“I nggak
ngapa-ngapain, kok...” jawab Esel manja. “I justru heran, tadi Agas
ngejelek-jelekin you Cazzie... I juga nggak nyangka.”
“Apa?” kataku dan Cazzo berbarengan.
“Aku nggak ngejelek-jelekin Cazzo!” bantahku.
“Terus tadi kenapa you bilang Cazzo tuh cengeng dan pengecut?” kata Esel. “Dan you bilang Cazzo tuh manja. Tega banget ya Cazzie si Agas ini...”
“Aku nggak bilang apa-apa soal Cazzo!” bantahku frustasi. “Aku SAMA SEKALI nggak ngomongin apa-apa soal Cazzo. Nyebut namanya pun nggak.”
“Jadi you mau nuduh I bohong depan Cazzie?” Mata Esel berkaca-kaca, ingin menangis. Yang aku yakin tangisan palsu. “I nggak pernah bohong depan Cazzie, sweetie... untuk apa I bohong? I cinta Cazzie...”
“Lo bilang gitu sama Esel?” tanya Cazzo. Rahangnya mengeras.
“Aku nggak bilang apa-apa soal kamu! Dia itu ngarang barusan!”
Cazzo menatapku nggak percaya.
“Dan you juga bilang ‘eh, kita lihat gimana muka Cazzo yang ketakutan pas naik pesawat baling-baling besok’, gitu katanya. I juga nggak percaya Agas nyeritain itu sama I,” lanjut Esel.
Darimana dia tahu kalau Cazzo takut naik pesawat propeler?!
“Esel, aku nggak pernah bahas apapun soal Cazzo bareng kamu. Jangan bikin omong kosong!”
“Lalu yang barusan apa? You bilang katanya Cazzo juga sama-sama banci kayak kita...”
Apa?!
“Lo bilang gitu?” tanya Cazzo.
“Ya nggak, lah! Apa tujuannya aku bilang begitu?!”
“You bilang karena Cazzie tuh nyebelin, suka ngebuntutin you kemanapun dan gangguin hidup you yang tenang, dan you pengen—“
“SHUT UP, ASSHOLE!!” pekikku.
Beberapa turis menoleh dan entah kenapa lobby hotel mendadak sunyi. Kelihatannya semua orang sedang menunggu kami mengucapkan sesuatu yang heboh.
“You... you...” Esel terisak-isak. Aktingnya baguuuus sekali. Nomor satu deh, di Hollywood. “You mau bikin seolah-olah I nuduh you yang bukan-bukan?”
“Memang kamu nuduh yang bukan-bukan!” jeritku. “Mau kamu apa, sih Esel?! Kalo kamu mau Cazzo, ambil aja! Aku nggak butuh!”
Cazzo terperangah kaget, dia menatapku tak percaya sementara Esel malah senyum-senyum di balik tangis palsunya.
“Maksud aku... maksudnya...”
Sial. Seharusnya bukan itu kalimat yang kukeluarkan!
“Dia juga tadi bilang gitu!” tambah Esel, menggunakan kesempatan bagus ini. “Dia bilang katanya you tuh ngegangguin hidupnya aja... dia nggak butuh orang kayak you...”
“Bener, Gas?” Cazzo mengerutkan alisnya dalam-dalam, kelihatan sangat kecewa.
“Nooo!” sahutku. “Aku nggak bilang gitu!”
“Lha terus apa tadi bilang nggak butuh?” tanya Esel.
“Maksud aku tuh bukan bener-bener nggak butuh. Itu cuma... maksud aku tuh...” Kenapa otak ini berhenti bekerja di saat aku benar-benar membutuhkannya?! For God’s sake, Agas, buatlah satu alasan yang masuk akal!
“Jadi selama ini lo nggak pernah pengenin gue?” rahang Cazzo mengeras. Dia mundur beberapa langkah menjauhiku, kelihatan tertekan sekali.
Turis-turis di sekitar kami menyaksikan dengan penuh harap. Mungkin mereka pikir ini salah satu drama Jawa seperti yang ada di pinggir jalan menuju Malioboro itu, yang dekat rel kereta api. Dan drama Jawa ini temanya perselisihan antar gay. Barangkali sebagian dari mereka ada yang berharap kami ini berciuman atau apa...
“Aku nggak bilang aku nggak pengenin kamu,” tukasku, berusaha menyelamatkan diri. Meski setelah dipikir-pikir, aku memang nggak membutuhkan Cazzo. Bukannya aku jahat atau apa. Tapi kenyataannya begitu, kan? Justru dia yang membutuhkan aku. Tapi kenapa seolah aku lah penjahatnya di sini.
“Tapi lo barusan bilang lo nggak butuh gue,” tegas Cazzo. “Lo nggak butuh cowok pengecut kayak gue, yang ganggu hidup lo, yang nambah-nambah beban hidup lo...”
“Dan dia juga bilang—“
“DIEM lu, Esel!” potong Cazzo.
Esel terkejut saat dibentak Cazzo, tapi dia justru menikmati situasi ini. Dia bahkan sudah lupa kalau dia sedang menangis.
“Aku...”
Kulihat tangan Cazzo gemetar. Dari matanya terlihat sorot mata kecewa. Dia menelan ludah beberapa kali. Saat kuperhatikan kedua tangannya mengepal-ngepal kuat, aku tahu dia sedang marah sekali.
Kuputuskan untuk membela diri. “Ya, aku emang nggak butuh kamu, Cazzo, tapi itu nggak penting buatku,” sahutku dengan berani. “Kalo kamu mau tahu, ya, kamu tuh ngeganggu hidup aku. Kamu tiba-tiba masuk dan bikin repot hidup aku. Kamu nambah-nambah beban di hidup aku, ngerjain pe-er, dicurhatin segala macem, ditempel ke sana kemari dan dipaksa ngelakuin apa yang kamu mau, karena kalo nggak kamu pasti cemberut mulu... ya, aku anggap aku pengecut. Tapi demi Tuhan, sepatah katapun aku nggak ngebilangin itu semua sama Esel. Aku nyimpen semua itu di hatiku sebagai perasaan aku semata, bukan berarti aku benci kamu dan nggak mau kamu ada di samping aku!” Sekarang rasanya aku ingin menangis.
“You tadi nggak bilang gitu pas ngobrol ama I...” Esel masih berusaha menjatuhkanku.
“Ya iyalah!” sentakku. “Emang kita tadi nggak ngebahas soal ini!”
Beberapa petugas keamanan mulai mendekati kami, waspada kalau terjadi pertumparan darah yang bisa merusak image hotel ini. Tapi satupun dari mereka nggak ada yang mulai melerai. Mungkin masih asyik mencari tahu inti cerita dari perseteruan ini.
“Jadi gue cuma beban di hidup lo?” ujar Cazzo getir. “Gue cuma parasit?”
“Aku nggak bilang parasit!” Astaga, dari mana Cazzo menyimpulkan kata parasit itu?!
“Dan lo nggak pernah butuh gue?”
“Jangan mojokin aku kayak gitu,” sahutku frustasi. “Jangan bawa-bawa soal butuh nggak butuh, itu nggak penting!”
Kata-kataku menggantung di udara dan turis-turis kini menatap Cazzo, mengharapkan dia mengatakan sesuatu yang menarik.
Tapi aku langsung bicara duluan. “Sekarang terserah kamu, Cazzo, mau nganggap aku apa. Dari awal aku nggak pernah maksa kamu buat pergi dari hidup aku meskipun aku tahu kamu cuma bisa ngerepotin aku aja. Aku masih nerima kamu apa adanya, sampai detik ini. Lengkap dengan segala kepengecutan kamu... segala parasit, segala beban yang kamu tumpuk di hidup aku... karena pada dasarnya aku nggak pernah peduli sama semua itu. Aku peduli sama kamu. Aku tetep bertemen sama kamu karena aku tahu kamu butuh aku dan aku nggak tega ngebiarin kamu ditindas Mahobia karena... for God’s sake, aku bahkan nggak tahu kamu ditindas gara-gara apa.”
Lobby hening kembali. Yang terdengar sekarang adalah telepon di meja resepsionis, mungkin dari sebuah kamar entah di lantai berapa yang minta dibawakan makan malam atau apa... tapi petugas front office nggak mengangkat telepon itu. Dia asyik menonton kami.
“Sekarang kamu percaya siapa?” tanyaku. “Kamu pilih siapa? Aku... atau wewe gombel ini?”
“Nggak sopan ya you manggil I wewe gombel... See, Cazzie? Bahasa dia tuh kasar...” Esel mendelik sinis ke arahku, lalu dengan pelan bergumam, “Dasar suster ngesot!” Tapi Cazzo nggak mendengarnya.
“Apa?” kataku dan Cazzo berbarengan.
“Aku nggak ngejelek-jelekin Cazzo!” bantahku.
“Terus tadi kenapa you bilang Cazzo tuh cengeng dan pengecut?” kata Esel. “Dan you bilang Cazzo tuh manja. Tega banget ya Cazzie si Agas ini...”
“Aku nggak bilang apa-apa soal Cazzo!” bantahku frustasi. “Aku SAMA SEKALI nggak ngomongin apa-apa soal Cazzo. Nyebut namanya pun nggak.”
“Jadi you mau nuduh I bohong depan Cazzie?” Mata Esel berkaca-kaca, ingin menangis. Yang aku yakin tangisan palsu. “I nggak pernah bohong depan Cazzie, sweetie... untuk apa I bohong? I cinta Cazzie...”
“Lo bilang gitu sama Esel?” tanya Cazzo. Rahangnya mengeras.
“Aku nggak bilang apa-apa soal kamu! Dia itu ngarang barusan!”
Cazzo menatapku nggak percaya.
“Dan you juga bilang ‘eh, kita lihat gimana muka Cazzo yang ketakutan pas naik pesawat baling-baling besok’, gitu katanya. I juga nggak percaya Agas nyeritain itu sama I,” lanjut Esel.
Darimana dia tahu kalau Cazzo takut naik pesawat propeler?!
“Esel, aku nggak pernah bahas apapun soal Cazzo bareng kamu. Jangan bikin omong kosong!”
“Lalu yang barusan apa? You bilang katanya Cazzo juga sama-sama banci kayak kita...”
Apa?!
“Lo bilang gitu?” tanya Cazzo.
“Ya nggak, lah! Apa tujuannya aku bilang begitu?!”
“You bilang karena Cazzie tuh nyebelin, suka ngebuntutin you kemanapun dan gangguin hidup you yang tenang, dan you pengen—“
“SHUT UP, ASSHOLE!!” pekikku.
Beberapa turis menoleh dan entah kenapa lobby hotel mendadak sunyi. Kelihatannya semua orang sedang menunggu kami mengucapkan sesuatu yang heboh.
“You... you...” Esel terisak-isak. Aktingnya baguuuus sekali. Nomor satu deh, di Hollywood. “You mau bikin seolah-olah I nuduh you yang bukan-bukan?”
“Memang kamu nuduh yang bukan-bukan!” jeritku. “Mau kamu apa, sih Esel?! Kalo kamu mau Cazzo, ambil aja! Aku nggak butuh!”
Cazzo terperangah kaget, dia menatapku tak percaya sementara Esel malah senyum-senyum di balik tangis palsunya.
“Maksud aku... maksudnya...”
Sial. Seharusnya bukan itu kalimat yang kukeluarkan!
“Dia juga tadi bilang gitu!” tambah Esel, menggunakan kesempatan bagus ini. “Dia bilang katanya you tuh ngegangguin hidupnya aja... dia nggak butuh orang kayak you...”
“Bener, Gas?” Cazzo mengerutkan alisnya dalam-dalam, kelihatan sangat kecewa.
“Nooo!” sahutku. “Aku nggak bilang gitu!”
“Lha terus apa tadi bilang nggak butuh?” tanya Esel.
“Maksud aku tuh bukan bener-bener nggak butuh. Itu cuma... maksud aku tuh...” Kenapa otak ini berhenti bekerja di saat aku benar-benar membutuhkannya?! For God’s sake, Agas, buatlah satu alasan yang masuk akal!
“Jadi selama ini lo nggak pernah pengenin gue?” rahang Cazzo mengeras. Dia mundur beberapa langkah menjauhiku, kelihatan tertekan sekali.
Turis-turis di sekitar kami menyaksikan dengan penuh harap. Mungkin mereka pikir ini salah satu drama Jawa seperti yang ada di pinggir jalan menuju Malioboro itu, yang dekat rel kereta api. Dan drama Jawa ini temanya perselisihan antar gay. Barangkali sebagian dari mereka ada yang berharap kami ini berciuman atau apa...
“Aku nggak bilang aku nggak pengenin kamu,” tukasku, berusaha menyelamatkan diri. Meski setelah dipikir-pikir, aku memang nggak membutuhkan Cazzo. Bukannya aku jahat atau apa. Tapi kenyataannya begitu, kan? Justru dia yang membutuhkan aku. Tapi kenapa seolah aku lah penjahatnya di sini.
“Tapi lo barusan bilang lo nggak butuh gue,” tegas Cazzo. “Lo nggak butuh cowok pengecut kayak gue, yang ganggu hidup lo, yang nambah-nambah beban hidup lo...”
“Dan dia juga bilang—“
“DIEM lu, Esel!” potong Cazzo.
Esel terkejut saat dibentak Cazzo, tapi dia justru menikmati situasi ini. Dia bahkan sudah lupa kalau dia sedang menangis.
“Aku...”
Kulihat tangan Cazzo gemetar. Dari matanya terlihat sorot mata kecewa. Dia menelan ludah beberapa kali. Saat kuperhatikan kedua tangannya mengepal-ngepal kuat, aku tahu dia sedang marah sekali.
Kuputuskan untuk membela diri. “Ya, aku emang nggak butuh kamu, Cazzo, tapi itu nggak penting buatku,” sahutku dengan berani. “Kalo kamu mau tahu, ya, kamu tuh ngeganggu hidup aku. Kamu tiba-tiba masuk dan bikin repot hidup aku. Kamu nambah-nambah beban di hidup aku, ngerjain pe-er, dicurhatin segala macem, ditempel ke sana kemari dan dipaksa ngelakuin apa yang kamu mau, karena kalo nggak kamu pasti cemberut mulu... ya, aku anggap aku pengecut. Tapi demi Tuhan, sepatah katapun aku nggak ngebilangin itu semua sama Esel. Aku nyimpen semua itu di hatiku sebagai perasaan aku semata, bukan berarti aku benci kamu dan nggak mau kamu ada di samping aku!” Sekarang rasanya aku ingin menangis.
“You tadi nggak bilang gitu pas ngobrol ama I...” Esel masih berusaha menjatuhkanku.
“Ya iyalah!” sentakku. “Emang kita tadi nggak ngebahas soal ini!”
Beberapa petugas keamanan mulai mendekati kami, waspada kalau terjadi pertumparan darah yang bisa merusak image hotel ini. Tapi satupun dari mereka nggak ada yang mulai melerai. Mungkin masih asyik mencari tahu inti cerita dari perseteruan ini.
“Jadi gue cuma beban di hidup lo?” ujar Cazzo getir. “Gue cuma parasit?”
“Aku nggak bilang parasit!” Astaga, dari mana Cazzo menyimpulkan kata parasit itu?!
“Dan lo nggak pernah butuh gue?”
“Jangan mojokin aku kayak gitu,” sahutku frustasi. “Jangan bawa-bawa soal butuh nggak butuh, itu nggak penting!”
Kata-kataku menggantung di udara dan turis-turis kini menatap Cazzo, mengharapkan dia mengatakan sesuatu yang menarik.
Tapi aku langsung bicara duluan. “Sekarang terserah kamu, Cazzo, mau nganggap aku apa. Dari awal aku nggak pernah maksa kamu buat pergi dari hidup aku meskipun aku tahu kamu cuma bisa ngerepotin aku aja. Aku masih nerima kamu apa adanya, sampai detik ini. Lengkap dengan segala kepengecutan kamu... segala parasit, segala beban yang kamu tumpuk di hidup aku... karena pada dasarnya aku nggak pernah peduli sama semua itu. Aku peduli sama kamu. Aku tetep bertemen sama kamu karena aku tahu kamu butuh aku dan aku nggak tega ngebiarin kamu ditindas Mahobia karena... for God’s sake, aku bahkan nggak tahu kamu ditindas gara-gara apa.”
Lobby hening kembali. Yang terdengar sekarang adalah telepon di meja resepsionis, mungkin dari sebuah kamar entah di lantai berapa yang minta dibawakan makan malam atau apa... tapi petugas front office nggak mengangkat telepon itu. Dia asyik menonton kami.
“Sekarang kamu percaya siapa?” tanyaku. “Kamu pilih siapa? Aku... atau wewe gombel ini?”
“Nggak sopan ya you manggil I wewe gombel... See, Cazzie? Bahasa dia tuh kasar...” Esel mendelik sinis ke arahku, lalu dengan pelan bergumam, “Dasar suster ngesot!” Tapi Cazzo nggak mendengarnya.
I mean, semuanya udah sempurna, kan? Kami punya banyak kesempatan berdua,
tanpa ada yang menggangu, dan aku menunjukkan respon positif meskipun aku hanya
bersikap sopan. Seharusnya dia berani bilang bahwa dia memendam perasaan padaku
atau apa gitu...
Nggak mungkin kan kalo dia menungguku menyatakan cinta?
For God’s sake, kalau iya Cazzo tuh gay, aku bertaruh dia itu Top. Dia narsis keterlaluan dan dia ingin sekali dilayani, persis semua top yang pernah kutemui di manjam.
Ataukah dia gay in denial?
Atau mungkin bisexual? Discreet?
Atau bisa jadi aku kege-eran selama ini? Bisa jadi dia memang nggak punya perasaan apa-apa padaku. Bisa jadi dia nempel terus padaku hanya karena aku bisa dijadikan pelampiasan. Bisa jadi semua ini pura-pura, seperti dalam film-film, bahwa Cazzo berkomplot dengan Esel selama ini dan berencana menjatuhkanku dengan cara membuatku lemah terlebih dahulu, yaitu dengan membuatku mencintainya.
Astaga, mengerikan sekali pikiranku.
Barangkali aku mesti mulai membuat novel.
Tapi nggak mungkin. Aku percaya Cazzo, dan aku percaya bahwa dalam sejuta tahun pun, Esel nggak mungkin berkomplot dengan Cazzo. Aku bisa mual membayangkannya.
“Hari ini kita ke mana?” tanya Cazzo.
“Rumah Affandi sama Keraton Yogyakarta. Kita ke Keraton terakhir biar bisa ke Malioboro lagi. Aku kan belum beli oleh-oleh.”
Cazzo melahap lagi suapan nasi goreng dariku. Aku tiba-tiba teringat untuk menanyakan ini pada Cazzo, sebenarnya sudah ingin kutanyakan dari malam kemarin, dari waktu kami masih makan di Sekar Kedhaton.
“Yang Esel ancem ke kamu tuh, soal kontes panjang-panjangan ‘itu’ sama Mahobia bukan, sih?” Aku memberi tanda kutip waktu mengatakan ‘itu’.
Cazzo melemparkan pandangan ke arah lain dengan malu. “Jangan bahas soal itu dong, Bro...” pelasnya. “Gue kan malu.”
“Just making sure,” kataku. “Lagian kamu nggak usah malu. Kamu udah sering ngompol di depan aku, nangis ketakutan ngelihat kuntilanak, ngapain masih—Aw!” Cazzo mencubitku.
“Nggak usah nyebut-nyebut kata 'itu' di depan gue!” sahutnya ngambek. Dia meminum jus jambunya dengan kesal dan mendelik marah.
“Iya-iya-iya,” aku memutar bola mata. “Tapi intinya cerita yang itu, kan? Yang kamu kontes panjang-panjangan ‘itu’, dan punya lo ‘berdiri’, dan lo dianggap gay...”
“Udah, ah! Jangan dibahas!” Wajah Cazzo memerah.
Aku menyuapi lagi Cazzo tapi tak membicarakan apapun.
“Kira-kira apa kata orang ya, kalo Esel nyeritain soal kejadian gue itu?” gumam Cazzo tiba-tiba.
Katanya jangan dibahas! Ergh! Dasar nyebelin. “Orang nggak akan percaya, kok,” jawabku. “Semua yang diomongin Esel cuma gosip semata.”
“Amin kalo gitu,” Cazzo mendesah lega. “Jadi yang dia bilang soal grup DIGEOLS itu gosip juga dong?”
Ya Tuhan... memangnya Esel membocorkan soal grup rahasia itu sama Cazzo? Ternyata memang mulut ember ya dia.
“Gosip kayaknya... emang DIGEOLS tuh apaan?”
“Klub rahasia khusus homo di CIS. Iiihhh... ngeri, yang kayak gituan aja ada!”
“Yang kayak Mahobia juga ada! Sama ngerinya,” timpalku tanpa dapat kutahan.
I mean, di sekolah mana lagi sih yang homophobes-nya sampe bikin grup anti homosexual terang-terangan segala? Pasti hanya di CIS!
“Oh, si Esel juga bilang, katanya si Yanto tuh anggota DIGEOLS. Jadi gue mesti hati-hati sama dia.”
“Yang lebih harus kamu hati-hatiin tuh si Esel.”
“Oh itu sih udah pasti. Tapi bener nggak tuh si Yanto anggota DIGEOLS?”
Aku bingung menjawabnya. “Tanya aja sendiri, kenapa nanya aku? Aku kan bukan anggota DIGEOLS.” Well, memang benar, kan? Aku bukan anggota klub discreet gay mana pun. Bahkan meskipun aku gay yang discreet.
“Jadi DIGEOLS tuh ada?”
Aku mengangkat bahu. Malas berkomentar.
“Kalo ada, emangnya kamu mau gabung?” tanyaku.
Cazzo tergelak. “Hahaha... masa gue gabung di klub homo!”
“Who knows!”
“Nanti gue kelihatan kayak homo dong!” Cazzo pun cekikikan.
Astaga... memangnya selama dua hari terakhir dia nggak ngerasa dirinya terlihat homo?! Sejak dia memegang tanganku di bandara sampai detik ini aku menyuapinya, kami berdua kelihatan 1000% homo. Pasangan homosexual.
Bahkan sejak foto “forever” yang dia pasang di facebook itu. Aku saja jijik melihatnya. Aku bukan tipe-tipe gay yang mengumbar kehidupan pribadi macam begitu, ya. Bahkan jika aku straight dan punya pacar cewek pun, aku nggak akan berfoto bareng pacarku lalu memasangnya di facebook dan memberi tulisan forever.
“Kalo aku gabung di DIGEOLS, gimana?” tanyaku, mengujinya.
“Emang kamu mau Bro?”
“Yaaah, berhubung Esel udah ngegosip kalo aku homo, dan mungkin orang-orang udah percaya kalo aku homo, kayaknya nggak ada bedanya aku gabung atau nggak di DIGEOLS. Orang-orang udah terlanjur ngejudge aku homo.” Aku mendesah pasrah. “Paling-paling yang mesti aku pikirin sekarang soal banyaknya sms masuk dari cowok ngajak kenalan, atau Mahobia ngegodain aku di tengah jalan, atau semua temen cowok aku nggak mau ganti baju bareng pas pelajaran olahraga.”
Aku menyuapi lagi Cazzo. “Tapi biarin, lah. Toh hidup aku masih panjang. Yang penting aku nggak ngelakuin hal-hal inappropriate di CIS. Mestinya aku konsen aja sama belajar.”
Cazzo menunjukkan simpatinya padaku dengan mengusap-usap punggung tanganku. Dia lalu menarik kepalaku lagi ke bahunya, mulai mengusap-usap rambutku seperti sedang membelai kucing.
“Yang penting...” kata Cazzo. “Lo nggak ngebales sms atau ketemuan cowok-cowok yang ngajak kenalan itu.”
Astaga, aku pikir dia mau ngomong apa.
“Tapi kalo lo emang mau gabung di DIGEOLS,” lanjutnya. “Gue juga mau gabung.”
“Kenapa? Karena kamu homo juga?” Aku cekikikan.
Cazzo tersenyum lebar dan merunduk menatap wajahku. “Karena gue pengen ada di sisi lo waktu lo lagi kesusahan.”
-XxX-
“ADAM! Sini!” Aku melambaikan tanganku pada Adam yang sedang celingukan di depan KFC, tepat di dekat pintu masuk terminal bandara Adisutjipto Yogyakarta. Adam menoleh dan nyengir. Dia menghampiriku sambil membawakan pesananku.
“Eh, sorry... Lanting di tempat langganan gue abis, jadi gue beli di tempat lain.”
“That’s fine! Thank you udah bantuin nyari sisa oleh-oleh aku.” Aku menerima sekotak paket yang dibungkus kertas coklat, isinya oleh-oleh khas Yogya yang tak sempat kubeli karena aku nggak tahu maksudnya apa. I mean, apa itu Lanting? “Tadi gue kelamaan di Museum Affandi, jadi telat nggak bisa nyari oleh-oleh. Thank you again udah bantuin... jadi berapa semuanya?”
“Ah, nggak usah. Buat lo aja...”
“Eeeh, nggak apa-apa, aku gantiin. Aku udah ngerepotin kamu pake minta cariin segala.”
“Ih, biarin! Itung-itung oleh-oleh dari gue. Udah, nggak usah dikeluarin dompetnya...”
“Nggak mau, ah! Aku jadi nggak enak. Dari kemaren ngerepotin kamu mulu...”
“Ya ampun, Agas... udah nggak apa-apa. Anggap aja gue tuan rumah di sini, jadi—udah, ih!” Adam menolak sodoran uang tunai dariku. “Udah biarin... itu oleh-oleh dari gue.”
Nggak mungkin kan kalo dia menungguku menyatakan cinta?
For God’s sake, kalau iya Cazzo tuh gay, aku bertaruh dia itu Top. Dia narsis keterlaluan dan dia ingin sekali dilayani, persis semua top yang pernah kutemui di manjam.
Ataukah dia gay in denial?
Atau mungkin bisexual? Discreet?
Atau bisa jadi aku kege-eran selama ini? Bisa jadi dia memang nggak punya perasaan apa-apa padaku. Bisa jadi dia nempel terus padaku hanya karena aku bisa dijadikan pelampiasan. Bisa jadi semua ini pura-pura, seperti dalam film-film, bahwa Cazzo berkomplot dengan Esel selama ini dan berencana menjatuhkanku dengan cara membuatku lemah terlebih dahulu, yaitu dengan membuatku mencintainya.
Astaga, mengerikan sekali pikiranku.
Barangkali aku mesti mulai membuat novel.
Tapi nggak mungkin. Aku percaya Cazzo, dan aku percaya bahwa dalam sejuta tahun pun, Esel nggak mungkin berkomplot dengan Cazzo. Aku bisa mual membayangkannya.
“Hari ini kita ke mana?” tanya Cazzo.
“Rumah Affandi sama Keraton Yogyakarta. Kita ke Keraton terakhir biar bisa ke Malioboro lagi. Aku kan belum beli oleh-oleh.”
Cazzo melahap lagi suapan nasi goreng dariku. Aku tiba-tiba teringat untuk menanyakan ini pada Cazzo, sebenarnya sudah ingin kutanyakan dari malam kemarin, dari waktu kami masih makan di Sekar Kedhaton.
“Yang Esel ancem ke kamu tuh, soal kontes panjang-panjangan ‘itu’ sama Mahobia bukan, sih?” Aku memberi tanda kutip waktu mengatakan ‘itu’.
Cazzo melemparkan pandangan ke arah lain dengan malu. “Jangan bahas soal itu dong, Bro...” pelasnya. “Gue kan malu.”
“Just making sure,” kataku. “Lagian kamu nggak usah malu. Kamu udah sering ngompol di depan aku, nangis ketakutan ngelihat kuntilanak, ngapain masih—Aw!” Cazzo mencubitku.
“Nggak usah nyebut-nyebut kata 'itu' di depan gue!” sahutnya ngambek. Dia meminum jus jambunya dengan kesal dan mendelik marah.
“Iya-iya-iya,” aku memutar bola mata. “Tapi intinya cerita yang itu, kan? Yang kamu kontes panjang-panjangan ‘itu’, dan punya lo ‘berdiri’, dan lo dianggap gay...”
“Udah, ah! Jangan dibahas!” Wajah Cazzo memerah.
Aku menyuapi lagi Cazzo tapi tak membicarakan apapun.
“Kira-kira apa kata orang ya, kalo Esel nyeritain soal kejadian gue itu?” gumam Cazzo tiba-tiba.
Katanya jangan dibahas! Ergh! Dasar nyebelin. “Orang nggak akan percaya, kok,” jawabku. “Semua yang diomongin Esel cuma gosip semata.”
“Amin kalo gitu,” Cazzo mendesah lega. “Jadi yang dia bilang soal grup DIGEOLS itu gosip juga dong?”
Ya Tuhan... memangnya Esel membocorkan soal grup rahasia itu sama Cazzo? Ternyata memang mulut ember ya dia.
“Gosip kayaknya... emang DIGEOLS tuh apaan?”
“Klub rahasia khusus homo di CIS. Iiihhh... ngeri, yang kayak gituan aja ada!”
“Yang kayak Mahobia juga ada! Sama ngerinya,” timpalku tanpa dapat kutahan.
I mean, di sekolah mana lagi sih yang homophobes-nya sampe bikin grup anti homosexual terang-terangan segala? Pasti hanya di CIS!
“Oh, si Esel juga bilang, katanya si Yanto tuh anggota DIGEOLS. Jadi gue mesti hati-hati sama dia.”
“Yang lebih harus kamu hati-hatiin tuh si Esel.”
“Oh itu sih udah pasti. Tapi bener nggak tuh si Yanto anggota DIGEOLS?”
Aku bingung menjawabnya. “Tanya aja sendiri, kenapa nanya aku? Aku kan bukan anggota DIGEOLS.” Well, memang benar, kan? Aku bukan anggota klub discreet gay mana pun. Bahkan meskipun aku gay yang discreet.
“Jadi DIGEOLS tuh ada?”
Aku mengangkat bahu. Malas berkomentar.
“Kalo ada, emangnya kamu mau gabung?” tanyaku.
Cazzo tergelak. “Hahaha... masa gue gabung di klub homo!”
“Who knows!”
“Nanti gue kelihatan kayak homo dong!” Cazzo pun cekikikan.
Astaga... memangnya selama dua hari terakhir dia nggak ngerasa dirinya terlihat homo?! Sejak dia memegang tanganku di bandara sampai detik ini aku menyuapinya, kami berdua kelihatan 1000% homo. Pasangan homosexual.
Bahkan sejak foto “forever” yang dia pasang di facebook itu. Aku saja jijik melihatnya. Aku bukan tipe-tipe gay yang mengumbar kehidupan pribadi macam begitu, ya. Bahkan jika aku straight dan punya pacar cewek pun, aku nggak akan berfoto bareng pacarku lalu memasangnya di facebook dan memberi tulisan forever.
“Kalo aku gabung di DIGEOLS, gimana?” tanyaku, mengujinya.
“Emang kamu mau Bro?”
“Yaaah, berhubung Esel udah ngegosip kalo aku homo, dan mungkin orang-orang udah percaya kalo aku homo, kayaknya nggak ada bedanya aku gabung atau nggak di DIGEOLS. Orang-orang udah terlanjur ngejudge aku homo.” Aku mendesah pasrah. “Paling-paling yang mesti aku pikirin sekarang soal banyaknya sms masuk dari cowok ngajak kenalan, atau Mahobia ngegodain aku di tengah jalan, atau semua temen cowok aku nggak mau ganti baju bareng pas pelajaran olahraga.”
Aku menyuapi lagi Cazzo. “Tapi biarin, lah. Toh hidup aku masih panjang. Yang penting aku nggak ngelakuin hal-hal inappropriate di CIS. Mestinya aku konsen aja sama belajar.”
Cazzo menunjukkan simpatinya padaku dengan mengusap-usap punggung tanganku. Dia lalu menarik kepalaku lagi ke bahunya, mulai mengusap-usap rambutku seperti sedang membelai kucing.
“Yang penting...” kata Cazzo. “Lo nggak ngebales sms atau ketemuan cowok-cowok yang ngajak kenalan itu.”
Astaga, aku pikir dia mau ngomong apa.
“Tapi kalo lo emang mau gabung di DIGEOLS,” lanjutnya. “Gue juga mau gabung.”
“Kenapa? Karena kamu homo juga?” Aku cekikikan.
Cazzo tersenyum lebar dan merunduk menatap wajahku. “Karena gue pengen ada di sisi lo waktu lo lagi kesusahan.”
-XxX-
“ADAM! Sini!” Aku melambaikan tanganku pada Adam yang sedang celingukan di depan KFC, tepat di dekat pintu masuk terminal bandara Adisutjipto Yogyakarta. Adam menoleh dan nyengir. Dia menghampiriku sambil membawakan pesananku.
“Eh, sorry... Lanting di tempat langganan gue abis, jadi gue beli di tempat lain.”
“That’s fine! Thank you udah bantuin nyari sisa oleh-oleh aku.” Aku menerima sekotak paket yang dibungkus kertas coklat, isinya oleh-oleh khas Yogya yang tak sempat kubeli karena aku nggak tahu maksudnya apa. I mean, apa itu Lanting? “Tadi gue kelamaan di Museum Affandi, jadi telat nggak bisa nyari oleh-oleh. Thank you again udah bantuin... jadi berapa semuanya?”
“Ah, nggak usah. Buat lo aja...”
“Eeeh, nggak apa-apa, aku gantiin. Aku udah ngerepotin kamu pake minta cariin segala.”
“Ih, biarin! Itung-itung oleh-oleh dari gue. Udah, nggak usah dikeluarin dompetnya...”
“Nggak mau, ah! Aku jadi nggak enak. Dari kemaren ngerepotin kamu mulu...”
“Ya ampun, Agas... udah nggak apa-apa. Anggap aja gue tuan rumah di sini, jadi—udah, ih!” Adam menolak sodoran uang tunai dariku. “Udah biarin... itu oleh-oleh dari gue.”
Aku mendengus sambil cekikikan.
“Oke-oke-oke... once again, thank you ya... entar kalo ke
Bandung, giliran aku yang traktir oleh-oleh, deal? Jadi kamu
mesti cepet-cepet ke Bandung!”
“So pasti! Ajak gue makan batagor, ya?”
“Apapun. Entar kita wisata kuliner di sana. Eh, sorry ya aku nggak bisa ketemu lama ama kamu...” Aku memeluk Adam. “Dari kemaren studinya sibuk mulu.”
“Yeee... nggak apa-apa, kali. Masih ada lain waktu. Entar kalo sekolah gue studi ke Bandung, kita bisa ketemu lagi.”
“EHEM!”
Ck.
Aku melepaskan pelukan itu sambil memutar bola mata.
“Eh, Cazzo?” sapa Adam, baru menyadari bahwa cowok itu dari tadi berdiri satu meter di belakangku. “Hey, gimana kabarnya?”
“Baik,” jawab Cazzo singkat sambil menatap Adam dengan pandangan menuduh.
“EHEM!” balasku. “Be nice.”
Cazzo malah memalingkan mukanya.
“Udah, nggak apa-apa,” bisik Adam. “Dia cemburu ama gue, kan?”
“Argh, nggak usah ditanya lagi, deh. Padahal tadi udah aku suruh diem di ruang tunggu, tapi begitu tau mau ketemu kamu, dia langsung ikut.”
Adam cekikikan pelan. “He’s cute... and charming!”
“Ssst...! Jangan keras-keras. Entar dia inisiatif nambahin ganteng, pinter, rajin menabung...”
“Narsis, em?”
Dan kami berdua tertawa
“Lo bedua ngapain sih pada ketawa depan pintu masuk?” sahut Cazzo kesal.
“Bukan urusan kamu, Cazzo.”
“Kayak orang gila, tau, ketawa-ketawa...”
“Biarin!” Aku berkacak pinggang. “Kenapa sih nggak nunggu di ruang tunggu aja?”
“Bukan urusan lo.” Cazzo mencibir. “Terserah gue mau ikut apa nggak.”
Adam cekikikan melihat kami berdua.
“Sorry ya, kalo aku sama yang lain jadi ngerepotin kamu terus di Yogya,” kataku tulus. “Pagi-pagi ngegangguin kamu buat nanyain sewa mobil.”
“Ih, nggak apa-apa, lagi... It’d be my pleasure... lo nggak usah sungkan buat minta tolong. Gue seneng kok, bisa bantuin lo.”
“Kenapa seneng?” potong Cazzo sambil mengerutkan alis. “Lo naksir ya ama Agas?”
“Nggak, kok...” jawab Adam bingung. Dia setengah ingin tertawa setengah heran sama tingkah Cazzo yang cemburu buta. “Gue nggak naksir Agas kok, Zo... tenang aja.”
Cazzo menatap Adam beberapa detik dengan perasaan nggak senang, kemudian melemparkan pandangannya ke arah lain sambil menggoyang-goyangkan tangan di dalam saku jaketnya.
“Cazzo, inget perjanjiannya!” sahutku. “Kamu mesti sopan sama Adam atau aku nggak bakal temenan lagi sama kamu. Paham?”
Rahang Cazzo mengeras. Dia nggak suka waktu aku mengatakan itu barusan. Setelah beberapa detik menimang-nimang, akhirnya Cazzo bergegas menuju salah satu konter fastfood, menjauhi kami.
“Ugh, akhirnya!” gumamku.
“You both look cute!” goda Adam sambil cekikikan. “Gue jadi jealous, nih!”
“Nothing to jealous, dude... cowok itu bikin pusing aja.”
“Tapi lo suka, kan?”
“Apanya? Nggak, ah... aku nggak suka.”
“Aaah, ngaku deh! Lo suka kan waktu dia cemburu buta macam begitu? Hihihi...”
“Nggak! Aku nggak suka. Malah bikin pusing!”
Mungkin sedikit suka, sih. Tapi aku nggak perlu bilang pada Adam, kan?
“Oh my God, Agas... lo udah sembuh atau apa? Cowok ganteng imut macam begitu masa sih nggak suka?”
“D-dia straight!” kelitku sambil tergagap. “Dia mantan Mahobia.”
“Who cares?” Adam memutar bola mata. “Kalo gue jadi lo, nggak akan pernah gue lepasin deh tuh cowok... dia tuh unyu... bikin gemes... hihihi... gue boleh cubit pipinya kan entar?”
Aku tergelak membayangkan Adam mencubit pipi Cazzo. “Kayak yang bisa aja nyubit pipinya dia...”
Kami berdua lalu menoleh ke arah Cazzo yang sedang berbaris di depan konter KFC. Cowok itu ternyata sedang memandang serius ke arah kami, seolah sedang mengawasi kalau-kalau kami mendadak kabur atau apa.
“Lo tidur ama dia kan di hotel?” tanya Adam. “How was it?”
“Thrilling!” Aku mendengus. “Entah dia sengaja, atau emang kebiasaan telanjang dada kalo tidur. Dia nggak pernah pake baju.”
“Ooouuuu... seksi!” Adam merinding membayangkannya. “Sekali-sekali tukeran tempat dong... gue juga pengen bobo ama dia...”
“Oh, boleh. Be my guest!”
Kami menoleh lagi ke arah Cazzo. Dan dia masih menatap ke arah kami!
“Dia emang nggak nembak lo?”
Aku menggeleng. “Nggak pernah ada pembicaraan menjurus ke situ. Padahal selama di Yogya, aku ma dia udah kayak orang pacaran. Orang-orang mungkin udah nganggap kami suami-istri yang nikah di Belanda.”
“Menurut lo dia cinta lo?”
Aku mengangkat bahu.
“Kalo dia nyatain cinta, lo mau terima?”
“Ya nggak, lah... silly!” sahutku.
Meski dalam hatiku, ada juga suara-suara yang berkata, “Boleh juga... siapa tahu... lagipula dia cute, kan? Lagipula dia seksi setengah mati. Dan sikap perhatiannya itu bikin iri semua orang.”
Tapi ada juga suara-suara yang berkata, “Impossible! Dia 100% straight! Dia nggak mungkin jatuh cinta sama kamu. Selama ini dia mungkin cuma bercanda. Mungkin dia cuma butuh pelampiasan. Atau Bello ngedukunin Cazzo biar cinta sama kamu dan ngebikin hidup kamu penuh cobaan.”
“Oh my God, Agas... kayaknya lo udah sembuh, deh... binan mana sih di dunia ini yang bakal nolak dia?” Adam menyipitkan mata. “It was like... rejecting Brent Corrigan to have sex with you!”
“Meskipun binan kan aku juga pilih-pilih, bukan berarti semua cowok bakal aku terima dengan mudah.”
“Dan DIA nggak masuk pilihan?!” Adam melongo.
“Aku nggak bilang gitu,” kataku membela diri. “Aku bilang, aku juga pilih-pilih. Maksudnya, dia bisa jadi masuk pilihan, tapi bukan berarti aku bakal langsung pacaran atau gimana...”
Adam nggak tahu Bang Dicky, sih. Adam juga nggak tau Zaki. Memilih cowok itu bukan perkara mudah. Cazzo memang The One To Die For, tapi memangnya Bang Dicky nggak? Pilihanku kan bukan cuma Cazzo.
“Eh, dia ke sini!” bisik Adam.
Cazzo menghampiri kami sambil menyeruput cola. Astaga, kalau dipikir-pikir, dia imut juga, ya? Polos dan menggemaskan.
“Udah sepuluh menit,” ujarnya tiba-tiba. “Udah kelamaan ngobrolnya.”
“Sepuluh menit dari mana?!” geramku. “Masa sih ngobrol ama temen sendiri dibatesin sampe sepuluh menit?!”
“Eh, udah-udah, nggak apa-apa,” sela Adam sambil tergelak kecil. “Lagian guenya juga udah mau pergi, kok.”
“Kamu mau ke mana?”
“Gue mau ke alun-alun, Hunny, ada janji ama temen di sana—“
“EHEM! Hunny!” sindir Cazzo.
“Iya-iya, sorry,” sahut Adam sambil menahan tawa menatap Cazzo. “Udah dibilangin, gue cuma temen ama Agas. Gue nggak naksir Agas.”
“So pasti! Ajak gue makan batagor, ya?”
“Apapun. Entar kita wisata kuliner di sana. Eh, sorry ya aku nggak bisa ketemu lama ama kamu...” Aku memeluk Adam. “Dari kemaren studinya sibuk mulu.”
“Yeee... nggak apa-apa, kali. Masih ada lain waktu. Entar kalo sekolah gue studi ke Bandung, kita bisa ketemu lagi.”
“EHEM!”
Ck.
Aku melepaskan pelukan itu sambil memutar bola mata.
“Eh, Cazzo?” sapa Adam, baru menyadari bahwa cowok itu dari tadi berdiri satu meter di belakangku. “Hey, gimana kabarnya?”
“Baik,” jawab Cazzo singkat sambil menatap Adam dengan pandangan menuduh.
“EHEM!” balasku. “Be nice.”
Cazzo malah memalingkan mukanya.
“Udah, nggak apa-apa,” bisik Adam. “Dia cemburu ama gue, kan?”
“Argh, nggak usah ditanya lagi, deh. Padahal tadi udah aku suruh diem di ruang tunggu, tapi begitu tau mau ketemu kamu, dia langsung ikut.”
Adam cekikikan pelan. “He’s cute... and charming!”
“Ssst...! Jangan keras-keras. Entar dia inisiatif nambahin ganteng, pinter, rajin menabung...”
“Narsis, em?”
Dan kami berdua tertawa
“Lo bedua ngapain sih pada ketawa depan pintu masuk?” sahut Cazzo kesal.
“Bukan urusan kamu, Cazzo.”
“Kayak orang gila, tau, ketawa-ketawa...”
“Biarin!” Aku berkacak pinggang. “Kenapa sih nggak nunggu di ruang tunggu aja?”
“Bukan urusan lo.” Cazzo mencibir. “Terserah gue mau ikut apa nggak.”
Adam cekikikan melihat kami berdua.
“Sorry ya, kalo aku sama yang lain jadi ngerepotin kamu terus di Yogya,” kataku tulus. “Pagi-pagi ngegangguin kamu buat nanyain sewa mobil.”
“Ih, nggak apa-apa, lagi... It’d be my pleasure... lo nggak usah sungkan buat minta tolong. Gue seneng kok, bisa bantuin lo.”
“Kenapa seneng?” potong Cazzo sambil mengerutkan alis. “Lo naksir ya ama Agas?”
“Nggak, kok...” jawab Adam bingung. Dia setengah ingin tertawa setengah heran sama tingkah Cazzo yang cemburu buta. “Gue nggak naksir Agas kok, Zo... tenang aja.”
Cazzo menatap Adam beberapa detik dengan perasaan nggak senang, kemudian melemparkan pandangannya ke arah lain sambil menggoyang-goyangkan tangan di dalam saku jaketnya.
“Cazzo, inget perjanjiannya!” sahutku. “Kamu mesti sopan sama Adam atau aku nggak bakal temenan lagi sama kamu. Paham?”
Rahang Cazzo mengeras. Dia nggak suka waktu aku mengatakan itu barusan. Setelah beberapa detik menimang-nimang, akhirnya Cazzo bergegas menuju salah satu konter fastfood, menjauhi kami.
“Ugh, akhirnya!” gumamku.
“You both look cute!” goda Adam sambil cekikikan. “Gue jadi jealous, nih!”
“Nothing to jealous, dude... cowok itu bikin pusing aja.”
“Tapi lo suka, kan?”
“Apanya? Nggak, ah... aku nggak suka.”
“Aaah, ngaku deh! Lo suka kan waktu dia cemburu buta macam begitu? Hihihi...”
“Nggak! Aku nggak suka. Malah bikin pusing!”
Mungkin sedikit suka, sih. Tapi aku nggak perlu bilang pada Adam, kan?
“Oh my God, Agas... lo udah sembuh atau apa? Cowok ganteng imut macam begitu masa sih nggak suka?”
“D-dia straight!” kelitku sambil tergagap. “Dia mantan Mahobia.”
“Who cares?” Adam memutar bola mata. “Kalo gue jadi lo, nggak akan pernah gue lepasin deh tuh cowok... dia tuh unyu... bikin gemes... hihihi... gue boleh cubit pipinya kan entar?”
Aku tergelak membayangkan Adam mencubit pipi Cazzo. “Kayak yang bisa aja nyubit pipinya dia...”
Kami berdua lalu menoleh ke arah Cazzo yang sedang berbaris di depan konter KFC. Cowok itu ternyata sedang memandang serius ke arah kami, seolah sedang mengawasi kalau-kalau kami mendadak kabur atau apa.
“Lo tidur ama dia kan di hotel?” tanya Adam. “How was it?”
“Thrilling!” Aku mendengus. “Entah dia sengaja, atau emang kebiasaan telanjang dada kalo tidur. Dia nggak pernah pake baju.”
“Ooouuuu... seksi!” Adam merinding membayangkannya. “Sekali-sekali tukeran tempat dong... gue juga pengen bobo ama dia...”
“Oh, boleh. Be my guest!”
Kami menoleh lagi ke arah Cazzo. Dan dia masih menatap ke arah kami!
“Dia emang nggak nembak lo?”
Aku menggeleng. “Nggak pernah ada pembicaraan menjurus ke situ. Padahal selama di Yogya, aku ma dia udah kayak orang pacaran. Orang-orang mungkin udah nganggap kami suami-istri yang nikah di Belanda.”
“Menurut lo dia cinta lo?”
Aku mengangkat bahu.
“Kalo dia nyatain cinta, lo mau terima?”
“Ya nggak, lah... silly!” sahutku.
Meski dalam hatiku, ada juga suara-suara yang berkata, “Boleh juga... siapa tahu... lagipula dia cute, kan? Lagipula dia seksi setengah mati. Dan sikap perhatiannya itu bikin iri semua orang.”
Tapi ada juga suara-suara yang berkata, “Impossible! Dia 100% straight! Dia nggak mungkin jatuh cinta sama kamu. Selama ini dia mungkin cuma bercanda. Mungkin dia cuma butuh pelampiasan. Atau Bello ngedukunin Cazzo biar cinta sama kamu dan ngebikin hidup kamu penuh cobaan.”
“Oh my God, Agas... kayaknya lo udah sembuh, deh... binan mana sih di dunia ini yang bakal nolak dia?” Adam menyipitkan mata. “It was like... rejecting Brent Corrigan to have sex with you!”
“Meskipun binan kan aku juga pilih-pilih, bukan berarti semua cowok bakal aku terima dengan mudah.”
“Dan DIA nggak masuk pilihan?!” Adam melongo.
“Aku nggak bilang gitu,” kataku membela diri. “Aku bilang, aku juga pilih-pilih. Maksudnya, dia bisa jadi masuk pilihan, tapi bukan berarti aku bakal langsung pacaran atau gimana...”
Adam nggak tahu Bang Dicky, sih. Adam juga nggak tau Zaki. Memilih cowok itu bukan perkara mudah. Cazzo memang The One To Die For, tapi memangnya Bang Dicky nggak? Pilihanku kan bukan cuma Cazzo.
“Eh, dia ke sini!” bisik Adam.
Cazzo menghampiri kami sambil menyeruput cola. Astaga, kalau dipikir-pikir, dia imut juga, ya? Polos dan menggemaskan.
“Udah sepuluh menit,” ujarnya tiba-tiba. “Udah kelamaan ngobrolnya.”
“Sepuluh menit dari mana?!” geramku. “Masa sih ngobrol ama temen sendiri dibatesin sampe sepuluh menit?!”
“Eh, udah-udah, nggak apa-apa,” sela Adam sambil tergelak kecil. “Lagian guenya juga udah mau pergi, kok.”
“Kamu mau ke mana?”
“Gue mau ke alun-alun, Hunny, ada janji ama temen di sana—“
“EHEM! Hunny!” sindir Cazzo.
“Iya-iya, sorry,” sahut Adam sambil menahan tawa menatap Cazzo. “Udah dibilangin, gue cuma temen ama Agas. Gue nggak naksir Agas.”
Tapi Cazzo nggak mau percaya.
“Gue malah naksir lo!” goda Adam sambil cekikikan kecil. “Gue pergi dulu ya Gas, Cazzo... hati-hati di jalannya!”
“Hati-hati ya, Dam... thank you buat semuanya.”
“Iya, sip! Kalo udah nyampe Bandung sms gue, ya!”
Begitu Adam sudah agak jauh, Cazzo mulai merutuk. “Tuh, kan dia homo! Masa naksir gue, sih? Lo jangan sms dia ya kalo udah nyampe Bandung!”
“Kamu nggak berhak ngatur siapa yang mau aku sms.”
“Gue berhak, dong! Gue kan sobat lo, Bro!”
“Nggak ada hubungannya!”
Aku bergegas menuju information center yang berada di sebelah Barat, hendak menuju Waving Gallery karena ingin lihat-lihat pesawat dulu.
“Mau ke mana, lo?”
“Mau ke anjungan, lihat-lihat dulu.”
Cazzo menjajari langkahku. “Lo tuh ngapain sih sebenernya temenan ama dia? Lo nggak takut apa?”
“Ya nggak, lah... emang dia kenapa? Dan FYI ya, aku nggak butuh sebuah alasan buat temenan ama seseorang.”
“Dia tuh kayaknya punya maksud terselubung. Gue nggak suka ama dia.”
Aku mendengus dan nggak berkomentar.
Kami tiba di loket waving gallery dan membayar Rp3000 untuk masuk. Ketika kami menaiki tangga, ternyata tak ada satupun orang sedang melihat-lihat di sana. Anjungan Pengantar ini kosong.
Aku melirik Cazzo dan melihat cowok itu masih cemberut.
“Please, Cazzo,” kataku lembut. “Kapan kamu bisa percaya kalo aku sama Adam cuma temenan?”
“Gue nggak akan pernah percaya,” jawabnya mantap. “Lo nggak denger emangnya apa yang dia bilang barusan terakhir kali?”
Astaga...
“Kalo aku yang bilang aku naksir kamu, kamu bakal anggap aku homo juga?” semburku.
Cazzo terkejut mendengar pertanyaanku, dan dia memilih untuk bungkam. Matanya melirik ke arah lain sambil bingung harus merespon apa.
“Kenapa diem, Cazzo?” tanyaku.
Cazzo terlihat salah tingkah. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil melempar pandangan jauh ke runway. “G-gue nggak mau jawab itu.”
“I knew it,” aku mendengus. “Like usual, kamu nggak akan pernah mau jawab pertanyaan yang kamu nggak suka.”
Cazzo tertunduk merasa bersalah.
“You know, Cazzo... kadang ada masanya seseorang mesti jawab pertanyaan yang dia nggak sukai. Seburuk apapun itu pertanyaannya, dia harus jawab.”
“G-ganti pertanyaannya, dong...”
Astaga... Memangnya dia nggak ngerti apa yang aku bilang?
“Kamu tuh nggak pernah dewasa ya? Sekali aja, please, kamu berpikir dewasa!”
“Gue masih remaja!” belanya.
“It’s not about that, idiot!” Aku menggeram. “Kamu nggak bisa terus-terusan bergantung sama aku, Cazzo. Suatu hari kamu harus hidup sendiri. Suatu hari kamu mesti punya prinsip sendiri. Aku nggak mau pertemanan kita akhirnya ngebikin kamu jadi orang yang dependant, yang selalu bergantung sama orang lain. Kamu boleh punya banyak kekurangan, kamu boleh phobia sama setan... atau suka ngompol, tapi suatu hari kamu mesti berdiri di atas kaki kamu sendiri!”
Cazzo terlihat terguncang. Dia menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan gugup.
“Sekarang aku tanya sekali lagi, kalo aku homo gimana? Kamu mau ngapain?”
Cazzo menelan ludah. “Nggak lah, nggak mungkin... lo kan, kelihatan normal...”
“Memangnya orang homo nggak kelihatan normal?” Aku memutar bola mata. “Homosexual is sexual orientation, dude, not personality disorder, for God’s sake!”
Cazzo kelihatan tertekan. “Please, Bro,” pelasnya tiba-tiba. “Jangan mojokin gue kayak gitu dong...”
“Aku nggak mojokin!” Aku mendengus. “Aku kan cuma nanya, gimana kalo ternyata aku ini homo, aku ini orang yang kalian phobia-in di Mahobia? Gimana kalo ternyata aku ini Ryan Jombang yang kalian jadiin icon buat ngecap semua gay di dunia? Sebab kenyataannya, kamu ngebikin aku kayak begitu! Kamu ngebikin aku kayak aku ini pacar kamu lah, aku ini orang yang kamu cintain, padahal jelas-jelas aku cowok, dan jelas-jelas kamu anti sama homo, dan itu bikin aku bingung tau nggak?”
Aku menghelas napas.
“Apa sih sebenernya yang kamu rasain sama aku? Apa sih sebenernya yang kamu harepin dari aku? Aku bukan orang yang bisa baca pikiran kamu, Cazzo, jadi aku nggak pernah tahu apa yang kamu rencanain selama ini atau apa yang kamu pikirin tentang aku. Kamu cuma bikin aku bingung, kamu cuma bikin aku bertanya-tanya, tapi di lain sisi aku dituntut buat nurutin apa yang kamu mau, jadi sebenernya—“
Cazzo menciumku.
Kejadian itu terjadi tiba-tiba. Saat aku sibuk menumpahkan isi hatiku, sambil menggerakkan tanganku ke sana kemari untuk menjelaskannya, tiba-tiba tangan Cazzo meraih kepalaku, dan kepalanya merunduk untuk kemudian menciumku. Bibirnya yang sempat jadi perbincangan banyak cewek itu menyentuh bibirku... menganga dan membiarkan lidahnya masuk ke dalam mulutku, melumat bibirku dengan penuh nafsu dan berkelana di dalam rahangku.
Aku terkejut dan hanya bisa mematung memandang wajahnya begitu dekat denganku. Hidungnya menempel. Wangi pembersih mukanya tercium kuat. Aku merasakan hembusan napasnya yang memburu dan getaran dari dalam dadanya seolah dia ingin melakukan ini sejak lama.
Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Gigi kami saling terantuk tetapi Cazzo malah menanam lidahnya lebih dalam ke dalam mulutku, dia terus melumat lidahku, menarikku lebih dekat dengan tubuhnya, dan dengan penuh nafsu mencumbuku sampai aku trance... tak bisa berpikir jernih.
Tapi kemudian aku kembali ke kesadaranku dan kudorong Cazzo kuat-kuat. “Kamu ngapain?!” sahutku shock.
Cazzo sama terguncangnya. Kulihat tangannya gemetar dan setengah mati dia mencoba menjelaskan tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya.
“Kenapa kamu cium aku, Cazzo?!” pekikku lagi. “Kenapa kamu—“
Dia menciumku lagi.
Kali ini sambil mencumbuku dan memainkan lidahnya di dalam mulutku, dia juga berbisik padaku. Agak-agak terisak menangis. “Gue sayang lo Agas, gue sayang lo. Please jangan marah sama gue—“
Aku mendorong lagi Cazzo, melepas ciumannya.
Cowok itu kelihatan frustasi. Matanya berair dan dia kelihatan kacau sekali. Dia membenamkan kedua tangannya di kepalanya, tertekan. Pandangannya berputar ke sana kemari seperti orang linglung.
“Kamu lagi nggak sadar, Cazzo...” ujarku, masih terguncang. Aku masih bisa merasakan napasnya yang hangat di wajahku, tapi aku masih belum percaya bahwa itu benar-benar terjadi.
“Gue sayang lo, Gas...” bisiknya sambil mencengkram kepalanya kuat-kuat.
“Kamu nggak sayang aku, Cazzo... Kita cuma temenan,” sangkalku.
“Gue sayang lo...” Tatapannya nanar, menatapku dengan dalam dan serius. Aku bisa melihat bola matanya memerah dan wajahnya memucat. Dan raut mukanya yang kelihatan terguncang itu sempat membuatku iba. “Itu yang gue rasain, Gas... Lo mau tau yang gue rasain, kan?”
“Gue malah naksir lo!” goda Adam sambil cekikikan kecil. “Gue pergi dulu ya Gas, Cazzo... hati-hati di jalannya!”
“Hati-hati ya, Dam... thank you buat semuanya.”
“Iya, sip! Kalo udah nyampe Bandung sms gue, ya!”
Begitu Adam sudah agak jauh, Cazzo mulai merutuk. “Tuh, kan dia homo! Masa naksir gue, sih? Lo jangan sms dia ya kalo udah nyampe Bandung!”
“Kamu nggak berhak ngatur siapa yang mau aku sms.”
“Gue berhak, dong! Gue kan sobat lo, Bro!”
“Nggak ada hubungannya!”
Aku bergegas menuju information center yang berada di sebelah Barat, hendak menuju Waving Gallery karena ingin lihat-lihat pesawat dulu.
“Mau ke mana, lo?”
“Mau ke anjungan, lihat-lihat dulu.”
Cazzo menjajari langkahku. “Lo tuh ngapain sih sebenernya temenan ama dia? Lo nggak takut apa?”
“Ya nggak, lah... emang dia kenapa? Dan FYI ya, aku nggak butuh sebuah alasan buat temenan ama seseorang.”
“Dia tuh kayaknya punya maksud terselubung. Gue nggak suka ama dia.”
Aku mendengus dan nggak berkomentar.
Kami tiba di loket waving gallery dan membayar Rp3000 untuk masuk. Ketika kami menaiki tangga, ternyata tak ada satupun orang sedang melihat-lihat di sana. Anjungan Pengantar ini kosong.
Aku melirik Cazzo dan melihat cowok itu masih cemberut.
“Please, Cazzo,” kataku lembut. “Kapan kamu bisa percaya kalo aku sama Adam cuma temenan?”
“Gue nggak akan pernah percaya,” jawabnya mantap. “Lo nggak denger emangnya apa yang dia bilang barusan terakhir kali?”
Astaga...
“Kalo aku yang bilang aku naksir kamu, kamu bakal anggap aku homo juga?” semburku.
Cazzo terkejut mendengar pertanyaanku, dan dia memilih untuk bungkam. Matanya melirik ke arah lain sambil bingung harus merespon apa.
“Kenapa diem, Cazzo?” tanyaku.
Cazzo terlihat salah tingkah. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil melempar pandangan jauh ke runway. “G-gue nggak mau jawab itu.”
“I knew it,” aku mendengus. “Like usual, kamu nggak akan pernah mau jawab pertanyaan yang kamu nggak suka.”
Cazzo tertunduk merasa bersalah.
“You know, Cazzo... kadang ada masanya seseorang mesti jawab pertanyaan yang dia nggak sukai. Seburuk apapun itu pertanyaannya, dia harus jawab.”
“G-ganti pertanyaannya, dong...”
Astaga... Memangnya dia nggak ngerti apa yang aku bilang?
“Kamu tuh nggak pernah dewasa ya? Sekali aja, please, kamu berpikir dewasa!”
“Gue masih remaja!” belanya.
“It’s not about that, idiot!” Aku menggeram. “Kamu nggak bisa terus-terusan bergantung sama aku, Cazzo. Suatu hari kamu harus hidup sendiri. Suatu hari kamu mesti punya prinsip sendiri. Aku nggak mau pertemanan kita akhirnya ngebikin kamu jadi orang yang dependant, yang selalu bergantung sama orang lain. Kamu boleh punya banyak kekurangan, kamu boleh phobia sama setan... atau suka ngompol, tapi suatu hari kamu mesti berdiri di atas kaki kamu sendiri!”
Cazzo terlihat terguncang. Dia menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan gugup.
“Sekarang aku tanya sekali lagi, kalo aku homo gimana? Kamu mau ngapain?”
Cazzo menelan ludah. “Nggak lah, nggak mungkin... lo kan, kelihatan normal...”
“Memangnya orang homo nggak kelihatan normal?” Aku memutar bola mata. “Homosexual is sexual orientation, dude, not personality disorder, for God’s sake!”
Cazzo kelihatan tertekan. “Please, Bro,” pelasnya tiba-tiba. “Jangan mojokin gue kayak gitu dong...”
“Aku nggak mojokin!” Aku mendengus. “Aku kan cuma nanya, gimana kalo ternyata aku ini homo, aku ini orang yang kalian phobia-in di Mahobia? Gimana kalo ternyata aku ini Ryan Jombang yang kalian jadiin icon buat ngecap semua gay di dunia? Sebab kenyataannya, kamu ngebikin aku kayak begitu! Kamu ngebikin aku kayak aku ini pacar kamu lah, aku ini orang yang kamu cintain, padahal jelas-jelas aku cowok, dan jelas-jelas kamu anti sama homo, dan itu bikin aku bingung tau nggak?”
Aku menghelas napas.
“Apa sih sebenernya yang kamu rasain sama aku? Apa sih sebenernya yang kamu harepin dari aku? Aku bukan orang yang bisa baca pikiran kamu, Cazzo, jadi aku nggak pernah tahu apa yang kamu rencanain selama ini atau apa yang kamu pikirin tentang aku. Kamu cuma bikin aku bingung, kamu cuma bikin aku bertanya-tanya, tapi di lain sisi aku dituntut buat nurutin apa yang kamu mau, jadi sebenernya—“
Cazzo menciumku.
Kejadian itu terjadi tiba-tiba. Saat aku sibuk menumpahkan isi hatiku, sambil menggerakkan tanganku ke sana kemari untuk menjelaskannya, tiba-tiba tangan Cazzo meraih kepalaku, dan kepalanya merunduk untuk kemudian menciumku. Bibirnya yang sempat jadi perbincangan banyak cewek itu menyentuh bibirku... menganga dan membiarkan lidahnya masuk ke dalam mulutku, melumat bibirku dengan penuh nafsu dan berkelana di dalam rahangku.
Aku terkejut dan hanya bisa mematung memandang wajahnya begitu dekat denganku. Hidungnya menempel. Wangi pembersih mukanya tercium kuat. Aku merasakan hembusan napasnya yang memburu dan getaran dari dalam dadanya seolah dia ingin melakukan ini sejak lama.
Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Gigi kami saling terantuk tetapi Cazzo malah menanam lidahnya lebih dalam ke dalam mulutku, dia terus melumat lidahku, menarikku lebih dekat dengan tubuhnya, dan dengan penuh nafsu mencumbuku sampai aku trance... tak bisa berpikir jernih.
Tapi kemudian aku kembali ke kesadaranku dan kudorong Cazzo kuat-kuat. “Kamu ngapain?!” sahutku shock.
Cazzo sama terguncangnya. Kulihat tangannya gemetar dan setengah mati dia mencoba menjelaskan tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya.
“Kenapa kamu cium aku, Cazzo?!” pekikku lagi. “Kenapa kamu—“
Dia menciumku lagi.
Kali ini sambil mencumbuku dan memainkan lidahnya di dalam mulutku, dia juga berbisik padaku. Agak-agak terisak menangis. “Gue sayang lo Agas, gue sayang lo. Please jangan marah sama gue—“
Aku mendorong lagi Cazzo, melepas ciumannya.
Cowok itu kelihatan frustasi. Matanya berair dan dia kelihatan kacau sekali. Dia membenamkan kedua tangannya di kepalanya, tertekan. Pandangannya berputar ke sana kemari seperti orang linglung.
“Kamu lagi nggak sadar, Cazzo...” ujarku, masih terguncang. Aku masih bisa merasakan napasnya yang hangat di wajahku, tapi aku masih belum percaya bahwa itu benar-benar terjadi.
“Gue sayang lo, Gas...” bisiknya sambil mencengkram kepalanya kuat-kuat.
“Kamu nggak sayang aku, Cazzo... Kita cuma temenan,” sangkalku.
“Gue sayang lo...” Tatapannya nanar, menatapku dengan dalam dan serius. Aku bisa melihat bola matanya memerah dan wajahnya memucat. Dan raut mukanya yang kelihatan terguncang itu sempat membuatku iba. “Itu yang gue rasain, Gas... Lo mau tau yang gue rasain, kan?”
Aku terpaku dan nggak percaya mendengarnya.
Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi. Semua dugaanku selama ini, semua sikap
Cazzo selama ini, ternyata memang didasari perasaan ini?
Ini nggak masuk akal!
“Tapi ini bukan kamu...” tukasku. “Ini bukan diri kamu, Cazzo. Kamu bahkan nggak suka sama cowok. Kamu bahkan gabung sama Mahobia. In fact, kamu bahkan nggak milih Lady Gaga atau Beyonce waktu di hotel, kamu milih aktris Hollywood! Ini nggak mungkin kamu, Cazzo... Kamu nggak sayang sama aku dengan cara macam begitu...”
“Tapi ini yang gue rasain, Gas... Gue mesti gimana lagi?!” sentak Cazzo frustasi. “Sejak lo nolongin gue di WC, sejak lo dengan sabarnya ngadepin gue dengan segala kekurangan gue, gue udah ngerasain sayang ini buat lo Gas... Gue ngerasain perasaan berbeda dibandingkan gue ke temen atau sobat gue yang lain!”
Cazzo menghela napas yang memburu, lalu membuka mulutnya untuk mulai bicara lagi. Tapi awalnya tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Sampai sepuluh detik kemudian, Cazzo bicara lagi dengan nada yang lebih lembut. “Gue tau lo homo, Gas, gue udah tau,” jawabnya. “Dan begitu tau lo homo... Gue bukannya takut, Gas... Gue bersyukur.” Tenggorokannya tercekat. “Gue bersyukur karena gue percaya kalo gue suatu hari... bisa sama lo.”
“Nggak, Cazzo, nggak...” Aku menggeleng. “Kamu nggak ngerasain perasaan—“
“Please, Gas, percaya ma gue,” sela Cazzo. “Gue udah jawab pertanyaan lo barusan, gue udah nurutin apa yang lo pengen gue lakuin, sekarang please, percaya sama kata-kata gue. Karena nggak ada alasan lagi buat gue bohong ama lo, nggak ada gunanya... Yang gue bilang barusan tuh muncul dari hati gue.”
Kami mematung untuk beberapa saat, saling menatap satu sama lain dengan perasaan terguncang dan penyangkalan tak terkira. Ini terlalu... impossible. Too good to be true, dan mustahil! Aku bahkan mulai berpikiran kamera teve bakal muncul dari suatu tempat di ruangan ini dengan pembawa acara yang berteriak, “Kena deh!” Tapi sedikitpun aku nggak melihat kamera di mana-mana.
Aku malah melihat tatapan Cazzo yang tulus dan betapa jujurnya dia mengatakan perasaannya itu.
Dengan background sebuah pesawat lepas landas dari runway bandara, aku akhirnya menghampiri Cazzo dan memeluknya. Sebuah pelukan persahabatan yang hangat, yang disambutnya dengan gembira, bahkan kupikir Cazzo memelukku terlalu kencang.
“Aku nggak bisa janjiin apa-apa, Cazzo... Kasih aku waktu.” Aku menarik napas dan mencoba menahan tangisku. Tapi tenggorokanku keburu tercekat. “Aku butuh waktu buat mikirin apa yang kamu bilang barusan... Aku masih shock, aku nggak tahu sekarang mesti ngapain...”
“Gue bakal selalu nungguin lo, Bro...” bisiknya, kemudian terisak. “Gue bakal selalu ada di sini,” Cazzo menunjuk dadaku—sebelah kanan, bukan kiri, “selalu nungguin lo.”
-XxX-
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku masih berbaring di atas ranjangku sambil membaca majalah-majalah lama dan mendengarkan Mistletoe-nya Justin Bieber dari iPod. Rumah Granny terasa hening. Saat aku melepas earphone untuk mendengar apa yang terjadi di luar sana—barangkali ada pesawat jatuh di depan rumah kami atau apa gitu—yang kudengar hanyalah suara dengungan mesin air di halaman depan.
“Agas?” Granny tiba-tiba masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Dia sudah mengenakan dress barunya yang kubeli di Yogya, dengan motif batik indah dan korsase cantik di bagian kiri. Granny nampak mempesona. Aku penasaran, bagaimana dia bisa menggelung rambutnya sampai mirip gelungan rambut Adele. “Nenek pergi dulu, yaa... Zaki ada di rumah, kok, kalo butuh apa-apa, panggil dia aja.”
“Granny emang mau ke mana?”
“Ke Party, darling... malem ini cucunya Jeng Novi ngadain resepsi ketiga pernikahan mereka. Tempatnya di The Kartipah, garden party gitu. Lumayan, kan, biasanya catering Jeng Novi tuh enak-enak. Tunggu bentar,” Granny mengaduk-aduk tasnya lalu mengeluarkan sebotol pewangi ruangan bergambar jeruk. “Oh, bawa!”
“Ngapain Granny bawa pewangi ruangan?”
“Ini bukan pewangi ruangan, Darling... Ini Pepperspray! Jeng Novi kan ngundang si Nunuk Gombel juga ke resepsi entar, jadi Nenek mesti jaga-jaga.”
Astaga, bahkan Granny pun menyebut keluarga Esel dengan sebutan Wewe Gombel. Dan kenapa aku begitu tertinggalnya nggak membawa pepperspray kemana-mana, lumayan kan untuk menyemprot Esel kalo dia berulah.
“Granny pulang jam berapa?”
“Belum tau, Sayank... tergantung. Kalo si Nunuk belum mati juga, mungkin Nenek pulang agak maleman. Mungkin kayak Cinderella, jam dua belasan. Kamu istirahat aja ya malam ini. Kamu masih jetlag?”
Aku menggeleng.
“Nenek masih punya puding di kulkas. Kalo pusing, makan aja pudingnya.”
“Iya, sip.”
“Dan kapan kamu kawin, Darling? Cucunya Jeng Novi aja udah kawin.”
“For God’s sake, Granny, I’m sixteen!”
Granny tergelak lalu pamit lagi padaku. Detik berikutnya kudengar suara mobil Granny bergaung meninggalkan rumah ini.
Aku melepas earphone-ku dan mematikan iPod. Majalah pun kututup dan kuletakkan lagi di atas meja tidur.
Di mana Bello?
Sudah tiga jam sejak aku tiba di kota Bandung, tapi sedetik pun aku belum melihat Bello. Ini suatu hal yang aneh mengingat sepanjang minggu dia justru mengelilingiku ke mana pun aku pergi. Aku lagi pengen curhat, nih. Aku pengen curhat soal Cazzo, soal menyebalkannya Esel, soal kuntilanak di Yogya...
Dan aku kangen Bang Dicky.
Ya Tuhan, di mana sih cowok itu?
Aku pikir ketika aku tiba di rumah, aku bakal menemukan dia sedang memahat bingkai atau menyajikan santapan-santapan lezat untuk menyambutku. Tapi nihil, aku nggak menemukan dia di mana pun. Bahkan saat aku dengan sengaja berdiri di samping pintu kamar terlarang, berharap Bang Dicky muncul untuk memarahiku, cowok itu nggak nampak sedikit pun.
“Bang Dicky udah pulang?” tanyaku di mobil, dalam perjalanan pulang menuju rumah dari bandara.
“Belum, Darling... Lagi sibuk kayaknya. Mau cokelat?”
Perjalananku dari Yogya ke Bandung kulalui dengan singkat. Aku tidur nyaris di sepanjang perjalanan. Setelah kejadian mendebarkan dengan Cazzo di waving gallery, aku dan cowok itu jadi agak canggung sekarang. Cazzo bahkan nggak berani menggenggam tanganku waktu kami naik pesawat baling-baling lagi.
Dia sempat mengajakku bicara, sih, “Gue sekarang nggak akan takut naik pesawat odong-odong ini. Demi lo, Bro!”
Tapi aku nggak berkomentar apapun jadi suasana makin canggung.
Esel tampak kesal melihat aku masih berduaan dengan Cazzo. Tapi aku juga sempat melihat seulas senyum kecil di bibir Esel saat menyadari ada sesuatu antara aku dan Cazzo. Buktinya, begitu kami mendarat di bandara Hussein Sastranegara dan berjalan menyusuri apron menuju baggage claim, Esel tiba-tiba pedekate lagi dengan Cazzo. Dia sempat berkoar-koar begini di bandara, “Kalo jodoh nggak akan ke mana! Tuhan maha Adil, em?”
Astaga, Esel. Seiyanya aku dan Cazzo musuhan pun, Cazzo nggak akan milih kamu!
Cazzo membantuku dengan bagasiku yang terlampau banyak, yang overload sebanyak 17 kg sehingga aku harus membayar beberapa ratus ribu tambahan. Dia membawakanku troli, membantuku mendorong troli sampai bertemu Granny dan Zaki di depan terminal yang sedang asyik mengacungkan karton besar warna-warni bertuliskan “4645”. Dan uniknya dua meter dari Granny berdiri Jeng Nunuk sambil mengacungkan karton, “E53L s4n9 B1n74n9!!”
Ini nggak masuk akal!
“Tapi ini bukan kamu...” tukasku. “Ini bukan diri kamu, Cazzo. Kamu bahkan nggak suka sama cowok. Kamu bahkan gabung sama Mahobia. In fact, kamu bahkan nggak milih Lady Gaga atau Beyonce waktu di hotel, kamu milih aktris Hollywood! Ini nggak mungkin kamu, Cazzo... Kamu nggak sayang sama aku dengan cara macam begitu...”
“Tapi ini yang gue rasain, Gas... Gue mesti gimana lagi?!” sentak Cazzo frustasi. “Sejak lo nolongin gue di WC, sejak lo dengan sabarnya ngadepin gue dengan segala kekurangan gue, gue udah ngerasain sayang ini buat lo Gas... Gue ngerasain perasaan berbeda dibandingkan gue ke temen atau sobat gue yang lain!”
Cazzo menghela napas yang memburu, lalu membuka mulutnya untuk mulai bicara lagi. Tapi awalnya tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Sampai sepuluh detik kemudian, Cazzo bicara lagi dengan nada yang lebih lembut. “Gue tau lo homo, Gas, gue udah tau,” jawabnya. “Dan begitu tau lo homo... Gue bukannya takut, Gas... Gue bersyukur.” Tenggorokannya tercekat. “Gue bersyukur karena gue percaya kalo gue suatu hari... bisa sama lo.”
“Nggak, Cazzo, nggak...” Aku menggeleng. “Kamu nggak ngerasain perasaan—“
“Please, Gas, percaya ma gue,” sela Cazzo. “Gue udah jawab pertanyaan lo barusan, gue udah nurutin apa yang lo pengen gue lakuin, sekarang please, percaya sama kata-kata gue. Karena nggak ada alasan lagi buat gue bohong ama lo, nggak ada gunanya... Yang gue bilang barusan tuh muncul dari hati gue.”
Kami mematung untuk beberapa saat, saling menatap satu sama lain dengan perasaan terguncang dan penyangkalan tak terkira. Ini terlalu... impossible. Too good to be true, dan mustahil! Aku bahkan mulai berpikiran kamera teve bakal muncul dari suatu tempat di ruangan ini dengan pembawa acara yang berteriak, “Kena deh!” Tapi sedikitpun aku nggak melihat kamera di mana-mana.
Aku malah melihat tatapan Cazzo yang tulus dan betapa jujurnya dia mengatakan perasaannya itu.
Dengan background sebuah pesawat lepas landas dari runway bandara, aku akhirnya menghampiri Cazzo dan memeluknya. Sebuah pelukan persahabatan yang hangat, yang disambutnya dengan gembira, bahkan kupikir Cazzo memelukku terlalu kencang.
“Aku nggak bisa janjiin apa-apa, Cazzo... Kasih aku waktu.” Aku menarik napas dan mencoba menahan tangisku. Tapi tenggorokanku keburu tercekat. “Aku butuh waktu buat mikirin apa yang kamu bilang barusan... Aku masih shock, aku nggak tahu sekarang mesti ngapain...”
“Gue bakal selalu nungguin lo, Bro...” bisiknya, kemudian terisak. “Gue bakal selalu ada di sini,” Cazzo menunjuk dadaku—sebelah kanan, bukan kiri, “selalu nungguin lo.”
-XxX-
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku masih berbaring di atas ranjangku sambil membaca majalah-majalah lama dan mendengarkan Mistletoe-nya Justin Bieber dari iPod. Rumah Granny terasa hening. Saat aku melepas earphone untuk mendengar apa yang terjadi di luar sana—barangkali ada pesawat jatuh di depan rumah kami atau apa gitu—yang kudengar hanyalah suara dengungan mesin air di halaman depan.
“Agas?” Granny tiba-tiba masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Dia sudah mengenakan dress barunya yang kubeli di Yogya, dengan motif batik indah dan korsase cantik di bagian kiri. Granny nampak mempesona. Aku penasaran, bagaimana dia bisa menggelung rambutnya sampai mirip gelungan rambut Adele. “Nenek pergi dulu, yaa... Zaki ada di rumah, kok, kalo butuh apa-apa, panggil dia aja.”
“Granny emang mau ke mana?”
“Ke Party, darling... malem ini cucunya Jeng Novi ngadain resepsi ketiga pernikahan mereka. Tempatnya di The Kartipah, garden party gitu. Lumayan, kan, biasanya catering Jeng Novi tuh enak-enak. Tunggu bentar,” Granny mengaduk-aduk tasnya lalu mengeluarkan sebotol pewangi ruangan bergambar jeruk. “Oh, bawa!”
“Ngapain Granny bawa pewangi ruangan?”
“Ini bukan pewangi ruangan, Darling... Ini Pepperspray! Jeng Novi kan ngundang si Nunuk Gombel juga ke resepsi entar, jadi Nenek mesti jaga-jaga.”
Astaga, bahkan Granny pun menyebut keluarga Esel dengan sebutan Wewe Gombel. Dan kenapa aku begitu tertinggalnya nggak membawa pepperspray kemana-mana, lumayan kan untuk menyemprot Esel kalo dia berulah.
“Granny pulang jam berapa?”
“Belum tau, Sayank... tergantung. Kalo si Nunuk belum mati juga, mungkin Nenek pulang agak maleman. Mungkin kayak Cinderella, jam dua belasan. Kamu istirahat aja ya malam ini. Kamu masih jetlag?”
Aku menggeleng.
“Nenek masih punya puding di kulkas. Kalo pusing, makan aja pudingnya.”
“Iya, sip.”
“Dan kapan kamu kawin, Darling? Cucunya Jeng Novi aja udah kawin.”
“For God’s sake, Granny, I’m sixteen!”
Granny tergelak lalu pamit lagi padaku. Detik berikutnya kudengar suara mobil Granny bergaung meninggalkan rumah ini.
Aku melepas earphone-ku dan mematikan iPod. Majalah pun kututup dan kuletakkan lagi di atas meja tidur.
Di mana Bello?
Sudah tiga jam sejak aku tiba di kota Bandung, tapi sedetik pun aku belum melihat Bello. Ini suatu hal yang aneh mengingat sepanjang minggu dia justru mengelilingiku ke mana pun aku pergi. Aku lagi pengen curhat, nih. Aku pengen curhat soal Cazzo, soal menyebalkannya Esel, soal kuntilanak di Yogya...
Dan aku kangen Bang Dicky.
Ya Tuhan, di mana sih cowok itu?
Aku pikir ketika aku tiba di rumah, aku bakal menemukan dia sedang memahat bingkai atau menyajikan santapan-santapan lezat untuk menyambutku. Tapi nihil, aku nggak menemukan dia di mana pun. Bahkan saat aku dengan sengaja berdiri di samping pintu kamar terlarang, berharap Bang Dicky muncul untuk memarahiku, cowok itu nggak nampak sedikit pun.
“Bang Dicky udah pulang?” tanyaku di mobil, dalam perjalanan pulang menuju rumah dari bandara.
“Belum, Darling... Lagi sibuk kayaknya. Mau cokelat?”
Perjalananku dari Yogya ke Bandung kulalui dengan singkat. Aku tidur nyaris di sepanjang perjalanan. Setelah kejadian mendebarkan dengan Cazzo di waving gallery, aku dan cowok itu jadi agak canggung sekarang. Cazzo bahkan nggak berani menggenggam tanganku waktu kami naik pesawat baling-baling lagi.
Dia sempat mengajakku bicara, sih, “Gue sekarang nggak akan takut naik pesawat odong-odong ini. Demi lo, Bro!”
Tapi aku nggak berkomentar apapun jadi suasana makin canggung.
Esel tampak kesal melihat aku masih berduaan dengan Cazzo. Tapi aku juga sempat melihat seulas senyum kecil di bibir Esel saat menyadari ada sesuatu antara aku dan Cazzo. Buktinya, begitu kami mendarat di bandara Hussein Sastranegara dan berjalan menyusuri apron menuju baggage claim, Esel tiba-tiba pedekate lagi dengan Cazzo. Dia sempat berkoar-koar begini di bandara, “Kalo jodoh nggak akan ke mana! Tuhan maha Adil, em?”
Astaga, Esel. Seiyanya aku dan Cazzo musuhan pun, Cazzo nggak akan milih kamu!
Cazzo membantuku dengan bagasiku yang terlampau banyak, yang overload sebanyak 17 kg sehingga aku harus membayar beberapa ratus ribu tambahan. Dia membawakanku troli, membantuku mendorong troli sampai bertemu Granny dan Zaki di depan terminal yang sedang asyik mengacungkan karton besar warna-warni bertuliskan “4645”. Dan uniknya dua meter dari Granny berdiri Jeng Nunuk sambil mengacungkan karton, “E53L s4n9 B1n74n9!!”
Percakapan terakhir yang aku bicarakan dengan
Cazzo adalah, “Thank you udah bantu bawain.”
“You’re welcome, Bro.” Cazzo nyengir, berusaha membuatku tersenyum. “Yah, Bro, jangan mesem gitu dong. Smile, please...”
Aku tersenyum kecil. Maksa.
“Gue entar malem ke rumah lo, sip?” katanya sambil menatapku penuh harap. “Gue masih pengen ngobrol ama lo... khususnya soal tadi.”
“Terserah.”
Tapi sudah jam tujuh malam dan Cazzo nggak ada tanda-tanda bakal ke rumahku. Minimal ngesms, deh, buat ngabarin dia udah nyampe mana.
Aku bukannya sok jual mahal ya, nggak langsung ngerespon positif perasaan Cazzo. Tapi seperti yang sudah kubilang, pilihanku nggak hanya Cazzo. Dan aku bukan tipe orang yang bakal langsung nerima begitu aja. Aku mesti pikir-pikir dulu.
Selama ke Yogya kemarin aku mengakui aku menghabiskan waktu-waktu menyenangkan bersama Cazzo. Aku kagum dengan bagaimana perhatiannya dia, dan juga hal-hal romantis yang dia lakukan untukku. Dan aku juga mengakui bahwa sedikit banyak, aku menaruh perasaan pada Cazzo. Hanya saja, sekali lagi, aku nggak instantly jatuh cinta sama Cazzo karena pada awalnya aku nggak mencari cinta dari dia.
Selama tiga jam terakhir, sebenarnya aku memikirkan terus soal Cazzo. Aku memikirkan soal kata-katanya di bandara dan ketulusan-keseriusan yang dia pancarkan dari wajahnya. Aku nggak tega membuatnya kecewa dengan mengatakan bahwa, “Sebetulnya ada orang lain dalam hatiku.” Dan nggak mungkin juga aku langsung menerima cintanya lalu kami pacaran atau apa gitu karena belum tentu aku benar-benar mencintainya.
Jadi apakah aku mencintainya?
Mungkin mencintainya.
Atau mungkin, aku bisa mencintainya.
I mean, semua orang kelihatannya mudah jatuh cinta pada Cazzo, kenapa aku nggak? Nggak ada yang salah dengan penampilan fisiknya yang menakjubkan itu. Dan bisa jadi Adam benar aku sudah sembuh dari ke-gay-anku kalau aku bisa-bisanya menolak cinta dari Cazzo. Rasanya seperti menentang hukum alam.
Tok-tok-tok!
Pintu kamarku diketuk. Tapi belum juga aku izinkan masuk, pintu itu terbuka sedikit dan kepala Zaki melongok dari luar.
“Hey, bos!” sapanya. “Boleh masuk nggak, nih?”
“Biasanya juga langsung masuk, kan?”
“Nggak, ah! Takut marah... Abis dari tadi kelihatan bete melulu.”
Zaki ikut menjemputku dari bandara. Dia yang menyetir mobil Granny, termasuk load and unload oleh-oleh yang kubawa.
Zaki akhirnya menghambur masuk dan membiarkan pintu kamarku terbuka. Dia duduk di sampingku di atas ranjang, agak malu-malu untuk mengutarakan maksudnya dan malah diam sambil menatap ke langit-langit.
Saat tangan Zaki menggaruk-garuk belakang kepalanya, aku menatap lengan Zaki yang berotot dan tubuhku mulai terasa panas. Astaga, aku kangen Zaki. Aku kangen mesum dengannya. Aku pengen melepaskan semua tekanan yang kurasakan seminggu terakhir dengan mesum bareng Zaki. Hanya melepaskan saja—bukan berarti aku melupakan perasaanku pada Bang Dicky dan Cazzo.
“Kamu mau si Ucok dipijit lagi, ya?” tebakku.
“Nggak, kok, Bos,” ujarnya—yang cukup mengherankan. “Itu mah bisa besok... atau entar malem, hehe... tapi ada satu hal yang pengen saya tanyain, Bos.”
“Nanya apa?”
Zaki menelan ludah lalu merenung sesaat, masih memutuskan untuk mengutarakan hal tersebut atau nggak. Tapi karena sudah susah-susah datang ke sini, akhirnya dia mendongak dan menatapku. “Saya kalo ciuman payah banget ya Bos?”
“Ciuman?” ulangku—sedikit miris karena hari ini pun aku sudah ciuman dengan Cazzo, dan apakah ciumanku tadi payah? “Aku nggak tau ciuman kamu payah atau nggak. Emangnya kita pernah ciuman?”
“Zaenab kemaren bilang gitu ke saya, Bos. Katanya saya payah banget kalo ciuman. Nggak tau titik-titik yang pas buat bikin cewek horny...” Zaki menghela napas. “Bos tau ciuman yang bagus tuh gimana? Bos kan orang Amerika.”
“Aku orang Indonesia, Zaki, aku bukan orang Amerika. Aku cuma pernah tinggal di sana,” geramku. “Dan aku nggak tau ciuman yang bagus tuh gimana.”
Zaki manggut-manggut. Dia masih malu-malu untuk bicara lagi, tapi jelas sekali ada sesuatu yang ingin dibicarakannya.
“Bos mau nggak... nemenin saya latihan?” tanyanya—menunduk malu, nggak berani menatap wajahku.
“Latihan? Latihan apa?”
“Ya latihan ciuman lah, Bos... jadi guru saya buat ciuman!”
“Aku bukan guru ciuman! Aku bahkan nggak ahli soal ciuman.”
“Cuma pinjem bibirnya aja, Bos... buat saya latihan... please...”
“Enak aja!” sahutku. “Untungnya apa?”
“Untungnya?” Zaki menarik napas. “Nanti saya kasih tau si Dicky ada di mana. Gimana?”
“Apa? Jadi Abang tau di mana Bang Dicky?”
Zaki mengangkat kedua alisnya. “Tau dong, orang saya yang nganterin.”
“Jadi Bang Dicky ada di mana?”
“Di bibir saya, Bos!” katanya sambil tergelak. “Pokoknya mesti deal dulu! Bos jadi partner latihan saya, entar saya kasih tau Dicky ada di mana, tapi jangan bilang si Dicky kalo saya yang ngasih tau, ya!”
“Nggak mau! Abang mesti bilang dulu.”
“Ah, nggak bisa... Bos mesti latihan ciuman dulu ama saya!” Zaki menyeringai jahil.
Aku menggeram kesal, sambil menimang-nimang juga. Dasar nyebelin si Zaki ini. Untuk ngasih tau di mana Bang Dicky aja, dia mesti memanfaatkan kesempatan. Kenapa dia nggak ngasih tau dari kemaren-kemaren sih? Sambil mesum pun sebetulnya aku rela, karena kami memang biasanya mesum berdua. Tapi kenapa Zaki muncul di saat-saat aku galau seperti ini, sih?
“Ya udah, sini cium aku!” gerutuku.
“Yes!” pekiknya. Lalu mulai membuka baju dan menunjukkan otot-otot dadanya yang menakjubkan.
Dasar pamer, batinku.
Zaki menghampiriku dan mulai mengecup bibirku pelan-pelan. Rasanya menggelitik. Beda dengan ciuman Cazzo tadi, tapi lumayan. Zaki membuka mulutnya kecil, menjilati bibirku dengan ujung lidahnya. Lama kelamaan kurasakan mulut Zaki mulai mencoba menyeruak masuk, membenamkan lidahnya untuk menyapu gigiku dan menggelitiki bagian-bagian sensitif dalam mulutku.
Hmmh... Lumayan juga.
Aaahhhh... Ooohhh...
Bukan lumayan. Dia hebat!
Lebih mendebarkan dibandingkan ciuman Cazzo di bandara, dan dia... Aaaahhhh... dari mana dia bisa tahu bahwa bagian bibirku yang itu bikin aku merinding... aaahhhh... Aku menutup mata untuk menikmati sensasi menggelegar yang kurasakan dari cumbuan Zaki. Tanpa sadar aku mulai memainkan puting Zaki... juga membiarkan tangan Zaki menggerayangi punggungku.
Bruk!
Siapa itu?!
Aku membuka mata karena kaget mendengar suara pintu tertutup. Dan begitu aku melihat lurus ke depan...
Sialan.
BELLO?!
Ngapain dia melayang di depan pintu sambil cekikikan?!
Dasar cupid tolol!
“You’re welcome, Bro.” Cazzo nyengir, berusaha membuatku tersenyum. “Yah, Bro, jangan mesem gitu dong. Smile, please...”
Aku tersenyum kecil. Maksa.
“Gue entar malem ke rumah lo, sip?” katanya sambil menatapku penuh harap. “Gue masih pengen ngobrol ama lo... khususnya soal tadi.”
“Terserah.”
Tapi sudah jam tujuh malam dan Cazzo nggak ada tanda-tanda bakal ke rumahku. Minimal ngesms, deh, buat ngabarin dia udah nyampe mana.
Aku bukannya sok jual mahal ya, nggak langsung ngerespon positif perasaan Cazzo. Tapi seperti yang sudah kubilang, pilihanku nggak hanya Cazzo. Dan aku bukan tipe orang yang bakal langsung nerima begitu aja. Aku mesti pikir-pikir dulu.
Selama ke Yogya kemarin aku mengakui aku menghabiskan waktu-waktu menyenangkan bersama Cazzo. Aku kagum dengan bagaimana perhatiannya dia, dan juga hal-hal romantis yang dia lakukan untukku. Dan aku juga mengakui bahwa sedikit banyak, aku menaruh perasaan pada Cazzo. Hanya saja, sekali lagi, aku nggak instantly jatuh cinta sama Cazzo karena pada awalnya aku nggak mencari cinta dari dia.
Selama tiga jam terakhir, sebenarnya aku memikirkan terus soal Cazzo. Aku memikirkan soal kata-katanya di bandara dan ketulusan-keseriusan yang dia pancarkan dari wajahnya. Aku nggak tega membuatnya kecewa dengan mengatakan bahwa, “Sebetulnya ada orang lain dalam hatiku.” Dan nggak mungkin juga aku langsung menerima cintanya lalu kami pacaran atau apa gitu karena belum tentu aku benar-benar mencintainya.
Jadi apakah aku mencintainya?
Mungkin mencintainya.
Atau mungkin, aku bisa mencintainya.
I mean, semua orang kelihatannya mudah jatuh cinta pada Cazzo, kenapa aku nggak? Nggak ada yang salah dengan penampilan fisiknya yang menakjubkan itu. Dan bisa jadi Adam benar aku sudah sembuh dari ke-gay-anku kalau aku bisa-bisanya menolak cinta dari Cazzo. Rasanya seperti menentang hukum alam.
Tok-tok-tok!
Pintu kamarku diketuk. Tapi belum juga aku izinkan masuk, pintu itu terbuka sedikit dan kepala Zaki melongok dari luar.
“Hey, bos!” sapanya. “Boleh masuk nggak, nih?”
“Biasanya juga langsung masuk, kan?”
“Nggak, ah! Takut marah... Abis dari tadi kelihatan bete melulu.”
Zaki ikut menjemputku dari bandara. Dia yang menyetir mobil Granny, termasuk load and unload oleh-oleh yang kubawa.
Zaki akhirnya menghambur masuk dan membiarkan pintu kamarku terbuka. Dia duduk di sampingku di atas ranjang, agak malu-malu untuk mengutarakan maksudnya dan malah diam sambil menatap ke langit-langit.
Saat tangan Zaki menggaruk-garuk belakang kepalanya, aku menatap lengan Zaki yang berotot dan tubuhku mulai terasa panas. Astaga, aku kangen Zaki. Aku kangen mesum dengannya. Aku pengen melepaskan semua tekanan yang kurasakan seminggu terakhir dengan mesum bareng Zaki. Hanya melepaskan saja—bukan berarti aku melupakan perasaanku pada Bang Dicky dan Cazzo.
“Kamu mau si Ucok dipijit lagi, ya?” tebakku.
“Nggak, kok, Bos,” ujarnya—yang cukup mengherankan. “Itu mah bisa besok... atau entar malem, hehe... tapi ada satu hal yang pengen saya tanyain, Bos.”
“Nanya apa?”
Zaki menelan ludah lalu merenung sesaat, masih memutuskan untuk mengutarakan hal tersebut atau nggak. Tapi karena sudah susah-susah datang ke sini, akhirnya dia mendongak dan menatapku. “Saya kalo ciuman payah banget ya Bos?”
“Ciuman?” ulangku—sedikit miris karena hari ini pun aku sudah ciuman dengan Cazzo, dan apakah ciumanku tadi payah? “Aku nggak tau ciuman kamu payah atau nggak. Emangnya kita pernah ciuman?”
“Zaenab kemaren bilang gitu ke saya, Bos. Katanya saya payah banget kalo ciuman. Nggak tau titik-titik yang pas buat bikin cewek horny...” Zaki menghela napas. “Bos tau ciuman yang bagus tuh gimana? Bos kan orang Amerika.”
“Aku orang Indonesia, Zaki, aku bukan orang Amerika. Aku cuma pernah tinggal di sana,” geramku. “Dan aku nggak tau ciuman yang bagus tuh gimana.”
Zaki manggut-manggut. Dia masih malu-malu untuk bicara lagi, tapi jelas sekali ada sesuatu yang ingin dibicarakannya.
“Bos mau nggak... nemenin saya latihan?” tanyanya—menunduk malu, nggak berani menatap wajahku.
“Latihan? Latihan apa?”
“Ya latihan ciuman lah, Bos... jadi guru saya buat ciuman!”
“Aku bukan guru ciuman! Aku bahkan nggak ahli soal ciuman.”
“Cuma pinjem bibirnya aja, Bos... buat saya latihan... please...”
“Enak aja!” sahutku. “Untungnya apa?”
“Untungnya?” Zaki menarik napas. “Nanti saya kasih tau si Dicky ada di mana. Gimana?”
“Apa? Jadi Abang tau di mana Bang Dicky?”
Zaki mengangkat kedua alisnya. “Tau dong, orang saya yang nganterin.”
“Jadi Bang Dicky ada di mana?”
“Di bibir saya, Bos!” katanya sambil tergelak. “Pokoknya mesti deal dulu! Bos jadi partner latihan saya, entar saya kasih tau Dicky ada di mana, tapi jangan bilang si Dicky kalo saya yang ngasih tau, ya!”
“Nggak mau! Abang mesti bilang dulu.”
“Ah, nggak bisa... Bos mesti latihan ciuman dulu ama saya!” Zaki menyeringai jahil.
Aku menggeram kesal, sambil menimang-nimang juga. Dasar nyebelin si Zaki ini. Untuk ngasih tau di mana Bang Dicky aja, dia mesti memanfaatkan kesempatan. Kenapa dia nggak ngasih tau dari kemaren-kemaren sih? Sambil mesum pun sebetulnya aku rela, karena kami memang biasanya mesum berdua. Tapi kenapa Zaki muncul di saat-saat aku galau seperti ini, sih?
“Ya udah, sini cium aku!” gerutuku.
“Yes!” pekiknya. Lalu mulai membuka baju dan menunjukkan otot-otot dadanya yang menakjubkan.
Dasar pamer, batinku.
Zaki menghampiriku dan mulai mengecup bibirku pelan-pelan. Rasanya menggelitik. Beda dengan ciuman Cazzo tadi, tapi lumayan. Zaki membuka mulutnya kecil, menjilati bibirku dengan ujung lidahnya. Lama kelamaan kurasakan mulut Zaki mulai mencoba menyeruak masuk, membenamkan lidahnya untuk menyapu gigiku dan menggelitiki bagian-bagian sensitif dalam mulutku.
Hmmh... Lumayan juga.
Aaahhhh... Ooohhh...
Bukan lumayan. Dia hebat!
Lebih mendebarkan dibandingkan ciuman Cazzo di bandara, dan dia... Aaaahhhh... dari mana dia bisa tahu bahwa bagian bibirku yang itu bikin aku merinding... aaahhhh... Aku menutup mata untuk menikmati sensasi menggelegar yang kurasakan dari cumbuan Zaki. Tanpa sadar aku mulai memainkan puting Zaki... juga membiarkan tangan Zaki menggerayangi punggungku.
Bruk!
Siapa itu?!
Aku membuka mata karena kaget mendengar suara pintu tertutup. Dan begitu aku melihat lurus ke depan...
Sialan.
BELLO?!
Ngapain dia melayang di depan pintu sambil cekikikan?!
Dasar cupid tolol!
“Oh my God, aku
nonton film bokep!” bisik Bello, seolah takut Zaki bisa mendengar kata-katanya.
“Live dari tempat syutingnya!”
Aku melotot ke arah Bello, maksudnya mau bilang begini, “PERGI KAMU! JANGAN NGINTIP!” Tapi Bello malah melayang mendekatiku dan mengamatiku.
“Aku cuma mau bilang, permintaan kamu terkabulkan,” katanya.
“Nnnngggg...” Aku mendengung keras di tengah cumbuanku bersama Zaki, sampai-sampai cowok itu melepaskan ciumannya dan menatapku.
“Kenapa, Bos? Sakit? Kegigit?”
“Eh, bukan! Nggak sakit, kok. Ayo lanjutin lagi!”
Dan kami pun berciuman lagi dengan ganas.
Aku memejamkan mata lagi penuh nikmat, nggak peduli dengan Bello yang melayang-layang di sekitar kami, mencoba mengatakan sesuatu untuk menggangguku. Aku bahkan merangkul Zaki, mengusap kepalanya, JANGAN PEDULIKAN BELLO, mengusap punggungnya, perlahan-lahan mulai membuka celananya, dan...
“Bro?”
Deg.
Deg!
DEG! DEG! DEG! DEG!
S-sialan... B-barusan aku nggak salah denger, kan... barusan yang kudengar “Bos” kan?
Bukan “Bro” kan?
Aku membuka mata perlahan-lahan, diiringi sentakan dari Zaki yang tiba-tiba melompat dari kasurku, gelagapan sambil mengatakan, “Eh, siah!” dan berdiri dengan panik di samping ranjang, menghadap pintu...
Karena ternyata...
Cazzo sedang berdiri di sana!
Mengenakan kemeja dan celana jins... Dan membawa sebuket mawar merah yang di dalamnya ada sekotak besar cokelat lezat dari Perancis.
“C-c-cazzo...?” Aku tergagap... Memandang Cazzo dengan ngeri. “Aku... aku...”
“Nggak usah ngomong lagi, Bro...” Dengan dingin Cazzo meletakkan bunga itu di atas meja di dekat pintu kamarku. “Gue sekarang udah tau jawabannya, kenapa lo nggak pernah serius nanggepin perasaan gue. Thank you buat selama ini...”
Dan Cazzo pun berbalik... Berjalan dengan gontai menuju ruang tamu lalu lenyap ditelan kesunyian. Hal terakhir yang kudengar adalah suara pintu menutup yang sama seperti yang kudengar beberapa detik lalu saat Bello muncul, kemudian suara mesin mobil Cazzo yang berderum halus, yang tidak kusadari derumannya beberapa saat lalu.
“Itu temen Bos kan ya? Yang tadi di bandara? Aduh, gimana dong Bos?” seru Zaki panik. Dia juga sama-sama pucat.
Perutku rasanya mulas. Tanganku gemetaran. Jantungku rasanya seperti ditikam... Berdebar-debar kencang, namun bukan untuk alasan menyenangkan...
Cazzo... dia melihat...
“Nah, itu yang mau aku bilangin barusan!” seru Bello sambil tertawa-tawa. “Aku sukses, kan? Aku hebat, kan? Aku bisa bikin Cazzo jadi nggak cinta lagi sama kamu seperti yang kamu pengen lusa kemaren. Emang agak susah sih ngilangin rasa cinta itu sampe-sampe aku mesti ke Khayangan buat nyari solusi. Aku mesti ngatur-ngatur supaya kalian ketemu dan bla-bla-bla, tapi tadaaaa... aku berhasil! Kasih applause, dong!”
Apa?! Jadi... Jadi...
Dasar cupid tolol!
Cupid TOLOL!
CUPID TOLOOOOLLL!!!
TO BE CONTINUED....
Saatnya memikirkan plot untuk chapter 9...
ada yang punya ide?
ada yang setuju Esel jadi temanya? hehehehe...
Aku melotot ke arah Bello, maksudnya mau bilang begini, “PERGI KAMU! JANGAN NGINTIP!” Tapi Bello malah melayang mendekatiku dan mengamatiku.
“Aku cuma mau bilang, permintaan kamu terkabulkan,” katanya.
“Nnnngggg...” Aku mendengung keras di tengah cumbuanku bersama Zaki, sampai-sampai cowok itu melepaskan ciumannya dan menatapku.
“Kenapa, Bos? Sakit? Kegigit?”
“Eh, bukan! Nggak sakit, kok. Ayo lanjutin lagi!”
Dan kami pun berciuman lagi dengan ganas.
Aku memejamkan mata lagi penuh nikmat, nggak peduli dengan Bello yang melayang-layang di sekitar kami, mencoba mengatakan sesuatu untuk menggangguku. Aku bahkan merangkul Zaki, mengusap kepalanya, JANGAN PEDULIKAN BELLO, mengusap punggungnya, perlahan-lahan mulai membuka celananya, dan...
“Bro?”
Deg.
Deg!
DEG! DEG! DEG! DEG!
S-sialan... B-barusan aku nggak salah denger, kan... barusan yang kudengar “Bos” kan?
Bukan “Bro” kan?
Aku membuka mata perlahan-lahan, diiringi sentakan dari Zaki yang tiba-tiba melompat dari kasurku, gelagapan sambil mengatakan, “Eh, siah!” dan berdiri dengan panik di samping ranjang, menghadap pintu...
Karena ternyata...
Cazzo sedang berdiri di sana!
Mengenakan kemeja dan celana jins... Dan membawa sebuket mawar merah yang di dalamnya ada sekotak besar cokelat lezat dari Perancis.
“C-c-cazzo...?” Aku tergagap... Memandang Cazzo dengan ngeri. “Aku... aku...”
“Nggak usah ngomong lagi, Bro...” Dengan dingin Cazzo meletakkan bunga itu di atas meja di dekat pintu kamarku. “Gue sekarang udah tau jawabannya, kenapa lo nggak pernah serius nanggepin perasaan gue. Thank you buat selama ini...”
Dan Cazzo pun berbalik... Berjalan dengan gontai menuju ruang tamu lalu lenyap ditelan kesunyian. Hal terakhir yang kudengar adalah suara pintu menutup yang sama seperti yang kudengar beberapa detik lalu saat Bello muncul, kemudian suara mesin mobil Cazzo yang berderum halus, yang tidak kusadari derumannya beberapa saat lalu.
“Itu temen Bos kan ya? Yang tadi di bandara? Aduh, gimana dong Bos?” seru Zaki panik. Dia juga sama-sama pucat.
Perutku rasanya mulas. Tanganku gemetaran. Jantungku rasanya seperti ditikam... Berdebar-debar kencang, namun bukan untuk alasan menyenangkan...
Cazzo... dia melihat...
“Nah, itu yang mau aku bilangin barusan!” seru Bello sambil tertawa-tawa. “Aku sukses, kan? Aku hebat, kan? Aku bisa bikin Cazzo jadi nggak cinta lagi sama kamu seperti yang kamu pengen lusa kemaren. Emang agak susah sih ngilangin rasa cinta itu sampe-sampe aku mesti ke Khayangan buat nyari solusi. Aku mesti ngatur-ngatur supaya kalian ketemu dan bla-bla-bla, tapi tadaaaa... aku berhasil! Kasih applause, dong!”
Apa?! Jadi... Jadi...
Dasar cupid tolol!
Cupid TOLOL!
CUPID TOLOOOOLLL!!!
TO BE CONTINUED....
Saatnya memikirkan plot untuk chapter 9...
ada yang punya ide?
ada yang setuju Esel jadi temanya? hehehehe...
Part 54
By Mario
Aku berbelok melewati sebuah gang
kecil, menuju lapangan besar tempat berdiri deretan rumah kontrakan kecil yang
salah satunya merupakan rumah Zaki.
“Mestinya kamu nggak nyari Bang Dicky. Mestinya kamu nurut sama Nanny,” gumam Bello.
“Mestinya kamu ngasih tahu aku di mana Bang Dicky,” tukasku. “Aku berhak tahu, kok! Setelah semua kejadian yang aku alamin.”
“Tapi Nanny bilang ini bukan waktunya.”
“Terus kapan waktunya?”
Bello nggak menjawab. Dia melayang-layang di sekitarku lalu memutuskan untuk pergi. “By the way, aku nggak suka aura-aura di sini, aku mau pergi,” katanya. “Nanti kita ngobrol lagi.”
Sedikitpun aku bahkan nggak meminta dia untuk mengobrol bersamaku saat ini. Dasar cupid tolol. Aku benci dia. Apalagi kalau aku mengingat-ingat ceritanya tentang bagaimana dia berusaha memisahkan aku dan Cazzo, aku makin benci Bello. Mestinya aku jangan menyalahkan Zaki waktu itu, sebab ini semua kan gara-gara Bello juga.
Tapi lama kelamaan, aku nggak bisa nyalahin Bello juga, sebab dia melakukan itu kan atas permintaanku. Dan kalau sudah begitu perutku mulas lagi. Ini semua salahku, kan? Ini semua gara-gara ketololanku.
(Kadang-kadang aku tetap menyalahkan Bello karena dia nggak ngasih tau kalo Cazzo datang... but still...)
Ketika aku sampai di depan rumah Zaki, ada seorang wanita sedang duduk di teras. Wanita itu mengenakan daster bunga-bunga dan rambut yang digelung sembarangan. Dia sedang menghisap rokoknya kuat-kuat, lalu menghembuskan asap di sekitar teras. Aku kenal wanita itu. Aku bahkan sudah melihat tubuh telanjangnya di hape.
Dia Zaenab. Cewek yang selalu mesum dengan Zaki.
“Misi...” sapaku. “Bang Zakinya udah pulang belum?”
Zaenab kaget melihatku menghampirinya. Dia buru-buru mematikan rokoknya dan membersihkan udara di sekitar kami, seolah aku sama sekali tidak melihat dia merokok barusan. “Jangan bilang-bilang Zaki kalo aku ngerokok, okeh?”
Aku mengernyit. “O... kay. Jadi Bang Zaki udah pulang?”
“Belum, Kasep. Masih di jalan, cenah.” Dia lalu meneliti wajahku. “Kamu téh Agas, ya? Cucunya si Nini Lampir itu?”
“Nini lampir?”
“Eh, punten... maksudnya si nini-nini yang suka nitah-nitah Zaki?”
Baru dua detik aku mengobrol dengannya, aku langsung tidak suka dengan cewek ini. Apalagi ternyata dia lebih jelek di aslinya dibandingkan di hape. Mungkin karena di hape tuh gambarnya kotak-kotak, jadi jelek-jeleknya si Zaenab nggak keekspos. Aku heran kenapa Zaki bisa jatuh cinta ama cewek macam begini?
“Iya. Aku cucunya. Aku janjian sama Bang Zaki buat ketemu jam empat sore.”
“Aku juga,” ujarnya, sambil mempersilakan aku duduk di kursi di sebelahnya. “Kamu téh yang sekolah di school international di Pasteur itu, bukan? Gaya euy...”
Aku meringis dan nggak merespon kata-katanya. Aku baru saja duduk dan sekuat tenaga mencari napas di antara kepulan asap rokok yang masih menyelimuti teras.
“Jomplang pisan sama si Zaki. Dia cuma lulusan SD. Itupun nggak lulus. Kadang dia suka curhat soal kamu yang bisa sekolah tinggi di sekolah bagus. Pengen pisan katanya sekolah kayak kamu,” ujar Zaenab. “Aduh, sorry nggak nyuguhin minum. Akunya nggak bisa masuk. Biasanya konci rumahnya diselipin di sana, di kusen, tapi sekarang mah dibawa sama dia ke Jawa.”
“Oh, nggak apa-apa, kok.”
Zaki cuma lulusan SD? I mean, bahkan SD-pun nggak lulus? Aku baru tahu lho fakta ini. Aku pikir Zaki sudah pernah menginjak SMA. At least dari curiousity-nya pada bahasa Inggris dan betapa cepatnya dia mencerna sesuatu yang baru, mestinya dia sudah pernah SMA. Aku bahkan yakin pernah mendengar seseorang bilang kalau Zaki pernah menginjak SMA.
“Jarang-jarang si Zaki banyak job kayak begini,” lanjut Zaenab. “Biasanya dia ngubeeeek mulu di sekitar sini—atau Pagarsih buat nyari kayu. Setiap aku ke sini, dia pasti ada. Atau kalo nggak ada juga, kalo aku sms, dia pasti nyamperin.”
Aku nggak mengomentari pernyataannya. Sedang sibuk menepiskan kabut asap rokok yang entah kenapa tak kunjung lenyap.
“Biasanya kita ngentot,” sambung Zaenab sambil menoleh. “Eh, kamu mah udah gede, kan ya? Is okay kalo ngomongin ngentot?”
Apa-apaan, sih. Dasar wanita kampung. Dari dandanannya yang kampungan, dari bahasa dan attitude-nya, nggak heran wanita ini bisa selancang barusan. I mean, manusia mana yang ngomongin soal “ngentot” dengan orang yang baru pertama kali diajak mengobrol? Nggak heran kalo dia terus menerus di-“entot” Zaki dengan gratis. Yang masih mengherankan adalah: mau-maunya Zaki ngentot dia.
“Biasanya jam segini Zaki nongkrong di pos,” sambung Zaenab, sama sekali nggak menungguku memberikan respon. “Tapi sejak sohibnya ngilang, dia jadi susah ditemuin.”
“Apa itu sohib?” tanyaku.
“Sobat,” sahutnya. “Oh, iya, kamu téh orang Amrik, ya? Sohib tuh Best Frin! Best Frin is are sahabat karib.”
Frin?
Tiba-tiba saja Zaenab berbicara dengan Bahasa Inggris begitu menyadari aku pernah tinggal di Amerika. “The best frin is the Dicky. The laki-laki from masih kecil, frin-frinan sampai big like this.” Dan dagunya mendongak, percaya diri dengan Bahasa Inggrisnya. “You know, lah... the Dicky, is the people security in house Nini Lampir... eh, nini you.”
“Aku juga ke sini emang mau ketemu Bang Dicky, barengan Bang Zaki,” kataku kemudian, sebelum dia mulai introducing herself in English—seperti yang kebanyakan The Jandaz lakukan saat pertama bertemu denganku. “Katanya Bang Zaki tau di mana Bang Dicky.”
“So pasti knowing, lah. They is best frin,” sambut Zaenab. “Tapi I, apa sih? Night yesterday, ya? I night yesterday dengar ada suara-suara di house si Dicky. Kayaknya si Dicky is in the house.”
“Suara?”
“Iya. Orang lamp-nya juga on. Aku kan tetanggaan ama dia.”
Tiba-tiba aku tertarik dengan apa yang dikatakan Zaenab. Di rumah Bang Dicky ada suara-suara? Suara apa? Bangsat? Tikus? “Suara-suara kayak gimana, mbak?”
“Yaaah... suara-suara lah. Suara teve. Suara panci. Kamu punya korek?” Zaenab mengambil lagi rokok yang sudah dimatikannya dan berusaha mencari sesuatu di saku dasternya. “Punya aku ketinggalan di rumah kayaknya.”
“Aku mau ke rumah Bang Dicky dulu!” seruku tanpa pikir panjang, bangkit dari kursi dan bergegas meninggalkan teras. Mendadak ada rasa gembira membuncah dalam hatiku. Meski tentu saja, apa yang dikatakan wanita itu belum tentu benar. Bisa jadi itu suara teve tetangganya Bang Dicky atau suara panci dari dapur Zaenab sendiri. Tapi mendengar cerita itu, aku merasa ada sedikit harapan.
Bagaimana jika selama ini Bang Dicky justru bersembunyi di rumahnya? Maksudku, aku memang beberapa kali mengunjungi rumah itu selama dua minggu terakhir, tapi aku kan nggak berhasil masuk ke dalam rumahnya. Bisa jadi Bang Dicky punya loteng... atau ruang bawah tanah, lalu dia hanya muncul malam hari sambil menonton teve dan membunyikan panci. Semua masuk akal, kan? Justru seminar tentang kayu di luar kota yang pernah dibilang Granny itu yang nggak masuk akal. Masa ada seminar lamanya sampai dua minggu? Memangnya luar kotanya di mana? Cumbria?
Aku harus pergi ke rumah Bang Dicky sekarang! Nothing to lose.
“Jadi kamu nggak bawa korek?” teriak Zaenab dari teras.
Aku nggak memedulikan seruan Zaenab. Kakiku melangkah ringan melewati lapangan kecil, menyusuri lagi gang-gang yang tadi kulewati, dan lagi-lagi mendengar iklan Gery Chocolatos dari salah satu rumah di kampung kota itu. Memangnya nggak ada saluran lain selain GlobalTV, hah? Aku jadi mual lagi nih... teringat Cazzo.
“Mestinya kamu nggak nyari Bang Dicky. Mestinya kamu nurut sama Nanny,” gumam Bello.
“Mestinya kamu ngasih tahu aku di mana Bang Dicky,” tukasku. “Aku berhak tahu, kok! Setelah semua kejadian yang aku alamin.”
“Tapi Nanny bilang ini bukan waktunya.”
“Terus kapan waktunya?”
Bello nggak menjawab. Dia melayang-layang di sekitarku lalu memutuskan untuk pergi. “By the way, aku nggak suka aura-aura di sini, aku mau pergi,” katanya. “Nanti kita ngobrol lagi.”
Sedikitpun aku bahkan nggak meminta dia untuk mengobrol bersamaku saat ini. Dasar cupid tolol. Aku benci dia. Apalagi kalau aku mengingat-ingat ceritanya tentang bagaimana dia berusaha memisahkan aku dan Cazzo, aku makin benci Bello. Mestinya aku jangan menyalahkan Zaki waktu itu, sebab ini semua kan gara-gara Bello juga.
Tapi lama kelamaan, aku nggak bisa nyalahin Bello juga, sebab dia melakukan itu kan atas permintaanku. Dan kalau sudah begitu perutku mulas lagi. Ini semua salahku, kan? Ini semua gara-gara ketololanku.
(Kadang-kadang aku tetap menyalahkan Bello karena dia nggak ngasih tau kalo Cazzo datang... but still...)
Ketika aku sampai di depan rumah Zaki, ada seorang wanita sedang duduk di teras. Wanita itu mengenakan daster bunga-bunga dan rambut yang digelung sembarangan. Dia sedang menghisap rokoknya kuat-kuat, lalu menghembuskan asap di sekitar teras. Aku kenal wanita itu. Aku bahkan sudah melihat tubuh telanjangnya di hape.
Dia Zaenab. Cewek yang selalu mesum dengan Zaki.
“Misi...” sapaku. “Bang Zakinya udah pulang belum?”
Zaenab kaget melihatku menghampirinya. Dia buru-buru mematikan rokoknya dan membersihkan udara di sekitar kami, seolah aku sama sekali tidak melihat dia merokok barusan. “Jangan bilang-bilang Zaki kalo aku ngerokok, okeh?”
Aku mengernyit. “O... kay. Jadi Bang Zaki udah pulang?”
“Belum, Kasep. Masih di jalan, cenah.” Dia lalu meneliti wajahku. “Kamu téh Agas, ya? Cucunya si Nini Lampir itu?”
“Nini lampir?”
“Eh, punten... maksudnya si nini-nini yang suka nitah-nitah Zaki?”
Baru dua detik aku mengobrol dengannya, aku langsung tidak suka dengan cewek ini. Apalagi ternyata dia lebih jelek di aslinya dibandingkan di hape. Mungkin karena di hape tuh gambarnya kotak-kotak, jadi jelek-jeleknya si Zaenab nggak keekspos. Aku heran kenapa Zaki bisa jatuh cinta ama cewek macam begini?
“Iya. Aku cucunya. Aku janjian sama Bang Zaki buat ketemu jam empat sore.”
“Aku juga,” ujarnya, sambil mempersilakan aku duduk di kursi di sebelahnya. “Kamu téh yang sekolah di school international di Pasteur itu, bukan? Gaya euy...”
Aku meringis dan nggak merespon kata-katanya. Aku baru saja duduk dan sekuat tenaga mencari napas di antara kepulan asap rokok yang masih menyelimuti teras.
“Jomplang pisan sama si Zaki. Dia cuma lulusan SD. Itupun nggak lulus. Kadang dia suka curhat soal kamu yang bisa sekolah tinggi di sekolah bagus. Pengen pisan katanya sekolah kayak kamu,” ujar Zaenab. “Aduh, sorry nggak nyuguhin minum. Akunya nggak bisa masuk. Biasanya konci rumahnya diselipin di sana, di kusen, tapi sekarang mah dibawa sama dia ke Jawa.”
“Oh, nggak apa-apa, kok.”
Zaki cuma lulusan SD? I mean, bahkan SD-pun nggak lulus? Aku baru tahu lho fakta ini. Aku pikir Zaki sudah pernah menginjak SMA. At least dari curiousity-nya pada bahasa Inggris dan betapa cepatnya dia mencerna sesuatu yang baru, mestinya dia sudah pernah SMA. Aku bahkan yakin pernah mendengar seseorang bilang kalau Zaki pernah menginjak SMA.
“Jarang-jarang si Zaki banyak job kayak begini,” lanjut Zaenab. “Biasanya dia ngubeeeek mulu di sekitar sini—atau Pagarsih buat nyari kayu. Setiap aku ke sini, dia pasti ada. Atau kalo nggak ada juga, kalo aku sms, dia pasti nyamperin.”
Aku nggak mengomentari pernyataannya. Sedang sibuk menepiskan kabut asap rokok yang entah kenapa tak kunjung lenyap.
“Biasanya kita ngentot,” sambung Zaenab sambil menoleh. “Eh, kamu mah udah gede, kan ya? Is okay kalo ngomongin ngentot?”
Apa-apaan, sih. Dasar wanita kampung. Dari dandanannya yang kampungan, dari bahasa dan attitude-nya, nggak heran wanita ini bisa selancang barusan. I mean, manusia mana yang ngomongin soal “ngentot” dengan orang yang baru pertama kali diajak mengobrol? Nggak heran kalo dia terus menerus di-“entot” Zaki dengan gratis. Yang masih mengherankan adalah: mau-maunya Zaki ngentot dia.
“Biasanya jam segini Zaki nongkrong di pos,” sambung Zaenab, sama sekali nggak menungguku memberikan respon. “Tapi sejak sohibnya ngilang, dia jadi susah ditemuin.”
“Apa itu sohib?” tanyaku.
“Sobat,” sahutnya. “Oh, iya, kamu téh orang Amrik, ya? Sohib tuh Best Frin! Best Frin is are sahabat karib.”
Frin?
Tiba-tiba saja Zaenab berbicara dengan Bahasa Inggris begitu menyadari aku pernah tinggal di Amerika. “The best frin is the Dicky. The laki-laki from masih kecil, frin-frinan sampai big like this.” Dan dagunya mendongak, percaya diri dengan Bahasa Inggrisnya. “You know, lah... the Dicky, is the people security in house Nini Lampir... eh, nini you.”
“Aku juga ke sini emang mau ketemu Bang Dicky, barengan Bang Zaki,” kataku kemudian, sebelum dia mulai introducing herself in English—seperti yang kebanyakan The Jandaz lakukan saat pertama bertemu denganku. “Katanya Bang Zaki tau di mana Bang Dicky.”
“So pasti knowing, lah. They is best frin,” sambut Zaenab. “Tapi I, apa sih? Night yesterday, ya? I night yesterday dengar ada suara-suara di house si Dicky. Kayaknya si Dicky is in the house.”
“Suara?”
“Iya. Orang lamp-nya juga on. Aku kan tetanggaan ama dia.”
Tiba-tiba aku tertarik dengan apa yang dikatakan Zaenab. Di rumah Bang Dicky ada suara-suara? Suara apa? Bangsat? Tikus? “Suara-suara kayak gimana, mbak?”
“Yaaah... suara-suara lah. Suara teve. Suara panci. Kamu punya korek?” Zaenab mengambil lagi rokok yang sudah dimatikannya dan berusaha mencari sesuatu di saku dasternya. “Punya aku ketinggalan di rumah kayaknya.”
“Aku mau ke rumah Bang Dicky dulu!” seruku tanpa pikir panjang, bangkit dari kursi dan bergegas meninggalkan teras. Mendadak ada rasa gembira membuncah dalam hatiku. Meski tentu saja, apa yang dikatakan wanita itu belum tentu benar. Bisa jadi itu suara teve tetangganya Bang Dicky atau suara panci dari dapur Zaenab sendiri. Tapi mendengar cerita itu, aku merasa ada sedikit harapan.
Bagaimana jika selama ini Bang Dicky justru bersembunyi di rumahnya? Maksudku, aku memang beberapa kali mengunjungi rumah itu selama dua minggu terakhir, tapi aku kan nggak berhasil masuk ke dalam rumahnya. Bisa jadi Bang Dicky punya loteng... atau ruang bawah tanah, lalu dia hanya muncul malam hari sambil menonton teve dan membunyikan panci. Semua masuk akal, kan? Justru seminar tentang kayu di luar kota yang pernah dibilang Granny itu yang nggak masuk akal. Masa ada seminar lamanya sampai dua minggu? Memangnya luar kotanya di mana? Cumbria?
Aku harus pergi ke rumah Bang Dicky sekarang! Nothing to lose.
“Jadi kamu nggak bawa korek?” teriak Zaenab dari teras.
Aku nggak memedulikan seruan Zaenab. Kakiku melangkah ringan melewati lapangan kecil, menyusuri lagi gang-gang yang tadi kulewati, dan lagi-lagi mendengar iklan Gery Chocolatos dari salah satu rumah di kampung kota itu. Memangnya nggak ada saluran lain selain GlobalTV, hah? Aku jadi mual lagi nih... teringat Cazzo.
Aku memotong jalan melewati gang
kecil, tembus di gang lain yang berujung di kawasan Babakan Siliwangi, tubuhku
seperti melayang, sampai akhirnya masuk ke gang kecil lain menuju rumah Bang
Dicky. Hanya butuh dua menit bagiku untuk tiba di rumah itu. Napasku
ngos-ngosan tapi aku bahkan nggak mempedulikannya.
Ketika aku sampai, rumah itu masih tampak menyeramkan seperti biasa. Kanan kiri rumah Bang Dicky nggak berdempetan dengan rumah tetangga, tetapi ada sedikit halaman kosong yang ditimbun jutaan kayu. Rumah itu seperti berdiri sendiri—seperti dijauhi oleh rumah yang lain. Salah satu plafonnya bolong dan aku sempat berpikiran bahwa mungkin Bang Dicky sembunyi di situ...
... eh, lupakan. Nggak mungkin Bang Dicky muat lewat situ.
Aku memerhatikan lampu teras yang masih menyala. Terakhir aku ke sini lampu itu memang menyala, mungkin memang dibiarkan menyala. Tetapi... ya! Lampu dalam rumah juga menyala! Memang nyaris nggak kelihatan sih, karena ini masih siang. Tapi ketika aku menyipitkan mata menatap ke ventilasi di atas pintu, aku bisa melihat pendar neon berwarna putih yang menerangi ruang tamu.
Berarti ada seseorang di dalam!
Aku langsung melompat menghampiri pintu, mencoba membuka kenopnya... terkunci. Aku mengetuk-ngetuk dan memanggil nama Bang Dicky, tapi tak ada jawaban. Aku lalu mengintip dari jendela, mencoba melihat ke dalam rumah meski terhalang tirai renda warna putih. Dengan tidak sabar, aku bahkan mengelilingi rumah, menaiki kayu-kayu di pinggir rumah dan kembali mengintip dari jendela.
Aku sudah tidak peduli jika kakek-kakek di seberang rumah itu mulai menatapku curiga. Mungkin aku dikiranya bangsat yang mencoba mencuri sesuatu dari rumah mungil ini. Apalagi aku memang sering banget datang ke sini. Bisa jadi orang-orang di sekitar sini sudah memberiku julukan, “Bocah Tukang Ngintip Di Kediaman Dicky.”
“Gerry chocolatos... Mammamia lezatos...”
Sialan. Iklan itu lagi. Dari tadi selalu saja iklan bernuansa Italia itu yang muncul. Kenapa sih nggak ada iklan Walls Dung Dung atau apa gitu? Aku kan—
Tunggu.
Tunggu sebentar.
Suaranya seperti dari dalam...
rumah Bang Dicky.
Aku mematung di tempatku, memasang telinga lebih kuat seperti kelinci. Sayup-sayup memang kudengar suara teve dari dalam rumah Bang Dicky. Quite clear.
Perlahan-lahan, dengan sedikit harapan, aku kembali ke teras depan, mengintip sekali lagi ke jendela, menembus tirai renda putih yang mengganggu itu.
Oh! Aku melihat bayangan!
“Bang Dicky!” Buru-buru aku mengetuk pintu dan memanggil namanya lagi. “Bang Dicky!”
Untuk memastikan dia menghampiri pintu depan, aku kembali mengintip lewat jendela. Dan setelah...
Ada yang berdiri di depan jendela! Tepat di depanku. Di balik dinding ini. Orang itu telanjang dan...
“Dennis?”
Aku melompat mundur karena kaget. Sosok itu masih berdiri di balik jendela, hitam besar dengan siluet yang mengerikan. Untuk sesaat, tubuhku membeku. Jantungku seperti ditarik dengan kencang dan mendadak bulu kudukku merinding. Mataku masih tak bisa lepas dari siluet hitam itu, sosok pria bertubuh gempal... berdiri hanya satu meter dariku, dipisahkan tembok berjendela...
“Miaw.”
Sebuah suara kucing malah menambah kaget jantungku. Dengan ngeri aku berhasil menoleh dan menemukan si Kitty, kucing sialan yang pernah membuatku membuka pintu terlarang, sedang duduk dengan santai di depan pintu rumah Bang Dicky.
A-a-apa yang mereka lakukan di sini?
“Miaw.” Kitty menatapku dengan pandangan tajam, pupil matanya menipis hingga membentuk garis vertikal yang mengerikan. Kucing itu lalu berdiri, meregangkan tubuhnya, dan mulai mengendus-endus kusen pintu depan.
Aku gemetaran melihat situasi ini, tapi aku hanya bisa mematung. Tubuhku seperti dibekukan oleh es sehingga aku nggak bisa bergerak. Panggilan-panggilan nama “Dennis” diucapkan berulang-ulang oleh sosok hitam besar dari dalam rumah. Sementara itu, Kitty mulai memanjat kusen pintu, membenamkan cakar-cakarnya di kayu dan merayap naik seperti monyet!
Dasar kucing tolol. Kalau kemarin bisa menembus pintu, kenapa sekarang nggak melayang aja, sih?
Kitty melompat dari kusen pintu menuju meteran listrik yang ada di dekatnya. Dia lalu mengendus-endus tutup meteran itu kemudian menatapku penuh harap. “Miaw,” ujarnya. Aku menyipitkan mata dan nggak mengerti maksudnya, lagipula sosok di balik jendela itupun masih saja memanggil nama Dennis, membuatku merinding ketakutan.
“Miaw-miaw,” ujar Kitty.
Aku tetap membeku... dengan keringat dingin mengalir di punggungku.
“Dennis?”
Itu Pak Darmo, kan? jeritku panik di dalam hati. Kenapa dia ada di rumah Bang Dicky? Mau apa dia di situ? Apa ini alasannya Bang Dicky menghilang dua minggu terakhir? Apa Bang Dicky bersembunyi dari hantu mesum yang nyari-nyari Dennis ini? Dan lihat itu Pak Darmo, dia masih aja telanjang!
“MIAAWW...” geram Kitty. Dia kelihatan marah sekarang. Pita suaranya bergetar dan muncul geraman mengerikan seperti yang biasa kucing lakukan kalau sedang bertengkar. Kaki depannya menunjuk-nunjuk ke dalam meteran listrik seolah memintaku untuk membukanya.
Aku menelan ludah. Ribut dengan pikiranku sendiri antara pergi dari sini atau membuka meteran listrik itu. Siapa tau di situ aku bisa menemukan petunjuk soal Bang Dicky, betul? Bisa jadi si Kitty tau di mana Bang Dicky dan dia bermaksud memberitahuku. Mungkin di dalam meteran listrik itu ada kartu yang bertuliskan, “Maju sepuluh langkah ke arah barat, lalu belok kiri...” Dan tahu-tahu aku bertemu Bang Dicky. Seperti dalam Treasure hunt.
Setelah dua menit menimang-nimang, dan ini bukan waktu yang sebentar karena rasanya seperti seabad lamanya, aku akhirnya melangkahkan kakiku ke arah meteran listrik itu. Aku penasaran dengan apa yang hendak ditunjukkan si Kitty. What could be worse? Di dalam meteran listrik itu nggak mungkin disimpan bom, kan? Paling banter cuma—
“BOS!”
Tiba-tiba suara Zaki yang familier menghentikan langkahku. Aku menoleh dan menemukan Zaki sedang berlari menghampiriku, terengah-engah. Di belakangnya ada Zaenab yang juga ikut berlari sambil mengeluh. “Ngapain bos di sini?!” serunya.
“Aku... aku nyari Bang Dicky,” ujarku panik.
“Dicky nggak ada di sini!” Zaki lalu menghampiri jendela dan mengintip ke dalamnya. Dan baru saja aku mau bilang, “Jangan lihat! Di situ ada Pak Darmo!” Mendadak kusadari bahwa Pak Darmo sudah lenyap dari situ. Bahkan Kitty pun sudah menghilang.
“Bos mestinya jangan ke sini!” seru Zaki sambil menarikku pergi dari halaman rumah Bang Dicky. “Kan kita sekarang mau ke tempat si Dicky. Bukan di sini tempatnya.” Zaki terlihat frustasi. Rahangnya mengeras dan dia jelas nggak suka dengan aksiku berkunjung ke rumah ini.
“Tuh, kan... padahal udah aku bilang jangan ke sana. Bocah ini nggak mau nurut!” sahut Zaenab ke Zaki, sambil menggelendot manja di sikunya. “Berkali-kali aku bilang, tunggu aja di rumah kamyu... tapi dia malah kabur.”
Apa?
Dasar wanita jalang.
Ketika aku sampai, rumah itu masih tampak menyeramkan seperti biasa. Kanan kiri rumah Bang Dicky nggak berdempetan dengan rumah tetangga, tetapi ada sedikit halaman kosong yang ditimbun jutaan kayu. Rumah itu seperti berdiri sendiri—seperti dijauhi oleh rumah yang lain. Salah satu plafonnya bolong dan aku sempat berpikiran bahwa mungkin Bang Dicky sembunyi di situ...
... eh, lupakan. Nggak mungkin Bang Dicky muat lewat situ.
Aku memerhatikan lampu teras yang masih menyala. Terakhir aku ke sini lampu itu memang menyala, mungkin memang dibiarkan menyala. Tetapi... ya! Lampu dalam rumah juga menyala! Memang nyaris nggak kelihatan sih, karena ini masih siang. Tapi ketika aku menyipitkan mata menatap ke ventilasi di atas pintu, aku bisa melihat pendar neon berwarna putih yang menerangi ruang tamu.
Berarti ada seseorang di dalam!
Aku langsung melompat menghampiri pintu, mencoba membuka kenopnya... terkunci. Aku mengetuk-ngetuk dan memanggil nama Bang Dicky, tapi tak ada jawaban. Aku lalu mengintip dari jendela, mencoba melihat ke dalam rumah meski terhalang tirai renda warna putih. Dengan tidak sabar, aku bahkan mengelilingi rumah, menaiki kayu-kayu di pinggir rumah dan kembali mengintip dari jendela.
Aku sudah tidak peduli jika kakek-kakek di seberang rumah itu mulai menatapku curiga. Mungkin aku dikiranya bangsat yang mencoba mencuri sesuatu dari rumah mungil ini. Apalagi aku memang sering banget datang ke sini. Bisa jadi orang-orang di sekitar sini sudah memberiku julukan, “Bocah Tukang Ngintip Di Kediaman Dicky.”
“Gerry chocolatos... Mammamia lezatos...”
Sialan. Iklan itu lagi. Dari tadi selalu saja iklan bernuansa Italia itu yang muncul. Kenapa sih nggak ada iklan Walls Dung Dung atau apa gitu? Aku kan—
Tunggu.
Tunggu sebentar.
Suaranya seperti dari dalam...
rumah Bang Dicky.
Aku mematung di tempatku, memasang telinga lebih kuat seperti kelinci. Sayup-sayup memang kudengar suara teve dari dalam rumah Bang Dicky. Quite clear.
Perlahan-lahan, dengan sedikit harapan, aku kembali ke teras depan, mengintip sekali lagi ke jendela, menembus tirai renda putih yang mengganggu itu.
Oh! Aku melihat bayangan!
“Bang Dicky!” Buru-buru aku mengetuk pintu dan memanggil namanya lagi. “Bang Dicky!”
Untuk memastikan dia menghampiri pintu depan, aku kembali mengintip lewat jendela. Dan setelah...
Ada yang berdiri di depan jendela! Tepat di depanku. Di balik dinding ini. Orang itu telanjang dan...
“Dennis?”
Aku melompat mundur karena kaget. Sosok itu masih berdiri di balik jendela, hitam besar dengan siluet yang mengerikan. Untuk sesaat, tubuhku membeku. Jantungku seperti ditarik dengan kencang dan mendadak bulu kudukku merinding. Mataku masih tak bisa lepas dari siluet hitam itu, sosok pria bertubuh gempal... berdiri hanya satu meter dariku, dipisahkan tembok berjendela...
“Miaw.”
Sebuah suara kucing malah menambah kaget jantungku. Dengan ngeri aku berhasil menoleh dan menemukan si Kitty, kucing sialan yang pernah membuatku membuka pintu terlarang, sedang duduk dengan santai di depan pintu rumah Bang Dicky.
A-a-apa yang mereka lakukan di sini?
“Miaw.” Kitty menatapku dengan pandangan tajam, pupil matanya menipis hingga membentuk garis vertikal yang mengerikan. Kucing itu lalu berdiri, meregangkan tubuhnya, dan mulai mengendus-endus kusen pintu depan.
Aku gemetaran melihat situasi ini, tapi aku hanya bisa mematung. Tubuhku seperti dibekukan oleh es sehingga aku nggak bisa bergerak. Panggilan-panggilan nama “Dennis” diucapkan berulang-ulang oleh sosok hitam besar dari dalam rumah. Sementara itu, Kitty mulai memanjat kusen pintu, membenamkan cakar-cakarnya di kayu dan merayap naik seperti monyet!
Dasar kucing tolol. Kalau kemarin bisa menembus pintu, kenapa sekarang nggak melayang aja, sih?
Kitty melompat dari kusen pintu menuju meteran listrik yang ada di dekatnya. Dia lalu mengendus-endus tutup meteran itu kemudian menatapku penuh harap. “Miaw,” ujarnya. Aku menyipitkan mata dan nggak mengerti maksudnya, lagipula sosok di balik jendela itupun masih saja memanggil nama Dennis, membuatku merinding ketakutan.
“Miaw-miaw,” ujar Kitty.
Aku tetap membeku... dengan keringat dingin mengalir di punggungku.
“Dennis?”
Itu Pak Darmo, kan? jeritku panik di dalam hati. Kenapa dia ada di rumah Bang Dicky? Mau apa dia di situ? Apa ini alasannya Bang Dicky menghilang dua minggu terakhir? Apa Bang Dicky bersembunyi dari hantu mesum yang nyari-nyari Dennis ini? Dan lihat itu Pak Darmo, dia masih aja telanjang!
“MIAAWW...” geram Kitty. Dia kelihatan marah sekarang. Pita suaranya bergetar dan muncul geraman mengerikan seperti yang biasa kucing lakukan kalau sedang bertengkar. Kaki depannya menunjuk-nunjuk ke dalam meteran listrik seolah memintaku untuk membukanya.
Aku menelan ludah. Ribut dengan pikiranku sendiri antara pergi dari sini atau membuka meteran listrik itu. Siapa tau di situ aku bisa menemukan petunjuk soal Bang Dicky, betul? Bisa jadi si Kitty tau di mana Bang Dicky dan dia bermaksud memberitahuku. Mungkin di dalam meteran listrik itu ada kartu yang bertuliskan, “Maju sepuluh langkah ke arah barat, lalu belok kiri...” Dan tahu-tahu aku bertemu Bang Dicky. Seperti dalam Treasure hunt.
Setelah dua menit menimang-nimang, dan ini bukan waktu yang sebentar karena rasanya seperti seabad lamanya, aku akhirnya melangkahkan kakiku ke arah meteran listrik itu. Aku penasaran dengan apa yang hendak ditunjukkan si Kitty. What could be worse? Di dalam meteran listrik itu nggak mungkin disimpan bom, kan? Paling banter cuma—
“BOS!”
Tiba-tiba suara Zaki yang familier menghentikan langkahku. Aku menoleh dan menemukan Zaki sedang berlari menghampiriku, terengah-engah. Di belakangnya ada Zaenab yang juga ikut berlari sambil mengeluh. “Ngapain bos di sini?!” serunya.
“Aku... aku nyari Bang Dicky,” ujarku panik.
“Dicky nggak ada di sini!” Zaki lalu menghampiri jendela dan mengintip ke dalamnya. Dan baru saja aku mau bilang, “Jangan lihat! Di situ ada Pak Darmo!” Mendadak kusadari bahwa Pak Darmo sudah lenyap dari situ. Bahkan Kitty pun sudah menghilang.
“Bos mestinya jangan ke sini!” seru Zaki sambil menarikku pergi dari halaman rumah Bang Dicky. “Kan kita sekarang mau ke tempat si Dicky. Bukan di sini tempatnya.” Zaki terlihat frustasi. Rahangnya mengeras dan dia jelas nggak suka dengan aksiku berkunjung ke rumah ini.
“Tuh, kan... padahal udah aku bilang jangan ke sana. Bocah ini nggak mau nurut!” sahut Zaenab ke Zaki, sambil menggelendot manja di sikunya. “Berkali-kali aku bilang, tunggu aja di rumah kamyu... tapi dia malah kabur.”
Apa?
Dasar wanita jalang.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny