Senin, 21 Mei 2012

KADANG CUPID TUH TOLOL CHAPTER 5


PART 37

“Kita bicarain ini nanti aja, Sayank... Nenek mau masak dinner dulu. Kamu pasti belum makan seharian.”
“Tapi Granny maafin aku, kan?”
“Manusia nggak ada yang sempurna, Darling... Nenek bukan Tuhan yang berhak nyalahin seseorang. Udah deh, kamu istirahat dulu. Cup cup.”

“Tapi Granny mau cerita kan?”
“Cerita apa?”
“Soal kamar itu. Soal pak Darmo. Soal peti mati. Semuanya.” Aku membungkuk dan agak berbisik. “Soal Bang Dicky juga. Aku udah penasaran sejak dulu, ada apa sih di rumah ini? Banyak banget hal-hal yang aku nggak tau.”

“Iya Sayank, iya. Kita bahas nanti, ya?” Dan Granny pun berlalu menuju dapur.
“Aku temenin Bang Dicky aja ya, Granny?”
Eit-eit, nggak usah. Udah kamu ke kamar aja, Sayank, temenin temen kamu itu. Bang Dicky lagi pengen sendiri. Bentar lagi juga dia siuman.”

Siuman?
Emangnya Bang Dicky sedang apa sekarang? Kerasukan?

Saat aku memasuki kamarku, kulihat Cazzo sedang duduk di atas ranjangku, asyik menikmati pancake hangat yang disiram madu. Tubuhnya hanya dibalut selimutku, sementara di dalamnya dapat kulihat dia telanjang.

“Hey, Bro! Lo udah siuman?” sapanya.
“Eh, belum. Aku lagi gentayangan.”
Cazzo seketika memukul lenganku. “Jangan bercanda gitu, ah Bro! Nggak lucu!”

Aku duduk di samping Cazzo di atas ranjang, ikut menikmati pancake madu itu.

“Ngapain bugil?”
“Ah, lo nggak tau sih pengalaman gue ama tuh setan gimana. Iiiihhh... serem abis, Bro!” Terdengar nada bangga di kalimatnya, dan Cazzo antusias sekali menceritakannya. “Gue mau diperkosa, Bro! Diperkosa!”
“Ama yang mana? Yang bapak-bapak atau yang kuntilanak?”

“Yang bapak-bapak dong, Bro!” Cazzo mencubit lenganku. “Udah deh, nggak usah nyebut-nyebut nama si Tante! Gue benci!”
“Terus gimana? Jadi? Diperkosanya?”
“Ya nggak, lah... kan nenek lo keburu dateng.”

“Emang kamu lagi sadar gitu pas kejadian itu? Bukannya kamu yang pingsan duluan.”
“Iya sih. Tapi pas hantu tukang kebun itu mindahin gue ke kamar lo, lucutin baju gue satu per satu, gue kebangunin bro...”
“Bangun karena pengen nikmatin perkosaannya?”

Cazzo langsung memukul mukaku dengan bantal—salah satu pancake jatuh ke atas lantai. “Nggak lucu, ah! Apaan sih lo, motong-motong gue nyerita aja!” Dan Cazzo terlihat cemberut. Dia kelihatan cute banget kalo udah ngambek kayak begitu. Jadi nggak heran aku selalu menggodanya. “Gue bangun karena dia manggil-manggil Dennis mulu.”

“Dan kamu ngerasa nama kamu Dennis?”

Tiba-tiba saja Cazzo membekap mulutku dan menindih tubuhku. “Berisik! Gue belum selesai nyerita!”
Dalam hati aku cekikikan. Senang sekali kalo Cazzo udah jengkel macam begitu. Hihi.

“Dasar banyak omong, lu!” Cazzo pun melanjutkan bercerita sementara tangannya masih membekap mulutku. Aku mencium bau gula dari tangannya... dan meski kurus, tulang Cazzo lumayan besar. Agak ser-seran juga darahku dibekap oleh cowok seganteng Cazzo. Apalagi sekarang selimutnya terjatuh, membuatku dapat melihat tubuh kurus khas remaja, yang berotot-otot kecil, dan masih berkulit mulus.

“Tuh setan mulai ngulum-ngulum jempol kaki gue. Hiiii...” lanjut Cazzo sambil bergidik ngeri membayangkannya. “Rasanya aneh, Bro. Dingin. Jijik. Hiii...”

“Masa?” kataku, meski masih dibekap.
“Eit-eit, nggak boleh ngomong!” Cazzo membekapku makin kuat. “Lo diem aja, nggak usah ikut campur. Nggak usah banyak nanya.”
“Iya-iya iya!” Aku mendorong tangan Cazzo dari mulutku. “Aku nggak bisa napas, Cazzo! Uhhuukk!”

“Diem!”
“Iya-iya.”

Aku dan Cazzo kembali duduk manis di atas ranjang. Cowok itu menatapku waspada, takut kalau aku mengatakan sesuatu yang bisa bikin mood berceritanya hancur. Aku pun menjejali mulutku dengan pancake biar bisa diam.

“Nenek lo datang di saat yang tepat!” kata Cazzo, melanjutkan cerita. “Pas hantu tukang kebun itu mulai jilatin betis gue, nenek lo tiba-tiba muncul, ngegebrak pintu, dan ngejerit pake bahasa Sunda. Gue nggak ngerti nenek lo ngomong apa, tapi begitu dijampi-jampiin sama nenek lo, si tukang kebun kabur keluar rumah.”

“Jadi hantunya—“
“Hey-hey-hey!” jerit Cazzo. “Kan mestinya diem!”
Aku memutar bola mata.

“Hantunya nggak langsung kabur. Dia masih ada di sekitar rumah ini,” lanjut Cazzo, sambil melahap satu lagi pancake. “Nenek lo sih langsung ngejer hantu itu, sementara gue masih diem di kamar. Yaaah, jaga-jaga kamar ini lah, kali aja hantunya masuk lagi ke sini. Kalo dia masuk lagi, kan bisa gue libas! Gimana kalo ada barang-barang lo yang dicuri, coba?” Cazzo menelan ludah, nggak berani menatap mataku.

Ha-ha. Like I will believe that part?
Bagian diem di kamar aku yakin bukan karena “ngejaga kamar”. Aku bahkan membayangkan Cazzo sedang menggigil ketakutan, muka pucat pasi, terlalu lelah untuk pingsan, dan mengompol di atas ranjangku. Dari tadi aku mencium bau pesing seliweran di kamar ini.

“Nggak taunya, bener! Tuh setan muncul lagi ke kamar lo! Dan nenek lo masuk lagi ke sini, kayak lagi kucing-kucingan!” Cazzo meneguk dulu teh yang ada di nakas. “Udah gitu, kita bertiga bertarung, ngelawan hantu tukang kebun, ciat... ciat... ciat... kayak Pirates of Carribean aja gimana. Seru, lah. Sampe akhirnya nenek lo menang karena dia berhasil nyeret tuh hantu keluar dari kamar, pergi ke belakang, nggak tau deh ngapain, pokoknya dia bilang sekarang udah aman.”

Pirates of Carribean, ledekku dalam hati. Bullshit-nya kejauhan.

“Eh, tapi yang gue heranin,” Cazzo membungkuk dan mulai berbisik, “Itu abang lo kenapa? Dia kayak yang kesurupan.”
Aku mengangkat bahu.
“Lo tau sebabnya apa?”
Aku menggeleng.

“Pas si hantu tukang kebun muncul, dia langsung gemeteran. Kayak yang ketakutan. Belum pernah lihat setan, ya? Kok bisa-bisanya ada orang yang takut lihat setan sampe gemeteran kayak begitu.”

Lah, kamu sendiri kalo lihat setan langsung pingsan!!

Aku mengangkat alis dan bahuku, definitely clueless dan sama-sama wondering soal itu. I mean, selama ini Bang Dicky paling antusias nyari sosok si Kunti. Jadi kalo Bang Dicky justru gemetaran pas lihat hantu Pak Darmo (which is bapaknya sendiri), aku juga bertanya-tanya.

Mungkin karena itu adalah bapaknya... bapak yang dibunuhnya, jadi dia takut arwah gentayangan itu balas dendam atau apa gitu.

But still, kenapa yang dicari hantu Pak Darmo adalah Dennis?
Apakah ini Dennis yang sama dengan yang disebutkan Bang Dicky beberapa minggu yang lalu?

“Kok lo ngelamun? Jawab dong!” Cazzo membuyarkan lamunanku.

Aku langsung mengangkat tangan dan menggerak-gerakkannya seperti bahasa isyarat. Membuat tanda silang, menjentik telinga, menangkupkan tangan di atas punggung tangan yang lain, menyimpan dagu di jempol, apapun random seperti bahasa isyarat.

“Yeeh, emangnya lo bisu, hah? Ngomong dong...”
“Katanya tadi nggak boleh ngomong.”
“Barusan kan gue nanya. Jadi mesti dijawab.” Alis Cazzo mengerut. Dan dia terlihat makin cute.

Aku tertawa dan kembali melahap pancake buatan Granny.
“Cazzo,” kataku, lebih santai, “Sorry ya karena aku ngelibatin kamu sama kejadian ini. Sebenernya tadi aku ngajak kamu ke sini kan mau maen keluar. Aku juga pengen pergi dari sini. Pengen lepas dari teror hantu itu. Tapi, eeehhh, kita malah keburu kena perangkapnya, deh...”

Don’t worry, Bro! Gue nggak apa-apa, kok!” Cazzo nyengir. Tiba-tiba dia memelukku dan kami berdekapan dengan erat. “Gue justru seneng bisa ketemu lo hari ini. Gue...”

Hening sebentar. Aku menunggu apa yang mau dikatakannya.

“Gue...” Cazzo mendekapku lebih erat, tak mau melepaskan pelukannya, takut aku bakal bereaksi macam-macam. “Gue kangen lo, Gas.”

Kangen?

“Lo udah berhari-hari nggak sekolah. Rasanya sepi banget, Gas.”
“Oh, please,” Aku memutar bola mata, “baru juga tiga hari aku nggak masuk.”
“Ya tapi buat gue itu kayak tiga tahun. Gue kayak yang nggak punya temen di CIS.”

“Mahobianya gimana?”
“Yaelah, kan gue udah bilang, gue udah berhenti terobsesi masuk genk itu lagi. Udah bosen, ah. Kebanyakan orang. Jadinya terlalu banyak pendapat.”

Cazzo mengelus-elus punggungku, mendekap lebih erat. “Temen gue kan sekarang cuma lo.” Dan dia membenamkan mukanya di bahuku. “Satu-satunya yang ada di hati gue.”

Ya Tuhan...

Tiga menit kemudian kami baru melepaskan pelukan itu dan kamar langsung hening tanpa obrolan. Of course, gara-gara perkataan Cazzo barusan, suasana jadi canggung. Masing-masing dari kami, nggak ada yang berani memulai pembicaraan.

Aku menghela napas. Melirik Cazzo sekali, melihat dia sedang melakuan apa. Oh. Ternyata dia juga sedang melirik sekali ke arahku. Mungkin ingin melihat aku sedang melakukan apa. Ya Tuhan, kenapa kami jadi canggung begini, ya?

“Ngomong-ngomong,” kataku akhirnya, “Granny ngomong sesuatu nggak tentang hantu itu?”
Pertanyaan itu memang sudah ingin kuajukan dari tadi, hanya saja aku belum dapat kesempatan. Aku berpikir, mungkin Cazzo diberitahu sesuatu oleh Granny, misal siapa hantu itu, sejarah kematiannya, motif gentayangannya, atau apapun itu. Bisa jadi memang Cazzo bertanya banyak hal dan Granny terpaksa memberitahu. Dalam film horor pun, selalu ada bagian di mana si tokoh diberitahu “yang sebenarnya” oleh tokoh lain. Nah, “yang sebenarnya” inilah yang sudah kutunggu-tunggu sejak tadi.

Sejak datang ke rumah ini, malah.

“Hantu tukang kebun?” tanya Cazzo balik.
“Ya, yang tukang kebun. Misal kenapa dia gentayangan, lah... atau apa gitu. Atau mungkin Granny ngasih tau tentang si Dennis itu.”
“Oh, kalo itu sih nggak.” Cazzo mengerutkan alisnya dan berpikir. “Tapi nenek lo tadi cerita sih, kalo hantu itu emang dulunya tukang kebun. Dia tukang kebun halaman belakang rumah, katanya di sana banyak tanaman produktifnya. Nggak tau deh. Emang bener, ya? Ada pohon anggur? Pohon alpuket?”

Tukang kebun?
Jadi pak Darmo memang seorang tukang kebun sebelum gentayangan di rumah ini?
Tukang kebun yang bugil?
Tukang kebun dengan anak seorang pemahat bingkai?

Dia cari siapa sih, Dennis itu? Anaknya? Apakah itu...
Tunggu.
Apakah itu anak laki-laki satu lagi di foto keluarga kamar terlarang?

“Tapi oh, nenek lo juga bilang ini,” lanjut Cazzo kemudian. “Dennis yang dia cari-cari, katanya agak mirip ama lo. Badannya sih lebih mirip gue, makanya gue tadi dibawa ama dia ke kamar ini. Tapi wajahnya, mirip lo, Bro. Nenek lo yang bilang sendiri.”

-XxX-

“Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Aku baik-baik aja. Lihat nih, masih seksi, kan?”
“Dia tadi nggak ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh ke kamu?”
“Oh, nggak. Justru aku yang ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh ke dia. Kayak misalnya aku ngelemparin biji kenari ke dia. Hihihi. Nanny mesti lihat mukanya kayak gimana!”


Percakapan barusan kudengar dari kamar Granny. Percakapan antara Granny dan seseorang yang entah perempuan entah laki-laki—mungkin suaranya tengah-tengah, tapi bukan suara banci—membicarakan sesuatu yang rahasia. Jelas banget mereka berbisik-bisik, tapi entah kenapa aku justru dapat mendengarnya dari kamarku.

Sekarang sudah pukul sebelas malam. Rumah sudah hening dan sepi. Aku berbaring di ranjangku, memegang novel tapi nggak ada mood membacanya. Otakku masih bercampur aduk memikirkan kejadian selama 36 jam terakhir.

Waktu makan malam tadi, Granny bersikeras untuk menceritakan tentang hal ini besok pagi. Katanya pamali membicarakannya malam-malam. Dan itu diperparah dengan Cazzo yang setuju setengah mati untuk nggak ngebahas di balik layar fenomena-fenomena yang terjadi di rumah ini. Dia lebih senang membicarakan pertarungan Pirates of Carribean-nya tadi siang.

Aku mencoba memancing agar pembicaraan tetap di jalur yang kuinginkan dengan cara menceritakan kedatangan Jeng Nunuk tadi siang. Granny kaget. Bukan kaget karena Jeng Nunuk membeberkan rahasia “melihara kuntilanak”-nya Granny padaku. Tapi kaget karena Jeng Nunuk berani-beraninya datang ke sini dan menyusupkan cucunya ke dapur.

“Dia pasti mau nyuri Kaus Morgan punya Nenek!” sungut Granny marah. “Kaus Morgan itu udah ditandatanganin langsung sama Morgan Oey, Nenek dapetin waktu Sm*sh manggung di Gasibu. Nenek tahu, Jeng Nunuk pasti sirik! Huh! Dasar nini-nini centil!”

“Ya! Dan dia nyerita soal Nenek melihara kuntilanak!” kataku sambil tertawa palsu. “Bener nggak sih, Nek?”
“Ini nggak bisa dibiarin!” sahut Granny. “Nenek bakal bales dia lebih kejam lagi! Terang-terangan aja sekalian! Lewat facebook!”

“Eh? Bukan itu, Granny... soal kuntilanak barusan—“
“Nenek punya lho, foto Jeng Nunuk lagi ngupil! Ih, jijay banget, Sayank... Zhonk banget deh kalo di-tag di facebook!”
“Wah, bagus deh kalo gitu!” Aku menyeringai. “Terus, soal kuntilanak itu—“
“Nenek bakal upload foto Zhonk-nya si Nunuk itu, udah gitu tag ke semua orang yang kita kenal, dan kita lihat gimana reaksinya! Untung Nenek nggak punya foto Zhonk macam foto dia.”

PART 38


“Jeng Nunuk tuh neneknya Esel si banci, bukan?” Cazzo nimbrung.
“Nah iya, yang itu! Nyebelin, kan?”
“Bangeeett!” Cazzo tampak berapi-api. “Si Esel, cucunya, Iiiihhh...! Amit-amit deh... Dia pernah pura-pura jadi cewek dan ngajak gue cam! Kurang ajar!”

Dan makan malam pun berakhir sambil membicarakan Esel and the Family. Sedikitpun topik nggak pernah kembali ke bahasan kuntilanak. Apalagi soal kejadian selama 36 jam terakhir, jauuuh deh. Granny emang paling jago ganti topik. Sekaligus jago jaga rahasia.

Aku sih, kalau punya kekuatan lihat hantu dan melihara kuntilanak, aku bakal pastikan semua orang tahu tentang itu.

Cazzo sudah pulang sejak jam sembilan tadi. Dia terlihat lebih tenang sekarang berada di rumah Granny. Salut, deh. Aku pikir Cazzo menganggap rumahku ini rumah mistis, sampai ke pemilik-pemiliknya dianggap mistis. Tapi malam ini, setelah kejadian sore tadi, tiba-tiba Cazzo kehilangan rasa takutnya dengan rumah Granny. Dia bahkan bersahabat karib dengan Granny.

But of course, dia tetap nggak mau membahas apapun berbau si Tante.

Sementara itu, Bang Dicky, batang hidungnya udah lenyap sebelum aku duduk di ruang makan. Granny bilang Bang Dicky udah pulang (tanpa pamit, tanpa suara, dan tanpa kabar). Tiba-tiba hilang begitu saja tanpa kusadari. Terakhir aku lihat Bang Dicky ya sebelum aku masuk ke kamarku tadi untuk bertemu Cazzo.

Sepanjang malam, aku menghabiskannya dengan bertanya-tanya. Aku bahkan mengeluarkan notes dan menulis apa saja yang menjadi misteri bagiku, khususnya dengan rumah ini.

Pertama, jelas ada satu skenario kecil di sini: Pak Darmo, tukang kebun, bekerja di rumah Granny. Dia punya anak, bang Dicky (dan mungkin yang satu lagi itu Dennis). Bang Dicky membunuh pak Darmo, lalu hantu pak Darmo gentayangan, dan dia mencari Dennis.

Oke, agak nggak nyambung. Mungkin memang ada bagian yang hilang di tengah-tengah, yang membuat skenario tadi kedengaran nggak singkron. Tapi ada satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku:

Kemana ibunya bang Dicky?

Aku sama sekali belum mendengar kabar soal ibunya Bang Dicky. Aku ingat waktu kami mengunjungi makam orang tuaku, bang Dicky sempat kepergok berdiri di depan sebuah makam. Makam siapa itu? Makam bapaknya? Ibunya? Apa dia benar-benar yatim piatu? Atau Ibunya masih hidup?

Misteri tentang Dicky ini benar-benar menguras tenaga. Banyak sekali hal yang tidak kuketahui tentang bang Dicky, dan petunjuk-petunjuknya hanya sedikit. Tau-tau aku tahu kalau Bang Dicky membunuh bapaknya sendiri. Tau-tau aku tahu kalau Bang Dicky menyayangi seseorang yang bernama Dennis, yang juga dicari hantu pak Darmo. Sebetulnya ada apa dengan Bang Dicky? Apa rahasia yang dia simpan?

Kletak! Kletak!

Sialan. Bunyi itu lagi!

Aku mematung di atas ranjang, telingaku waspada mendengar suara-suara lain yang mungkin muncul. Mataku langsung awas. Otomatis melihat ke arah atas lemari, ke jendela, ke langit-langit, dan tentunya ke meja rias. Pembicaraan Granny sudah tidak kudengar lagi (dimana aku sempat berpikir bahwa mungkin Granny sedang mengobrol bersama kuntilanak peliharaannya—kalau memang ada). Komplek perumahan terdengar hening. Sangaaat hening.

Kletak!

Bunyi itu muncul lagi.

Itu bukan hantu pak Darmo, kan?
Granny sih sudah berkali-kali bilang padaku, urusan hantu pak Darmo sudah aman untuk sementara. Entah maksudnya apa. Tapi aku tetap berhati-hati saja, karena—

Astaga.

Aku membekap mulutku, merinding dan berkeringat dingin lagi. Jantungku berdebar. Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat.

Dari layar monitor komputerku, tiba-tiba muncul sebuah tangan pucat keriput. Tangan itu menggapai-gapai keluar. Jemarinya menari-nari seperti sedang berolahraga. Lalu lama kelamaan, lengannya muncul. Menampilkan lengan paling buruk yang pernah kulihat. Lengan itu dibalut kain putih terawang yang kotor penuh tanah.

Di atas ranjang, aku ketakutan setengah mati. Badanku menggigil.

Kini, kepala pemilik tangan itu muncul. Dan seperti dugaanku, itu adalah kepala si Kunti! Rambutnya yang hitam gimbal... kulit wajahnya yang pucat... lingkaran hitam di sekitar matanya... semuanya perlahan-lahan keluar dari layar monitorku! mulutnya menganga mengeluarkan erangan kesakitan yang terbata-bata. Nyaris mirip kuntilanak yang keluar dari televisi di film The Ring!

Aku membeku tak bisa bergerak di atas ranjang, sementara si Kunti perlahan-lahan keluar dari monitor.

Salah satu tangannya sudah bertumpu di atas meja, tepat menindih keyboard-ku. Dan bahunya mulai keluar...

Eh...
Tunggu. Bahunya tersangkut.

Ugh! Ugh!” Kudengar si Kunti mendengus-dengus marah sambil mencoba menarik badannya keluar dari monitor. Kain putihnya tersangkut sesuatu... dan bisa juga karena badannya nggak muat keluar dari situ.

For God’s sake, that’s a 32 inch monitor! Gimana caranya dia bisa tersangkut segala?!

Uuuggh!” si Kunti menarik dengan kuat tubuhnya keluar. Dia bahkan mendorong-dorong dari dalam, “Ugh! Ugh! Ugh!” Persis kuda jantan yang lagi ngehamilin kuda betina. “Uuuuggghh...” sekuat tenaga si Kunti mencoba mengeluarkan bahunya yang tersangkut di monitor... dan akhirnya...

Buukk! Buukk!!

Si Kunti terpental keluar dan terjatuh ke atas lantai. Bunyinya nggak begitu keras—mungkin karena dia basic-nya makhluk halus. Tapi si Kunti menjerit-jerit kaget dan kesakitan. “Aw-aw-aw! Aaargh!” Dan tubuhnya sekarang tersungkur di depan lemariku.

Aku memandang dengan heran fenomena di hadapanku. Apa yang dia lakukan? Dia bercanda, ya? Dia pikir ini Scary Movie, hah?

Dan ketika si Kunti perlahan-lahan berdiri, agak limbung karena mesti pegangan ke lemari dulu (dan tangannya menekan pinggang, kelihatan banget dia agak sakit punggung)... ternyata rambutnya jatuh!

Ya! Rambut gimbal hitam itu jatuh ke atas lantai. Semuanya. Setiap helainya jatuh ke atas lantai. Seolah-olah rambut itu adalah wig... dan yang tersisa dari kepala si Kunti adalah... rambut pirang keemasan yang bersinar. Keriting. Pendek. Seperti rambut laki-laki. Dan terlihat indah.

Hihihihihihi....” Si Kunti mencoba mengembalikan harga dirinya dengan langsung cekikikan menakutkan. Tapi sungguh, aku nggak takut lagi sekarang. Aku melongo nggak percaya. “Hihihihi...” Dan mungkin sebentar lagi si Kunti mulai menyanyi.

“I-itu.” Dengan berani aku menunjuk rambut si Kunti di lantai. “R-rambutnya... j-jatoh!”
Hihihihi—apa?” Dengan terkejut si Kunti memegang kepalanya. Dia meraba-raba rambut emasnya yang indah itu dan kelihatan agak malu. Aku bisa melihatnya dari mukanya yang memerah. Ya, tepat di bawah lingkaran hitam besar di sekitar matanya itu, pipi si Kunti memerah.


Tapi karena dia sudah jatuh dari aksi “keluar dari monitornya”, lalu rambutnya juga jatuh, dia memutuskan untuk nggak kehilangan harga dirinya lebih jauh. Dia tetap mencoba menakut-nakutiku dengan berjalan ke arahku. Berjalan! Dia mengangkat kakinya! Dia nggak melayang seperti yang dia lakukan siang tadi sambil membawa teflon! Dia berjalan dan...

Disaster!

Dia menginjak gaun putih panjangnya yang kotor itu dan tersingkaplah...
Ya Tuhan...
Tubuh pria yang atletis!

What?
Kenapa di balik gaun panjang kuntilanak ada tubuh cowok yang berlekuk seperti itu?! Tubuh telanjang, hanya mengenakan cawat putih bersih di atas hamparan kulit kecoklatan yang menawan!
Tunggu. Dia sebenarnya apa??

Si Kunti kaget melihat gaunnya merosot seperti itu. Dia langsung menutupi bagian selangkangan dan dadanya, berusaha setengah mati mengambil gaunnya lagi untuk menutupi tubuhnya. Tapi terlambat. Dia sudah kepergok.

Dia bukan kuntilanak!

Karena malu... dan mungkin juga karena sebagian besar rahasianya sudah terbongkar. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka topengnya sekalian. Dari balik wajah kuntilanak menyeramkan itu muncul lah... wajah malaikat. Wajah seorang pria yang menawan dan menggemaskan.

Wajah yang pernah kulihat sebelumnya. Wajah yang kukenal.

“Cupid?” tanyaku.
Ssst! Ssst!” Dia menyimpan telunjuk di depan bibirnya. “Jangan keras-keras, nanti Nanny tau!”

Si Cupid melompat ke atas ranjangku, tampak begitu mempesona sekaligus misterius. “Oke, maaf kalo penampilan aku malem ini jelek banget. But please, jangan bilang-bilang Nanny kalo kamu udah tau siapa aku, oke?”

“Apa?”
“Jangan bilang-bilang Nanny kalau kamu udah tau siapa si Kunti tuh sebenernya.”

Aku terdiam, menatapnya nggak percaya.

“Dan nggak usah khawatir. Sekarang aku nggak bakal mukul kepala kamu lagi kayak waktu di workshop itu!”
“Mukul kepala?”
“Ya! Waktu aku cerita soal Bang Dicky!”

Aku memicingkan mata. Bener-bener nggak ngerti maksudnya apa.

“Kamu sama sekali nggak inget?” Cupid terlihat terkejut. “Kamu nggak inget satupun yang kita bicarain di workshop waktu itu?”

Aku menggeleng.

“Bahkan soal Ibunya bang Dicky yang gila itu?”

Ibunya Bang Dicky yang gila itu?

“Kan aku udah bilang,” lanjut si Cupid, “Kepala Bang Dicky berdarah karena dipukul sama Ibunya yang gila itu. Udah gitu aku ceritain sama kamu kronologi kejadiannya, aku praktekin, dan nggak taunya kamu malah jadi korban aku. Masa sih kamu nggak inget?”


TO BE CONTINUED...


akhir kata, semoga chapter 7 bisa menghibur, meski saya nggak begitu optimis chapter yang ini sebagus chapter sebelumnya..
sebab proses pembuatannya bener2 diganggu banyak kerjaan...
kadang cuma berhasil bikin dua atau tiga kalimat aja, udah gitu ditinggal dua hari, dan eeehhh keburu lupa cerita awalnya...

seperti biasa, komentar saran dan kritik, dan kalau ada kejanggalan, jangan lupa dilaporin, biar bisa saya koreksi..
thank you thank you thank you udah baca...

:love you: :love you: :love you:


“Yogyakarta tuh kayak gimana, sih?”

Untuk pertanyaan yang satu ini, aku nggak perlu mikir dua kali untuk angkat bahu. Seumur hidup aku nggak pernah pergi ke Yogya. Mungkin pernah satu atau dua kali waktu umurku tiga atau empat tahun, tapi aku kan nggak ingat sama sekali. Bahkan saat aku meng-Google kota Yogyakarta dan mendapat gambaran eksotis berupa candi, tugu dan bangunan-bangunan tua, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana kota Yogya sebenarnya.

“Kamu bilang kamu punya temen di sana. Siapa namanya?”
“Adam.”
“Nah, itu. Namanya bagus, ya? Kayak nama orang pertama di dunia ini.”

Aku nggak mengomentari pernyataan Bello yang terakhir, tanganku terlalu sibuk melipat sleeveless abu-abu untuk kumasukkan ke dalam suitcase.

“Baju kayak begitu mau dibawa ke Yogya?” Bello menyipitkan mata.
“Buat tidur aja,” sahutku. “Lagian di sana kan panas. Kali aja aku butuh satu atau dua baju yang nggak bikin gerah.”
“Aku, mau panas mau dingin, bajuku tetep seksi... Cuma kain doang.” Dan Bello pun tertawa.

Kalian tahu siapa Bello?
Bello adalah cupid peliharaan Granny yang sudah tinggal di sini sejak bertahun-tahun lalu. Dia sendiri nggak tahu pasti sudah berapa lama dia di sini karena kemampuan “menghitung hari”-nya benar-benar buruk. Bahkan, nama Bello itu dia karang sendiri. Pertama kali berkenalan denganku, dia langsung menyebut nama “Bello” untuk dirinya sendiri. Dan setelah aku google apa itu Bello, ternyata artinya “Ganteng” dalam bahasa Italia.

Sudah satu minggu berlalu sejak Bello masih pura-pura jadi si Kunti, lalu merangkak keluar dari meja riasku, dan akhirnya ketahuan bahwa kuntilanak di rumahku selama ini palsu. Sejak saat itu kami jadi sahabat dekat. Atau lebih tepatnya, cupid yang satu ini terus menerus melayang di sekitarku dan mengajakku ngobrol. Tapi setiap Granny lewat, dia bakal berubah bentuk menjadi kuntilanak dan aku dipaksa menjerit ketakutan supaya kelihatan masuk akal.

Meski secara fisik Bello kelihatan seperti cupid, dan Bello memang bersikeras bahwa dia adalah cupid, di mataku dia hanyalah makhluk halus tukang melayang yang sering bikin heboh lewat penampakan-penampakan. I mean, definisi dari cupid pun sepertinya dia nggak tahu. Panah dan busur emas yang sehari-hari menggantung di punggungnya kelihatan nggak berguna karena sama sekali nggak dipakainya.

“Emangnya kamu nggak ada kerjaan ngejodohin orang-orang gitu? Kenapa setiap detik ngebuntutin aku terus?” tanyaku suatu hari—waktu aku kesal karena Bello melayang-layang terus. “Cupid kan mestinya nembakin orang-orang biar jatuh cinta.”
“Aku sih gimana perintah Bos-ku,” jawab Bello. “Gimana Nanny.”
“Dan kenapa bentukmu kayak cowok dewasa, hah? Mestinya kan cupid tuh balita, for God’s sake... kamu tahu akibatnya buat aku waktu ngelihat cowok telanjang bulat, cuma ditutupin kain putih doang, melayang-layang di sekitarku, kadang-kadang aku takut ada angin berhembus dan kain itu ngangkat atau apa, lah...”

“Aku nggak bilang ke Nanny kalo kamu gay, kok—“
“Bukan soal itu!” Aku memutar bola mata. “Soal fisik kamu ini... kenapa bukan balita lucu?”

Bello diam sejenak. Kemudian mengangkat bahu. “Aku juga penasaran,” katanya kemudian, “Kenapa begitu, ya?”

Sampai saat itu, aku masih yakin cupid adalah dewa mungil lucu yang tugasnya mempersatukan manusia lewat cinta. Tapi sejak Bello muncul dalam hidupku, mengklaim dirinya adalah salah satu dari jutaan cupid yang tercipta (aku bahkan baru tahu cupid jumlahnya jutaan), aku jadi punya keyakinan baru... cupid memang dewa mungil lucu, tapi kadang cupid tuh tolol. Khususnya cupid yang satu ini. Mungkin Bello agak-agak konslet waktu diciptakan, begitu?

Bello fisiknya berbentuk cowok akhir remaja. Badannya tipikal “wow” yang bikin iri banyak pria dan bikin nafsu para waria. Rambutnya yang emas selalu membuatku tergoda untuk menjambaknya dan membawanya ke toko emas terdekat—sebab rambutnya benar-benar berkilau.

Satu hal yang paling aku benci dari Bello adalah... dia sepertiku!
Maksudku, cara bicaranya dan pemilihan kata yang digunakannya, seolah-olah aku mendengar diriku sendiri bicara. Bello pun mulai belajar menggunakan “I mean”, “For God’s sake”, dan bahkan “Oh, please...” dalam setiap kalimatnya. Dan kapan itu, tiga hari yang lalu, dia terus menerus mengulang I mean seharian. Sewaktu Granny berdoa, “Semoga Sm*sh dan Cherrybelle duet di Inbox hari ini!” Bello menjawabnya dengan “I mean”.

Paling parah sih waktu kami berdua lewat sebuah Mesjid dekat komplek, ada yang sedang shalat berjamaah di dalamnya, dan ketika imam membacakan, “... ghairil maghdu bialaihim, waladdzaaliin...” Bello berteriak, “I Meeaaan...!

Tolol, kan?

“Agaaas... kamu mau bawa puding buat besok?” Granny tiba-tiba melongokkan kepalanya di pintu, membuat Bello ngacir ke bawah kasur dan bersembunyi. “Nenek juga beli Nutrijell, lho! Rasa leci! Kamu pernah nyoba Nutrijell di Amerika?”

“Apa tuh Nutrijell?”
“Agar-agar kenyal. Kamu mesti cobain, deh. Nenek bikinin sekarang, ya?” Dan mata Granny menyapu kamarku di setiap sudutnya. Aku curiga dia ke sini bukan mau menawarkan Nutrijell, tapi mau mencari cupid peliharaannya.
“Sip-sip-sip! Ditunggu Nutrijell-nya!” kataku.

Granny bergeming. Matanya sedang meneliti meja riasku, seolah bakal muncul seekor kuntilanak lagi dari situ. “Kalo brownies, mau? Nenek tadi ke Brownies Amanda juga waktu belanja. Nenek beli yang rasa vanilla!”
“Boleh-boleh... bawa aja, Granny. Sorry, aku belum selesai packing-nya.”

Granny nggak bergerak. Matanya sedang meneliti lemariku. Dia masih mencari Bello. “Kalau Surabi gimana? Kamu mau bawa surabi imut buat besok? Kalo iya Nenek pesenin sekarang, minta diantar ke sini.”
“Gimana Granny aja. Aku lagi sibuk beres-beres nih.”

Granny sekarang mengangkat kepalanya, mencoba mengecek jendela. “Kalau batagor—“
“Grannnyyy...” potongku dengan geram. “Apapun yang mau Granny kasih, silakan bawa ke sini. Granny lagi nyari apa, sih?”
Granny buru-buru memasang senyum. “Nggak kok, Dear. Nggak nyari apa-apa.” Matanya mendelik terakhir kali ke arah komputerku. Tapi akhirnya Granny pergi juga. “Ya udah, Nenek bawain Brownies, ya.”
“Thank youuu...”

Dan pintu pun tertutup kembali.

“Bikin kaget aja, ya...” ujar Bello sambil melayang keluar dari bawah ranjang. Lama-lama dia makin mirip hantu, bukan cupid lagi.
“Bikin repot aja, bukan bikin kaget aja,” sanggahku. “Coba minggir! Tadi celana pendek aku yang abu-abu ada di mana?”

“Oh-oh, di sini!” Bello melayang menuju meja komputer dan menunjukkanku celana pendek abu-abu yang entah bagaimana bisa terdampar di situ.

Weekend ini, aku dan teman sekelompokku di mata pelajaran Seni dan Budaya, kebagian tugas meneliti Daerah Istimewa Yogyakarta—khususnya soal seni dan budaya wilayah tersebut. Begitu aku masuk sekolah empat hari lalu, setelah suspended selama seminggu, tiba-tiba saja aku ada di kelompok delapan kelas Seni dan Budaya dan mereka memutuskan untuk meneliti kota Yogya sambil liburan. (Aku bahkan tidak tahu alasan mereka memilih tempat ini apa.)

Alhasil dalam waktu yang serba mendadak ini, aku harus menyiapkan banyak hal, mulai dari daftar materi yang akan dijadikan acuan penelitian, hingga daftar oleh-oleh khas Yogya yang diminta teman-teman kelas yang lain. To make it worse, Granny memaksa kami semua pergi menggunakan pesawat terbang supaya dia mendapat poin tambahan di Easy Flyer-nya, dan minta kirim salam sama Captain Wibowo—pilot yang Granny yakin bakal membawa kami terbang ke Yogya.


Kami sekelompok berlima. Ada aku, Tina, Sarah, Meisa, dan ajaibnya... ada Cazzo juga.

“Kita sekelompok di pelajaran Budaya Seni!” pekiknya empat hari lalu saat aku tiba di sekolah. “Dan kita mau ke Yogya!”
“Ngapain?”
“Penelitian gitu, lah... masa lo nggak ngerti, sih? Itu kan pelajaran, Bro! Pelajaran karyawisata!”
“Terus apa yang diteliti?”
“Ya Yogya-nya...”

Aku mengerutkan alis. “Apanya?”
“Ya itu, ngng...” Cazzo menggaruk kepalanya dan bingung mau menjawab apa. “Kotanya lah... Negaranya, lah...”
Aku makin mengernyitkan dahi.
“Lo kelihatan sehat banget, Gas!” Tiba-tiba saja Cazzo mengubah topik dan sampai hari ini berusaha keras nggak membahas tujuan penelitian tersebut bersamaku. Kecuali kalau membahas apa saja yang bakal kami lakukan di Yogya.

Waktu aku diberitahu soal tiga anggota kelompok sisanya yang ikut bersamaku, aku langsung meramalkan bahwa penelitian ke Yogya ini bakal menjadi perjalanan yang melelahkan. Sudah bukan rahasia lagi kalo Tina Sarah Meisa adalah fans berat Cazzo. Saking ngefans-nya mereka bertarung habis-habisan dengan cewek-cewek lain supaya sekelompok dengan Cazzo.

“Gue sampe mesti ngejual Kate Spade 500 dollar gue demi bisa nyingkirin si Cherryl dari ikutan ke kelompok delapan,” sungut Meisa lusa kemarin waktu kami sedang mengumpukan materi penelitian di perpustakaan. (Maksudnya, “aku” yang mengumpulkan materi, tiga orang cewek itu malah membahas Rebecca Black yang ada di majalah Cosmo.)

“Gue mesti neror rumahnya si Janine dulu biar dia mau lepasin kelompok delapan itu buat gue,” balas Sarah. “Eeww.. nggak kebayang deh kalo Cazzo dideketin Janine! Disgusting...”
“Dan mereka nggak tahu diri! Kalian tahu kelompok tiga mau penelitian ke mana?” sahut Tina. “Mereka mau ke Yogya juga! Kayaknya sengaja deh mereka ngebuntutin kita-kita yang pretty beautiful ini demi bisa deketin Cazzo.”
“Kelompok tiga tuh yang ada si Esel-nya, yah?”
Ember...”

Dan itulah alasan lain mengapa perjalanan ini bakal jadi perjalanan yang melelahkan. Esel, musuh bebuyutanku, juga ada dalam perjalanan menuju Yogya ini. (Aku bahkan baru tahu dia mengambil kelas Seni dan Budaya. Dan aku bahkan baru sadar kelas-kelas yang dia ambil sama persis dengan kelasnya Cazzo.) Esel ada di kelompok tiga, sama-sama mengambil kota Yogya sebagai obyek penelitian, dan semua-mua anggota kelompok itu fans berat Cazzo juga.

Semoga aja kelompok 1, 2, 4, 5, 6, 7, 9 dan lain-lain nggak ikut ke Yogya demi mengejar Cazzo. I meeeaaan...

Aku menyelesaikan packing-ku sebelum pukul delapan malam. Granny sudah dua kali bolak balik ke kamarku, pura-pura membawakan Brownies dan menanyakan soal kalung emasnya, “Kamu lihat kalung Nenek yang emas itu? Mungkin nyangkut di bawah kasur kamu, gitu?” Padahal dia mencari-cari Bello di seantero kamarku, matanya jelalatan ke setiap sudut. Dia curiga cupid itu bersembunyi di sini—memang iya, kok—dan secara halus ingin menggusur cupid itu keluar tanpa kusadari.

Aku menghempaskan tubuhku yang lelah di atas ranjang, lalu bergumam, “Aku kangen Bang Dicky. Andai aku tahu dia ada di mana.”

Pop!
Bello tiba-tiba muncul di hadapanku dengan suara pop kecil, mengedarkan asap-asap tipis di sekitarnya.
“Kalau tahu, kamu mau ke sana?”

Aku mengangguk mantap. “Yeah, sure! Kenapa nggak?”
“Bahkan meskipun Dicky ada di ujung dunia?”
“Memangnya di mana ujung dunia itu?”

“Ya di ujung dunia...” Bello memutar otak. “Pokoknya ada, lah...” Dia menoleh sedikit ke bawah, masih berusaha keras mengingat-ingat, di manakah ujung dunia itu? “Ya pokoknya, ada lah... sebab ada peribahasanya. Carilah ilmu sampai ke ujung dunia.”

“Sampai ke Negeri Cina!” ralatku geram sambil memutar bola mata. “Memangnya ilmu apa yang ada di ujung dunia? Ujung dunia tuh jurang, kan?”

Rrrrrmmmmm..!! Rrrrrmmmm...!!
Tiba-tiba saja kudengar raungan motor dari depan rumahku. Suaranya jelas sekali. Saking jelasnya aku tahu bahwa itu motornya Cazzo.
“Cazzo?” gumamku sambil turun dari ranjang.
“Aku lihat dulu!” Pop! Bello menghilang. Pop! Bello muncul lagi. “Iya, Cazzo! Dia lagi markirin motornya depan rumah!”

Dalam semenit, aku sudah mengenakan sandalku, berjalan menyusuri teras dan menemui Cazzo di gerbang depan. Itu benar Cazzo. Dia mengenakan jaket kulit (membuat dia kelihatan macho), celana jeans gelap, dan sneakers flanel. Saat aku menghampirinya, dia sedang sibuk mengambil helm yang dikaitkan di joknya dan langsung melemparkannya padaku.

Hap!
“Apa nih?” kataku bingung begitu menerima lemparan helmnya.
“Itu helm, Odong!” Cazzo menggeram. Dia menaiki lagi motornya, mengenakan lagi helm-nya, dan menyelah motor besarnya. “Naik, Bro!”

“Ke mana?” Aku mengerutkan alis.
“Belanja, dooong... besok kan mau keluar kota!”
“Belanja apa lagi? Kita cuma pergi tiga hari doang, nggak perlu barang-bar—“
“Aaah, berisik!” potongnya. “Cepet naik!”

“Tapi aku cuma pake celana pendek, pake sandal—“
Who cares!”
“Aku ambil dompet dulu—“
“Ah, lama!”

Cazzo sudah keburu melompat dari motornya, mengejarku, dan merangkul kepalaku dengan kuat. Dia lalu berusaha menarikku naik ke motornya, nggak peduli bahwa aku hanya mengenakan kaus butut untuk tidur, celana pendek, sandal cantik punya Granny, dan no cells no wallet.

“Gue cuma punya waktu bentar,” sungutnya. “Yuk cepetan! Atau lo gue cipok kalo lo tetep rese!”

Cipok? Cipok tuh, kan...

-XxX-

Lain kali, setiap kudengar “rrrmmm-rrrmmm” suara motor Cazzo depan rumah, aku bakal memastikan kakiku dibalut celana panjang, dan di tanganku tersampir jaket, serta ponsel—dan dompet—sebelum aku keluar rumah. Siapa tahu dia bakal nekat begini lagi, membawaku makan di pusat kota dengan penampilan seperti bocah ingusan baru keluar dari kamar mandi.

“Aku pikir kita mau belanja!” sungutku agak ngambek. “Ke Indomart atau apa, kek...”
“Nanti seudah makan,” jawab Cazzo. “Gue pengen makan steak dulu. Cepetan. Lo pesen apa?”
“Kamu sengaja ya pengen ngajak aku keluar? Katanya tadi bilang kebetulan lewat, mampir bentar, tapi kenapa sampe ngajak makan segala?”
“Emang cuma mampir, kok!”

Aku memutar bola mata. “Dari Padalarang ke Setiabudhi nggak bisa disebut mampir, Stupid! Itu namanya ‘niat’!”
“Terserah gue dong! Lo mau apa? Beef Stroganoff?”
“Terserah. Aku udah makan banyak Brownies di rumah tadi, masih agak kenyang.”

BY: MARIO

PART 40

Di luar dugaan, Cazzo ternyata membawaku ke Javan Steak di jalan Sulanjana—dekat Dago—untuk makan malam. Thank God, ini bukan restoran mewah di mana kita harus pakai formal suit dan sepatu pantofel biar bisa masuk. Javan Steak terletak di sebuah garasi sebuah rumah, berupa warung sederhana dengan menu steak beraneka ragam bumbu. Sebagian besar pengunjung adalah muda mudi yang nongkrong bareng kawan-kawannya.

“Nenek lo udah nyerita soal kemaren?” tanya Cazzo setelah menyerahkan pesanan kami. Dia jadi cowok yang terobsesi dengan misteri akhir-akhir ini. Tapi dia tetap phobia hal-hal mistis, kok. Hanya karena dia berhasil melewati momen-momen mistis minggu lalu, dia jadi terlalu bangga, dan setiap detik membahasnya dengan siapapun, seolah dia baru mendapatkan nobel perdamaian. Tapi begitu aku bilang ada kuntilanak lagi nongkrong di atas pohon, dia langsung ngamuk.

“Cuma informasi umum,” jawabku. “Seperti yang kubilang, Granny paling pinter nyimpen rahasia. Dia jago banget berkelit.”

Sejak kejadian “Pak Darmo” minggu lalu, aku masih belum dapet clue soal what is actually happened on the house! Sewaktu aku mengganggu Granny dengan menanyakannya berulang kali, Granny cuma bilang, “Ini bukan waktu yang tepat, Darling. Tunggu ya, nanti Nenek pasti kasih tahu. Mau beli es krim?”

Jadi sampai saat ini kesimpulanku masih merujuk pada: Pak Darmo tukang kebun Granny -> Pak Darmo mati -> Pak Darmo dibunuh Bang Dicky -> jasad Pak Darmo ada di kamar terlarang -> Pak Darmo gentayangan waktu ngebuka pintu -> Pak Darmo mencari Dennis -> Dennis (kemungkinan besar) anaknya Pak Darmo (atau adiknya Bang Dicky) -> dan katanya (kalau dilihat-lihat) Dennis tuh mirip aku... atau Cazzo.

Padahal seingatku, kalau memang foto anak kecil yang ada di kamar terlarang itu adalah Bang Dicky dan Dennis, aku rasa sedikitpun mereka nggak mirip aku. Atau Cazzo—satupun dari mereka nggak ada yang berdarah Italia. Dennis lebih mirip... Bang Dicky, justru. Bulatan wajahnya dan bentuk alisnya agak mirip dengan Bang Dicky.

Memang sih, aku agak samar-samar mengingatnya. Apalagi jumlah foto Bang-Dicky-Masa-Kecil dan Anak-Kecil-Diduga-Dennis di kamar terlarang kalah banyak dengan foto ibu bapak mereka. Tapi aku masih ingat kok ratapan mata anak-anak kecil di foto itu.

Yang jadi pertanyaannya sekarang, di manakah Dennis berada? Sudah matikah? Masih hidup dan tinggal di suatu tempat tersembunyi?
Or worse, jangan-jangan aku adalah Dennis tapi otakku dicuci, identitasku diganti, lalu dikirim ke Amerika untuk alasan keamanan? Hahaha. Yang barusan ide Cazzo, mungkin dia bercanda. Tapi itu impossible kok, karena aku mengingat dengan jelas masa kecilku dan aku nggak pernah bertemu Bang Dicky sekalipun waktu kecil. Atau seingatku sih begitu.

“Kalo abang lo itu, udah ada kabar?” tanya Cazzo, membuyarkan lamunanku. “Dia nggak ke luar negeri, gitu?”
“Keluar negeri ke mana?”

Satu lagi masalah baru sejak kejadian Pak Darmo minggu lalu: Bang Dicky menghilang!
Sejak terakhir kali aku melihatnya menggigil ketakutan di sofa ruang tengah, aku nggak pernah melihatnya lagi hingga detik ini. And to make it worse, Zaki jadi tertutup padaku. Dia jarang mengunjungiku, atau meng-sms-ku, atau bahkan menelanjangiku lalu mesum bersama.

Aku pernah sekali waktu mampir ke rumahnya Zaki yang mungil itu, mencari tahu kabarnya gimana dan barangkali Zaki tahu soal kemana Bang Dicky pergi, tapi jawaban yang kudapat kurang memuaskan. Zaki bilang tidak tahu. Dan dia lagi sibuk nganterin kayu-kayu ke sebuah kontraktor jadi jangan dulu ganggu dia.

Ada apa dengan orang-orang ini?

Aku mulai menyadari Bang Dicky menghilang waktu kuperhatikan workshop terkunci berhari-hari. Sekalipun nggak kudengar suara deru mesin yang sedang menghaluskan permukaan kayu. Aku bahkan pernah seharian duduk di ruang tamu, membawa laptopku ke sana dan internetan, berharap dapat melihat Bang Dicky lewat depan rumah—tapi dia nggak pernah muncul.

“Sebetulnya dia tuh abang lo, bukan?” Cazzo mengernyitkan alis. “Kalian ada hubungan darah, gitu?”
Aku menggeleng. “Bukan, kok. Dia cuma ‘ada’ di rumah Granny, jadi asistennya or something, dan kami udah deket banget sehingga aku nyebut dia abang.”

“Kalian nggak ada hubungan spesial, kan?” tanya Cazzo dengan nada cemburu.
For God’s sake, Cazzo! Mesti dibahas berapa kali sih kalo aku nggak ada hubungan spesial ama dia?”
“Abis lo ngebet banget pengen ketemu abang lo itu!” Cazzo merengut sambil melemparkan pandangannya ke arah lain. “Entar juga dia pulang, kan?”
Aku mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, Cazzo. Justru karena itu aku nyari-nyari dia—karena aku nggak tahu dia bakal pulang lagi atau nggak. Gimana kalo dia mati dan nggak ada orang yang tahu? Misalnya masuk sumur, gitu? Atau kelindas kereta api?”

Cazzo masih malas menatapku. Hidungnya nyengir sebal dan alisnya bertaut. “Tapi nenek lo kayaknya biasa-biasa aja, kok lo jadi sibuk begini, sih?”

Aku memutar bola mata dan memilih untuk nggak mendebatnya lagi. Sudah jutaan kali Cazzo kayak begini. Mungkin dia cemburu berat sama Bang Dicky, karena kalau sudah membahas cowok itu, Cazzo jadi terdengar agak sensi—meski of course Cazzo juga penasaran dengan kabar terbaru Bang Dicky.

Aku harus mengingatkan diriku lagi soal Cazzo. Kemungkinan besar Bello memang menyihir Cazzo untuk jatuh cinta padaku. Sihir ini harus ditarik kembali.

-XxX-

“Hati-hati ya Sayang, jangan lupa makanannya dihabisin. Itu yang Surabi Imut makan di pesawat aja, sebab Merpati cuma ngasih roti mungil isi krim doang. Nggak kenyang. Oke? Bawa ke kabin nih yang ini, isinya makanan semua. Jangan lupa boarding pass-nya kumpulin! Kamu kan udah Nenek daftarin buat jadi Easy Flyer...”

Granny memelukku untuk terakhir kalinya dan memberiku sekantung plastik makanan yang sudah disiapkan untuk di perjalanan. Kami cipika-cipiki dan Granny berkali-kali mengusap rambutku.

“Dan kamu anak muda,” ujar Granny ke Cazzo. “Jangan nakal, ya. Jangan lupa beli batik di Mirota, okay? Ingetin Agas buat beli semua pesenan Nenek.”

“Oke, Bos!”
Cazzo pun cium tangan ke Granny dan kami berdua masuk ke lobby check in.

Granny melambai dari pintu masuk bandara sementara aku dengan repotnya meletakkan semua barang di mesin scanner, mengeluarkan semua gadget ke atas nampan, lalu berjalan melewati scanner tubuh, dan membereskan lagi bagasiku.

“Yang lainnya udah pada check in, ya?” tanyaku.
“Udah katanya, mereka datang duluan.”
“Jadi kita nggak duduk se-row, dong?”
Cazzo mengangkat bahu.

Aku menyelesaikan proses check in, membayar airport tax, menaiki tangga menuju ruang tunggu, dan melakukan proses scanning sekali lagi. Ketika aku tiba di area kursi merah, Tina Sarah Meisa langsung menyambut kami.

Maksudku, menyambut Cazzo.

“Hey! You made it!” pekik Sarah, seolah bandara Hussein Sastranegara terletak di antah berantah hutan Amazon dan keberhasilan kami tiba di sini adalah sebuah prestasi. Mereka bertiga berjalan seperti supermodel, menarik kami (maksudku, Cazzo) supaya duduk di kursi yang sudah mereka pilih. “Pesawatnya delay, like usual”—Sarah memutar bola mata—“Tapi aku udah nyiapin brunch buat kamu. Mau?”

Cazzo mengernyitkan alisnya menatap Fish Fillet KFC yang dibungkus cantik... dengan PITA! Aku bahkan baru tahu ada pita merah yang diikat mengelilingi bungkus kertas Fish Fillet. Itu semacam feature baru dari KFC atau Sarah yang terlalu inisiatif?


“Aku juga bawa Susu Vanilla!” jerit Tina senang. “Aku baca di Twitter kamu kalo kamu tuh suka susu Vanilla. Nih aku bawain yang spesial...”
“Kalo aku bawa komik Crayon Shinchan. Kamu suka, kan?” sambung Meisa sambil lanjut berbisik pada Sarah, “Gue baca di facebooknya soal komik ini,” lalu dia tersenyum lebar.

Cazzo seperti kehabisan napas. Bingung mau merespon yang mana dulu. Dia menatap ketiga tawaran itu seolah sedang memilih antara Tirai 1 atau 2 atau 3 yang isinya uang 2 milyar.

“Sebetulnya...” Cazzo angkat bicara, “Gue lagi pengen es krim.”

“Es krim?” ulang mereka bertiga, lalu saling bertatapan selama lima detik, dan...

“Gue tahu di bawah ada yang jualan eskrim!”
“Cepet ambil boarding pass-nya, biar kita bisa masuk lagi!”
“Gue ambil dompet. Cazzo pengen es krim apa? Cokelat? Strawberry?”

Ketiga cewek itu langsung beringsut sibuk membereskan barang bawaan mereka dan hendak bergegas turun lagi ke lantai bawah, ke duty free terdekat untuk mencari es krim, dan kelihatannya siapa cepat dia dapat...

“Rasa blueberry,” jawab Cazzo.
Okay, blueberry!” sahut Sarah. “Operasi mencari eskrim dimulai. Tina, lo hubungin Sena, in case of emergency, suruh dia bawain es krim rasa blueberry ke airport, nanti kita jemput di depan. Meisa lo cari eskrim di food court depan pintu masuk, gue cari yang di dalem terminal.”
Roger.”

Dan ketiga cewek itu menghilang di pintu keluar ruang tunggu, sibuk menunjukkan boarding pass-nya, meninggalkan aku dan Cazzo berdua di sini.

Dasar cewek-cewek bodoh. Leg pertama perjalanan yang melelahkan dimulai. Aku mengerutkan alis.
“Emangnya ada ya eskrim rasa blueberry?” tanyaku.
Cazzo mengangkat bahu. “Ada, mungkin.”

“Dan satupun nggak ada yang nanyain aku pengen apa?” gumamku pelan, menyindir diri sendiri, betapa nggak popularnya aku.

Cazzo tercengang. “Lo butuh sesuatu, Gas?”
“Nggak, kok. I have all my needs carried.”
“Es krim?”
“Nggak.”

Cazzo memutar otak. “Lo mau gue beliin apa, kek? Permen atau... chiki?”
“Yeeh, kan tadi lihat sendiri, aku udah dijejalin banyak makanan sama Granny. Aku nggak butuh tambahan makanan lagi,” jawabku. Kemudian teringat sesuatu. “Tapi tadi agak penasaran juga sih sama headline Pikiran Rakyat yang hari ini, jadi pengen baca—“

Namun sebelum aku melanjutkan, “Tapi nggak usah turun ke bawah buat beliin aku koran PR, ya...” Cazzo keburu berdiri, mengambil boarding pass, dan berjalan menuju pintu keluar. “Gue beli koran dulu! Lo tunggu di situ!”

Sial. Cazzo sama saja dengan cewek-cewek bodoh itu.

Pop! Bello muncul mengejutkanku.
“Belum berangkat?” tanyanya. “Asyik ya, bisa naik pesawat... bisa terbang di angkasa ngelihat pemandangan di bawah...”

Aku mendengus geram. Menatap nggak percaya makhluk yang melayang ke sana kemari itu mengatakan “ingin naik pesawat terbang”.
For God’s sake, kamu ini kan seharian terbang mulu. Ngapain iri naik pesawat terbang?”
“Tapi kan beda,” sanggahnya. “Aku bisa punya tiket, punya boarding pass, ada pramugari nawarin makanan...”

Bello mengamati sekelilingku, menyadari aku sedang sendiri. “Pada ke mana yang lain? Katanya ada empat orang?”
“Lagi di bawah, belanja.”

Seorang pria di dekatku menatap aneh ke arahku. Sial. Aku lupa mengangkat ponsel!
Sejak Bello berkeliaran setiap hari di sekelilingku, lalu mengajakku mengobrol di manapun sesuka hatinya, aku mulai sering dianggap gila karena bicara sendiri. Satupun dari orang-orang nggak bisa melihat Bello, kecuali aku dan Granny. Mereka baru bisa melihat wujudnya kalau Bello berubah bentuk jadi kuntilanak—dan kapan itu Bello lupa transform ke mode invisible cupid-nya, masih berbentuk kuntilanak, mengobrol denganku di gerbang komplek sehingga orang-orang di sekitar kami pingsan semua.

Untuk mengatasi tatapan heran dan aneh karena dikira mengobrol sendiri, aku mulai membiasakan diri meletakkan ponsel di telinga, pura-pura nelepon orang tapi sebetulnya ngobrol dengan cupid tolol di depanku.

“Belanja apa? Makanan? Padahal kamu bawa banyak makanan dari Nanny. Kenapa nggak dibagi?”
“Karena mereka nggak minta...”
“Atau kamu yang pelit?” Bello menatapku penuh selidik. “Padahal puding bikinan Nanny kan enak. Rasa leci. Kamu nggak berusaha nyembunyiin makanan lezat ini dari temen-temen, kan?”

Astaga, banyak tanya amat sih nih makhluk! Eeeerrgghhh...
Mestinya Kepo tuh bukan Ketemu Pocong, tapi Ketemu Cupid—sebab curiousity Bello keterlaluan.

“Buat apa aku nyembunyiin makanan dari mereka?! Mereka emang nggak minta!” Aku melotot. “Oh iya, aku mau nanya,” sahutku buru-buru sebelum Bello bicara lagi—sekalian mengubah topik, “kamu waktu itu ngebikin Cazzo jatuh cinta sama aku?”

Bello terpana. Memutar otak. “Kenapa kamu nyimpulin kalo aku bikin Cazzo jatuh cinta sama kamu?”
Because you’re cupid, for God’s sake! Cuma cupid yang sehari-hari kerjaannya nyomblangin orang-orang biar jatuh cinta.”
“Kerjaanku sehari-hari nggak gitu, kok. Kadang aku—“
“Ya kecuali kamu,” potongku. “Intinya sih, did you do that?”

Bello terdiam beberapa saat. Matanya berputar ke sana kemari, mencari jawaban. “Did you love him?
“Apa? Jangan ngasih pertanyaan lagi, dong. Kan barusan aku yang nanya...”
“Yang aku tahu sih, tugas cupid tuh menjodohkan dua insan manusia. Jadi dua-duanya mesti saling jatuh cinta. So, did you love him?

Kini giliranku yang terdiam beberapa saat. Mataku berputar ke sana kemari, mencari jawaban. “Aku nggak tahu...” jawabku. “Sejauh ini, sih... aku nggak ngerasain perasaan yang aneh-aneh sama Cazzo... aku malah lebih kangen Bang Dicky. Mana dia lagi jadi missing person seminggu terakhir, ngebikin aku penasaran di manaaa dia sekarang. Jangan nyanyi!” Buru-buru aku menghentikan Bello sebelum dia menyanyikan lagu favoritnya, Alamat Palsu.

“Jadi yang kamu pengen apa?” tanya Bello.
“Yaahhh... bikin Cazzo normal lagi, kek. Kayaknya impossible aja kalo dia jatuh cinta sama aku. Too good to be true in a gay world. Dia terlalu... ganteng. Imut-imut dan banyak fans-nya. Kasihan fans-nya kalo tahu dia justru pedekate sama aku.”
Bello menyipitkan matanya. “Pede amat sih dia pedekate sama kamu. Emangnya Cazzo jatuh cinta sama kamu? Katanya dia straight!”

“Kenyataannya emang gitu, kok! Kamu lihat sendiri, kan? Bahkan kamu sendiri pernah bilang kalo aku cocok sama dia. Gimana, sih?”

Bello terpana. Entah memikirkan cara untuk membuat Cazzo nggak ngebet lagi, atau entah sedang menatap sepatu baruku yang dibeli Granny kemarin. Kami terdiam untuk waktu yang agak lama. Beberapa petugas pasasi mulai memasuki ruang tunggu, kemungkinan besar sedang melakukan re-check penumpang. Ruang tunggu keberangkatan domestik siang ini terlihat sangat sepi. Aku menduga semua yang ada di ruang ini akan sepesawat denganku.
By: Mario

“Kenapa jadi diem?” tanyaku. “Kamu bakal ikut aku ke Yogya?”
Bello menggeleng. “Aku nggak boleh ninggalin kota ini. Salah satu tugasku kan nungguin rumah Nanny.”

Dia ini cupid atau malaikat penjaga rumah, sih?

“Kalo gitu, sampe ketemu lagi Minggu sore.”

-XxX-

Dan nightmare pun dimulai.

Ketika Cazzo muncul dari scanning tubuh ruang tunggu, dia sudah digelayuti tiga cewek ganjen itu. Meisa bahkan memaksa masuk scanning barengan Cazzo.
“Satu-satu, Mbak, jangan berebutan,” kata petugas penjaga scanning.
“Kalo aku mau duaan emang nggak boleh?” Meisa mendelik kesal pada petugas itu. “Bandara ini nggak cocok disebut bandara international kalo masuk scanning aja nggak boleh berdua.”

Sorry lama, Gas, ada problem di bawah,” ujar Cazzo saat menghampiriku. Dia meringis ngeri. Entah meringis karena tiga cewek itu mengekor terus di belakangnya... atau memang ada hal lain yang lebih creepy. “Gileee, ada wewe gombel.” Cazzo pun bergidik.

Wewe gombel?

Aku membayangkan Bello berkeliaran di konter check in dengan penampilan seperti wewe gombel. Tapi kayaknya nggak mungkin, deh. Bello baru lenyap dari hadapanku sekitar tiga detik lalu. Beberapa detik sebelum Cazzo masuk, lah.

“Permisi permisi... superstar mau lewat!” Tiba-tiba kudengar sahutan kemayu dari arah tangga. Petugas asuransi yang biasanya menawarkan asuransi pada setiap penumpang yang naik tangga, urung menawarkan asuransi pada orang yang satu ini. Aku masih belum ngeh siapa yang datang, meskipun suaranya begitu familier. Dan ketika orang itu masuk ke bagian scanning...

Sialan. Itu Esel.
Jadi ini wewe gombelnya?

I nggak boleh masuk situ ya, Pak?” tanya Esel sambil menunjuk ban berjalan untuk men-scan bagasi kabin.
“Lewat sini, Pak, itu untuk barang-barang. Silakan barang-barangnya dimasukkan ke sini. Hape pisahkan di sini.”

“Nenek lo masih perang ama neneknya Esel?” bisik Cazzo sambil menarikku agak bersembunyi—yang sebetulnya percuma karena Tina Sarah Meisa mengerubungi kami seolah memberitahu pada dunia “Hey! Cazzo ma Agas ada di sini, nih!”
“Aku suapin ya es krimnya, aaaaaa....” ujar Sarah.

“Lagi panas-panasnya,” jawabku. “Hari ini aja Granny baru pesen dua puluh tikus tanah buat ngerusak kebunnya Jeng Nunuk.”

Hingga hari ini, Perang Dunia Ke-3 masih belum berakhir. Granny dan Jeng Nunuk masih belum mau bicara satu sama lain, kecuali untuk konfrontasi. Kadang mereka bersaing di acara senam aerobik komplek setiap pagi, kadang secara frontal menyerang wilayah masing-masing. Waktu terakhir kali Granny melepaskan ular di pohon belimbing Jeng Nunuk, Jeng Nunuk membalasnya dengan menyebarkan ratusan ulat bulu di halaman depan rumah kami. Dan aku harus menghabiskan sesorean menyingkirkan ulat-ulat itu! Menyemprotnya dengan hama dan menyapu bangkai-bangkai ulat yang menjijikkan!

Aku bersumpah aku akan pindah ke apartemen sesegera mungkin! Atau at least mereka berhenti perang deh. Cukup cucu-cucunya saja, nenek-neneknya nggak usah!

“Lewat sini ya, Pak? Garbaratanya di mana? Aaahhh... Cazzie!”

Sial. Esel sudah melihat kami.
Esel muncul dari tempat scanning beserta rombongan kelompok 3-nya. Mereka sama seperti kami, dua cowok tiga cewek. Dari gosip yang kudengar, semua-muanya fans Cazzo. Tapi masa cowok itu juga, sih? Itu kan Yanto, kami sering sekelas di pelajaran Sejarah dan pernah membahas bareng soal Revolusi Perancis. Dia nggak kelihatan kayak ngefans Cazzo.

“Gas! Tulung, Gas!” bisik Cazzo agak panik. Dia menarikku mundur, tapi terhalang oleh Tina yang terus menerus menggelendoti Cazzo. “Ini apa, sih?” seru Cazzo frustasi.
“Kamu duduk di sini aja Cazzo,” kata Tina manja. “Kita suapin eskrim.”

“Cazzie! Kalian...” Esel melirikku beberapa detik dengan pandangan sinis, lalu tersenyum lebar menatap Cazzo. “Kalian berempat udah datang, ya? Kita sepesawat bareng, ya? Nanti duduknya bareng, yaaa?”

Memangnya kantin, bisa duduk bareng?

“Gue udah ama Agas, weeekkk...” Cazzo mencibir, persis anak kecil. Aku sendiri malah mengangkat dagu, bangga karena Cazzo memilihku.

Esel melirikku sekali lagi, makin sinis, tapi begitu menoleh ke arah Cazzo lagi, dia tersenyum sangat lebar. “Are you sure?” Kemudian Esel mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “I punya ini, lhooo...”

Esel mengacungkan miniatur mobil balap F1, yang masih dibungkus rapi, dan juga ada pita merah mengelilinginya. Cazzo terpana menatap benda itu, senang nggak keruan. Tapi kemudian dia menyadari bahwa benda itu ada di tangan Esel sehingga Cazzo mulai gelisah.

“I-itu RBR model terbaru? R7?” Cazzo menelan ludah.
Of course! R7! Apalagi emangnya?” Esel melirik tipe replika sasis F1 itu dari kotaknya, kemudian agak terkejut. “Ya kira-kira begitulah...”

Cazzo melirik ke arahku, lalu melirik ke arah replika itu, lalu melirik ke arahku lagi, minta petunjuk. Sementara Tina Sarah Meisa bolak balik melirik Cazzo aku dan Esel, semua alis mereka mengerut. Ditambah lagi, empat orang teman sekelompok Esel mematung memandang kami—semuanya menunggu reaksi Cazzo.

“G-gimana nih?” bisik Cazzo panik, dia bahkan mencubit pahaku.
Astaga...

“Cazzie mau ini, kan? Ke sini dooong...” Esel mengacung-acungkan replika itu.
“Dia nggak mau itu! Dia mau eskrim,” sahut Tina. “Nih, kami udah bawa eskrim blueberry. Mau disuapin lagi? Aaaaaa...”

Dan sempat-sempatnya Cazzo menerima suapan itu.

Aku memutar bola mata. Karena kesal, aku pun mendorong tubuh Cazzo ke depan, membuatnya menggeliat-geliat panik digelendoti si trio macan plus Esel. Daripada aku stres terlibat dalam kondisi memuakkan itu, mending biarin aja si Esel ngedeketin Cazzo. Toh dari awal juga aku nggak peduli soal Esel suka Cazzo.

“Eh, Gas! Gas! Tolong gue dong...”
“Mau lagi nih? Cup cup cup... aaaa...
“Gas!”
“Sini Cazzie Darling.. aduh kalian lacur-lacur ngehalangin jalan aja, yaa... awas!”

Lalu Cazzo pun tenggelam dalam kerubunan fans-fans-nya. Tiga cewek kelompok 3 ikut-ikutan mengerubungi Cazzo, mungkin kesempatan besar bisa melihat Cazzo dari dekat sambil mencubit pipi atau menarik-narik rambut ikalnya itu. Yang bisa kulihat dari Cazzo sekarang hanyalah kepalanya yang menjulang di antara cewek-cewek plus banci itu, dan tangannya yang menggapai-gapai minta pertolongan kepadaku.

Tapi nggak deh, aku nggak bakal nolong Cazzo untuk sekarang. Bisa bebas lepas dari Cazzo dan Esel dan cewek-cewek sialan ini untuk lima meniiiit aja, adalah suatu anugerah. Aku mau duduk di sana aja, dekat gate, sambil denger musik.

-XxX-


Pesawat yang akan membawa kami ke Yogyakarta, Merpati Nusantara Airlines, mengalami keterlambatan. Seharusnya kami berangkat jam dua belas siang, tapi yang sedang parkir di apron malah Indonesia Air Asia. Sedikit pun batang hidung Xian MA-60-nya Merpati belum kelihatan. Padahal ini sudah nyaris jam satu.

Aku sedang asyik duduk di sebuah kursi logam di dekat boarding gate. Headphone di kepalaku, memutar lagu Adele terbaru. Ketika kutengok ke belakang, Cazzo sedang sibuk dengan tujuh orang penggemarnya di sana. Dia disuapi eskrim, diberi kesempatan melihat-lihat replika mobil itu, dan kalo nggak salah ada cewek yang rambutnya dikepang membelai-belai kepala Cazzo sedari tadi—mungkin ini kesempatan satu-satunya memegang rambut Cazzo.

Dasar tolol orang-orang itu. Apa istimewanya si Cazzo sih?

Dari luar dia memang kelihatan macho, worth to try. Lagaknya kayak cowok paling cool dan paling gaul sejagad, apalagi kebetulan Tuhan ngerias wajahnya jadi ganteng—benar-benar kombinasi sempurna. Tapi aku tahu Cazzo kayak gimana. He’s such annoying bastard yang kesepian dan butuh orang yang nerima dia apa adanya.

Dan lama-lama aku jadi menyesal menerima dia apa adanya. Mestinya dari awal aku bilang, “Aku nggak suka cowok yang takut hantu.”

“Hey-hey, Agas?” Tiba-tiba Yanto menghampiriku. Dia langsung duduk di sampingku dan tersenyum sambil menatapku.
“Eh, Yanto! Nggak gabung bareng mereka, muja-muja Cazzo?” candaku.

Yanto tertawa kecil. “Ah, nggak. Malu. Entar aja. Nunggu si Cazzo-nya sendiri.”

Aku terdiam dan terkejut.
Entar aja? Nunggu Cazzo sendiri? Memangnya dia memuja-muja Cazzo juga?
Astaga... aku pikir selama ini Yanto straight!

“Emangnya kamu mau muja-muja dia juga?” tanyaku sambil melongo tak percaya.
Yanto mengerutkan alis. “Emangnya tujuan saya masuk kelompok tiga untuk apa?”

Bener-bener, deh. Dunia sudah gila.

“Kamu nggak gabung bareng mereka? Belai-belai Cazzo?” tanyanya balik.
Aku mendengus. “Tanpa aku belai-belai juga, Cazzo udah ngekorin aku ke mana-mana. Aku nggak usah khawatir kehilangan dia.”
“Enak ya jadi kamu.” Yanto nyengir... dan somehow terlihat iri.

Tunggu! Beneran nih Yanto gay? Aku nggak percaya ini. Yanto jauuuuhh dari tingkah laku gay. Dia emang pendiam sih, bicara sepatah dua patah kata dalam bersosialisasi, tapi langsung berkhotbah kalau guru kami menanyakan sebuah pertanyaan. Selera fashion-nya buruk dan datang ke sekolah pake motor bebek jadul yang klasik. Dan aku pernah lihat Yanto main sepak bola, aku pikir dia straight. I mean, yang main sepak bola hanya straight, betul? Menurut pengalamanku sih begitu.

Tapi nggak mungkin aku nanya ke dia soal dia gay atau nggak. Nanti nggak sopan. Lagi pula hubungan kami selama ini baik, aku nggak mau membuatnya tersinggung.

“Emangnya kamu gay?” Akhirnya aku bertanya juga—tentu dengan volume rendah supaya nggak ada yang mendengar pembicaraan kami. Meski ruangan ini sepinya minta ampun.

Yanto mengangkat kedua alisnya sambil tertawa kecil. Dia lalu menoleh ke arah Cazzo selama lima detik, lalu menoleh lagi ke arahku. “Cazzo itu cinta pertamaku...”

Oh, Tuhan...
Nambah lagi, deh.

“Dia itu inspirasi aku, cowok yang memotivasiku waktu aku bangun pagi... yang selalu ada di pikiranku... memberi aku semangat...”

Oh, crap. Malah curhat, nih.

Untuk menghindari curhat colongan tentang Cazzo lagi (kemarin-kemarin aku sudah dapat curhat yang sama dari Meisa dan Tina), diam-diam aku mengeraskan volume iPod-ku supaya suara Yanto nggak kedengaran. Kulihat dia masih cuap-cuap. Tangannya bergerak ke sana kemari menerangkan, lalu ekspresinya berubah-ubah, kadang terpana, tersenyum, sedih, dan tertawa geli. Tapi aku sama sekali nggak mendengar apa yang dia bicarakan. Yang ada di otakku hanyalah,

:hear music:... Never mind I’ll find, someone like you
I wish nothing but the best, for you, too... :hear music:


Hingga akhirnya Yanto memegang lututku, membuatku terkejut dan waspada, lalu buru-buru aku kecilkan lagi volume iPod-ku.

“... Jadi di sana aku bisa nyalurin semua perasaan aku dengan bebas, tanpa perlu kuatir,” katanya.
“Di sana di mana?” tanyaku.
“Di DIGEOLS,” bisiknya. “Kita lagi nyiapin kamu buat jadi next spokesperson kita.”
“Apa?”

“Lho, waktu itu kan aku pernah nelepon, soal mau ngajak kamu gabung di DIGEOLS, DIscreet Gay, bisExual, Or Lesbian aSsociation. Kamu bener-bener inspiring kita-kita di sana.”
“Aku bukan gay,” sahutku. “Aku kan udah bilang.”

“Kamu nggak usah khawatir, Agas, kita semua udah tahu tentang kamu, kok. Lagi pula kita ini discreet, orang-orang nggak bakal tahu.”
“Tapi seiyanya aku gay, aku nggak mau gabung!”

Lagipula, mana ada organisasi “discreet” yang punya “spokesperson”. Berarti bukan organisasi yang hati-hati, dong?

“Ini kesempatan bagus. Kita bisa sharing soal kehidupan homosexual di CIS yang didiskriminasi. You are our inspiration.”
“Aku nggak mau gabung, for God’s sake... emangnya aku inspired dari mana?”
“Kamu inspired karena berani ngelawan Esel waktu minggu kemaren. Karena kamu berhasil ngebikin salah satu anggota Mahobia keluar dari grup sialan itu, dan sekarang dia malah deket sama kamu. So sweet. Dan juga karena kamu bersikap biasa-biasa aja ngadepin isu gay kamu. Bahkan kamu tegar ngadepin Mahobia. Kamu sama sekali nggak takut ama mereka. Malah kayaknya kamu nggak pendendam.”

Nggak pendendam? Aku jadi teringat empat hari lalu, waktu aku pertama kali masuk CIS lagi. Sengaja aku ajak Bello ke sekolah, lalu ketika Mahobia sedang kumpul-kumpul di Hall Basket, aku minta Bello muncul dengan bentuk kuntilanak, melayang-layang di aula, membuat semua anggota Mahobia lari terbirit-birit ketakutan—satu anak ada yang pingsan sebelum tiba di gerbang aula. Aku lakukan itu dengan maksud balas dendam.

Dan gara-gara ulahku itu, kini hall basket jadi salah satu tempat paling angker. Seorang guru malah mendatangkan ahli spiritual untuk mengecek isu kuntilanak melayang-layang di aula.

Tapi at least sekarang aku punya kesimpulan baru, bahwa Mahobia pun sama aja kayak Cazzo, langsung K.O kalo udah ketemu hantu.

“Yanto, please... aku nggak bisa gabung. Aku ke CIS bukan untuk ikut organisasi rahasia yang berhubungan sama orientasi seksual. Aku ke sana mau belajar. Mikirin buat pacaran pun bahkan nggak.”
“Ya iyalah, kamu udah punya Cazzo.”
“Aku bukan siapa-siapanya Cazzo, okay? Dia cuma temenku. Kayak aku sama kamu, just friend.”

Yanto terdiam beberapa saat. Kemudian angkat bicara lagi. “Kalo DIGOYANGS, mau?”
“Apa itu DIGOYANGS?” Aku menggeram frustasi.
“DIscreet Gay fOr Youth Assistance of New Generation Student. Ini khusus gay yang punya inovasi—“
No way!” potongku.

By: Mario

Aku menggeser dudukku pindah satu kursi lebih jauh dari Yanto. End of conversation. Aku nggak mau bahas-bahas lagi soal klub gay discreet manapun, bahkan jika klub itu menawarkan fasilitas spa gratis. Seumur hidupku, aku bahkan nggak kepikiran untuk gabung dalam klub sekolah yang fokus pada isu seks.

Yanto manggut-manggut, mencoba mengerti. “Ya intinya sih, kalo suatu hari kamu mau gabung... kamu bisa hubungin aku.”

Tepat saat itu juga, kulihat Cazzo sedang berjalan ke arah kami. Dia menggenggam replika F1 di tangannya dan kulihat wajahnya begitu masam... mungkin sedang kesal or something. Aku menoleh ke kumpulan fans Cazzo, semuanya sedang asyik memainkan ponsel. Entah sihir apa yang dilakukan Cazzo sehingga mereka lebih asyik memainkan hape daripada mengerubuni Cazzo.

Kulihat wajah Yanto memerah. Aku menduga dia sedang deg-degan dihampiri Cazzo.

“Gue mau ngomong ama lo!” sentak Cazzo padaku. Wajahnya cemberut dan dia langsung menarik tanganku menjauh dari Yanto. Aku dibawanya ke sudut lain ruang tunggu, sebuah sudut dekat restoran yang nggak kelihatan dari posisi penggemarnya Cazzo.

“Kenapa sih lo nggak nolongin gue?” katanya sambil mencubit pahaku.
Aw!”
“Lo nggak solider, bro!”

Ya Tuhan, dia serius ngambek sama aku. Kedua alisnya mengerut dan bibir bawahnya maju ke atas. Tatapannya pun seperti orang yang sedang frustasi. Cazzo duduk sambil menyandarkan punggungnya, menatap ke arah apron dan malas menatap mukaku.

“Gue kan paling nggak suka dideketin mereka,” katanya.
“Nggak ada yang maksa kamu buat tetep deket mereka, kok.”
“Tapi kenapa lo nggak narik gue dari situ?”
“Karena kamu kelihatan asyik bareng mereka!” Aku memutar bola mata.

“Nggak, tau! Nggak asyik!” Cazzo mendorong tubuhku pelan, lalu sambil cemberut mencubit pahaku lagi.
A-a-aw... Ini ngapain sih, cubit-cubit segala?!” Aku balas mencubitnya. Tapi cowok itu malah tertawa, bukannya kesakitan.

“Pokoknya,” lanjutnya, “karena lo tadi nggak nolongin gue, lo mesti gue hukum. Lo mesti pijitin gue entar di hotel. Wajib! Udah gitu remote TV gue yang pegang! Lo nggak boleh mindah-mindahin channel!”
Aku mendengus. “Terserah! Aku masih bisa pergi ke kamarnya Sarah dan nonton di sana.”

Cazzo meringis ngeri membayangkan aku pergi ke kamar sebelah untuk menonton teve. Dia buru-buru meralat, “Oke-oke-oke! Gue remisi hukuman kedua!”
Remisi?
“Lo boleh pegang remote. Tapi lo tetep mijitin gue!”
“Aku nggak bisa mijitin, Tuan Muda. Aku nggak punya bakat massaging. Dan aku juga nggak punya kacamata item.”
“Oooh, tidak bisa!” sanggahnya dengan cara bicara seperti Chinese. “Itu udah ketentuannya!”

Kami berdua pun terdiam, menatap ke arah apron dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Cazzo mungkin masih sebal denganku karena nggak menolongnya dari Esel dan biggest fans-nya. Kedua alisnya bertaut... dan aku suka itu. Dia kelihatan imut-imut. Wajahnya yang mulus bebas jerawat dan matanya yang menyipit-nyipit kesal...

Well, dia jadi mengingatkanku pada Bang Dicky yang sering memainkan alisnya untuk mengekspresikan mood-nya. Aku kangen Bang Dicky. Wish I knew where he is now.

“Jadi by the way,” kataku break the ice, “gimana caranya kamu bisa lepas dari mereka.”
Untuk sesaat, Cazzo enggan menjawab. Tapi akhirnya dia bicara juga, meski kepalanya masih belum mau menoleh ke arahku.
“Gue bikin kontes,” katanya. “Siapa yang berhasil dapet ‘Like’ paling banyak buat statusnya di facebook, bisa makan malam ma gue malam ini, berdua aja.”

Kontes bodoh, batinku. Dan mau-maunya mereka ngikutin kontes itu.
Aku tergoda untuk mengecek status apa yang mereka buat demi mendapat ‘like’ di facebook. Tanpa kentara, kubuka ponselku dan kubuka facebook. Cazzo masih menatap ke arah lain bersama alis mengerutnya. Aku menemukan timeline-ku diisi dengan...

Sarah CintaDyaClaluu
Like status gw dong! Klo cwok, gw ksh foto gw wktu renang di Sabuga. Klo cwek, gw ksh koleksi kuteks gw yg dr S’pore.. used, of course.
Suka – Komentari – Bagikan 10 menit yang lalu melalui Blackberry
2 peoples like this

Tina bahkan lebih agresif lagi. Saat aku sedang asyik mengecek status orang-orang itu, melihat bagaimana cara mereka mencari “like” dari orang-orang, Tina meng-sms-ku.

—Klik like di status gw yg terbaru, pliiissss... nanti gw ajak lo k birthday bash gw bulan dpan, free cocktails! Sent all—

Benar kan, kubilang? Kontes bodoh. Untuk sekali pun, aku nggak mau update status demi mendapat like jutaan dan kesempatan makan malam bersama Cazzo. Memangnya Cazzo tuh selebritis, hah? Memangnya Cazzo cowok terganteng dan terimut di dunia?

Karena nggak habis pikir dengan tingkah laku mereka, aku pun update status facebook-ku. Tujuannya untuk menyindir.

Wishing for a thousand ‘likes’ for a chance of dinner with ur crush? How priceless you are!

“Lihat pesawat itu!” Cazzo cekikikan. “Masih ada pesawat kuno pake baling-baling terbang di Indonesia.”

Aku menoleh ke arah runway dan melihat pesawat Merpati sedang mendarat sambil melambatkan lajunya dengan reverse thrust. Itu Xian MA60 yang akan kami naiki, sebuah pesawat baling-baling yang sempat menjadi kontroversi di Indonesia.

“Itu pesawat baru,” sanggahku. “Dan pesawat baling-baling nggak kuno.”
“Pesawat baling-baling tuh kuno, Bro! Sekarang lagi musimnya pesawat yang nggak pake baling-baling! Kayak Air Asia itu tuh!”
Oh, Tuhan. Aku paling benci dengan orang yang mencap jelek pesawat gara-gara mesinnya. Memangnya dia nggak tahu, di dalam jet pun sebetulnya ada baling-baling?

“Untung kita nggak naik yang itu!” seru Cazzo. “Itu sama-sama Merpati, kan?”
Aku menoleh. “Kita justru naik yang itu.”
“Nggak, bro! Bukan yang itu! Lihat tuh gambar di tiketnya, pesawatnya nggak ada baling-balingnya.”

Cazzo bahkan menarik tiket Merpati dari tanganku. Boarding pass kami nyaris jatuh ke lantai karena Cazzo sibuk menunjukkan gambar Boeing 737 yang ada di dalam tiket. “Nih, bukan baling-baling!”
Aku mengernyit. “Ini kan cuma gambar,” kataku.
“Ini bukan cuma gambar. Ini tuh artinya kita naik pesawat ini!” Cazzo meletakkan gambar itu di depan mukaku.

“Ini cuma gambar,” aku bersikeras. “Ini gambar advertisement doang, ngebilangin bahwa pesawat ini salah satu armada dari maskapai ini. Tapi bukan ini yang bakal kita naikin.”

“Yeee, lo tuh dibilangin nggak mau percaya ya?” Cazzo geleng-geleng kepala dan tertawa. “Mana ada penerbangan Bandung Yogya pake pesawat baling-baling? Bandung sama Yogya tuh kota modern! Pesawatnya harus yang modern juga. Kalo pesawat baling-baling mah buat mendarat di atas rumput, di kota-kota kecil kayak Garut, atau Ciamis...”

Aku mendengus kesal. “Terserah kamu deh kalo nggak percaya. Tapi aku udah cek di internet, pesawat itu yang bakal kita naikin. Bukan yang di gambar ini.”

Senyum Cazzo tiba-tiba membeku. Dia mematung beberapa saat, dengan ngeri menatap Xian MA60 berbelok di taxiway menuju apron depan terminal.
“Se-serius lo?” Cazzo menelan ludah.

Grrr... What is the benefit of lying about it, for God’s sake?” Aku lalu meletakkan tasku ke atas kursi dan berniat pergi ke toilet. Tapi Cazzo tiba-tiba membantingku duduk, menahan tanganku, menggenggamnya dengan keras... dan mukanya pucat.

“Lo jangan main-main, Bro!” bisiknya ketakutan.
“Main-main apa? Udah, ah. Aku mau ke toilet dulu.”
“Lo jangan nakut-nakutin gue lah pake ngebilangin kita bakal naik pesawat itu!”
“Siapa yang nakut-nakutin? Aku cuma ngasih tahu yang sebenernya.”
“Lo tuh jahat, bro! Tega banget sih ma gue!”

Aku menyipitkan mata. “Kenapa sih kamu? Kamu takut naik pesawat baling-baling?”
“Bukannya takut, Bro! Gue nggak pernah takut sama apa-apa!” Tapi Cazzo menelan ludah. “Tapi itu pesawat kan nggak aman! Lo mau pulang ke rumah tinggal nama, hah?”
“Siapa bilang pesawatnya nggak aman? Itu buktinya barusan pesawatnya landing dengan selamat di atas runway. Berarti pesawatnya aman, kan?”

“Gimana kalo lagi terbang tiba-tiba baling-balingnya lepas?!” Cazzo agak depresi sekarang. “Lo nggak mikirin perasaan gue, hah?”

Astaga...

“Cazzo,” ujarku hati-hati. “Nggak ada hubungannya antara baling-baling sama keamanan pesawat. Kalo lagi terbang tiba-tiba baling-balingnya lepas, nggak cuma bakal kejadian sama pesawat baling-baling doang, pesawat jet lain pun bisa aja mesinnya lepas dan pesawatnya jatuh. Kita nggak bisa nentuin pesawat itu aman atau nggak dari baling-balingnya!”

“Tapi pesawat itu ancur banget, bro!” Cazzo bergidik ngeri. “Gue nggak mau naik yang itu!”
“Terus mau naik apa?” tuntutku. “Mau naik kereta api aja, ke Yogya?”
“Enak aja! Naik kereta ama siapa?!”
“Tuh, yang di belakang pasti rela naik kereta api ama kamu.”

No way!” Cazzo menggenggam tanganku lebih keras, sampai kupikir tulang telapak tanganku retak-retak. “Gara-gara lo tuh pake naik pesawat segala! Lo mesti tanggung jawab! Lo nggak boleh jauh-jauh dari gue mulai dari sekarang! Awas lo kalo lo pergi!”

-XxX-

Akhirnya tiba juga di hotel!
Aaaarrgghhh... Sudah berapa lama aku bertahan dalam perjalanan ini? Tiga jam? Empat jam? Rasanya seperti sudah seharian!

“Bisa dilepas sekarang?” tanyaku ketus sambil menatap Cazzo. “Ini udah di hotel.”
“Oh.” Cazzo akhirnya melepas tanganku, meski dari sudut matanya dia kelihatan nggak rela.
“Tutup pintunya sekarang,” lanjutku, “sebelum trio macan itu masuk! Mumpung mereka lagi beres-beres!”

Aku meletakkan semua barang-barang kami di dekat ranjang dan mulai memisahkan keperluan basic di atas meja. Cazzo masih mengamati kamar hotel yang kami tempati, memandang keluar jendela dan berkomentar soal pemandangannya yang jelek.

Sekarang sudah pukul setengah empat sore, agak di luar jadwal kami gara-gara keterlambatan pesawat tadi siang. Kelompokku menginap di Sahid Raya Yogyakarta Hotel, sebuah hotel yang lumayan jauh dari pusat kota semacam Malioboro atau tempat wisata budaya lainnya. Tapi better, lah. Daripada kami mesti sehotel sama Esel, aku mending pilih hotel pinggir kota sekalian.

Selama dua jam terakhir, percaya nggak, kalo orang yang menyebalkan dalam hidupku adalah Cazzo? Esel kalah, deh. Sejak aku bilang soal pesawat yang bakal kami naiki, Cazzo jadi parno nggak ketulungan. Dia terus menerus memegang pergelangan tanganku dengan kuat, seolah aku adalah anak kecil yang dipegang orang tuanya karena takut lenyap atau tersesat di keramaian. Sialan. Kalau dipikir-pikir lagi, aku kelihatan kayak orang bodoh.

Saat aku pergi ke toilet ruang tunggu, Cazzo masih tetap memegang tanganku. Saat kami boarding, meski Esel berusaha keras memisahkan kami—dan somehow aku setuju dengan Esel untuk kali ini—Cazzo tetap bergeming. Meski Cazzo digelayuti fans-fansnya selama kami berjalan di apron, tanganku masih belum mau dilepasnya. Hingga akhirnya kami duduk di pesawat, Cazzo masih cemberut, malas menatap mukaku tapi tanganku nggak dilepasnya sekalipun.

To make it worse, kami duduk di row 4, di seat 4C dan 4D. Dari jendela kami melihat “langsung” baling-baling pesawat yang berputar dan wajah Cazzo langsung pucat. Dia akhirnya memintaku tukaran tempat duduk—aku window seat, Cazzo di aisle. Dan gara-gara posisi inilah, Esel sempet bikin keributan karena ingin duduk di 4B.

“Maaf Pak, duduknya di belakang aja, ya? Udah penuh kargo di depan,” kata seorang pramugari berseragam hitam dengan ramah.
Tinta!” sahut Esel. “I mau duduk di sindang, titik puspa! Lagian kursinya kosasih, kok! Kosong! You rumput laut amat, sih?”
“Tapi kargo kami kali ini kebanyakan di depan, Pak. Jadi tolong untuk duduk sesuai dengan kursi Bapak—“
“Kalo I mau di sini ya di sini! Berisik, deh! I tuntut you ke perusahan you Garuda!” Esel lalu menoleh ke Cazzo. “Don’t worry, Darling, kita bakal tetep bersama, kok...”
“Pindah ke kursi Bapak atau pesawat ini nggak akan berangkat!” kecam sang pramugari akhirnya. “Dan ini Merpati, bukan Garuda,” tambahnya.

Akhirnya sih Esel kembali ke kursinya, tapi selama cruising dia mondar-mandir di sekitar kami, mengajak Cazzo mengobrol dan berusaha keras melepaskan genggaman tangan Cazzo dari tanganku. Penerbangan itu juga sempat menuai kehebohan karena cewek-cewek mengerubuni row 4 untuk sekedar mengobrol dengan Cazzo. Lalu Esel dan Sarah terlibat konfrontasi. Lalu seorang pramugari marah-marah karena cewek-cewek ganjen itu nggak mau kembali ke kursinya. Sampai si pilot masuk ke kabin untuk menenangkan kondisi.

Jelas sekali aku nggak menikmati penerbangan itu. Aku hanya duduk menatap keluar jendela, tangan terborgol Cazzo, dan telingaku berisik sekali.

“Kamu suka gelang aku, Cazzo?”
“Nanti kalo udah di Yogya kita ke alun-alun, ya? Kita jalan berdua ngelewatin dua pohon besar sambil meremin mata.... ya siapa tahu kita berdua tuh, ngng...”
“Cazzo, foto bareng yuk! Foto bareng di pesawat!”
“Cazzie, mau dipijitin nggak tangannya? Sini-sini, pasti tangannya pegel... I pinter mijit lho... lepas aja tangan si Ontohod itu...”

Cazzo juga sama-sama nggak menikmati penerbangan itu. Wajahnya pucat sepanjang perjalanan, menolak menatap keluar jendela karena baling-baling itu tepat ada di samping jendela kami. Saat kumpulan penggemarnya bubar, Cazzo sempat berbisik padaku. “Lo emang orang paling kejam di dunia! Pake bawa-bawa gue naik pesawat macam begini! Ini sih bukan pesawat! Ini odong-odong! Pokoknya lo mesti dapet hukuman! Nggak boleh keluar kamar hotel kecuali ada perintah dari gue!”

Dan aku benci Cazzo saat itu juga. Begitu perjalanan ini selesai, selain pindah tempat tinggal aku juga mempertimbangkan untuk pindah sekolah.

Genggaman tangan Cazzo belum berakhir setelah kami semua turun dari pesawat. Aku pikir aku bisa bebas dari genggaman silly itu, tapi nyatanya Cazzo masih menggenggam erat pergelangan tanganku saat kami menunggu barang-barang kami di Baggage Claim.

Seorang remaja cowok yang juga sedang menunggu bagasinya menatap kami dengan aneh. Pasti dia menganggap kami pasangan homo atau apa.

“Apa lo lihat-lihat?!” sentak Cazzo ke cowok itu. “Ini adek gue, tau!” Dan Cazzo pun menyentakkan sikutnya, membuat cowok itu ketakutan.

Nah, baru setelah kami naik taksi, check in hotel, naik lift, dan masuk kamar (dan masih dikerubuni Tina Sarah Meisa di sekitar kami), akhirnya Cazzo melepaskan tanganku! Rasanya lega sekali. Seperti bebas dari penjara.

“Pokoknya gue masih nggak bisa maafin lo!” ujar Cazzo di depan jendela.
“Terserah,” gumamku. “Ini handuk-handuk kamu mau dikeluarin? Aku simpen di sini, ya. Odol sama sabunnya aku simpenin di kamar mandi.”
“Ngapain lo beresin barang-barang gue?”
“Karena aku tahu kamu nggak bakal beresin barang-barang kamu. Dan kalo di kamar mandi yang ada cuma sikat gigi aku, kamu pasti pake punya aku. Kamu nggak bakal repot-repot keluar kamar mandi buat ngambil sikat gigi atau sabun yang ketinggalan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar