pernah disodomi sebelumnya?

Ketika punyaku memasuki tubuhnya, nggak ada hambatan sama sekali seperti yang kupikir bakal kualami dengan alat kelamin segede ini. Entah karena Zaki barusan mengoleskan banyak sekali V-Gel di Joni-ku, entah memang dubur Zaki didesain untuk disodomi. Who knows. I mean, seperti di film-film bokep Amerika, kelihatannya gampang banget nyodomi orang. Seolah-olah memasukkan sesuatu ke dubur tuh sesuatu yang nikmat. Seolah-olah tanpa rasa sakit sedikit pun. Padahal kan kenyataannya nggak seperti itu. Jadi aneh aja ketika Zaki bisa melakukannya dengan lancar.

“Kenapa, Bos? Kesempitan?” Zaki mendongak di sela-sela gerakan pantat naik-turunnya.
“Oh, nggak kok. Justru semuanya udah pas.”

Okay, aku nggak akan menceritakan detail lebih lanjut. Intinya sih aku orgasme juga di dalam usus besar Zaki dan kami tertawa-tawa sambil kemudian menikmati lagi pemandangan di hadapan kami. Masih ada lima belas menit lagi sebelum waktu kami di sini habis. Dan kami menghabiskannya dengan saling berpelukan, saling mengecup satu sama lain lalu membahas rencana bagus untuk Sweet Strawberry di girlband fight.

Sampai akhirnya aku teringat lagi soal penjara dan rehabilitasi itu.
Tapi tentunya aku nggak akan bertanya ke Zaki soal penjara dan rehab. Apalagi secara spesifik bertanya, “Jadi Bang Dicky pernah masuk penjara dan rehab, ya?” Zaki kan nggak tahu kalau aku menguping pembicaraannya dengan Granny tempo hari. Dan kayaknya turn off banget mengungkit soal itu di tengah suasana menggairahkan macam begini.

Mungkin aku akan bertanya lain kali saja, saat kondisinya tepat. Aku mesti berhenti memikirkannya untuk beberapa jam saja. Sampai kami tiba di rumah atau apa gitu.

Atau mungkin aku akan menanyakannya selintas saja. Yah, membuat percakapan yang menjurus ke sana. Misalnya, “Bang Zaki tahu Mrs Puff di Spongebob? Lucu, ya. Dia sering banget masuk penjara. Oh, omong-omong soal penjara, Bang Dicky juga pernah masuk penjara, ya?” Semacam itulah, nggak terlalu kentara ataupun mendesak.

Aku menarik napas dan memeluk Zaki lebih erat lagi. Kemudian dengan hati-hati, aku menyinggung-nyinggung soal penjara. “Jadi Bang Dicky pernah masuk penjara dan rehab, ya?”

Oh, sial. Aku lupa menyebutkan “intro”-nya. Bukan berarti aku nggak sabaran sampe-sampe langsung bertanya sespesifik itu.

Zaki menoleh dan mengerutkan alisnya. Jelas dia terkejut dengan pertanyaanku. “Hah? Siapa yang bilang Bang Dicky masuk penjara?”
“Ada deh, yang bilang. Aku udah tahu semuanya,” kataku percaya diri. “Nggak semuanya, sih. Tapi lumayan banyak, lah.”

“Tahu apa? Dari mana?” Zaki mengerutkan alisnya dan benar-benar heran.

For God’s sake, masa sih dia masih pura-pura aja?

“Ya pokoknya, tahu. Bukan berarti aku suka nguping atau apa ya. Aku ini kebetulan pernah research...”
Zaki masih menatapku dengan pandangan heran. Memang kelihatan cute, sih. Tapi dia tetap penasaran, aku ini lagi ngomong apa?

Sepuluh detik Zaki menatap mataku, menimang-nimang, lalu dia memutuskan untuk mendesah dan melemparkan pandangannya ke arah lain. “Terus, yang mau Bos bicarain apa soal penjara itu?”
“Nggak ada apa-apa, kok, aku cuma...” Astaga, benar juga. Apa yang mau aku bicarain tentang penjara itu, ya? Kenapa aku tiba-tiba mengungkitnya barusan? “Aku cuma mau ngasih dukungan aja. Aku ngerti kondisi di masa lalu, sampe-sampe ada yang mesti dipenjara segala. Aku nggak akan ngejudge orang yang masuk penjara sebagai orang yang nggak baik atau gimana.”

“Bener?” Zaki menoleh sambil nyengir.
“Ya!” sahutku menantang. “Aku percaya, kok, Bang Dicky masuk penjara juga pasti karena alasan yang masuk akal. Nggak mungkin Bang Dicky bisa sejahat itu ngebunuh orang. Pasti ada alasan-alasan kuat kenapa kejadian itu mesti terjadi.”

Zaki melamun sambil menatapku beberapa saat. Kemudian dia bangkit dan keluar dari jacuzzi. “Udah abis waktunya, Bos. Pulang, yuk?”

-XxX-


Part 63
By Mario
Esoknya, aku berencana memberi kejutan pada Zaki. Bukan kejutan heboh semacam birthday surprise, hanya mau membalas kebaikan Zaki saja yang sudah mau menemaniku selama Bang Dicky nggak ada, dan tentunya karena telah mengajakku berendam (then hookup) dengan latar belakang bukit-bukit hijau.

Aku mau memberinya dua majalah dan satu buku ensiklopedia. Satu majalah Airliner World versi British (karena aku tahu Zaki sekarang bercita-cita jadi pilot dan dia masih terobsesi belajar bahasa Inggris), satu majalah FHM versi english (yang penuh gambar-gambar wanita berbikini di dalamnya—dan dalam bahasa Inggris juga—tapi aku tetap menyiapkan majalah Playgirl di rumahku, andai Zaki sudah berubah haluan menjadi homosexual... I mean, who knows, kan? Videonya hook up dengan cewek udah bejibun tapi melihatku telanjang juga tetap “on”. Mestinya Zaki jadi gigolo. Bisa jadi dia sudah kaya raya sekarang), dan terakhir satu buku pengetahuan besar tentang hewan-hewan marsupilia Australia (karena kapan itu aku pernah denger Zaki pengen punya Koala di rumahnya).

Terlebih sih karena aku tahu, Zaki pengen banget sekolah lagi—Zaenab kan bilang begitu waktu itu. Jadi at least dengan ngasih ensiklopedia, aku udah ngasih sedikit kontribusi buat pendidikan Zaki.

Kesemua hadiah itu aku bungkus dalam kado dan kuletakkan di lokerku di perpustakaan. Kebetulan setelah ditumpuk seperti itu, jadinya berat, dan aku nggak mau menaruhnya di ranselku lalu menggendongnya kemana-mana.

“Siap pulang?” sapanya ketika tiba di CIS sambil menaikkan salah satu alis. “Nggak ada anak nakal yang gangguin lagi?”
Aku tergelak. “Nggak kok, Bang. Udah aman semuanya. Bang Zaki turun dulu, yuk? Anterin aku ke dalem.”

“Ke mana?” tanya Zaki bingung. “Bos ada pensil yang ketinggalan?”
“Ya nggak, lah. Ngapain juga ketinggalan pensil mesti ngajak Bang Zaki ke dalam. Udah yuk, sini ikut aja.” Aku membuka pintu mobil dan menarik Zaki turun. “Aku mau ngasih sesuatu buat Bang Zaki.”


Zaki terlihat berbinar-binar. “D-di sini, Bos? Aduh, saya belum mandi, nih!”
Aku mematung dan berbalik. “For God’s sake, Bang Zaki, emangnya Abang pikir aku mau ngasih apa? No sexual content, here. Jadi nggak usah cemas kalo belum mandi.”
“Oh.” Sekarang dia kelihatan kecewa.

Dasar ya, cowok. Prioritas utama tuh sex. Nggak peduli straight, bi, atau gay. Selama kebutuhan biologis terpenuhi, maka hidup berlangsung normal.

Tapi mungkin aku akan memberikan blowjob sebagai kejutan tambahan. Hanya blowjob saja.

“Beneran Bos, saya masuk juga?” tanya Zaki ketika kami melewati gerbang CIS dan mengendap-endap ke koridor kosong di utara gedung. “Gimana kalo kepergok? Saya kan nggak pake seragam!”
“Tenang aja. Semua guru udah pulang. Murid-murid juga udah pada nggak ada, paling anak-anak yang lagi ekstrakurikuler aja.”

Kami tiba di perpustakaan CIS semenit kemudian. “Aku punya kunci cadangan buat ruangan ini, dan sekarang giliran piket aku. Di dalem nggak ada siapa-siapa.” Aku membuka pintu perpus dan mengajak Zaki masuk.

Perpustakaan itu begitu hening dan sepi. Aroma kayu, debu, dan buku langsung menusuk hidung. Tidak ada orang, tidak ada petugas perpus, yang ada hanya jutaan buku, lounge baca, karpet pakistan cantik dengan bantal-bantal cushion, perapian yang bisa dinyalakan karena menggunakan electric fire... Lama-lama tempat ini lebih cocok digunakan mesum daripada untuk membaca buku

“Rental buku?” tanya Zaki.
“Oh, bukan. Ini perpustakaan. Bukan rental buku.” Aku menarik Zaki ke lorong loker anggota perpustakaan, yang terletak di sebuah sudut yang gelap.
“Jadi di sini nggak bisa minjem buku?”
“Ya bisa dong, asal dikembaliin tepat waktu.”
“Berarti ini rental buku,” ujar Zaki percaya diri.

Terserah, deh. Aku membuka lokerku, mengeluarkan sebuah kado, dan tanpa basi-basi langsung menyerahkannya pada Zaki. “Kejutaaaannn!!” Okay, mungkin ini kejutan paling garing yang pernah ada, tapi who cares. Toh yang penting kan apa yang bisa kuberikan.

“Bos!” Zaki terheran-heran. “Saya nggak lagi ulang tahun, Bos!”
“Emang kenapa kalo nggak ulang tahun? Emang mesti ulang tahun dulu buat nerima kado?”
“Iya, Bos. Biasanya kado kan buat ulang tahun.”

Zaki membolak-balik kado itu, sesekali mendengar isi di dalamnya, barangkali dia bisa mendapat petunjuk atau apa gitu. “Ini jam dinding, ya?” tanyanya. “Atau pigura?”
“Enak aja. Buka aja sendiri kalo pengen tahu.”

Zaki cekikikan sambil merobek kertas kado. “Biasanya sih, kalo bentuknya begini, isinya jam dinding atau pigura.” Dia berhasil menarik kotak kardus yang barusan terbungkus kertas kado. “Tuh, kan. Ada kardusnya. Saya pernah ngebantuin si Memet, tetangga saya yang kawin pas bulan Maret kemaren, rata-rata yang bentuknya gini tuh jam dinding.”

“Ini bukan jam dinding,” sahutku sambil membawanya ke lounge baca.

Zaki mengeluarkan isi kotak kardus itu dan terpukau dengan majalah yang pertama kali ditariknya. “Bos! Ini majalah pesawat! Pake bahasa Inggris!” Zaki berseru girang dan mendahuluiku duduk di atas bantal-bantal cushion di lounge baca. “Ada banyak gambar pesawat, Bos!”

Ketika dia melihat majalah berikutnya, FHM, dia makin berteriak-teriak girang. “Eduuun, Bos! Bisa dapet majalah Playboy!”
“Itu bukan Playboy.”
“Ini Playboy, Bos! Lihat nih, gambar depannya cewek cuma pake kutang sama cangcut doang!”
“Itu bikini!” Eeerrgghh...
Aku baru hendak menunjukkan tulisan FHM di cover depan tetapi Zaki sudah sibuk membuka-buka majalah. Apalagi ini edisi baru. Jadi Zaki pasti lagi semangat-semangatnya.

Selama lima menit pertama, Zaki nggak bisa diganggu. Aku mengambil minum dari dispenser, mengecek siapa petugas piket untuk besok, lalu kembali ke lounge baca dan duduk di samping Zaki. Dia sudah nyaris tamat mengagumi gambar model berbikini yang sedang berpose di bathub.

“Makasih Bos, buat kadonya.” Zaki nyengir dan tanpa pikir panjang langsung mengecup bibirku.
“Ngapain kamu?” Aku mendorong kepalanya ke belakang. “Ini di sekolah, jangan ngelakuin adegan mesum, deh.”
“Tapi Bos kan pacar saya sekarang!” Zaki nyengir.
“Sejak kapan?”
“Sejak saya nggak kesakitan waktu Bos tusuk kemaren...”
“Apa?”

Memoriku memutar lagi ingatan sewaktu... Oh, tidak. Aku dan Zaki memang pernah bikin deal soal itu. Kalau Zaki nggak kesakitan pas aku “tusuk”, dia bakal jadi pacarku. Tapi kupikir itu hanya basa-basi semata. Sebab Zaki nggak membahasnya setelah kami pulang. Aku bahkan lupa dengan deal itu.

“Tapi itu kan cuma basa-basi,” kataku sambil tergelak. “Bang Zaki nggak serius waktu itu.”
“Aku serius.” Zaki meletakkan majalahnya di atas karpet dan mulai menatapku dengan serius.

Astaga, aku benci tatapan seperti itu. Apalagi dari mata Zaki. Dia kan biasanya penuh ketololan dan gairah seks. Melihatnya memandangku penuh keseriusan seolah aku sedang ditatap oleh Kepala Sekolahku.

“No, Bang Zaki. Abang nggak serius. Itu kan konteksnya bercanda.” Aku masih berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Setidaknya, apa yang kupikir adalah sebenarnya.
“Saya mah nggak bercanda, Bos. Saya kirain sejak kemaren kita udah pacaran, Bos. Saya kirain Bos ngasih ini buat hadiah pacaran kita.”
“Nggak kok...” tukasku. “Aku ngasih ini karena aku mau berterima kasih sama Bang Zaki, karena udah nemenin aku selama Bang Dicky nggak ada, karena udah ngajak aku maen ke Subang kemaren itu, lah...”
“Oh.” Zaki patah hati. Aku bisa melihat dari kilatan matanya.

“Bang Zaki—“
Zaki menyelaku dengan mengangkat tangannya. Dia lalu membereskan dua majalah yang ada di karpet, meletakkannya kembali ke dalam kotak kardus, dan tangannya gemetaran.

“Nggak apa-apa, Bos, saya udah ngerti, kok,” ujarnya lirih. Untuk beberapa detik pertama, dia mencoba menghindar dari tatapanku, membuang mukanya jauh-jauh sampai akhirnya berani menatapku lagi, nggak benar-benar menatapku sih tapi lumayan dekat lah, memberikan tatapan kosong ke arah langit-langit dan kulihat bola matanya berair. “Ini semua soal si Dicky lagi, kan? Saya emang nggak pernah bisa ngalahin si Dicky... Selalu dia aja yang dapet semuanya.”

Aku mendongak dan berniat membantah, bahwa ini nggak ada hubungannya dengan Bang Dicky, tapi tak satupun kata keluar dari mulutku.

“Selalu si Dicky yang jadi pusat perhatian. Selalu si Dicky yang dipilih semua orang. Masakannya, lah. Beres-beresnya, lah. Apa karena saya mah cuma kurir kayu, gitu? Karena saya lebih miskin?”
“Ya nggak, lah,” sanggahku. “Apa-apaan sih Bang Zaki ngomong kayak gitu? Aku temenan sama orang bukan karena hartanya, jadi nggak pantes Bang Zaki ngomong soal itu.”

“Tapi Bos tetep milih si Dicky, kan? Karena dia lebih ganteng, kan?”
For God’s sake, Bang Zaki. Antara Bang Zaki sama Bang Dicky masih lebih gantengan Bang Zaki. Aku nggak milih orang karena kegantengannya juga.”
“Saya lebih ganteng? Lalu kenapa nggak milih saya juga? Saya mesti lebih jelek dari si Dicky, gitu?”

Aku menghela napas. “Aku... aku belum siap untuk ini.” Beberapa detik jeda dan kami hanya terdiam. “Lagipula aku pikir, Bang Zaki nggak mungkin bisa cinta sama aku.”
“Saya cinta, Bos!” tukas Zaki buru-buru. “Kenapa Bos mikir kayak gitu?”
“Karena aku tuh laki-laki, Bang! Dan aku yakin Bang Zaki normal. Aku yakin Bang Zaki sebenernya suka perempuan, I mean, lihat aja jumlah video bokep Bang Zaki sama cewek-cewek se-Kelurahan, pasti jumlahnya jutaan. Satupun nggak ada video bokep sama laki-laki. Sementara aku ini laki-laki. Jadi kesannya... nggak normal aja. Ini bukan yang Bang Zaki cari.”

“Tapi saya pengennya ama, Bos. Saya nyamannya sama Bos.”
“Yang kita lakuin selama ini cuma have fun, Bang. Abang seneng sama aku karena punyaku gede, lalu Abang kagum ngeliatnya, lalu Abang suka main-mainin karena Abang nggak punya yang segede aku, tapi bukan berarti Abang berubah jadi... suka cowok juga. Ini semua cuma sugesti Abang aja.”

“Sugesti?” ulang Zaki dengan nada tersinggung. “Saya tahu kok Bos, apa yang ada di hati saya. Apa yang ada di hati sama apa yang ada di sugesti saya tuh, beda.”

Aku kehabisan kata-kata. Tiba-tiba saja semua hal yang sebelumnya pernah kupikirkan tentang Zaki, lenyap begitu saja dari otakku. Bersembunyi dalam sebuah folder nun jauh di sana yang nggak bisa kujangkau dan kumuntahkan di depan Zaki.

“Udah, Bos. Saya nggak mau debat sama Bos. Lagian saya tahu kok endingnya gimana. Pasti Bos tetep pilih si Dicky.”
“Aku nggak pilih siapa-siapa.”
“Ya tapi nantinya bakal pilih si Dicky.” Zaki mendengus. “Oh! Atau temen Bos yang imut-imut itu, yang ganggu itu. Si Kejo? Si sangu. Kejo kan artinya nasi, Bos. Berarti kalo nggak ada si Dicky, pilihan kedua mah si Kejo. Udah ketebak. Saya mah nggak pernah ada di daftarnya, Bos.”

Zaki membereskan hadiahnya, lalu merapikan kertas kado yang sudah dirobeknya. Jemarinya masih gemetar saat melipat-lipat kertas kado barusan. Pandangannya pun sering kosong. Kepalanya terus menerus menunduk... dan aura charmingnya lenyap.

Dia benar-benar patah hati.

“Tapi tenang aja, Bos,” kata Zaki kemudian. “Dicky pasti pulang ke rumah Nenek sekitar dua minggu dari sekarang. Setiap tahun selalu begitu. Jadi bos udah bisa ketemu Dicky sebentar lagi.” Zaki berdiri dan berjalan meninggalkan karpet pakistan di lounge baca. “Pulang yuk, Bos?” Astaga, lihat lututnya yang gemetaran.

Zaki sedang menahan rasa sakit. Dia sedang menahan tangis.

“Bang Zaki tunggu!”

Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menghampiri Zaki, memutarnya, menjinjitkan kakiku... dan mulai mengecupnya. Bukan, aku mencumbunya. Aku menarik kepala Zaki mendekat ke arahku, meletakkan bibirku di bibirnya, mendesak mulut itu agar membuka dengan lidahku, dan mulai menelusuri rahang mulutnya sambil mengecup-ngecup bibirnya. Aku menutup mataku. Merasakan sensasi hangat dari deru napas Zaki.

Aku nggak suka membuat orang begitu kecewa. Apalagi ini Zaki. Siapapun yang kupilih, sebetulnya aku sayang Zaki. Mungkin tidak sebesar sayangku pada Bang Dicky, tapi bagaimanapun juga, Zaki adalah salah satu orang yang pernah menghiasi perjalanan hidupku. Dia telah memberikanku banyak petualangan baru. Dia telah mengajariku banyak hal.

Aku nggak mau mengecewakan Zaki. Aku nggak mau membuatnya patah hati. Aku nggak mau membuatnya sedih. Apapun yang terjadi, sebetulnya aku sayang Zaki.

“Bos?” Zaki melepaskan kecupanku. “Ngapain, Bos?”
“Aku sayang Bang Zaki. Please, jangan kayak yang patah hati gitu, aku nggak tega ngeliatnya.”
“Tapi ini kan di sekolah, Bos. Jangan mesum-mesuman.”
“Who cares! Nggak ada yang ngelihat ini, kok.”

Zaki mengerutkan alisnya. “Sebenernya ada, Bos.” Dia lalu mengedikkan kepalanya ke belakang dan dengan ngeri aku menoleh....

DEG.
Sial!
SIAL SIAL SIAL!!

Ada Cazzo di situ!

Tubuhku langsung merinding ketika menyadari Cazzo sedang berdiri di pintu perpustakaan, menggenggam ranselnya yang disampirkan di bahu dan menatapku dengan tatapan dingin. Kami bertatapan selama sekitar sepuluh detik sampai akhirnya Cazzo berbalik dan meninggalkan perpustakaan.

FOR GOD’S SAKE!! Kenapa harus selalu ada Cazzo?!
Kenapa dia selalu muncul di saat-saat yang tidak tepat?!

Tanpa pikir panjang aku langsung berlari keluar perpustakaan, meninggalkan Zaki sendirian. Aku menghampiri Cazzo yang berjalan tergesa-gesa di sepanjang koridor, pikiranku langsung melantur kemana-mana membayangkan skenario terburuk. Bisa jadi Cazzo melihatku berlari menghampiri Zaki dan dengan romantis menciumnya, sesuatu yang sekalipun nggak pernah aku dan Cazzo lakukan kecuali ciuman pemaksaan waktu di bandara. Dan sial, mungkin dia juga mendengar kata-kata “Aku sayang Bang Zaki” yang setelah dipikir-pikir kelihatan sangat tulus sekali, bukan sekedar orang yang sayang pada orang lain sebagai teman atau sahabat.

Perutku langsung mulas membayangkannya. Makin runyamlah hubunganku dengan Cazzo. I mean, bukannya aku mengejar-ngejar dia atau apa, tapi kan aku nggak mau seseorang menganggapku brengsek gara-gara aku cium sana cium sini. Lagipula aku orangnya nggak tegaan. Aku nggak bisa ngelihat orang patah hati gara-gara aku.

Astaga, cepat sekali Cazzo jalannya! “Cazzo! Tunggu!”

Dulu Adam pernah bilang, dia iri dengan diriku karena didekati tiga cowok ganteng dan semua-muanya straight act, dan semua-muanya perfect. Hidupku sebagai gay katanya sempurna! Well, sekarang, masih irikah dia kalau tahu kondisinya kayak begini? Yang satu jadi orang gila dan ngumpet bareng ibunya, yang satu salah paham melulu dan selalu berada di tempat yang salah, dan yang satu kurang percaya diri ditambah aku nggak cinta-cinta amat ama dia.

Jadi sekarang, bagian mana yang sempurnanya?

“Cazzo!” Aku berhasil mendahuluinya dan mendorongnya ke dinding, membuatnya berhenti. Cazzo memang berhenti tapi dia malas melihat mukaku. Aku membuka mulutku, kemudian... kemudian... apa yang mau aku bicarakan sebenarnya?

Cazzo mendelik sekilas ke arahku, sinis. Dan aku hanya menganga saja, masih meramu kalimat apa yang mesti kulontarkan dalam kondisi seperti ini. Selintas aku menyesal, kenapa juga aku harus mengejarnya? Memangnya apa yang mau kujelaskan?

It’s over, Bro,” ujar Cazzo kemudian, getir. Aku melihatnya menelan ludah dan dia sekuat tenaga menahan tenggorokannya yang tercekat. “Gue udah nyerah, kok. Gue nggak pernah bisa jadi orang dewasa seperti yang lo pengenin.”

“Siapa yang pengen orang dewasa, emangnya?” tukasku.
“Itu, buktinya! Lo emang cuma bisa sayang ama yang lebih tua daripada lo. Bukan yang seumuran ama lo.” Cazzo menelan ludah lagi. “Seumuran yang bahkan lebih childish daripada umurnya.”

Cazzo mencoba tersenyum di tengah kegetirannya. Dan aku makin merasa bersalah. “Gue datang barusan karena gue pikir... gue pikir masih ada harapan antara gue ama lo... gue pikir gue bisa percaya ama apa yang lo coba buat jelasin selama ini... kalo yang kemarin tuh cuma latihan, lah... kalo lo tuh nggak ada apa-apanya sama... dia, lah...”

“Aku emang nggak ada apa-apa—“
“Masih nyangkal juga?” Cazzo mengerutkan alisnya dan dia tampak tertekan. “Gue denger banget apa yang lo bilang tadi, Bro. Sekarang lo mau bilang apa lagi? Lo mau bilang kalo tadi pun cuma latihan?”

Part 64
By Mario


“A-aku...”
Cazzo mengangkat tangannya.
“Seperti yang gue bilang, it’s over.” Cazzo mendesah dan memalingkan mukanya. “Lo nggak usah khawatir lagi sekarang, nggak usah ngirim-ngirim message lagi buat ngejelasin apapun, gue udah bisa nerima. Sorry kalo gue ngebikin lo ngirim ratusan message cuma buat minta maaf ama gue, sementara guenya malah cuek ama lo.”

“Tapi aku—“
Please, Bro.” Cazzo meletakkan jemarinya di depan mulutku. “Nggak usah ngomong apa-apa lagi. Biarin gue belajar buat nerima apa yang gue dapet. Biarin gue belajar buat ngadepin perasaan gue sendiri.”

Cazzo menatapku serius. “Gue juga sekali-sekali pengen belajar buat dewasa, nggak melulu ngikutin kata hati gue. Gue juga sesekali mesti belajar ngorbanin perasaan gue. Gue kan ngefollow kata-kata bijak di twitter, katanya kadang manusia mesti belajar buat menghilangkan sesuatu.”
“Kehilangan,” ralatku.
“Nah, itu. Jadi please, tolong biarin gue sendiri dulu, oke Bro?”

Cazzo mendesah meletakkan tangannya di bahuku. “Gue nggak akan marah ama lo, kok. Gue bakal belajar buat nerima lo apa adanya, seperti yang lo lakuin ke gue selama ini. Lo tetep temen gue. Dan thank you udah ngebiarin gue jadi diri sendiri di depan lo.”

Cazzo melangkah perlahan meninggalkanku. Menoleh selintas, melontarkan senyum getir, lalu berkata, “Mungkin lain kali gue lebih beruntung?” dan tergelak. Beberapa langkah kemudian, kulihat bahunya berguncang.

-XxX-

Tepat sekali saat Granny menyebutku galau begitu aku sampai di rumah. Granny sedang latihan bersama Sweet Strawberry-nya di ruang tengah, memutar lagu soundtrack Pocari Sweat itu berulang-ulang dan melatih pose Jeng Imas agar nggak kaku lagi. Sebuah pose inappropriate, karena mengharuskan nenek-nenek ini menunggingkan pantatnya sambil membungkuk. I mean, nggak ada pose lain yang lebih Nenek-siawi, gitu?

“Pasti gara-gara Esel lagi, kan?” tanya Jeng Novi saat Granny bilang aku sedang galau. “Kita mesti bener-bener ngalahin Itsy Bitsy itu! Saya juga sebenernya nggak suka sama cucunya Jeng Nunuk yang itu. Terlalu lebay, dan terlalu... mencolok.”
“Bener banget, Jeng Novi,” sambut Jeng Imas. “Kapan itu si Esel jajan di warung saya dia pake hot pants sama kaus lekbong. Belum lagi rambutnya dikucir lima belas. Astagfirullah, mau jadi apa coba dia? Tata Dado?”

Aku, yang sedang galau, langsung mengganti seragamku, mandi, dan duduk-duduk di bangku semen depan workshop. Bandung kebetulan cerah malam itu. Langit penuh bintang dan bulan bulat sempurna. Sayangnya suasana hatiku nggak seindah malam itu. Perasaanku gundah gulana. Seolah ada orang yang baru saja merenggut nyawaku dan aku ini zombie yang berjalan-jalan tanpa roh.

Menyebalkan sekali kalau sudah merasa bersalah seperti ini.

Aku melamun menatap vegetasi halaman belakang Granny. Selintas berharap ada pertunjukan residual energy yang menghibur, misalnya dahulu kala ada pertunjukan drama di sini atau apa gitu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, nggak ada gunanya juga pertunjukan drama. Aku bakal tetap merasa galau.

Aku masih tak dapat melupakan wajah Cazzo yang tersakiti sore tadi. Bagaimana tatapan matanya mencoba tegar menghadapi cobaan padahal dapat kulihat kilatan rasa perih di bola matanya. Dan saat bahunya berguncang, entah bagaimana, hatiku ikut teriris. Aku merasa bersalah sekali. Aku merasa tolol sekali.

Aku sudah tiba di sebuah fase di mana mati bukanlah ide buruk. Aku serius. Hatiku rasanya hampa mengingat-ingat lagi pemandangan itu. Maksudku, untuk apa lagi aku hidup? Image-ku sudah buruk karena seantero dunia sudah mencapku gay. Aku sudah nggak mungkin menikah dengan perempuan karena mereka semua sudah tahu aku cuma suka laki-laki. Nenekku perang, dan itu semua gara-gara aku. Dan yang kulakukan dalam hidupku hanya membuat kalut perasaan orang lain saja? Membuat banyak orang patah hati sementara orang yang kukejar bahkan nggak menginginkan aku ada di sampingnya?

Masuk akal, bukan, kalau aku menyusul Mom and Dad? Jelas-jelas aku bisa berkumpul bersama mereka di alam baka sana. Aku nggak perlu mikirin lagi soal cinta, soal sekolah, soal semua tetek bengek kehidupan yang hanya membuat kepalaku frustasi. Mungkin di alam baka justru aku bisa hidup tenang. Mungkin bahkan semua masalah-masalah duniawi ini bakal lenyap kalau aku masuk ke alam baka.

Sekarang tinggal mikirin gimana caranya biar aku bisa mati.

“Dickyyy!!”

Nah, kan, residual energy halaman belakang udah mulai bermunculan. Dan anehnya, aku nggak ngerasa takut sedikitpun. Mungkin karena aku sedang galau, jadi kalau tiba-tiba muncul pocong pun aku bakal biasa-biasa saja. Bukan berarti aku mengharapkan ada pocong di depanku atau apa, ya.

“Dickyyy!!”
Suara itu masih sayup-sayup kudengar. Saking sayupnya, aku malas mencari sumbernya.

Aku sudah membuat beberapa kesimpulan dari residual energy yang muncul di rumah Granny. Pertama, aku yakin banget anak tukang nangis itu adalah Bang Dicky. Wajahnya mirip banget dengan salah satu anak di foto-foto kamar terlarang, dan kalau kamu melihat alisnya, kamu pasti setuju dengan pendapatku. Apalagi ternyata residual energy Granny pun sanggup muncul, which means, dua orang anak itu bisa jadi masih hidup saat ini.

Kedua, aku yakin Bang Dicky sering diperkosa oleh Pak Darmo dan itulah satu-satunya alasan dia membunuh bapaknya sendiri. Sesuatu hal yang memang pantas dilakukan, sebetulnya. Gara-gara kejadian itulah makanya Bang Dicky mendadak gila dan mengasingkan diri di saat residual energy itu banyak bermunculan di rumah Granny. Mungkin dia menderita trauma atau phobia sesuatu. Selain phobia-nya terhadap pemakaman, yang sampai saat ini masih misteri bagiku.

Ketiga, Bang Dicky punya teman bernama Kila yang kelihatannya heroik dan best friend banget. Dan si Kila ini dulu sering main ke sini, which means dia tahu banyak tentang masa lalu rumah ini, which means Granny kenal, which means aku bisa mencari keberadaan Bang Kila ini di mana pun itu, karena bisa saja Kila masih hidup, kan? Umurnya pasti seumuran Bang Dicky. Mungkin dia sudah menikah dan punya anak? Mungkin dia juga tinggal di Cimahi dan selama ini Bang Dicky keep in touch?

Tapi sungguh, deh, melihat kondisiku seperti ini, malas banget kalau mesti nyari di mana Bang Kila berada. Jujur aja, aku udah setengah nggak peduli dengan misteri rumah ini. Mungkin misteri memang ada untuk tetap menjadi misteri. Mungkin beberapa hal memang sebaiknya dibiarkan rahasia untuk kepentingan banyak pihak. Mungkin memang benar kata Granny, ini bukan waktuku untuk mengetahui semuanya.

Mestinya aku fokus dengan masa depanku. Mestinya aku bahkan nggak mikirin ini sama sekali. Aku punya cita-cita kembali ke New Jersey dan melanjutkan kuliah di sana, at least di Amerika nggak ada yang tahu aku gay, kecuali ada anak CIS yang move out ke sana dan menyebarkannya seantero United States. Aku ingin jadi pengusaha yang sukses. Aku ingin seperti ayahku yang bisa dipindahkan dari Indonesia ke Amerika karena prestasi kerjanya. Aku ingin banyak uang supaya aku bisa berfoya-foya.

“Dickyyy!!”
“Berisik!” desisku. Kenapa suara sayup-sayup itu tetap muncul, sih? Kenapa nama Bang Dicky dipanggil-panggil terus? Memangnya petunjuk apa yang mau dipertontonkan padaku? Beneran, deh. It is absolutely clueless.
“Namaku Dicky! Dickyyy!! Di sini!”

Oh, sekarang sudah ada kemajuan ternyata—setelah aku sindir dalam hati. Tapi tetap saja, it shows me nothing. Aku masih nggak tahu dari arah mana suara sayup-sayup itu muncul. Seperti berada... jauh, sekali. Seperti ada seseorang yang berteriak dari rumah Jeng Nunuk ke rumah Granny. Bukan, mungkin sekitar tiga rumah dari sini, dan yang berteriak itu seperti berada dalam sebuah kotak kaca di mana suara susah keluar. Intinya suara itu keciiiil sekali. Mungkin untuk beberapa orang, kedengarannya seperti suara tikus yang mencicit.

Eh, tunggu! Ke mana workshop Bang Dicky?

Ketika aku menoleh ke sana kemari mencari sumber suara itu, aku menemukan bahwa workshop yang selama ini ada di pojok halaman belakang tiba-tiba menghilang. Semuanya digantikan dengan taman bunga indah yang ada kolam ikannya.

Sial. Aku pasti sedang masuk dunia residual energy. Kenapa mesti sekarang, sih? Kenapa mesti di halaman belakang? Kenapa mesti malam-malam dan saat aku lagi galau?

Aku tetap duduk di bangku semen, menatap sekeliling taman dan mencoba mencari sebuah pergerakan yang signifikan. Tapi halaman belakang ini tetap sepi. Tidak ada aktifitas visual residual energy di sini. Yang ada hanyalah nama Dicky yang terus menerus dipanggil. Yang kelihatannya berasal dari Bang Dicky sendiri.

Lima menit. Sepuluh menit.
Ya Tuhan, mana penampakannya? Kenapa nggak ada yang muncul sedikitpun? Kenapa workshopnya belum kembali ke halaman belakang? Aku masih terjebak di dunia residual energy, kan?

Dengan kesal aku meninggalkan tempat itu. Biar saja halaman belakang tetap tampil dalam mode residual energy, toh aku tetap bisa masuk ke rumah dan tidur di kamarku. Aku perlu istirahat. Semua kegalauan ini menguras energiku. Mungkin aku butuh spa, atau Thai Massage, atau...

Tunggu. Kenapa dapur Granny seperti ini? Ini jelas bukan dapur yang biasanya. Ketika aku masuk dari pintu belakang, aku melihat posisi dapur yang 100% berbeda dari dapur biasanya. Kulkasnya berbeda, kompornya berbeda, kumpulan pancinya berbeda. Astaga... memangnya dapur Granny juga kena efek residual energy?

Memangnya aku masih ada di dunia lain?

Tiba-tiba rasa ngeri merayapi tubuhku. Entah kenapa otakku tiba-tiba teringat film Silent Hill yang pernah kutonton waktu aku masih SD. Itu salah satu film terseram yang pernah kulihat. I mean, siapa yang mau terjebak di dunia lain?

Sekarang aku seperti Rose Da Silva, wanita di Silent Hill yang terjebak itu. Sial. Jantungku berdebar kencang sekarang. Gimana caranya aku bisa kembali?

“Mau teh manis anget?” Tiba-tiba Granny menghambur masuk ke dapur, mengenakan dress bunga-bunga seperti yang pernah kulihat sebelumnya, tapi kali ini warnanya lebih cerah. Rambut Granny dipotong pendek. Mirip Princess Diana yang gambarnya pernah kulihat di buku ensiklopedia.

“Nggak usah, Bu. Ambilin piring kecil aja. Saya udah bawa termos dari rumah, kok!”

Tunggu. Suara itu kukenal. Suara itu seperti pernah kudengar sebelumnya... bahkan mungkin aku sering mendengarnya. Nggak mungkin itu...

Aku berlari secepat kilat menuju ruang tengah, yang tentunya memiliki dekorasi berbeda dibandingkan yang kuhuni sekarang. Tidak ada tirai putih kuntilanak di jendela, tidak ada gadget canggih seperti laptop dan sophisticated-speaker yang sebetulnya saat ini sedang digunakan Granny yang asli untuk latihan, tidak ada juga TV plasma besar yang biasanya nongkrong di ruang tengah.

Ruangan ini lebih lembut dan hangat, dengan sofa warna mocca dan cover lampu meja motif retro. Lemari dan meja kayu jati bertengger di sepanjang ruangan, dengan lampu warna warni berbentuk air mancur diletakkan di sudut ruangan.

Tapi jantungku langsung berhenti berdetak saat melihat siapa yang duduk di atas sofa mocca itu.

Itu..

Itu...

Mom...

Dan Dad...

Dan seorang balita berumur dua tahun yang berlari kesana kemari menabrak sofa, sambil mengenakan sweter pink bergambar kelinci.

Itu...

Itu aku.

“Mangkok segede gini cukup?” Granny muncul sambil membawa sebaki teh manis disertai mangkuk bayi plastik warna putih. “Kayaknya punya Agas ketinggalan waktu bulan kemaren ke sini. Udah Ibu cuci, kok.”

“Makasih, Bu.” Mom buru-buru mengaduk tasnya mencari sesuatu. “Agas, sini! Itu salam dulu sama Nenek!”
“Agas... cucu cakep kesayangan Neneeek...” Granny membentangkan kedua tangannya dengan lebar, tapi Agas kecil malah menatapnya dengan pandangan “Apa sih kamu?” lalu berlari menuju lampu hias air mancur itu.

Tubuhku gemetar melihat pemandangan itu. Itu aku. Diriku. Belasan tahun lalu saat aku masih berumur dua tahun?
Aku terduduk di salah satu sofa, terpana melihat residual energy yang terhampar di depan mataku. Nggak mungkin aku bisa melihat ini semua. Nggak mungkin. Pasti aku mimpi. Pasti aku—

Oh, Mom! Aku kangen!

Tanpa sadar aku memeluk Mom tapi tubuhku menembus sosoknya. Aku terduduk lagi di sofaku sambil meneteskan airmata. Sudah beberapa bulan aku nggak melihat Mom. Dan Dad! Ya Tuhan, Dad begitu muda dan ganteng. Dan sekarang mereka berdua ada di hadapanku. Tampak lively! Tampak muda! Dan tampak... bahagia.

“Si Agas ini suka banget sama Promina lho, Bu,” ujar Mom sambil mengaduk-aduk semangkuk bubur lembut warna merah muda yang sudah dicampur air hangat. “Susah banget dikasih makanan lain kecuali Promina. Apalagi kalo dikasih buah-buahan, iiihh, dia benci.”

Aku benci buah-buahan?!
For God’s sake! Residual energy ini mengada-ada! Aku cinta buah-buahan!

“Tapi kemaren dia makan melon, kok,” timpal Dad. “Sebetulnya kalo dikasih susu, bakal dimakan ama si Agas.”
“Tapi tetep aja rewel kalo ngelihat ada buah-buahan di atas meja.” Mom memutar bola mata. “Agas sini Sayang... mamam dulu...!”

Aku menangis terisak-isak melihat pemandangan itu. Melihat Dad mengawasi Agas kecil berlari ke sana kemari, dengan tatapan khasnya yang penuh keyakinan. Lalu melihat Mom memutar bola matanya... aku rindu saat Mom sering memarahiku karena menjadi remaja bandel dan yang dia lakukan hanyalah memutar bola matanya. Andai aku bisa kembali ke masa-masa itu, aku nggak akan berkedip sedikit pun demi bisa melihat Mom lebih lama lagi.

“Mungkin kalian bisa coba Buah Naga,” usul Granny. “Ada temen Ibu yang tinggal di Thailand, katanya ada buah-buahan bagus yang bentar lagi mau diimpor ke Indonesia. Namanya Dragonfruit. Kali aja Agas suka.”
“Saya juga pernah denger,” sahut Dad. “Di Vietnam. Tapi kalo nggak salah itu tanaman hias. Hey-hey, Agas! Jangan narik-narik tirai.”

Agas kecil mengerutkan alisnya dan ngambek ke ayahnya. Dia berlari ke arah Ibunya lalu memeluknya.

Astaga, itu pasti bukan aku! Bukan! Aku kan nggak secengeng itu!

Tapi sekarang aku iri. Andai aku ini residual energy, mungkin sekarang aku sudah bisa memeluk Mom dan Dad.


Diubah terakhir kali oleh
MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 1:48 am, total pengubahan 1 kali.


Part 65
By Mario
 “Eh, Agas mau main sama Kila sama Dennis, nggak?” tanya Granny. “Mereka masih ada di sini, lho...”
“Emangnya belum pada pulang?” tanya Mom.
“Mereka nginep kayaknya. Bantuin pak Darmo bikin hiasan pagar buat kebun belakang.”

Kila dan Dennis?

“Tunggu bentar. Kilaaa? Denniiis?” Granny bangkit dan pergi ke kamar belakang. Meninggalkanku, Mom dan Dad, dan Agas kecil.

Aku terpana menatap keluarga kecil itu. Sebuah keluarga baru. Keluarga yang masih penuh senyuman. Dengan seorang anak balita tanpa dosa, yang sekarang sedang melempar-lemparkan bubur bayi ke arahku (untungnya hanya bayangan), lalu Mom marah dan menggendongnya... dan Dad malah asyik mencicipi bubur bayi itu.

“Mereka tuh jadinya diasuh sama si Ibu?” tanya Dad.
“Ah, nggak kok. Mereka juga pulang ke rumah,” jawab Mom. “Agas, jangan nakal! Jangan sampe Mama hukum Agas kayak malem kemarin waktu Agas mainin Lipstick Mama.”

Mukaku memerah. Astaga, sudah sejak kecil ternyata aku berbakat menjadi gay.

“Yang satu itu yatim-piatu kan, ya?” Dad menggelitiki Agas kecil yang nggak bisa diam. “Siapa sih, si Kila kan ya?”
“Iya. Dennis kan anaknya Pak Darmo. Anaknya tuh ada dua, yang paling gede tuh si Dicky.”

Dad merenung. Menatap Agas kecil yang merengek minta turun. Mendadak Dad manggut-manggut. Biasanya dia begitu kalau sedang mendapat ide. “Kalo kita bawa si Kila gimana?”
“Ke Amrik?”
“Yup. Nemenin si Agas.”
“Urusan administrasinya gimana? Kita mesti ngurus custody dulu, nggak?”

Dad mendesah. “Kita pikirin entar aja. Kita obrolin entar ama si Ibu. Lagian kita juga belum bilang soal itu.”

“Agaaasss!” Tiba-tiba dua bocah kecil yang akhir-akhir ini sering kulihat penampakan residualnya, muncul dari dapur. Granny berjalan di belakang mereka sambil tertawa-tawa. Anak yang biasa mengenakan baju Power Ranger langsung menggendong Agas kecil dan membawanya turun. Si anak topless pun dengan riang gembira langsung mencubit-cubit pipi balita itu.

Aku terperangah menatap pemandangan itu. Jadi bocah itu bukan Bang Dicky? Jadi itu adalah Dennis?
Orang yang dicari-cari Pak Darmo dan disayang Bang Dicky? Pantas saja dilihat dari mana pun, bocah itu nggak mirip Bang Dicky. Alisnya sih sama, dan caranya memberikan ekspresi lucu itu juga sama. Tapi dia bukan Bang Dicky.

“Main ke sana, yuk!” Dennis menggendong Agas kecil ke ruang makan. Kila dengan sigap menawarkan buah pisang yang ada di atas meja, dan Agas kecil langsung membuangnya ke lantai.

“Jadi kenapa nih, tumben malem-malem datang ke sini?” tanya Granny. Dia duduk di sofa dan meminum teh buatannya sendiri. “Mau ngambil celana-celana Agas yang ketinggalan di sini.”
“Ya nggak lah, Bu. Ada hal lain.” Mom menoleh ke arah Dad, dan Dad menoleh ke arah Mom, mereka berdua berpandangan, seolah sedang melakukan telepati di dalam hati mereka: “Kamu aja yang bilang”, “Nggak, ah, kamu aja yang bilang”.

“Melihat kondisi Indonesia yang kacau seperti ini,” Dad memulai, “Kemungkinan besar kami mau ke luar negeri.”
“Ke luar negeri? Ke mana? Thailand? Ibu punya temen lho di Thailand, mungkin kalian bisa mampir-mampir sebentar di sana.”
“Bukan, Bu. Bukan Thailand. Tapi lebih jauh dari itu.”
“Oooh, Ibu tahu.” Granny menjentikkan jarinya. “Pasti Jepang, kan? Nggak apa-apa kok, Darling. Meski Jepang pernah ngejajah negeri kita, tapi it’s okay kok kalo kalian ke sana.”

Dad menelan ludah. “Ngng... Bu, kami mau ke luar Asia. Kami mau pergi ke... Amerika.”
“Kalian mau liburan ke sana? Ke mananya? Disneyland?”
Mom menarik napas dan dengan hati-hati menjawab. “Kami mau pindah ke sana, Bu. Kami mau tinggal di sana.”

Kretek! Kretek! Tiba-tiba kudengar cangkir dan piring kecil yang dipegang Granny mengeluarkan bunyi. Granny terguncang. Tangannya gemetar dan napasnya seolah berhenti. Tapi kemudian Granny mencoba tergelak dan menganggap ucapan Mom barusan hanya lelucon saja. “Kalian pasti bercanda, kan?”

“Nggak, Bu, kami nggak bercanda. Kami mau pindah ke sana. Bukan dalam waktu dekat, sih, tapi kami bakal pindah ke sana,” ujar Mom.
Dad menambahkan, “Negara kita lagi krisis moneter. Ekonomi se-Asia nggak begitu stabil. Nilai tukar dollar udah terlalu tinggi dan perusahaan tempat saya bekerja mau narik semua sahamnya di sini lalu fokus dulu di negara asalnya, di Amerika. Di Indonesia bakal terjadi PHK besar-besaran, dan saya bisa jadi salah satu dari pegawai yang di-PHK, kecuali saya mau pindah ke Amerika dan menyelamatkan diri. Saya nggak bisa membuang kesempatan ini, Bu.”

Granny masih menunduk menatap cangkir tehnya, mencoba tegar, tapi tetap kelihatan terguncang. “Jadi kalian mau pergi dari hidup Ibu selama-lamanya?”

“Ya nggak lah, Bu,” Mom memutar bola mata. “Setiap tahun kami pasti pulang ke sini. Dan nggak usah khawatir, Agas pasti saya ajarin Bahasa Indonesia.”
“Kami berencana mudik ke Indonesia dua kali setahun,” tambah Dad. “Mungkin setiap lebaran dan setiap natal. Ibu juga boleh ngunjungin kami di sana, kok. Kami pasti nunggu kedatangan Ibu di sana.”

Granny masih terguncang. Mematung. “J-jadi... kapan kalian berangkat?”
“Itu kabar baiknya,” jawab Dad. “Kami nggak akan berangkat dalam waktu dekat. Kami berangkat sekitar dua atau tiga tahun lagi dari sekarang. Saya ditunjuk sama perusahaan buat ngurusin cabang di sini yang nyaris cease operation. Apakah nantinya bangkrut atau justru bertahan lewat dari tahun sembilan delapan ini, saya bakal tetep pindah ke Amerika. Semua dokumen udah diurus. Tinggal nunggu berangkat aja.”

Granny menyesap tehnya lagi, berusaha mengendalikan diri.

“Dan satu lagi,” ujar Dad, namun sebelumnya menoleh ke arah Mom minta dukungan, “tapi ini baru wacana aja, belum terlalu pasti. Rencananya kami pengen bawa Kila ke Amerika juga supaya Agas ada temen. Menurut Ibu gimana?”

“Kila yang itu?” sahut Granny sambil menoleh ke ruang makan. “Dia kan nggak bisa bahasa Inggris.”
“Agas juga belum bisa bahasa Inggris, Bu,” tukas Mom. “Ini bukan soal bahasa. Tapi gimana menurut Ibu kalau kita bawa dia ke Amerika?”

Granny merenung sebentar. Menatap ke langit-langit dan berpikir. “Yah... sebenernya kasihan juga si Kila itu, hidup numpang ke sana ke sini, tapi nggak pernah mau ngerepotin orang lain. Orang tuanya udah nggak ada. Ibu sih ragu dia mau ikut ke Amerika. Terakhir Ibu pergi ke Dufan, dia nggak mau ikut karena dia ngerasa nggak pantes aja. Aneh, kan? Padahal dia tinggal ikut, nggak usah bayar apa-apa.”

“Sounds like a good kid,” gumam Dad. “Tapi nggak usah terlalu dipikirin kok, itu cuma wacana aja.”
“Emang good kid,” sambut Granny. “Dan dia juga punya bibit-bibit ganteng. Mungkin kalo udah gede, Ibu mau kawin sama dia.”
“Ya ampun, Ibu... Ibu kan udah punya cucu!”
Lalu mereka semua tertawa.

Aku memutuskan untuk pergi ke ruang makan dan menonton Agas kecil bermain-main bersama Dennis dan Kila. Kakiku masih gemetar karena barusan aku melihat Mom dan Dad tampak sehat di hadapanku. Sudah berbulan-bulan aku nggak mendengar tawa mereka. Sudah berbulan-bulan aku nggak melihat Mom dan Dad duduk berdua, berdiskusi, melontarkan senyuman yang bikin rindu itu...

“Udah, aku aja yang gantiin.”
Ketika aku tiba di ruang makan, Agas Kecil sedang dibiarkan mengacak-acak kotak mainan di bawah meja. Dennis dan Kila berada satu meter di belakang Agas kecil, mendiskusikan sesuatu.
“Nggak usah, La. Udah cukup kamu bantuin aku terus.”
“Ngebantuin orang tuh nggak pernah cukup. Aku ikhlas, kok.”

Dennis menatap Agas kecil, lalu menatap Kila. Dia bimbang dan ragu. “Nggak usah, biar aku aja yang ke sana. Kila main ama Agas aja.” Dennis baru saja berbalik ketika Kila tiba-tiba menahan bahunya.
“Kamu gila ya?” seru Kila, tapi berbisik. “Masa depan kamu tuh lebih cerah. Jangan disia-siain demi hal kayak begitu.”

“Tapi itu bapak aku! Aku harus nurut kata-kata dia. Entar kata Pak Kiyai juga bisa durhaka kalo ngelawan orangtua. Entar aku dikutuk jadi batu kayak malin kundang!”
“Nggak mungkin! Yang bisa ngutuk tuh cuma ibu-ibu. Ibunya malin kundang, ibunya Sangkuriang si Dayang Sumbi, terus ibunya si Samosir. Lagian surga di telapak kaki ibu. Bukan di telapak kaki bapak. Udah kamu di sini aja sama Agas, aku yang ke sana.”

Belum juga Dennis merespon, Kila langsung mendorong Dennis ke arah Agas dan dirinya berlari keluar dari ruang makan. Kila lenyap dalam sedetik, meninggalkan Dennis menemani Agas kecil dengan perasaan hampa. Pikiran Dennis melayang ke sana kemari, tatapannya kosong. Bahkan saat Agas kecil melemparkan mobil-mobilan ke arah Dennis, anak itu masih saja merenung.

“Agas...” bisik Dennis. “Menurut kamu aku mesti gimana?”
“Ini! Ini!” Agas kecil menyuruh Dennis menerima boneka Barbie yang entah kenapa ada di kotak mainan itu.
“Aku pengen kabur, Gas. Aku boleh nggak tinggal di rumahnya Agas? Jadi tukang kebun kayak si Bapak juga boleh, lah.”
“Egang! Gang!” Sekarang Agas kecil menyerahkan sehelai dress Barbie yang mungil, kemudian dia kembali menyelusup ke kotak mainan mencari sesuatu.

“Aku udah nggak kuat, Gas.” Dennis terisak-isak. Sekuat tenaga dia menahan tangis. Sayangnya, nggak ada respon dari Agas kecil. Dia masih sibuk mencari sesuatu di kotak mainan. “Entar kalo Agas udah gede, udah banyak duit, bawa aku pergi, ya? Pokoknya jauh dari sini. Jadi pembantu juga nggak apa-apa.”

Dennis menunduk dan terisak-isak lagi. Sementara itu Agas kecil menjerit riang, “Naaaahh..!” sambil mengeluarkan boneka Barbie yang lain.

Astaga... orang lagi curhat kamu malah nyari boneka Barbie?!

Dennis mendongak dan langsung memeluk Agas kecil. Balita dua tahun itu berontak nggak mau dipeluk. Dia memukul-mukulkan boneka Barbie-nya ke kepala Dennis tetapi bocah itu tetap memeluk Agas tanpa peduli dengan barbie yang mengetuk-ngetuk kepalanya. Beberapa saat kemudian Dennis berbisik, “Kalo aku nggak ada, kamu janji ya bakal jagain Kila? Sebab aku sayang Kila, dan Agas juga pasti sayang Kila. Aku juga sayang Agas.”

“Agas? Agas?”

Mendadak dunia berubah gelap dan kepalaku pusing. Di telingaku terdengar suara-suara orang memanggil namaku. Bahkan dapat kurasakan bahuku diguncang-guncang.

Aku membuka mataku perlahan-lahan, membiasakan mataku dengan intensitas cahaya yang tiba-tiba masuk setelah dunia yang mendadak gelap barusan. Ketika pandanganku kembali jelas, aku melihat diriku terbaring di lantai, dikelilingi nenek-nenek Sweet Strawberry dan salah satu di antara mereka sedang menggenggam segelas air putih.

“Oh, Agas bangun!” pekik beberapa nenek.
“Minum ini,” sahut Jeng Imas. “Relax ya Sayang. Kalo kamu bisa duduk, cobain duduk. Kalo sesak napas, tidurin aja.”
“Kamu nggak apa-apa, Gas?” tanya nenek-nenek yang lain.
“Kamu tenang aja, Gas. Kamu berhasil ngelawan teluh jahat itu.”

Teluh jahat?

Lima menit kemudian aku sudah duduk di sofa ruang tengah, dikelilingi Sweet Strawberry yang langsung bergunjing ria.

“Keterlaluan mereka, pake cara mistik,” ujar salah satu di antaranya.
“Pantesan aku sering lihat si Esel nyabutin kembang dari kuburan,” balas yang lain.
“Hah? Esel suka nyabut kembang dari kuburan?”
“Iya. Bisa jadi dia dateng ke dukun santet, mungkin dia mau ngasih guna-guna ke rumah ini. Kayaknya kita pindah latihan aja ke rumahnya Jeng Dedeh, kan banyak lukisan kaligrafi Al-Quran tuh di dindingnya. Pasti kebal ngelawan santet. Buat amannya aja.”
“Boleh-boleh, tuh. Ide bagus. Supaya nggak ada korban kayak begini lagi.”
“Untung Agas bisa siuman, betul? Rendahan banget si Nunuk pake ngirim setan ke sini buat bikin orang-orang di sini kesurupan.”

Jadi mereka pikir aku kesurupan? Dan Jeng Nunuk lah yang membuatku kesurupan?

Aku mencari-cari Granny di antara Sweet Strawberry ini, tapi tak kutemukan batang hidungnya di manapun. Ketika aku menegakkan tubuhku, aku akhirnya menemukan Granny sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Granny tampak terguncang. Pandangannya kosong.

Sedetik kemudian pandanganku dan Granny bertemu. Dan dari tatapannya aku bisa melihat bahwa Granny tahu kalau aku masuk ke dunia residual energy itu.

-XxX-

Kalau dipikir-pikir, aku seperti masuk ke Pensieve-nya Harry Potter. Hanya saja aku nggak bisa mengontrol adegan apa yang ingin kumasuki. Makin sini fenomena residual energy-nya makin parah. Mulai dari muncul tokoh-tokohnya saja, sampai akhirnya aku benar-benar masuk ke dalam dunia tersebut. Which is questionable, karena aku belum bisa menemukan di Google soal masuk ke dunia residual energy tersebut.

Sepanjang malam aku nggak bisa tidur. Aku terus memikirkan fenomena residual energy yang baru saja kualami. Pikiranku terus menerus berputar membayangkan adegan-adegan itu, kata per kata yang diucapkan Dad waktu bilang mau pindah ke Amerika, dan bagaimana mirisnya mendengar bocah tujuh tahun curhat tentang kepahitan hidupnya.

Dan dini hari tadi, sekitar pukul dua, saat Bello sedang asyik menggoda tukang nasi goreng yang lewat depan rumah, aku tersentak dari tidurku karena aku memimpikan sesuatu. Aku memimpikan saat pertama kali aku bertemu dengan Zaki.

“Saya Zakila,” kata Zaki, menjabat tanganku, “panggilnya Zaki aja, bos!”

Dan di situlah aku mulai menyadari sesuatu.
Can you see?
Nggak mungkin ini hanya kebetulan semata.

Aku yakin ada hubungan erat antara Zaki dan Kila. Which I think... is just the same person.

-XxX-

Sore itu aku begitu bersemangat saat menyusuri gang menuju rumah Zaki. Pertama, makin siang makin yakinlah aku kalau Kila adalah Zaki dan Zaki adalah Kila. Zaki dan Kila sama-sama yatim piatu. Coincidence? No. Lalu, Zaki nggak tamat SD dan kapan itu aku dengar Kila dan Dennis membicarakan tentang sekolah:

“Iya, aku tahu.” Kila mendesah. “Lagian aku nggak pinter-pinter amat di sekolah. Nggak kayak kamu. Kalo kamu putus sekolah, sayang negeri ini. Entar Indonesia kehilangan anak pinter kayak kamu.”

Dari situ JELAS ada salah satu anak yang dikorbankan untuk putus sekolah, meskipun aku nggak tahu gara-gara apa, tapi memang Zaki lah yang putus sekolah dan dia berharap Dennis tetap sekolah supaya jadi anak yang pinter. Mestinya waktu itu aku lebih aware sama kata-kata makhluk residual energy ini, karena di dalam percakapan mereka tersimpan petunjuk yang sangat jelas.


Diubah terakhir kali oleh
MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 2:07 am, total pengubahan 2 kali.
Part 66
By Mario
Misalnya soal topless itu. Kenapa aku nggak nyadar sih kalo Zaki di zaman sekarang pun masih suka bertelanjang dada kemana-mana? Bukankah aku pernah berdebat dengan Cazzo soal Zaki yang suka mengumbar-ngumbar bagian atas tubuhnya? Mestinya—

Astaga, aku jadi keingetan Cazzo, deh. Dan perutku mulas lagi. Lupakan-lupakan-lupakan!

Intinya, petunjuk bahwa Zaki adalah Kila, Kila adalah Zaki begitu banyak. Jadi hari ini aku bakal mendatangi Zaki dan menceritakan semuanya. Kalau perlu aku akan memeluk Zaki, seperti di film-film, membisikkan kata-kata seperti, “Aku udah tahu semuanya,” lalu kami berdua menangis, lalu Zaki akhirnya bercerita soal masa lalunya yang kelam, dan aku mendengarkan kisahnya dengan penuh seksama.

Mungkin pada akhirnya kami akan bersama. Maksudku, Dennis memintaku untuk menjaga Zaki. Jadi wajar kalau aku—misalnya—pacaran dengan Zaki. Lagipula Zaki jatuh cinta padaku, kan? Lagipula dia memang ingin sekali pacaran denganku. Apa salahnya, coba?

Harapanku dengan Cazzo sudah pupus, dan aku nggak bisa terus menerus berharap sama Bang Dicky. Kenapa aku nggak mengambil kesempatan yang ada di depan mata? Lagipula Zaki nggak jelek, kok. For God’s sake, dia malah lebih ganteng dibandingkan Cazzo dan Bang Dicky.

Gelombang rasa sayang langsung menyelimuti tubuhku saat aku teringat setiap adegan Kila di fenomena residual energy yang selalu kulihat. Bagaimana Kila menjaga Dennis dengan seksama, memberitahukan posisi sembunyi yang aman, atau saat dia dengan heroiknya menggantikan posisi Dennis (aku mesti bertanya ke Zaki, posisi apa sih yang diperbincangkan di sini? Memangnya apa yang Pak Darmo lakukan pada mereka? Pelecehan seksual?"Benar-benar" pelecehan seksual?).

Zaki sedang menepuk-nepuk keset ke pagar ketika aku datang. Dan ya, dia topless sekarang. In fact, dia hanya mengenakan celana basket warna merah yang sekarang jadi kelihatan jelas betapa miripnya Zaki dan Kila. Kenapa nggak dari awal aku curiga kalau Kila tuh Zaki? Padahal warna kulitnya sama, dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, mata mereka juga sama.

“Bos?” Zaki mendongak, terkejut melihatku sudah ada di hadapannya. “Bos nggak apa-apa, kan? Denger-denger semalem Bos kesurupan.”
“Oh, itu. Tahu dari mana?”
“Dari Jeng Novi. Dia cerita katanya Bos tiba-tiba jalan ke ruang tengah kayak zombie. Pandangannya kosong, udah gitu dipanggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Bos nggak apa-apa, kan?”
“Ah, nggak apa-apa, kok. Tenang aja.”

Aku menelan ludah. “Aku mau ngomong sesuatu ama Bang Zaki.”
“Saya juga, Bos.” Zaki merapikan keset di pagar lalu mengajakku duduk di kursi teras.
“Bang Zaki dulu yang bilang,” usulku. “Udah gitu aku.”
“Bos aja dulu...”
“Ah, Bang Zaki dulu. Yang aku ini penting banget!”

Sebab aku mau nembak Zaki jadi pacarku, jadi ini mesti spesial. Aku udah mikirin soal ini seharian, bagus jeleknya aku pacaran dengan Zaki. Salah satu bagusnya sih Zaki bisa jadi bodyguard-ku, jadi Mahobia nggak akan pernah macam-macam lagi. Jeleknya ya semua orang kayaknya makin yakin aku ini gay, sekeras apapun aku berusaha membantahnya.

Lagipula aku pengen banget nyenengin Zaki. I mean, setelah segala sesuatu yang dia alami waktu kecil, dia berhak buat hidup bahagia sekarang. Aku bakal mengajarinya bahasa Inggris. Kalau perlu, kalau memang ada uang sisa begitu harta warisan Dad jatuh ke tanganku, aku akan mengajak Zaki ke Amerika, dan mungkin saja menyekolahkannya di sekolah pilot. Nggak ada batasan usia untuk sekolah pilot. Yang penting dapet CPL maka bisa kerja di airline.

Lagian juga, berita apa sih yang mau disampaikan Zaki sampai-sampai beritaku harus duluan?

Zaki merenung mengambil keputusan. Belum juga dia mengatakan sesuatu, tiba-tiba dari rumah Zaki muncul Zaenab, hanya mengenakan daster tipis yang saking tipisnya aku bisa melihat puting payudaranya.

“Bebeb, ari panci anu—eeeh, ada si juragan!” Zaenab buru-buru menyodorkan tangannya dan aku dimintanya mencium tangannya. “Baru datang, kamu téh? Kenapa atuh nggak disuruh masuk?”
“Masuk, Bos?” Zaki mengedikkan kepalanya.

Sialan. Aku benci wanita ini.

“Ah, nggak usah, aku di sini aja.” Aku nyengir basa-basi ke arah Zaenab dan cewek itupun membalasnya dengan cengiran terlalu tulus.

“Bebeb,” Zaenab kembali ke Zaki. “Panci anu bekas masak mieh semalem téh disimpen di mana? Kenapa nggak ada di dapur?”
“Di belakang mungkin?”
“Oooh, yang konéng itu? Ooohh.. sugan téh Bebeb semalem pake yang héjo!”

Zaenab pun masuk lagi ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di teras. Zaki menoleh perlahan-lahan ke arahku, lalu dengan malu-malu mulai membuka mulutnya. Awalnya dia ragu, apalagi dia melirik sekilas ke arahku, meyakinkan dirinya sendiri. Tapi kemudian Zaki mengatakan juga maksudnya.

“Itu yang mau aku bilangin, Bos.”
“Apa? Soal Zaenab?” Aku menyipitkan mata. “Bukannya udah sering si Zaenab ke sini?”

Zaki menarik napas dan mengumpulkan keberanian. “Aku mau nikah sama Zaenab, Bos. Aku udah ngelamar dia kemarin.”

-XxX-

Tanganku masih gemetaran ketika aku tiba di rumah. Aku nggak percaya beginilah rasanya patah hati. Well, aku nggak cinta-cinta banget sama Zaki, tapi mendengar kabar tersebut membuat jantungku serasa ditusuk dan tubuhku menggigil.

“Saya nggak mau bikin masa depan Bos jadi suram gara-gara saya,” ujar Zaki beralasan. “Lebih baik saya nikah sekarang aja, biar saya tahu saya punya tanggungan yang pasti. Lagipula saya sama Bos nggak akan pernah berhasil.”

Zaki terus saja mengoceh alasannya menikah dengan Zaenab, termasuk soal Zaenab merupakan satu-satunya cewek yang mau hook up ama dia jutaan kali regardless his tiny dick. Pikiranku melantur saat itu, aku bahkan nggak mendengarkan keseluruhan alasan Zaki karena aku terlalu shock mendengarnya.

Kenapa semua mesti berakhir seperti ini? Kenapa semua harus terjadi seperti ini? Mestinya kami berdua berpelukan, Zaki menjadi pacarku dan kami membahas panjang lebar soal Dennis dan masa kecilnya. Aku bahkan belum menyebut-nyebut soal Kila sampai aku pulang ke rumah. Itupun karena Zaenab menginterupsi kami melulu, katanya mereka berdua mau pergi ketemu orangtuanya Zaenab di daerah Antapani, mau ngebicarain soal perkawinan mereka, jadi Zaki nggak bisa bicara lama-lama.

Dengan gontai aku masuk ke kamar dan menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Aku lelah sekali dan badanku masih menggigil mendapati semua rencanaku nggak berjalan dengan baik. Well, sekarang jelas sudah, nggak ada alasan lagi Adam bilang hidupku perfect. I mean, salah satu cowok yang sebetulnya bisa saja jadi pacarku sekarang mau menikah dengan seorang cewek.

Cewek kampung, to be exact. Aku masih nggak ngerti, kenapa harus Zaenab?

“Bang Dicky?”

Saat aku sedang asyik bergundah gulana di atas ranjangku, aku melihat Bang Dicky lewat dari ruang tamu menuju ruang tengah. Aku yakin banget itu Bang Dicky! Pintu kamarku terbuka lebar dan aku bisa melihat dengan jelas wajah Bang Dicky barusan. Apa dia sudah memutuskan untuk kembali? Apakah masalah-masalahnya sudah selesai?


Diubah terakhir kali oleh
MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 2:16 am, total pengubahan 1 kali.

Buru-buru aku turun dari ranjang dan menghambur ke ruang tengah. Bang Dicky sedang berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kelihatan lebih kurus dari belakang. Dan badannya menggigil. Dia menyeret-nyeret kakinya lalu terjatuh lemas di depan pintu belakang. Aku berlari menghampirinya, bermaksud membantunya berdiri, tapi begitu aku mencoba menyentuh lengannya...

... tanganku menembusnya.

Ini bukan Bang Dicky.

Ini residual energy.

Bang Dicky perlahan-lahan bangkit, menyeret kakinya ke halaman belakang, bersembunyi di belakang workshop, lalu terduduk lesu. Aku mengikutinya sampai dia berhenti. Bang Dicky tampak pucat. Banyak sekali bekas luka di tubuhnya, beberapa bagian kausnya sobek. Meski Bang Dicky hanya sebuah bayangan, tapi aku bisa melihat keringat di wajahnya. Dan tatapan ketakutan itu. Tatapan yang sama yang terakhir kali kulihat di ruang tengah sebelum Bang Dicky menghilang berminggu-minggu.

Bang Dicky kembali gemetaran, memeluk lututnya. Dia kelihatan seperti orang gila. Cemas melihat ke sekitar, menggigil nggak keruan, menggemeretakkan giginya. Badannya bergerak maju mundur, seperti anak kecil gugup yang ketakutan.

“Bang Dicky?” panggilku perlahan. Which of course, sekeras apapun aku berteriak, Bang Dicky nggak akan menoleh.

Bang Dicky menoleh ke arah rumah Granny, lalu ke tanaman anggur, sesekali ke langit dan kembali ke rumah Granny. Dia seperti menunggu sesuatu. Dia pun seperti sedang dikejar sesuatu.

Aku memerhatikan setiap inchi dari Bang Dicky. Dia kelihatan seperti remaja akhir. Ada bekas jerawat di beberapa bagian wajahnya dan tubuhnya yang agak kurus membuatku merasa miris. Pipinya nggak sepadat biasanya. Bang Dicky kelihatan sangat... muda.

Dan rapuh.

“A Dicky!” seru seseorang dari rumah Granny. Aku menoleh dan melihat Kila sedang berlari ke arah kami. Kila kelihatan lebih tua sekarang, tubuhnya membesar dan lengan-lengannya lebih berisi. Dia juga kelihatan lebih fresh. Dengan gaya rambut baru, kulit terang mulus, dan pakaian yang layak. Aku menduga dia sudah sebelas tahun sekarang. Dua belas, lah. Masih kelihatan seperti anak kecil, tapi jelas dia ‘tumbuh’.

“Dennis ilang, La...” desah Bang Dicky dengan cemas. Dia langsung menarik Kila bersembunyi ke balik sesuatu apapun itu di masa lalu, yang jujur saja sekarang tidak ada lagi kecuali semak-semak kecil di sekitarnya.

“Iya, aku udah tau, A,” bisik Kila. Bocah itu kelihatan ragu tapi akhirnya dia mengatakan sesuatu, “Aku juga tau soal si Bapak.”

Bang Dicky mendelik ke arah Kila dan mengerutkan alisnya. “K-kamu tau apa?” Bang Dicky terdengar panik.

Kila menelan ludah dan dengan takut memandang Bang Dicky. “Aku tau soal... yah... apa yang Bang Dicky... lakuin, ke... si Bapak.” Kila menunduk dan menggigit bibirnya. Bersiap jika Bang Dicky tiba-tiba marah padanya.

Tapi Bang Dicky hanya mematung ketakutan, napasnya memburu. Tanpa respon apa-apa. Dia menatap Kila dengan tatapan kosong.

“J-jadi sekarang... kamu mau lapor... ke polisi...?”
Kila menggeleng mantap. “Nggak, A. Aku mah nggak akan laporin Aa ke polisi.” Kila menunduk lagi. “Aku tau kok alasan Aa nge... ngng...” Zaki ragu menyebutkan kata itu. “Yah itu, si bapak. Aku mah ngerti, A. Dan itu bukan salah Aa, kok.”

“Tapi ngebunuh orang itu dosa, La!”
“Ah, kata Pak Kiyai juga kalo kita lagi posisinya kayak begitu, ngebunuh pun jadi halal.” Kila tiba-tiba memeluk Bang Dicky. “Aa tenang aja, lah. Nggak usah mikirin apa-apa.”
“T-tapi...” Bahu Bang Dicky berguncang, dia terisak-isak menangis.

“Sekarang Aa mah santai aja. Bentar lagi kayaknya polisi ke sini, sebab udah banyak tetangga yang ngelihat jasad si Bapak. Kalo polisi datang...” Kila menelan ludah. “Aku yang bakal bilang ke polisi kalo aku yang bunuh si Bapak.”
Bang Dicky mendongak. “Kamu tolol, ya?”

“Iya, A, mumpung aku tolol,” jawab Kila. “Lagian sayang pisan atuh kalo Aa masuk penjara gara-gara si Bapak. Kata Nenek, kalo kita pernah dipenjara, kita nggak bisa ngelamar kerja kemana-mana. Katanya juga nggak bisa kuliah di kuliahan. Aa kan mau masuk kuliah sekarang.”
“Tapi kalo kamu masuk penjara—“
“Aku nggak peduli, A,” potong Kila. “Lagian aku mah kan udah nggak sekolah lagi. Nggak ngaruh, lah. Sekolah juga nggak akan dapet ranking satu kayak Dennis.”

Mereka berdua terdiam. Sementara aku gemetar mendengar informasi baru tersebut.

“Aa nggak usah khawatir,” bisik Kila. “Aku sayang Aa sama Dennis. Sekarang Dennis udah ilang, nggak tau kabarnya gimana. Aku nggak mau kehilangan Aa juga. Jadi biarlah aku aja yang ditangkep polisi, A. Aku mah ikhlas.”

Bang Dicky menggeleng. “Nggak, Kila, kamu nggak boleh gitu. Ini sama sekali bukan kesalahan kamu. Lagian bulan depan kamu mau ke Amerika bareng keluarganya Agas.”
“Aa aja yang ke Amerika. Aku mah nggak bisa Bahasa Inggris ah, A. Malu entar ngomongnya gimana.”

“Nggak bisa...” Bang Dicky tetap menggelengkan kepala dan terisak-isak. “Kamu nggak mesti nanggung ini semua.”
“Udah terlanjur, A...”
“Maksud kamu apa?”

Kila menarik napas. “Aku udah bilang sama Nenek kalo aku yang ngebunuh si Bapak.”

Bang Dicky terpana. Bahunya kembali berguncang dan dia tampak tertekan.

“Sekarang Aa fokus aja nyari Dennis, biar aku aja yang ikut sama polisi entar. Aku nggak takut kok ikut sama polisi.” Kila berdiri dan berjalan mundur. “Cari Dennis ya A!”

Bang Dicky mendongak dan berteriak. “Zakila! Tunggu!”

Aku berlutut lemas di atas tanah, tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Bahuku berguncang. Mataku meleleh. Jadi beginikah yang terjadi selama ini? Jadi sejauh inikah pengorbanan yang sudah dilakukan Zaki untuk semua orang di sini? Jadi itukah yang dimaksud Granny cobaan yang besar?

Dadaku sesak dan napasku putus-putus. Sekelebat bayangan Zaki muncul di otakku. Bagaimana dia kecewa ketika dia tahu bahwa aku nggak mungkin milih dia waktu di perpus... Bagaimana dia kecewa ketika aku lebih memilih untuk mengejar Cazzo... Bagaimana dia akhirnya terpaksa menikahi Zaenab... Wajah polos Zaki itu... Yang selalu dengan jujur mengungkapkan apa yang dia inginkan... Yang dengan ikhlas selalu mengalah...

Yang menggantikan Bang Dicky untuk masuk penjara?

Sekarang aku ingin mati. Benar-benar ingin mati. Kenapa aku harus menyakiti hati banyak orang? Siapa lagi yang bakal jadi korbanku?

To Be Continued...



Fiuh! Akhirnya selesai juga. Meski meleset 2 jam dari perkiraan (dikirain bakal finish jam 12 malem, eeeh, ga taunya sekarang udah jam setengah tiga), tapi lega banget akhirnya chapter 9 udah terbit.
Semoga chapter ini bisa dinikmati layaknya chapter2 sebelumnya.
Mohon maaf kalau kurang menarik dibandingkan chapter2 dulu.
dan Mohon maklum kalo misal ceritanya ketebak, sebab ternyata sulit banget reveal sebuah rahasia satu persatu tanpa menimbulkan kesan gampang ditebak. dan saya masih belajar untuk jadi penulis yang karyanya ga gampang ditebak. jadi mohon feedback-nya, supaya ke depannya bisa saya perbaiki lagi.

mohon maaf juga di beberapa post terakhir banyak kata yang mestinya dimiringin, tapi ga saya miringin... kenapa? karena udah malem, Bos... Bro... udah ngantuk dan sebagian besar yang mestinya dimiringin jadi missed.. hehe.. mohon maklum yaa...

jangan lupa juga laporan dari pembaca2 saya yang tersayang soal:
- Mistype
- Mispell
- Grammar Error
- Plot Error (yang nggak nyambung dengan cerita sebelumnya)
- Distraction (hal2 yang mengganggu/mengganjal... tapi yang jelas bukan Esel, yaa.. LOL)

Supaya saya bisa langsung edit dan evaluasi.

terima kasih yang sebesar2nya buat kalian semua karena masih mau juga baca cerita saya yang panjang nggak ketulungan ini. di saat yang lain tampil simpel di gay story-nya GIF, eeeeh saya malah tampil ala sinetron, panjang kesana kemari...

sekali lagi. selamat menikmati.

:love you: :love you: :love you:


Diubah terakhir kali oleh
MarioBastian on Sel Feb 21, 2012 2:32 am, total pengubahan 2 kali.