Part 55
By
Mario
“Kenapa aku nggak boleh datang ke
rumah Bang Dicky?” tanyaku sambil melepaskan genggaman Zaki dari pergelangan
tanganku.
“Karena... karena Bang Dicky nggak ada di situ.” Zaki menelan ludah. “Jadi ngapain juga bos ke situ?”
“Karena di situ ada hantu Pak Darmo?!” tembakku.
Zaenab berjengit mendengar kata hantu sementara Zaki terlihat agak panik.
Zaki melemparkan pandangannya ke arah lain, seolah sedang mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu padaku. Dia menghembuskan napas berkali-kali, berjalan konstan keluar dari gang kampung kota ini. “Karena...” Akhirnya Zaki bicara. “Karena kita nggak mau kejadian minggu kemaren keulang lagi. Kita nggak mau dia lepas lagi, kan?”
-XxX-
Mobil pick-up milik Zaki, yang kabarnya baru akan lunas cicilannya dua tahun lagi, melaju santai di sebuah tanjakan lurus daerah Cimahi. Yang kulihat di sekitar hanyalah pepohonan, rerumputan, pegunungan yang diselimuti awan, dan kalau aku menengok ke arah kanan aku bisa melihat kota Bandung dengan jelas. The whole city.
Beberapa rumah bertengger manis di tepi jalan, seolah sedang menyambut kami. Di beberapa kesempatan aku melihat pabrik susu murni dan selintas aku berpikiran untuk meminta Zaki berhenti lalu membeli susu.
Astaga. Dingin juga ya di sini.
“Dingin, Bos?” tanya Zaki saat melihat aku memeluk tubuhku sendiri. Zaki mendongak ke atas, menatap gumpalan awan kelabu di langit dan nyengir kecewa pada cuaca. “Matahari muncul aja, di sini selalu dingin, apalagi mendung begini.”
“I’m fine,” jawabku. “Ini sih nggak ada apa-apanya dibandingin New Jersey.”
At all, tambahku dalam hati.
Tapi tiga detik kemudian aku melihat Zaki menggeliat. Dia berusaha keras keluar dari jaketnya, mencoba menarik setiap tangannya dari lengan jaket lalu meloloskan seluruh jaket itu keluar dari kepalanya. Kini Zaki hanya memakai kaus basket tak berlengan bertuliskan Panasia Indosyntec, yang kelihatannya kedodoran karena dari pinggir aku bisa melihat puting susunya. Sialan. Aku benci kalau sudah begini. Gara-gara Zaki aku jadi punya banyak fetish. Aku suka ketiaknya, aku suka putingnya, kakinya, bahkan kapan itu aku horny melihat pinggangnya. (Apalagi pas Zaki pipis, aku bisa onani dibuatnya.) Dan sekarang dia membuka jaketnya, pamer kulit lengannya dan sengaja membuatku melirik ke rambut-rambut halus di ketiaknya.
“Pake ini Bos, biar nggak kedinginan.”
Dan dia menawarkan jaketnya?!
“Ah, nggak usah. Aku nggak apa-apa. Aku udah biasa sama suhu dingin kayak begini. Di Amerika malah lebih dingin daripada ini.”
“Nggak apa-apa, Bos, pake aja.”
“Ih, dibilangin nggak usah. Lagian lebih parah Bang Zaki dong, cuma pake kaus sleeveless macam begitu.”
“Saya mah nggak apa-apa, Bos. Udah biasa ngeronda.”
“Aku juga!” sahutku. “Maksudnya, bukan ngeronda. Tapi kedinginannya.”
Apa itu ngeronda?
Kami terdiam beberapa saat, tapi tangan kiri Zaki masih terulur ke arahku, dengan jaket hitam belel yang disodorkannya. “Pake Bos, entar masuk angin. Entar si Dicky marahin saya lagi...” Saat Zaki mengatakan hal tersebut, rahangnya kembali mengeras dan pandangannya dilempar ke arah kanan. Terdengar nada cemburu dari pernyataannya.
“Iiih, nggak usah,” tolakku. “Udah, Bang Zaki pake aja. Bang Zaki lebih kedinginan tuh, kulitnya kemana-mana. Aku sih nggak apa-apa.” Aku mendorong jaket itu menjauh dariku, tapi Zaki tetap bergeming.
“Yaaah, Bos. Nggak apa-apa, kok,” kukuh Zaki. Kepalanya menoleh sesekali dari menatap jalan, pandangannya memelas. Dan dengan wajah ganteng begitu, mestinya aku luluh. “Please...” tambah Zaki. “Entar si Dicky—“
“Kenapa sih aku mesti pake jaket?” potongku. “Apa hubungannya sama Bang Dicky bakal marahin Bang Zaki kalo aku nggak pake jaket?”
Zaki mendengus. “Karena saya diamanatin ama Dicky buat jagain bos. Jadi saya nggak mau Dicky marah gara-gara bos masuk angin.” Zaki pun melemparkan jaketnya ke pangkuanku.
Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah perkampungan yang dingin. Zaki bilang ini Cisarua, sekitaran Parongpong. Letaknya di sebuah pegunungan yang hijau di mana kita bisa melihat banyak menara stasiun televisi untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. (Zaki lah yang bilang itu menara stasiun televisi—aku sih nggak tahu.)
Udaranya memang dingin. Nggak sedingin New Jersey, tapi untuk ukuran Bandung memang cukup dingin. Ada satu jalan besar yang menjadi satu-satunya akses, namanya jalan Kolonel Masturi, di mana rumah-rumah di perkampungan ini berdiri di pinggir-pinggirnya. Kami bahkan melewati sebuah rumah sakit jiwa yang luas, yang bagiku nggak kelihatan kayak rumah sakit jiwa. Dan Zaki bilang, beberapa kilometer ke depan ada Curug Cimahi yang sekarang sedang direnovasi.
Tapi exactly, I have no idea where the hell is this...
Oh, lihat! Ada Indomart!
Sudah ada peradaban modern di sini.
Thank God.
“Rumah siapa ini?” tanyaku saat mobil pick-up Zaki belok ke sebuah pekarangan rumah yang luas. Di ujung pekarangan ini terdapat rumah mungil yang di pinggir-pinggirnya ditumbuhi pepohonan. Dan kalau kita berfoto sekitar dua puluh meter di depan rumah itu, background gunung yang tinggi bisa masuk ke dalam gambar.
“Ini, ngng...” Zaki menarik tuas rem dan masih menimang-nimang untuk menjawab pertanyaanku atau nggak. “Lihat aja sendiri, deh.”
“Jadi Bang Dicky ada di sini?”
Zaki menjawab pertanyaanku dengan menunjuk ke arah depan rumah. Aku menoleh dan melihat seseorang sedang berdiri di sana. Benar. Itu Bang Dicky! Dia berdiri di teras rumah, tampak sehat dan gagah. Atau mungkin karena aku kangen amat sangat jadinya dia tampak sangat menawan.
Aku turun dari mobil lalu berjalan menghampiri Bang Dicky. Tidak. Kurang tepat kalau dibilang berjalan. Aku ‘melayang’.
Kakiku terasa begitu ringan sehingga langkah-langkahku sebetulnya lebih lebar daripada biasanya. Dalam dua detik aku sudah berada dua meter di hadapan Bang Dicky, masih bingung apakah harus memeluk Bang Dicky, seperti yang terjadi di film-film, atau mungkin kami harus saling menatap dulu dengan puas, baru setelah itu memeluk, seperti sepasang kekasih yang sudah berpisah selama dua puluh tahun...
Tunggu.
Kenapa alis Bang Dicky mengerut seperti itu? Aku hafal kerutan itu! Itu kerutan tidak senang.
“Agas kenapa ke sini?” bisiknya.
Aku terperangah kaget melihat nada bicaranya yang terdengar ketus.
“A-aku pengen ketemu Bang Dicky.”
“Karena... karena Bang Dicky nggak ada di situ.” Zaki menelan ludah. “Jadi ngapain juga bos ke situ?”
“Karena di situ ada hantu Pak Darmo?!” tembakku.
Zaenab berjengit mendengar kata hantu sementara Zaki terlihat agak panik.
Zaki melemparkan pandangannya ke arah lain, seolah sedang mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu padaku. Dia menghembuskan napas berkali-kali, berjalan konstan keluar dari gang kampung kota ini. “Karena...” Akhirnya Zaki bicara. “Karena kita nggak mau kejadian minggu kemaren keulang lagi. Kita nggak mau dia lepas lagi, kan?”
-XxX-
Mobil pick-up milik Zaki, yang kabarnya baru akan lunas cicilannya dua tahun lagi, melaju santai di sebuah tanjakan lurus daerah Cimahi. Yang kulihat di sekitar hanyalah pepohonan, rerumputan, pegunungan yang diselimuti awan, dan kalau aku menengok ke arah kanan aku bisa melihat kota Bandung dengan jelas. The whole city.
Beberapa rumah bertengger manis di tepi jalan, seolah sedang menyambut kami. Di beberapa kesempatan aku melihat pabrik susu murni dan selintas aku berpikiran untuk meminta Zaki berhenti lalu membeli susu.
Astaga. Dingin juga ya di sini.
“Dingin, Bos?” tanya Zaki saat melihat aku memeluk tubuhku sendiri. Zaki mendongak ke atas, menatap gumpalan awan kelabu di langit dan nyengir kecewa pada cuaca. “Matahari muncul aja, di sini selalu dingin, apalagi mendung begini.”
“I’m fine,” jawabku. “Ini sih nggak ada apa-apanya dibandingin New Jersey.”
At all, tambahku dalam hati.
Tapi tiga detik kemudian aku melihat Zaki menggeliat. Dia berusaha keras keluar dari jaketnya, mencoba menarik setiap tangannya dari lengan jaket lalu meloloskan seluruh jaket itu keluar dari kepalanya. Kini Zaki hanya memakai kaus basket tak berlengan bertuliskan Panasia Indosyntec, yang kelihatannya kedodoran karena dari pinggir aku bisa melihat puting susunya. Sialan. Aku benci kalau sudah begini. Gara-gara Zaki aku jadi punya banyak fetish. Aku suka ketiaknya, aku suka putingnya, kakinya, bahkan kapan itu aku horny melihat pinggangnya. (Apalagi pas Zaki pipis, aku bisa onani dibuatnya.) Dan sekarang dia membuka jaketnya, pamer kulit lengannya dan sengaja membuatku melirik ke rambut-rambut halus di ketiaknya.
“Pake ini Bos, biar nggak kedinginan.”
Dan dia menawarkan jaketnya?!
“Ah, nggak usah. Aku nggak apa-apa. Aku udah biasa sama suhu dingin kayak begini. Di Amerika malah lebih dingin daripada ini.”
“Nggak apa-apa, Bos, pake aja.”
“Ih, dibilangin nggak usah. Lagian lebih parah Bang Zaki dong, cuma pake kaus sleeveless macam begitu.”
“Saya mah nggak apa-apa, Bos. Udah biasa ngeronda.”
“Aku juga!” sahutku. “Maksudnya, bukan ngeronda. Tapi kedinginannya.”
Apa itu ngeronda?
Kami terdiam beberapa saat, tapi tangan kiri Zaki masih terulur ke arahku, dengan jaket hitam belel yang disodorkannya. “Pake Bos, entar masuk angin. Entar si Dicky marahin saya lagi...” Saat Zaki mengatakan hal tersebut, rahangnya kembali mengeras dan pandangannya dilempar ke arah kanan. Terdengar nada cemburu dari pernyataannya.
“Iiih, nggak usah,” tolakku. “Udah, Bang Zaki pake aja. Bang Zaki lebih kedinginan tuh, kulitnya kemana-mana. Aku sih nggak apa-apa.” Aku mendorong jaket itu menjauh dariku, tapi Zaki tetap bergeming.
“Yaaah, Bos. Nggak apa-apa, kok,” kukuh Zaki. Kepalanya menoleh sesekali dari menatap jalan, pandangannya memelas. Dan dengan wajah ganteng begitu, mestinya aku luluh. “Please...” tambah Zaki. “Entar si Dicky—“
“Kenapa sih aku mesti pake jaket?” potongku. “Apa hubungannya sama Bang Dicky bakal marahin Bang Zaki kalo aku nggak pake jaket?”
Zaki mendengus. “Karena saya diamanatin ama Dicky buat jagain bos. Jadi saya nggak mau Dicky marah gara-gara bos masuk angin.” Zaki pun melemparkan jaketnya ke pangkuanku.
Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah perkampungan yang dingin. Zaki bilang ini Cisarua, sekitaran Parongpong. Letaknya di sebuah pegunungan yang hijau di mana kita bisa melihat banyak menara stasiun televisi untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. (Zaki lah yang bilang itu menara stasiun televisi—aku sih nggak tahu.)
Udaranya memang dingin. Nggak sedingin New Jersey, tapi untuk ukuran Bandung memang cukup dingin. Ada satu jalan besar yang menjadi satu-satunya akses, namanya jalan Kolonel Masturi, di mana rumah-rumah di perkampungan ini berdiri di pinggir-pinggirnya. Kami bahkan melewati sebuah rumah sakit jiwa yang luas, yang bagiku nggak kelihatan kayak rumah sakit jiwa. Dan Zaki bilang, beberapa kilometer ke depan ada Curug Cimahi yang sekarang sedang direnovasi.
Tapi exactly, I have no idea where the hell is this...
Oh, lihat! Ada Indomart!
Sudah ada peradaban modern di sini.
Thank God.
“Rumah siapa ini?” tanyaku saat mobil pick-up Zaki belok ke sebuah pekarangan rumah yang luas. Di ujung pekarangan ini terdapat rumah mungil yang di pinggir-pinggirnya ditumbuhi pepohonan. Dan kalau kita berfoto sekitar dua puluh meter di depan rumah itu, background gunung yang tinggi bisa masuk ke dalam gambar.
“Ini, ngng...” Zaki menarik tuas rem dan masih menimang-nimang untuk menjawab pertanyaanku atau nggak. “Lihat aja sendiri, deh.”
“Jadi Bang Dicky ada di sini?”
Zaki menjawab pertanyaanku dengan menunjuk ke arah depan rumah. Aku menoleh dan melihat seseorang sedang berdiri di sana. Benar. Itu Bang Dicky! Dia berdiri di teras rumah, tampak sehat dan gagah. Atau mungkin karena aku kangen amat sangat jadinya dia tampak sangat menawan.
Aku turun dari mobil lalu berjalan menghampiri Bang Dicky. Tidak. Kurang tepat kalau dibilang berjalan. Aku ‘melayang’.
Kakiku terasa begitu ringan sehingga langkah-langkahku sebetulnya lebih lebar daripada biasanya. Dalam dua detik aku sudah berada dua meter di hadapan Bang Dicky, masih bingung apakah harus memeluk Bang Dicky, seperti yang terjadi di film-film, atau mungkin kami harus saling menatap dulu dengan puas, baru setelah itu memeluk, seperti sepasang kekasih yang sudah berpisah selama dua puluh tahun...
Tunggu.
Kenapa alis Bang Dicky mengerut seperti itu? Aku hafal kerutan itu! Itu kerutan tidak senang.
“Agas kenapa ke sini?” bisiknya.
Aku terperangah kaget melihat nada bicaranya yang terdengar ketus.
“A-aku pengen ketemu Bang Dicky.”
Bang Dicky menyipitkan matanya,
kelihatan tidak percaya. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Tanganku kuremas-remas.
Sementara itu Zaki berjalan perlahan-lahan menghampiri kami, menggosok
tengkuknya dan nggak berani menatap Bang Dicky.
“K-kita... kita cuma mampir bentar, kok. Kebetulan lewat,” aku Zaki.
“Zaki ngapain bawa Agas ke sini?” sahut Bang Dicky ketus. “Kan Dicky udah bilang jangan dulu bawa-bawa Agas buat sementara—“
“Ini kepengen aku!” potongku sesegera mungkin. “Aku yang maksa Bang Zaki!”
Tapi Bang Dicky nggak mengacuhkanku. Dia tetap menatap Zaki dengan pandangan marah. Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya bermunculan. Sorot mata yang dipancarkan Bang Dicky adalah sorot mata yang tak pernah ingin kulihat. Sorot mata penuh kesal. Dengan alis bertaut kencang dan telinga berkedut-kedut.
“Zaki nggak bisa pegang janji...” desis Bang Dicky.
Zaki memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tertunduk merasa bersalah. Sesekali dia melirik Bang Dicky dengan ketakutan, tapi dia tetap berdiri tegar di sana. Siap disemprot atau apa, lah.
Baru saja aku mau bilang, “Jangan nyalahin Bang Zaki. Ini semua ide aku!” Tapi Bang Dicky keburu menampar Zaki.
PLAK!
Yes, you’ve heard it right. Zaki ditampar!
Aku terkejut bukan main saat telapak tangan Bang Dicky melayang dan jatuh di pipi Zaki. Cowok itu tersungkur satu langkah ke belakang, tapi tetap tertunduk, seolah ditampar barusan adalah sesuatu yang pantas dia dapatkan.
“Bang Dicky!” pekikku marah. “Bang Dicky ngapain sih?!”
Aku menarik Bang Dicky mundur, tapi hanya berhasil membawanya satu langkah ke belakang. Bang Dicky memandang Zaki dengan pandangan bengis. Bola matanya memerah dan berair. Dan urat-urat di lehernya makin terlihat menyeramkan.
“Jangan nyalahin Bang Zaki! Ini semua ide aku!” Akhirnya aku mengatakan juga kalimat itu. Tapi Bang Dicky kelihatan nggak begitu peduli. Dia tetap menatap Zaki dengan tajam. Dengan sorotan tanpa maaf.
“Yang minta ke sini tuh aku, bukan Bang Zaki. Aku yang maksa Bang Zaki. Jadi jangan nyalahin Bang Zaki.” Aku bahkan melompat ke hadapan Bang Dicky, berdiri face-to-face dengannya, berusaha menarik perhatiannya. Kepalaku kumiringkan agar pandangan Bang Dicky jatuh di wajahku, bukan menatap dengan bengis cowok yang nggak punya salah apa-apa. “Bang Dicky ngedengerin aku, nggak sih?”
Bang Dicky mendengus. Agak melunak, tapi masih memamerkan urat-urat marah di lehernya.
“Aku yang maksa Bang Zaki buat nganterin aku ke sini, jadi jangan sekali-sekali nyalahin Bang Zaki,” ulangku. “Aku cuma pengen tau gimana kabar Bang Dicky, itu aja. Bang Dicky udah ngilang dua minggu, and I have no idea where the fuck are you! At least... meskipun Bang Dicky emang nggak mau aku ketemu Bang Dicky, at least Bang Dicky bilang sama aku, jadi aku nggak akan maksa-maksa Bang Zaki.”
“Diem, Gas! Agas nggak tau apa-apa,” sahut Bang Dicky dengan ketus.
Aku terkejut saat mendengar Bang Dicky mengatakan hal tersebut. Matanya langsung melirik mataku, menyorot tajam, dengan alis bertaut benci dan napas memburu. Aku bisa melihat urat di pelipisnya sekarang. Dialiri keringat dan emosi.
“Well, then tell me if I knew nothing!” pekikku.
“Agas tolong jangan ikut campur,” tegas Bang Dicky. “Ini urusan Dicky, urusan Zaki, dan urusan beberapa orang, tapi bukan urusan Agas. Jadi mending Agas sekolah aja yang bener, jangan ngurusin yang beginian.”
Apa?
Aku mematung. Terkejut bukan main mendengar Bang Dicky mengatakan hal tersebut.
“Too late, Bang. Sekarang ini udah jadi urusanku!” tantangku. “Aku nggak percaya Bang Dicky bisa kabur begitu aja dari masalah Bang Dicky! Aku tahu, kok. Aku tahu ini pasti berhubungan sama aku yang buka pintu di kamar belakang itu!”
“Agas nggak tahu apa-apa!” Bang Dicky mengangkat telunjuknya memperingatkan. “Agas masih terlalu kecil. Agas mendingan nggak usah ikut campur!”
Aku masih anak kecil?!
Aku tersinggung. Bisa-bisanya Bang Dicky mengatakan itu tepat di depan wajahku! Seseorang yang selama ini kupuja-puja, yang kucintai dan kukhawatirkan keberadaannya dua minggu terakhir ternyata bilang begitu padaku?!
“Aku bukan anak kecil! Aku udah tau semuanya! Aku tahu soal Pak Darmo! Aku tahu soal masa lalu Bang Dicky! Aku tahu semuanya!”
Bang Dicky terperangah kaget. Napasnya kembali memburu dan matanya menyipit menyelidiki wajahku seolah aku melontarkan omong kosong.
“Agas tahu semuanya apa?” Bang Dicky menelan ludah.
“Aku tahu soal kenapa bisa ada hantu Pak Darmo di rumah Granny! Aku tahu penyebabnya! Semuanya!” Meskipun of course, aku belum tahu secara detail, dan bahkan aku masih ragu akan kebenarannya (khususnya soal Bang Dicky membunuh ayahnya sendiri). Tapi yang penting aku tahu akar permasalahannya. Aku tahu Bang Dicky pasti ketakutan karena masa lalu menghantuinya kembali. And literally: “menghantui”. A real haunt, not just bad memories. Dan aku bukan anak kecil yang hanya bisa disuruh pergi ke kamar untuk tidur lalu melupakan segalanya seolah aku ini hidup di negeri dongeng, tapi aku sudah terlanjur mengetahui semua ini jadi aku juga ingin terlibat.
Aku ingin membantu Bang Dicky.
“A-agas... Agas tahu dari mana?” Bola mata Bang Dicky berkaca-kaca, suaranya bergetar dan ada nada pilu muncul dalam kalimatnya.
“Aku tahu dari mana-mana.” Aku menarik napas dan berusaha menenangkan diri. “Aku tahu dari Bang Zaki, aku tahu dari kejadian—“
“Apa?” potong Bang Dicky. “Zaki?”
Mata Bang Dicky menoleh ke arah Zaki, yang masih berdiri beberapa meter di belakangku. Pandangannya bengis kembali. Lebih bengis dari lima menit lalu. Aku bisa mendengar napasnya memburu tidak senang, aku bisa meramal bahwa ini bukanlah kabar baik.
Buru-buru aku menjelaskan, “Jangan nyalahin Bang Zaki lagi! Aku juga tahu dari lain-lain. I did some research—“ tapi Bang Dicky keburu mendorongku ke pinggir dan melewatiku.
Ya. Dia menarik bahuku dan melemparkannya ke samping. Aku tersungkur beberapa langkah tapi berhasil mempertahankan posisiku dengan seimbang. Ketika aku menoleh, melihat apa yang dilakukan Bang Dicky sampai harus mendorongku segala...
... ternyata Bang Dicky sedang menghajar Zaki.
BUUKKK!!
Satu pukulan keras mendarat di wajah Zaki. Cowok berkaus basket itu tersungkur ke tanah, tubuhnya telungkup dan hanya dalam dua detik saja lengan-lengan Bang Dicky yang kokoh sudah menarik kausnya ke atas, membuat Zaki berdiri, dan menghajarnya lagi.
BUUUKKK!!
Kali ini Zaki berhasil menangkis sebentar, sehingga kepalan tangan Bang Dicky hanya menyentuh lengannya. Zaki langsung mengangkat kedua tangannya, mencoba bertahan. Sedikit pun dia tidak membalas pukulan Bang Dicky, dia hanya terdorong mundur perlahan-lahan karena Bang Dicky memukul Zaki dengan membabi buta.
“ANJING, ZAKI!! SETAN, ZAKI!” teriak Bang Dicky sambil meninju Zaki terus menerus. Dalam pekikan marah Bang Dicky aku bisa mendengar getir sedih yang memilukan. Bahkan dari tempatku tersungkur, beberapa detik sebelum aku menghampiri mereka untuk melerai, aku bisa melihat setetes airmata jatuh dari sudut mata Bang Dicky. “ANJING! ANJING!”
“K-kita... kita cuma mampir bentar, kok. Kebetulan lewat,” aku Zaki.
“Zaki ngapain bawa Agas ke sini?” sahut Bang Dicky ketus. “Kan Dicky udah bilang jangan dulu bawa-bawa Agas buat sementara—“
“Ini kepengen aku!” potongku sesegera mungkin. “Aku yang maksa Bang Zaki!”
Tapi Bang Dicky nggak mengacuhkanku. Dia tetap menatap Zaki dengan pandangan marah. Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya bermunculan. Sorot mata yang dipancarkan Bang Dicky adalah sorot mata yang tak pernah ingin kulihat. Sorot mata penuh kesal. Dengan alis bertaut kencang dan telinga berkedut-kedut.
“Zaki nggak bisa pegang janji...” desis Bang Dicky.
Zaki memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tertunduk merasa bersalah. Sesekali dia melirik Bang Dicky dengan ketakutan, tapi dia tetap berdiri tegar di sana. Siap disemprot atau apa, lah.
Baru saja aku mau bilang, “Jangan nyalahin Bang Zaki. Ini semua ide aku!” Tapi Bang Dicky keburu menampar Zaki.
PLAK!
Yes, you’ve heard it right. Zaki ditampar!
Aku terkejut bukan main saat telapak tangan Bang Dicky melayang dan jatuh di pipi Zaki. Cowok itu tersungkur satu langkah ke belakang, tapi tetap tertunduk, seolah ditampar barusan adalah sesuatu yang pantas dia dapatkan.
“Bang Dicky!” pekikku marah. “Bang Dicky ngapain sih?!”
Aku menarik Bang Dicky mundur, tapi hanya berhasil membawanya satu langkah ke belakang. Bang Dicky memandang Zaki dengan pandangan bengis. Bola matanya memerah dan berair. Dan urat-urat di lehernya makin terlihat menyeramkan.
“Jangan nyalahin Bang Zaki! Ini semua ide aku!” Akhirnya aku mengatakan juga kalimat itu. Tapi Bang Dicky kelihatan nggak begitu peduli. Dia tetap menatap Zaki dengan tajam. Dengan sorotan tanpa maaf.
“Yang minta ke sini tuh aku, bukan Bang Zaki. Aku yang maksa Bang Zaki. Jadi jangan nyalahin Bang Zaki.” Aku bahkan melompat ke hadapan Bang Dicky, berdiri face-to-face dengannya, berusaha menarik perhatiannya. Kepalaku kumiringkan agar pandangan Bang Dicky jatuh di wajahku, bukan menatap dengan bengis cowok yang nggak punya salah apa-apa. “Bang Dicky ngedengerin aku, nggak sih?”
Bang Dicky mendengus. Agak melunak, tapi masih memamerkan urat-urat marah di lehernya.
“Aku yang maksa Bang Zaki buat nganterin aku ke sini, jadi jangan sekali-sekali nyalahin Bang Zaki,” ulangku. “Aku cuma pengen tau gimana kabar Bang Dicky, itu aja. Bang Dicky udah ngilang dua minggu, and I have no idea where the fuck are you! At least... meskipun Bang Dicky emang nggak mau aku ketemu Bang Dicky, at least Bang Dicky bilang sama aku, jadi aku nggak akan maksa-maksa Bang Zaki.”
“Diem, Gas! Agas nggak tau apa-apa,” sahut Bang Dicky dengan ketus.
Aku terkejut saat mendengar Bang Dicky mengatakan hal tersebut. Matanya langsung melirik mataku, menyorot tajam, dengan alis bertaut benci dan napas memburu. Aku bisa melihat urat di pelipisnya sekarang. Dialiri keringat dan emosi.
“Well, then tell me if I knew nothing!” pekikku.
“Agas tolong jangan ikut campur,” tegas Bang Dicky. “Ini urusan Dicky, urusan Zaki, dan urusan beberapa orang, tapi bukan urusan Agas. Jadi mending Agas sekolah aja yang bener, jangan ngurusin yang beginian.”
Apa?
Aku mematung. Terkejut bukan main mendengar Bang Dicky mengatakan hal tersebut.
“Too late, Bang. Sekarang ini udah jadi urusanku!” tantangku. “Aku nggak percaya Bang Dicky bisa kabur begitu aja dari masalah Bang Dicky! Aku tahu, kok. Aku tahu ini pasti berhubungan sama aku yang buka pintu di kamar belakang itu!”
“Agas nggak tahu apa-apa!” Bang Dicky mengangkat telunjuknya memperingatkan. “Agas masih terlalu kecil. Agas mendingan nggak usah ikut campur!”
Aku masih anak kecil?!
Aku tersinggung. Bisa-bisanya Bang Dicky mengatakan itu tepat di depan wajahku! Seseorang yang selama ini kupuja-puja, yang kucintai dan kukhawatirkan keberadaannya dua minggu terakhir ternyata bilang begitu padaku?!
“Aku bukan anak kecil! Aku udah tau semuanya! Aku tahu soal Pak Darmo! Aku tahu soal masa lalu Bang Dicky! Aku tahu semuanya!”
Bang Dicky terperangah kaget. Napasnya kembali memburu dan matanya menyipit menyelidiki wajahku seolah aku melontarkan omong kosong.
“Agas tahu semuanya apa?” Bang Dicky menelan ludah.
“Aku tahu soal kenapa bisa ada hantu Pak Darmo di rumah Granny! Aku tahu penyebabnya! Semuanya!” Meskipun of course, aku belum tahu secara detail, dan bahkan aku masih ragu akan kebenarannya (khususnya soal Bang Dicky membunuh ayahnya sendiri). Tapi yang penting aku tahu akar permasalahannya. Aku tahu Bang Dicky pasti ketakutan karena masa lalu menghantuinya kembali. And literally: “menghantui”. A real haunt, not just bad memories. Dan aku bukan anak kecil yang hanya bisa disuruh pergi ke kamar untuk tidur lalu melupakan segalanya seolah aku ini hidup di negeri dongeng, tapi aku sudah terlanjur mengetahui semua ini jadi aku juga ingin terlibat.
Aku ingin membantu Bang Dicky.
“A-agas... Agas tahu dari mana?” Bola mata Bang Dicky berkaca-kaca, suaranya bergetar dan ada nada pilu muncul dalam kalimatnya.
“Aku tahu dari mana-mana.” Aku menarik napas dan berusaha menenangkan diri. “Aku tahu dari Bang Zaki, aku tahu dari kejadian—“
“Apa?” potong Bang Dicky. “Zaki?”
Mata Bang Dicky menoleh ke arah Zaki, yang masih berdiri beberapa meter di belakangku. Pandangannya bengis kembali. Lebih bengis dari lima menit lalu. Aku bisa mendengar napasnya memburu tidak senang, aku bisa meramal bahwa ini bukanlah kabar baik.
Buru-buru aku menjelaskan, “Jangan nyalahin Bang Zaki lagi! Aku juga tahu dari lain-lain. I did some research—“ tapi Bang Dicky keburu mendorongku ke pinggir dan melewatiku.
Ya. Dia menarik bahuku dan melemparkannya ke samping. Aku tersungkur beberapa langkah tapi berhasil mempertahankan posisiku dengan seimbang. Ketika aku menoleh, melihat apa yang dilakukan Bang Dicky sampai harus mendorongku segala...
... ternyata Bang Dicky sedang menghajar Zaki.
BUUKKK!!
Satu pukulan keras mendarat di wajah Zaki. Cowok berkaus basket itu tersungkur ke tanah, tubuhnya telungkup dan hanya dalam dua detik saja lengan-lengan Bang Dicky yang kokoh sudah menarik kausnya ke atas, membuat Zaki berdiri, dan menghajarnya lagi.
BUUUKKK!!
Kali ini Zaki berhasil menangkis sebentar, sehingga kepalan tangan Bang Dicky hanya menyentuh lengannya. Zaki langsung mengangkat kedua tangannya, mencoba bertahan. Sedikit pun dia tidak membalas pukulan Bang Dicky, dia hanya terdorong mundur perlahan-lahan karena Bang Dicky memukul Zaki dengan membabi buta.
“ANJING, ZAKI!! SETAN, ZAKI!” teriak Bang Dicky sambil meninju Zaki terus menerus. Dalam pekikan marah Bang Dicky aku bisa mendengar getir sedih yang memilukan. Bahkan dari tempatku tersungkur, beberapa detik sebelum aku menghampiri mereka untuk melerai, aku bisa melihat setetes airmata jatuh dari sudut mata Bang Dicky. “ANJING! ANJING!”
“Bang Dicky!” pekikku, menghampiri
mereka dan mencoba melerai.
Tapi, BUUKKK! BUUUKKK! Pukulan-pukulan itu tetap melayang ke arah Zaki dan Zaki hanya bisa terdiam pasrah menerimanya. Zaki merapatkan kedua hasta lengannya, meletakkannya di depan dada dan sebisa mungkin menutup wajahnya. Sementara itu Bang Dicky berkali-kali meninju Zaki, dari samping dari depan, barusan sekali dari perut, dan sesekali mendorong Zaki sampai cowok itu terjatuh lagi, lalu memukulnya lagi.
“Bang Dicky! Berhenti!” Aku menarik-narik lengan Bang Dicky yang kokoh, mencoba menghentikannya dari pukulan membabi-buta pada Zaki. Tapi aku tak sekuat yang aku kira. Bang Dicky masih sanggup menepis cengkraman tanganku dan bahkan sekali waktu mendorongku agar mundur, aku kembali tersungkur ke belakang.
BUUUKKKK!! BUUUKKK!
Kenapa Bang Dicky bisa seperti monster? jeritku dalam hati. Kenapa dia melakukan itu?!
Air mataku jatuh saat melihat Zaki tak berdaya menerima pukulan dari Bang Dicky. Sedikitpun tak ada perlawanan dari Zaki dan sedikitpun tak ada tanda-tanda Bang Dicky bakal berhenti menghajar Zaki. Dengan emosi Bang Dicky terus menerus meninju, bahkan meski aku menjerit-jerit minta berhenti, cowok itu nggak berhenti. Dia terus memukul Zaki.
“Bang Dicky! STOOOP! Pleaseee...!”
BUUUUKK!
Dengan ngeri aku membayangkan sampai kapan ini semua akan berakhir. Ini tidak sesuai dengan rencanaku. Aku pikir aku akan reuni gembira dengan Bang Dicky, akan memeluknya dengan penuh kasih, lalu aku bilang kangen padanya, lalu dia berbisik padaku, minta maaf karena sudah menghilang selama dua minggu, dan berjanji akan kembali secepatnya, dan kami bisa bersama lagi, membuat bingkai-bingkai cantik di workshop belakang rumah Granny...
Sedikitpun harapanku nggak terkabul. Aku malah bertemu monster yang menganggapku masih anak kecil dan dengan penuh emosi menghajar kawannya sendiri.
Bagaimana bisa ini terjadi?!
BRAAAKKK!!
Tiba-tiba dari belakangku muncul seorang wanita mengenakan daster kusam motif bunga-bunga. Dia membawa sepotong kayu besar dan tanpa pikir panjang menghantamkan kayu itu ke kepala Bang Dicky. Kami semua terkejut. Bang Dicky bahkan lebih terperangah melihat wanita itu muncul di hadapannya, memukulnya hingga tersungkur menjauh dari Zaki, sambil mengenakan sandal jepit beda warna yang baru kusadari tiga detik kemudian.
Wanita itu berkulit pucat. Separuh baya. Banyak bekas luka di lengannya dan di betis kirinya ada bekas luka bakar. Rambutnya berantakan tapi berusaha dia ikat menjadi satu, meski sebagian tetap jatuh di bahunya. Aku mengenal sorot mata wanita itu. Alis wanita itu yang bertaut tidak senang. Juga tatapan marahnya yang sama persis dengan... Bang Dicky.
“Anak nggak tahu terima kasih!” pekik wanita itu, berusaha memukul lagi kepala Bang Dicky tapi keburu ditangkisnya. “Anak nggak tahu diri!”
“Ampuun Ibuu...” rengek Bang Dicky kemudian, berbalik 180 derajat dari seekor monster yang membabi buta menghajar kawannya menjadi seorang anak yang takut dengan ibunya.
“Ibu nggak pernah ngajarin kamu buat kurang ajar!!” pekik wanita itu sambil menangis, dan kembali memukulkan kayu itu ke kepala Bang Dicky, hanya saja Zaki keburu berdiri dan menahan wanita itu. “Ibu nggak pernah ngajarin kamu... buat mukul... orang... yang...”
Kata-katanya terpotong oleh tangisan. Wanita itu berhenti sejenak, memandang Bang Dicky dengan marah, dan membiarkan Zaki menahannya beberapa saat. Aku terperangah menatap wanita itu. Wanita yang kuduga melahirkan Bang Dicky dari rahimnya. Yang selama ini kuanggap gila karena Bello mendeskripsikannya begitu. Dan melihat sandalnya saja yang beda warna, lalu penampilannya yang berantakan, memang pantas disebut gila.
Tapi apa yang diteriakkannya tadi... buatku jauh dari gila. Dia adalah ibu yang normal. Yang sedang mendidik anaknya untuk nggak berbuat nakal.
Kalau dipikir-pikir lagi, sekarang kondisinya mirip Sangkuring, sebuah cerita legenda yang pernah kubaca di perpustakan CIS. Dengan background Gunung Tangkuban Perahu, dengan seorang ibu yang memukul kepala anaknya....
Kayu di tangan wanita itu terjatuh. Zaki memungutnya dan melemparkannya sejauh mungkin ke belakang. Aku baru menyadari sekarang lengan Zaki lebam-lebam, dan ada goresan darah sedikit di wajahnya.
“Ampun, Bu...” Bang Dicky terduduk di atas tanah, mundur perlahan-lahan sambil mendorong tubuhnya menjauh. Dia menangis. Seperti anak kecil. Dan tubuhnya gemetaran ketakutan, persis seperti yang kulihat dua minggu lalu setelah kejadian Pak Darmo itu.
“Kalian pulang!” titah wanita itu tegas, tanpa menoleh sedikitpun. “PULANG!” pekiknya liar.
Zaki buru-buru membawaku pergi dari situ, membukakan pintu mobil untukku, dan dalam hitungan detik kami sudah menyusuri turunan berbatu menuju jalan Kolonel Masturi. Aku sempat melihat Bang Dicky dan ibunya masih di tempat yang sama, terduduk di atas tanah, saling menatap satu sama lain, saling menangis, lalu pandanganku tertutup pohon besar dan aku nggak melihat mereka lagi.
-XxX-
“Kamu mau bandrek?” Granny masuk ke kamarku dan meletakkan segelas penuh minuman berwarna coklat yang wangi jahe. “Enak, lho. Apalagi dingin-dingin kayak begini. Dulu Mama kamu suka minum bandrek juga. Nenek suka bawa si Mama ke pusat kota buat nyari bandrek. Barusan kebetulan ada tukang bandrek lewat, jadi Nenek panggil aja ke sini.”
Aku tersenyum tulus karena Granny baru saja menyebut sesuatu tentang Mom. Well, seumur hidup, aku bukan fans dari bandrek. Aku pernah mencobanya beberapa kali, tapi nggak pernah menyukainya. Tapi karena hari ini hujan, dan kamarku terasa lebih dingin dari biasanya, lalu lututku masih perih oleh Betadine, aku meneguk juga bandrek hangat itu melewati kerongkonganku.
“Lukanya nggak apa-apa?” tanya Granny. “Mau dikasih Betadine lagi?”
“Ah, nggak usah. Nggak apa-apa kok. Cuma luka kecil aja.”
Aku baru menyadari lututku terluka saat aku tiba di rumah. Mungkin terantuk batu waktu didorong Bang Dicky siang tadi. But that’s fine. Bukan luka serius macam memar-memar yang dialami Zaki.
“Kalo butuh kapas, Nenek simpen di meja teve, ya?” Granny lalu berjalan melintasi ruangan, duduk di depan meja rias. “Weekend ini Nenek mau party. Jeng Rokayah bikin syukuran cucu kelimabelasnya di Grand Preanger. Pokoknya rambut palsu nenek mesti heboh.”
“Rambut palsu apaan Granny? Kenapa pake rambut palsu?”
“Sebab si Nunuk Blekuk itu pake rambut palsu, tadi Jeng Novi cerita kalo dia mau pasang jambul Terowongan Casablanca buat pergi ke pestanya Jeng Rokayah, kayak punyanya Syahrini itu lho.”
“Terus Granny mau bikin jambul Terowongan Casablanca juga?”
“Ya nggak lah,” tukas Granny, seperti tersinggung. “Nenek bakal bikin yang beda. Nenek bakal bikin, jambul Jembatan Layang Pasupati.”
Aku memutar bola mata. Nggak bisa meramalkan akan sepanjang apa jambul tersebut.
“Kapan sih Granny berhenti perang ama Jeng Nunuk?”
“Ooohh... ini nggak akan pernah berakhir. Sampai kapanpun!” tegas Granny. “Kecuali dia mau minta maaf, dan mau ngakuin cucunya si Esel itu payah, dan mau ngembaliin mug Morgan punya Nenek yang Nenek yakin dia ambil bulan kemaren. Itu kan mug kesayangan Nenek.”
“Tapi kan Granny masih punya sebelas mug Morgan yang lain!”
“Nggak bisa, Darling. Yang dia curi tuh yang kesayangan Nenek. Yang gambar Morgannya pake kaus lekbong warna abu-abu...”
“Jadi yang sebelas sisanya bukan kesayangan?”
“Sama kok, itu kesayangan Nenek. Semua-muanya kesayangan Nenek.” Granny mendengus. “Orang boleh kan punya kesayangan lebih dari satu? Lagian masih mending Morgan kan Gas, daripada Rafael. Apaan tuh Rafael. Dia nggak ada waktu di video klip I heart you. Nenek masih nggak ngerti, kenapa si Nunuk Blekuk suka sama si Rafael.”
Tapi, BUUKKK! BUUUKKK! Pukulan-pukulan itu tetap melayang ke arah Zaki dan Zaki hanya bisa terdiam pasrah menerimanya. Zaki merapatkan kedua hasta lengannya, meletakkannya di depan dada dan sebisa mungkin menutup wajahnya. Sementara itu Bang Dicky berkali-kali meninju Zaki, dari samping dari depan, barusan sekali dari perut, dan sesekali mendorong Zaki sampai cowok itu terjatuh lagi, lalu memukulnya lagi.
“Bang Dicky! Berhenti!” Aku menarik-narik lengan Bang Dicky yang kokoh, mencoba menghentikannya dari pukulan membabi-buta pada Zaki. Tapi aku tak sekuat yang aku kira. Bang Dicky masih sanggup menepis cengkraman tanganku dan bahkan sekali waktu mendorongku agar mundur, aku kembali tersungkur ke belakang.
BUUUKKKK!! BUUUKKK!
Kenapa Bang Dicky bisa seperti monster? jeritku dalam hati. Kenapa dia melakukan itu?!
Air mataku jatuh saat melihat Zaki tak berdaya menerima pukulan dari Bang Dicky. Sedikitpun tak ada perlawanan dari Zaki dan sedikitpun tak ada tanda-tanda Bang Dicky bakal berhenti menghajar Zaki. Dengan emosi Bang Dicky terus menerus meninju, bahkan meski aku menjerit-jerit minta berhenti, cowok itu nggak berhenti. Dia terus memukul Zaki.
“Bang Dicky! STOOOP! Pleaseee...!”
BUUUUKK!
Dengan ngeri aku membayangkan sampai kapan ini semua akan berakhir. Ini tidak sesuai dengan rencanaku. Aku pikir aku akan reuni gembira dengan Bang Dicky, akan memeluknya dengan penuh kasih, lalu aku bilang kangen padanya, lalu dia berbisik padaku, minta maaf karena sudah menghilang selama dua minggu, dan berjanji akan kembali secepatnya, dan kami bisa bersama lagi, membuat bingkai-bingkai cantik di workshop belakang rumah Granny...
Sedikitpun harapanku nggak terkabul. Aku malah bertemu monster yang menganggapku masih anak kecil dan dengan penuh emosi menghajar kawannya sendiri.
Bagaimana bisa ini terjadi?!
BRAAAKKK!!
Tiba-tiba dari belakangku muncul seorang wanita mengenakan daster kusam motif bunga-bunga. Dia membawa sepotong kayu besar dan tanpa pikir panjang menghantamkan kayu itu ke kepala Bang Dicky. Kami semua terkejut. Bang Dicky bahkan lebih terperangah melihat wanita itu muncul di hadapannya, memukulnya hingga tersungkur menjauh dari Zaki, sambil mengenakan sandal jepit beda warna yang baru kusadari tiga detik kemudian.
Wanita itu berkulit pucat. Separuh baya. Banyak bekas luka di lengannya dan di betis kirinya ada bekas luka bakar. Rambutnya berantakan tapi berusaha dia ikat menjadi satu, meski sebagian tetap jatuh di bahunya. Aku mengenal sorot mata wanita itu. Alis wanita itu yang bertaut tidak senang. Juga tatapan marahnya yang sama persis dengan... Bang Dicky.
“Anak nggak tahu terima kasih!” pekik wanita itu, berusaha memukul lagi kepala Bang Dicky tapi keburu ditangkisnya. “Anak nggak tahu diri!”
“Ampuun Ibuu...” rengek Bang Dicky kemudian, berbalik 180 derajat dari seekor monster yang membabi buta menghajar kawannya menjadi seorang anak yang takut dengan ibunya.
“Ibu nggak pernah ngajarin kamu buat kurang ajar!!” pekik wanita itu sambil menangis, dan kembali memukulkan kayu itu ke kepala Bang Dicky, hanya saja Zaki keburu berdiri dan menahan wanita itu. “Ibu nggak pernah ngajarin kamu... buat mukul... orang... yang...”
Kata-katanya terpotong oleh tangisan. Wanita itu berhenti sejenak, memandang Bang Dicky dengan marah, dan membiarkan Zaki menahannya beberapa saat. Aku terperangah menatap wanita itu. Wanita yang kuduga melahirkan Bang Dicky dari rahimnya. Yang selama ini kuanggap gila karena Bello mendeskripsikannya begitu. Dan melihat sandalnya saja yang beda warna, lalu penampilannya yang berantakan, memang pantas disebut gila.
Tapi apa yang diteriakkannya tadi... buatku jauh dari gila. Dia adalah ibu yang normal. Yang sedang mendidik anaknya untuk nggak berbuat nakal.
Kalau dipikir-pikir lagi, sekarang kondisinya mirip Sangkuring, sebuah cerita legenda yang pernah kubaca di perpustakan CIS. Dengan background Gunung Tangkuban Perahu, dengan seorang ibu yang memukul kepala anaknya....
Kayu di tangan wanita itu terjatuh. Zaki memungutnya dan melemparkannya sejauh mungkin ke belakang. Aku baru menyadari sekarang lengan Zaki lebam-lebam, dan ada goresan darah sedikit di wajahnya.
“Ampun, Bu...” Bang Dicky terduduk di atas tanah, mundur perlahan-lahan sambil mendorong tubuhnya menjauh. Dia menangis. Seperti anak kecil. Dan tubuhnya gemetaran ketakutan, persis seperti yang kulihat dua minggu lalu setelah kejadian Pak Darmo itu.
“Kalian pulang!” titah wanita itu tegas, tanpa menoleh sedikitpun. “PULANG!” pekiknya liar.
Zaki buru-buru membawaku pergi dari situ, membukakan pintu mobil untukku, dan dalam hitungan detik kami sudah menyusuri turunan berbatu menuju jalan Kolonel Masturi. Aku sempat melihat Bang Dicky dan ibunya masih di tempat yang sama, terduduk di atas tanah, saling menatap satu sama lain, saling menangis, lalu pandanganku tertutup pohon besar dan aku nggak melihat mereka lagi.
-XxX-
“Kamu mau bandrek?” Granny masuk ke kamarku dan meletakkan segelas penuh minuman berwarna coklat yang wangi jahe. “Enak, lho. Apalagi dingin-dingin kayak begini. Dulu Mama kamu suka minum bandrek juga. Nenek suka bawa si Mama ke pusat kota buat nyari bandrek. Barusan kebetulan ada tukang bandrek lewat, jadi Nenek panggil aja ke sini.”
Aku tersenyum tulus karena Granny baru saja menyebut sesuatu tentang Mom. Well, seumur hidup, aku bukan fans dari bandrek. Aku pernah mencobanya beberapa kali, tapi nggak pernah menyukainya. Tapi karena hari ini hujan, dan kamarku terasa lebih dingin dari biasanya, lalu lututku masih perih oleh Betadine, aku meneguk juga bandrek hangat itu melewati kerongkonganku.
“Lukanya nggak apa-apa?” tanya Granny. “Mau dikasih Betadine lagi?”
“Ah, nggak usah. Nggak apa-apa kok. Cuma luka kecil aja.”
Aku baru menyadari lututku terluka saat aku tiba di rumah. Mungkin terantuk batu waktu didorong Bang Dicky siang tadi. But that’s fine. Bukan luka serius macam memar-memar yang dialami Zaki.
“Kalo butuh kapas, Nenek simpen di meja teve, ya?” Granny lalu berjalan melintasi ruangan, duduk di depan meja rias. “Weekend ini Nenek mau party. Jeng Rokayah bikin syukuran cucu kelimabelasnya di Grand Preanger. Pokoknya rambut palsu nenek mesti heboh.”
“Rambut palsu apaan Granny? Kenapa pake rambut palsu?”
“Sebab si Nunuk Blekuk itu pake rambut palsu, tadi Jeng Novi cerita kalo dia mau pasang jambul Terowongan Casablanca buat pergi ke pestanya Jeng Rokayah, kayak punyanya Syahrini itu lho.”
“Terus Granny mau bikin jambul Terowongan Casablanca juga?”
“Ya nggak lah,” tukas Granny, seperti tersinggung. “Nenek bakal bikin yang beda. Nenek bakal bikin, jambul Jembatan Layang Pasupati.”
Aku memutar bola mata. Nggak bisa meramalkan akan sepanjang apa jambul tersebut.
“Kapan sih Granny berhenti perang ama Jeng Nunuk?”
“Ooohh... ini nggak akan pernah berakhir. Sampai kapanpun!” tegas Granny. “Kecuali dia mau minta maaf, dan mau ngakuin cucunya si Esel itu payah, dan mau ngembaliin mug Morgan punya Nenek yang Nenek yakin dia ambil bulan kemaren. Itu kan mug kesayangan Nenek.”
“Tapi kan Granny masih punya sebelas mug Morgan yang lain!”
“Nggak bisa, Darling. Yang dia curi tuh yang kesayangan Nenek. Yang gambar Morgannya pake kaus lekbong warna abu-abu...”
“Jadi yang sebelas sisanya bukan kesayangan?”
“Sama kok, itu kesayangan Nenek. Semua-muanya kesayangan Nenek.” Granny mendengus. “Orang boleh kan punya kesayangan lebih dari satu? Lagian masih mending Morgan kan Gas, daripada Rafael. Apaan tuh Rafael. Dia nggak ada waktu di video klip I heart you. Nenek masih nggak ngerti, kenapa si Nunuk Blekuk suka sama si Rafael.”
Part 56
By
Mario
“Terus kenapa Granny suka Morgan?” tantangku.
“Karena dia Prince Charming!” Kata-kata Granny terputus oleh Zaki yang tiba-tiba melongokkan kepala di kamarku.
“Air panasnya udah mendidih tuh, Nek,” katanya.
“Oh, iya... air panas. Nenek mau mandi dulu ya, Gas. Kalo ada apa-apa panggil Zaki aja. Ayo Zaki, bantuin ngangkat embernya.”
Pintu kamarku tertutup lagi dan aku sendirian lagi. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, berpikiran bahwa aku manja juga ya, hanya karena luka di lutut tapi malas turun dari kasur. Sementara Zaki yang babak belur masih siap sedia menolong Granny. Tapi mungkin memang Zaki dibayar untuk itu. I mean, selama ini bisa jadi Zaki tuh domestic housekeeper yang di-hire Granny buat bantu Granny hidup sendirian di rumah ini. Kalau Mom and Dad nggak meninggal kan kemungkinan besar Granny malam ini sedang sendirian.
Atau bisa aja sih sedang bercengkrama dengan Jeng Nunuk.
“Huhuhuhuhu...”
Tiba-tiba kudengar suara seseorang menangis.
“Huhuuu huuu...”
Suaranya seperti suara anak kecil. Agak sayup-sayup, tapi jelas sekali ini suara seseorang menangis.
“Bello?” panggilku. Betul juga. Sudah berapa jam aku nggak ketemu Bello. “Kenapa kamu nangis, Bello? Kamu di mana?”
“Huhuhu...”
Masih saja menangis.
Aku memasang telingaku lebih tajam untuk mencari sumber suara. Kemungkinannya cuma dua, kan. Bisa jadi itu Bello, atau tetangga sebelah yang punya anak kecil, dan anak kecilnya menangis. Tapi anak kecil mana yang sedang menangis? Aku jarang melihat anak kecil di sekitar sini. Bahkan kalau dipikir-pikir, suara anak kecil ini seperti suara Bello.
“Aman sembunyi di sini?”
Tiba-tiba kudengar suara lain. Suara anak kecil lain.
“Nggak tauuu... huhuhuhu...” Si anak kecil menangis itu membalas.
“Bellooo?” panggilku. “Kamu lagi ngobrol ama siapa?”
“Coba geser, kamu sebelah situ. Aku mau masuk juga.”
“Huhuhuhu...”
Akhirnya aku turun dari ranjang, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan melihat ke luar. Nggak mungkin kan itu suara hujan? I mean, jelas banget mereka lagi mengobrol.
“Bello?” Aku memanggil lagi.
“A-aku... t-takut... huhuhu...” kata si anak yang menangis.
“Iya sama, aku juga. Pasti sakit pisan, kan?”
“Kalo si Aa nggak ada... hiks hiks... pasti aku yang kena...”
“Udah, ssshhh! Jangan nangis terus. Entar ketahuan kita sembunyi di sini.”
Dengan penasaran aku membuka lemariku. Mencari-cari anak kecil yang bersembunyi di situ. Jelas banget mereka berdua sedang mengobrol, sesuatu tentang sembunyi, dan lain-lain, dan kalaupun mereka makhluk halus, aku ingin tahu mereka sedang di mana.
Bahkan, aku yakin itu Bello yang sedang main BP-BP-an. Kapan itu dia menunjukkan kertas-kertas karton bergambar perempuan dengan beragam pilihan pakaian, lalu dia membangun tembok-tembok virtual dengan bungkus rokok, membentuk denah rumah, dan tiba-tiba saja memainkan boneka itu seperti sedang bermain Barbie. Pokoknya mirip main The Sims. Tapi versi kertas karton dan kamu harus merangkai dialog antar pemain. Dia bilang ini permainan tradisional zaman dahulu. Dan karena Bello bukan manusia, dia jago membuat suara-suara berbeda saat berdialog.
“Bello, kamu di mana?” Aku membuka laci tapi nggak menemukan “siapapun” di situ.
“Kamu janji kan nggak akan ninggalin aku?” Si anak menangis bicara lagi.
“Nggak, atuh. Lagian kan kita temen.”
“Bellooo... kamu lagi maen BP-BP-an di manaaa?” Aku terduduk di meja rias. Sesekali menengok ke arah cermin, mencari di dalam cermin, barangkali cupid tolol itu sedang main di dunia cermin di dalam sana.
“Tapi kita pasti ketahuan kalo sembunyi di sini,” ujar si kawan.
“Nggaaakkk...” tukas anak yang menangis. “Aku setiap kali suka sembunyi di sini.”
“Aku tahu tempat yang lebih aman.”
“Hey-hey, kalian berdua,” panggilku. “Kalian ada di mana?”
Lama-lama tubuhku merinding. Aku pikir hantu di rumah ini hanya Pak Darmo saja. Dan si Kitty. Tapi kenapa sekarang ada dua suara gaib anak kecil di sini. Dan kenapa baru muncul sekarang?
“Ya udah. Kita pindah!” sahut si anak yang menangis.
Di mana sih mereka?
Aku memicingkan mata, menatap langit-langit dan menoleh ke arah koperku di atas lemari. Semua tempat yang dulu pernah digunakan Bello waktu menyamar jadi kuntilanak, sudah kusapu bersih. Tapi sedikit pun tidak ada tanda-tanda makhluk halus di sana. Bahkan di pojok ruangan. Atau di kusen jendela. Aku curiganya sih—
“ARGH!”
Tubuhku melompat kaget ke belakang hingga aku terjatuh dari kursi riasku. Saat itu aku sedang memicingkan mata menatap ranjangku sendiri, tiba-tiba muncul dua orang anak kecil dari kolong kasurku!
Ya! Dua anak kecil yang sosoknya nggak jelas... seperti mereka itu hologram. Atau Casper.
Kedua anak itu merayap-rayap keluar dari kolong kasur. Anak yang topless, hanya mengenakan celana pendek warna merah saja, keluar pertama dan langsung menarik temannya dari kolong kasur. Anak yang kedua berbaju lengkap, dengan gambar Power Ranger jamannya Jason dan Kimberly, dan tubuhnya begitu kurus. Dia juga menggosok-gosok pipinya, menghapus air mata.
Jadi mereka...
Kedua anak kecil itu dengan kilat berlari keluar dari kamarku. Menembus pintu dan lenyap. Kejadiannya hanya empat detik saja. Detik pertama aku terjatuh karena kaget melihat si anak setengah bugil muncul dari dalam kasur, detik kedua mereka berdua benar-benar muncul, detik berikutnya berlari dan akhirnya lenyap.
Dan aku bahkan masih terduduk di atas lantai, dengan kursi rias tergeletak jatuh. Napasku memburu. Kaget setengah mati. Apa itu? Hantu apa barusan? Kenapa ada di sini? Kenapa ada hantu anak kecil muncul dari bawah kasurku? Apa Bello sekarang sanggup membelah diri seperti amoeba dan membuat penampakan seperti itu?
Karena penasaran, aku bangkit dan berjalan terhuyung-huyung menuju pintu. Luka di lututku mendadak terasa ngilu, tapi aku menepis rasa sakitnya. Di otakku hanya ada bayangan empat detik barusan. Wajah-wajah anak kecil itu... yang kuduga berumur tujuh, atau delapan tahun, yang terlihat ketakutan dan pucat. Dan somehow keduanya kelihatan menarik, entah kebetulan entah apa, tapi yang topless itu agak punya “bangsawan” look.
“Bos, ada apa Bos?” Zaki ada di ruang tengah ketika aku tertatih-tatih mengejar penampakan dua anak kecil itu. Dia sedang merapikan kumpulan extension hair warna hitam yang mengerikan.
Astaga. Granny benar-benar akan membuat jambul Jembatan Layang Pasupati.
“Karena dia Prince Charming!” Kata-kata Granny terputus oleh Zaki yang tiba-tiba melongokkan kepala di kamarku.
“Air panasnya udah mendidih tuh, Nek,” katanya.
“Oh, iya... air panas. Nenek mau mandi dulu ya, Gas. Kalo ada apa-apa panggil Zaki aja. Ayo Zaki, bantuin ngangkat embernya.”
Pintu kamarku tertutup lagi dan aku sendirian lagi. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, berpikiran bahwa aku manja juga ya, hanya karena luka di lutut tapi malas turun dari kasur. Sementara Zaki yang babak belur masih siap sedia menolong Granny. Tapi mungkin memang Zaki dibayar untuk itu. I mean, selama ini bisa jadi Zaki tuh domestic housekeeper yang di-hire Granny buat bantu Granny hidup sendirian di rumah ini. Kalau Mom and Dad nggak meninggal kan kemungkinan besar Granny malam ini sedang sendirian.
Atau bisa aja sih sedang bercengkrama dengan Jeng Nunuk.
“Huhuhuhuhu...”
Tiba-tiba kudengar suara seseorang menangis.
“Huhuuu huuu...”
Suaranya seperti suara anak kecil. Agak sayup-sayup, tapi jelas sekali ini suara seseorang menangis.
“Bello?” panggilku. Betul juga. Sudah berapa jam aku nggak ketemu Bello. “Kenapa kamu nangis, Bello? Kamu di mana?”
“Huhuhu...”
Masih saja menangis.
Aku memasang telingaku lebih tajam untuk mencari sumber suara. Kemungkinannya cuma dua, kan. Bisa jadi itu Bello, atau tetangga sebelah yang punya anak kecil, dan anak kecilnya menangis. Tapi anak kecil mana yang sedang menangis? Aku jarang melihat anak kecil di sekitar sini. Bahkan kalau dipikir-pikir, suara anak kecil ini seperti suara Bello.
“Aman sembunyi di sini?”
Tiba-tiba kudengar suara lain. Suara anak kecil lain.
“Nggak tauuu... huhuhuhu...” Si anak kecil menangis itu membalas.
“Bellooo?” panggilku. “Kamu lagi ngobrol ama siapa?”
“Coba geser, kamu sebelah situ. Aku mau masuk juga.”
“Huhuhuhu...”
Akhirnya aku turun dari ranjang, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan melihat ke luar. Nggak mungkin kan itu suara hujan? I mean, jelas banget mereka lagi mengobrol.
“Bello?” Aku memanggil lagi.
“A-aku... t-takut... huhuhu...” kata si anak yang menangis.
“Iya sama, aku juga. Pasti sakit pisan, kan?”
“Kalo si Aa nggak ada... hiks hiks... pasti aku yang kena...”
“Udah, ssshhh! Jangan nangis terus. Entar ketahuan kita sembunyi di sini.”
Dengan penasaran aku membuka lemariku. Mencari-cari anak kecil yang bersembunyi di situ. Jelas banget mereka berdua sedang mengobrol, sesuatu tentang sembunyi, dan lain-lain, dan kalaupun mereka makhluk halus, aku ingin tahu mereka sedang di mana.
Bahkan, aku yakin itu Bello yang sedang main BP-BP-an. Kapan itu dia menunjukkan kertas-kertas karton bergambar perempuan dengan beragam pilihan pakaian, lalu dia membangun tembok-tembok virtual dengan bungkus rokok, membentuk denah rumah, dan tiba-tiba saja memainkan boneka itu seperti sedang bermain Barbie. Pokoknya mirip main The Sims. Tapi versi kertas karton dan kamu harus merangkai dialog antar pemain. Dia bilang ini permainan tradisional zaman dahulu. Dan karena Bello bukan manusia, dia jago membuat suara-suara berbeda saat berdialog.
“Bello, kamu di mana?” Aku membuka laci tapi nggak menemukan “siapapun” di situ.
“Kamu janji kan nggak akan ninggalin aku?” Si anak menangis bicara lagi.
“Nggak, atuh. Lagian kan kita temen.”
“Bellooo... kamu lagi maen BP-BP-an di manaaa?” Aku terduduk di meja rias. Sesekali menengok ke arah cermin, mencari di dalam cermin, barangkali cupid tolol itu sedang main di dunia cermin di dalam sana.
“Tapi kita pasti ketahuan kalo sembunyi di sini,” ujar si kawan.
“Nggaaakkk...” tukas anak yang menangis. “Aku setiap kali suka sembunyi di sini.”
“Aku tahu tempat yang lebih aman.”
“Hey-hey, kalian berdua,” panggilku. “Kalian ada di mana?”
Lama-lama tubuhku merinding. Aku pikir hantu di rumah ini hanya Pak Darmo saja. Dan si Kitty. Tapi kenapa sekarang ada dua suara gaib anak kecil di sini. Dan kenapa baru muncul sekarang?
“Ya udah. Kita pindah!” sahut si anak yang menangis.
Di mana sih mereka?
Aku memicingkan mata, menatap langit-langit dan menoleh ke arah koperku di atas lemari. Semua tempat yang dulu pernah digunakan Bello waktu menyamar jadi kuntilanak, sudah kusapu bersih. Tapi sedikit pun tidak ada tanda-tanda makhluk halus di sana. Bahkan di pojok ruangan. Atau di kusen jendela. Aku curiganya sih—
“ARGH!”
Tubuhku melompat kaget ke belakang hingga aku terjatuh dari kursi riasku. Saat itu aku sedang memicingkan mata menatap ranjangku sendiri, tiba-tiba muncul dua orang anak kecil dari kolong kasurku!
Ya! Dua anak kecil yang sosoknya nggak jelas... seperti mereka itu hologram. Atau Casper.
Kedua anak itu merayap-rayap keluar dari kolong kasur. Anak yang topless, hanya mengenakan celana pendek warna merah saja, keluar pertama dan langsung menarik temannya dari kolong kasur. Anak yang kedua berbaju lengkap, dengan gambar Power Ranger jamannya Jason dan Kimberly, dan tubuhnya begitu kurus. Dia juga menggosok-gosok pipinya, menghapus air mata.
Jadi mereka...
Kedua anak kecil itu dengan kilat berlari keluar dari kamarku. Menembus pintu dan lenyap. Kejadiannya hanya empat detik saja. Detik pertama aku terjatuh karena kaget melihat si anak setengah bugil muncul dari dalam kasur, detik kedua mereka berdua benar-benar muncul, detik berikutnya berlari dan akhirnya lenyap.
Dan aku bahkan masih terduduk di atas lantai, dengan kursi rias tergeletak jatuh. Napasku memburu. Kaget setengah mati. Apa itu? Hantu apa barusan? Kenapa ada di sini? Kenapa ada hantu anak kecil muncul dari bawah kasurku? Apa Bello sekarang sanggup membelah diri seperti amoeba dan membuat penampakan seperti itu?
Karena penasaran, aku bangkit dan berjalan terhuyung-huyung menuju pintu. Luka di lututku mendadak terasa ngilu, tapi aku menepis rasa sakitnya. Di otakku hanya ada bayangan empat detik barusan. Wajah-wajah anak kecil itu... yang kuduga berumur tujuh, atau delapan tahun, yang terlihat ketakutan dan pucat. Dan somehow keduanya kelihatan menarik, entah kebetulan entah apa, tapi yang topless itu agak punya “bangsawan” look.
“Bos, ada apa Bos?” Zaki ada di ruang tengah ketika aku tertatih-tatih mengejar penampakan dua anak kecil itu. Dia sedang merapikan kumpulan extension hair warna hitam yang mengerikan.
Astaga. Granny benar-benar akan membuat jambul Jembatan Layang Pasupati.
“Aku... tadi... barusan ada...” Dengan bingung aku mencoba
menjelaskan situasiku. Sayangnya ada dua pendapat berbeda di benakku. Haruskah
aku mengatakannya pada Zaki atau aku diam saja karena bisa jadi itu hanya
penampakan tak berarti atau paling parah adalah halusinasiku.
Kalau memang hantu itu ada, dan bersembunyi di bawah ranjangku selama ini, kedengarannya mengerikan. Tapi tinggal di rumah ini sih mesti siap sama hal-hal tak masuk akal macam begitu. I mean, siapa yang bisa menjelaskan tentang Pak Darmo? Berkali-kali aku bertanya, aku hanya mendapat jawaban seadanya saja. Aku memang akhirnya tahu sedikit sejarah tentang hantu itu. Tapi orang-orang di sini memberikan kesan seolah “Pokoknya jauhin hantu itu dan jangan banyak tanya lagi”.
Nah, bisa jadi dua hantu anak kecil itupun nggak ada bedanya dengan Pak Darmo. Bisa jadi aku mestinya diam saja, jangan banyak tanya. Dan mungkin menunggu “waktu yang tepat” seperti kata Granny, which might be in the next million years. Atau aku bisa menanyakannya, nothing to lose, paling-paling mereka akan membual lagi, mencari-cari alasan kesana kemari dan akhirnya aku nggak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
“Sebenernya tadi aku—“
“Besok pulang sekolah saya yang jemput ya Bos!” potong Zaki tiba-tiba sambil kembali merapikan untaian-untaian hair extension di atas meja. Dia juga nyengir malu-malu. “Kebetulan saya lagi libur.”
“Oh...”
“Mau bandrek lagi?”
-XxX-
Sudah dua puluh menit aku bertengger di kedai sushi, beberapa meter dari sekolah. Tapi sudah dua jam sejak bel pulang dikumandangkan. Aku melirik lagi jam di ponselku dan geleng-geleng kepala. Kalau tau begini kan aku bisa naik angkot saja.
Aku menangkupkan tanganku di atas meja, memainkan Salmon Maki terakhirku yang tidak dimakan karena perutku eneg. Pesan apa lagi nih sambil nungguin? Apa ya sushi yang gampang dibikin? Ada di mana Zaki sekarang? Katanya dia mau menjemputku. Satu jam lalu dia bilang dia sudah “by the way” (instead of on the way) tapi sampai sekarang idung bangirnya yang menggemaskan itu belum nongol juga.
Oke. Mungkin aku pesan Kappa Maki saja. Yang itu gampang banget dibikin, kan? Lagipula mentimun rasanya segar. Itung-itung bikin perutku nggak eneg—oh, sial. Ada segelintir Mahobia sialan baru keluar dari gerbang sekolah.
Bukannya aku takut atau apa, ya. Aku hanya sedang menghindari mereka saja. Menghindari konfrontasi nggak penting yang menghabiskan tenaga. Jangan anggap aku pengecut dan nggak bisa berdiri sendiri. Tapi lebih baik menjaga bumi ini tetap damai, betul? Tenang tanpa ada perselisihan antar murid SMA. Mungkin aku akan membayar semua pesananku sekarang saja, melupakan Kappa Maki, dan buru-buru pergi dari sini. Berjalan santai kok, bukan berlari seperti yang barusan sempat terlintas di benakku. Dan mungkin sekali-sekali aku mau mencoba berjalan melewati gang-gang kecil itu, bukan berarti aku mencari jalan tikus dan bersembunyi. Aku cuma... yah, jalan-jalan sore aja.
Tapi ketika aku sedang membayar pesananku, anak-anak Mahobia itu sudah dekat dengan kedai sushi. Sial. Kenapa mereka nggak naik mobil, sih? Biasanya kan mereka ke CIS naik mobil mewah!
Kalau begini, aku bisa ketahuan sewaktu keluar dari kedai. Hanya ada tiga orang, tapi leader mereka, si Fucking Derry, ada di antara tiga orang itu. Mereka terbahak-bahak sambil bercerita sesuatu, mungkin tentang anak homo di CIS yang ketahuan ngondek atau apa gitu padahal dia sudah menyembunyikannya dengan rapi.
“Bukan, Anjing! Si Ontohod mah nggak pernah pake kolor! Lo liat ga pas pelajaran renang kemaren? Hahahaha...” Gelak tawa Derry terdengar makin jelas.
Astaga, memangnya mereka sudah dekat, ya? Secepat apa sih mereka berjalan dari gerbang sekolah ke kedai sushi ini? Dan kenapa si petugas kedai ini lama amat ngasih kembalian?!
“Nggak ada uang kecil ya, Mas? Bentar ya, saya tuker dulu.”
For God’s sake, hanya tiga belas ribu rupiah saja susah amat ngasihnya!
Aku baru hendak mengatakan, “Ambil aja kembaliannya,” lalu memutuskan untuk melompat ke balik mobil yang sedang parkir di dekat kedai. Tapi Derry keburu melihatku. Bahkan meski aku memunggungi mereka, Derry tetap mengenaliku.
“Eh-eh, itu Queen of Maho ada di situ!”
Sial.
Perutku mulas seketika dan aku urung menggunakan mobil itu untuk bersembunyi. Sudah terlambat. Bukan berarti aku takut atau apa, ya. Aku hanya... yah... nggak mau terlibat konfrontasi aja sore ini. Aku hanya ingin melewati sore ini dengan tenang.
“Baru tau sushi tuh makanan homo! Lu jangan makan di sini lagi, Bray,” sahut Derry pada Eric, salah satu Mahobia, “entar ketularan homo!”
“Ember, Bos!”
Lalu ketiganya tertawa terbahak-bahak.
Jantungku serasa ditikam dan lututku lemas. Aku benci Mahobia. Kenapa mereka bisa begitu kejam, sih? Aku sumpahin, kalau mereka punya anak laki-laki entar, semua anaknya homo. Banci ngondek yang pengen ganti kelamin, kalau bisa. Bukan berarti aku merendahkan transgender, ya. Cuma pengen mereka menghormati homoseksual saja!
Petugas kedai muncul lagi dari dapur dengan uang kembalian yang receh dan lecek. Buru-buru aku masukkan uang itu ke saku celana dan pergi dari situ. Dan tentunya aku mengabaikan Mahobia yang (seperti kuduga) membuntutiku. Derry masih saja mengejekku ketika aku lewat. Dia mengatakan sesuatu tentang bata, cendol, Ryan Jombang (again), Olga Syahputra, taman lawang, Agaswati, desainer homo yang mati di kamar mandi, lalu Eric sempat menyebutkan Rafael Sm*sh. Mereka terus saja berkicau, mengejekku, membanding-bandingkanku, yang pada intinya aku ini manusia yang terkutuk yang mestinya lenyap dari muka bumi.
Aku begitu mendidih sampai-sampai aku berharap aku ini tuli di depan mereka. Kalau kututup telingaku, mereka pasti akan senang. Kalau kuhadapi dan kubalas ejekan mereka, mereka makin merasa menang, seolah mendapatkan Grammy Award. Satu-satunya cara ya mengabaikan mereka... which is extremely difficult.
“Si Agaswati ini termasuk anak haram. Lu tau kan anak haram tuh ada jenis-jenisnya?”
“Apa aja, Bos?”
“Yang brojol gara-gara maksiat, kayak si Miranda. Bonyoknya kan MBA. Yang brojol tau-taunya anak babi, bukan anak bayi, kan haram tuh!” Derry cekikikan dulu bersama dua temannya. “Udah gitu yang banci abis, segala-gala takut en cengeng, kayak si Cazz-chong! Dan ini nih yang terakhir, pasangan si Cazz-chong juga, yang brojol jadi homo kayak si Agaswati.”
Dan mereka tertawa lagi.
Darahku mendidih. Tapi aku nggak sanggup melawan mereka. Itu sama saja menuruti kemauan mereka. Mereka maunya aku mengamuk, kan? Mereka maunya aku memohon-mohon supaya mereka diam, lalu aku berteriak-teriak, atau menjambak rambut seperti yang biasa kulakukan kalau berantem dengan Esel, sehingga sore ini mereka punya alat sparring yang menyenangkan dan menghibur.
“Kasih memek si Nurbayani, Bos! Kali aja sembuh,” usul Eric.
Apa? Nurbayani? Dia nerd student yang bahkan straight guy dan lesbian pun nggak nafsu menatapnya telanjang.
Apalagi gay.
“Jangan, entar si Nurbayani jadi lesbian. Saking jijiknya ama si Agaswati.”
Aku terus berjalan menyusuri jalan kecil menuju jalan raya, menghiraukan kumpulan bajingan-bajingan ini. Ke mana Zaki?! Kenapa belum sampai juga? Dia sebenarnya lewat mana, sih? Lewat Bulgaria dulu, hah?
“Kita mandiin aja di got! Kali aja sembuh!” Tiba-tiba tanganku dicengkram Derry dan aku dibuatnya berhenti. Ketiga Mahobia itu sudah mengelilingiku sekarang. Perutku mulas, seperti ada kupu-kupu di dalamnya. Mereka mau apa sekarang? Kurang puaskah mengejekku secara verbal sedari tadi?
“Mau apa lagi, sih?” tanyaku ketus.
“Mau bikin lu seger, Cong.”
Kalau memang hantu itu ada, dan bersembunyi di bawah ranjangku selama ini, kedengarannya mengerikan. Tapi tinggal di rumah ini sih mesti siap sama hal-hal tak masuk akal macam begitu. I mean, siapa yang bisa menjelaskan tentang Pak Darmo? Berkali-kali aku bertanya, aku hanya mendapat jawaban seadanya saja. Aku memang akhirnya tahu sedikit sejarah tentang hantu itu. Tapi orang-orang di sini memberikan kesan seolah “Pokoknya jauhin hantu itu dan jangan banyak tanya lagi”.
Nah, bisa jadi dua hantu anak kecil itupun nggak ada bedanya dengan Pak Darmo. Bisa jadi aku mestinya diam saja, jangan banyak tanya. Dan mungkin menunggu “waktu yang tepat” seperti kata Granny, which might be in the next million years. Atau aku bisa menanyakannya, nothing to lose, paling-paling mereka akan membual lagi, mencari-cari alasan kesana kemari dan akhirnya aku nggak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
“Sebenernya tadi aku—“
“Besok pulang sekolah saya yang jemput ya Bos!” potong Zaki tiba-tiba sambil kembali merapikan untaian-untaian hair extension di atas meja. Dia juga nyengir malu-malu. “Kebetulan saya lagi libur.”
“Oh...”
“Mau bandrek lagi?”
-XxX-
Sudah dua puluh menit aku bertengger di kedai sushi, beberapa meter dari sekolah. Tapi sudah dua jam sejak bel pulang dikumandangkan. Aku melirik lagi jam di ponselku dan geleng-geleng kepala. Kalau tau begini kan aku bisa naik angkot saja.
Aku menangkupkan tanganku di atas meja, memainkan Salmon Maki terakhirku yang tidak dimakan karena perutku eneg. Pesan apa lagi nih sambil nungguin? Apa ya sushi yang gampang dibikin? Ada di mana Zaki sekarang? Katanya dia mau menjemputku. Satu jam lalu dia bilang dia sudah “by the way” (instead of on the way) tapi sampai sekarang idung bangirnya yang menggemaskan itu belum nongol juga.
Oke. Mungkin aku pesan Kappa Maki saja. Yang itu gampang banget dibikin, kan? Lagipula mentimun rasanya segar. Itung-itung bikin perutku nggak eneg—oh, sial. Ada segelintir Mahobia sialan baru keluar dari gerbang sekolah.
Bukannya aku takut atau apa, ya. Aku hanya sedang menghindari mereka saja. Menghindari konfrontasi nggak penting yang menghabiskan tenaga. Jangan anggap aku pengecut dan nggak bisa berdiri sendiri. Tapi lebih baik menjaga bumi ini tetap damai, betul? Tenang tanpa ada perselisihan antar murid SMA. Mungkin aku akan membayar semua pesananku sekarang saja, melupakan Kappa Maki, dan buru-buru pergi dari sini. Berjalan santai kok, bukan berlari seperti yang barusan sempat terlintas di benakku. Dan mungkin sekali-sekali aku mau mencoba berjalan melewati gang-gang kecil itu, bukan berarti aku mencari jalan tikus dan bersembunyi. Aku cuma... yah, jalan-jalan sore aja.
Tapi ketika aku sedang membayar pesananku, anak-anak Mahobia itu sudah dekat dengan kedai sushi. Sial. Kenapa mereka nggak naik mobil, sih? Biasanya kan mereka ke CIS naik mobil mewah!
Kalau begini, aku bisa ketahuan sewaktu keluar dari kedai. Hanya ada tiga orang, tapi leader mereka, si Fucking Derry, ada di antara tiga orang itu. Mereka terbahak-bahak sambil bercerita sesuatu, mungkin tentang anak homo di CIS yang ketahuan ngondek atau apa gitu padahal dia sudah menyembunyikannya dengan rapi.
“Bukan, Anjing! Si Ontohod mah nggak pernah pake kolor! Lo liat ga pas pelajaran renang kemaren? Hahahaha...” Gelak tawa Derry terdengar makin jelas.
Astaga, memangnya mereka sudah dekat, ya? Secepat apa sih mereka berjalan dari gerbang sekolah ke kedai sushi ini? Dan kenapa si petugas kedai ini lama amat ngasih kembalian?!
“Nggak ada uang kecil ya, Mas? Bentar ya, saya tuker dulu.”
For God’s sake, hanya tiga belas ribu rupiah saja susah amat ngasihnya!
Aku baru hendak mengatakan, “Ambil aja kembaliannya,” lalu memutuskan untuk melompat ke balik mobil yang sedang parkir di dekat kedai. Tapi Derry keburu melihatku. Bahkan meski aku memunggungi mereka, Derry tetap mengenaliku.
“Eh-eh, itu Queen of Maho ada di situ!”
Sial.
Perutku mulas seketika dan aku urung menggunakan mobil itu untuk bersembunyi. Sudah terlambat. Bukan berarti aku takut atau apa, ya. Aku hanya... yah... nggak mau terlibat konfrontasi aja sore ini. Aku hanya ingin melewati sore ini dengan tenang.
“Baru tau sushi tuh makanan homo! Lu jangan makan di sini lagi, Bray,” sahut Derry pada Eric, salah satu Mahobia, “entar ketularan homo!”
“Ember, Bos!”
Lalu ketiganya tertawa terbahak-bahak.
Jantungku serasa ditikam dan lututku lemas. Aku benci Mahobia. Kenapa mereka bisa begitu kejam, sih? Aku sumpahin, kalau mereka punya anak laki-laki entar, semua anaknya homo. Banci ngondek yang pengen ganti kelamin, kalau bisa. Bukan berarti aku merendahkan transgender, ya. Cuma pengen mereka menghormati homoseksual saja!
Petugas kedai muncul lagi dari dapur dengan uang kembalian yang receh dan lecek. Buru-buru aku masukkan uang itu ke saku celana dan pergi dari situ. Dan tentunya aku mengabaikan Mahobia yang (seperti kuduga) membuntutiku. Derry masih saja mengejekku ketika aku lewat. Dia mengatakan sesuatu tentang bata, cendol, Ryan Jombang (again), Olga Syahputra, taman lawang, Agaswati, desainer homo yang mati di kamar mandi, lalu Eric sempat menyebutkan Rafael Sm*sh. Mereka terus saja berkicau, mengejekku, membanding-bandingkanku, yang pada intinya aku ini manusia yang terkutuk yang mestinya lenyap dari muka bumi.
Aku begitu mendidih sampai-sampai aku berharap aku ini tuli di depan mereka. Kalau kututup telingaku, mereka pasti akan senang. Kalau kuhadapi dan kubalas ejekan mereka, mereka makin merasa menang, seolah mendapatkan Grammy Award. Satu-satunya cara ya mengabaikan mereka... which is extremely difficult.
“Si Agaswati ini termasuk anak haram. Lu tau kan anak haram tuh ada jenis-jenisnya?”
“Apa aja, Bos?”
“Yang brojol gara-gara maksiat, kayak si Miranda. Bonyoknya kan MBA. Yang brojol tau-taunya anak babi, bukan anak bayi, kan haram tuh!” Derry cekikikan dulu bersama dua temannya. “Udah gitu yang banci abis, segala-gala takut en cengeng, kayak si Cazz-chong! Dan ini nih yang terakhir, pasangan si Cazz-chong juga, yang brojol jadi homo kayak si Agaswati.”
Dan mereka tertawa lagi.
Darahku mendidih. Tapi aku nggak sanggup melawan mereka. Itu sama saja menuruti kemauan mereka. Mereka maunya aku mengamuk, kan? Mereka maunya aku memohon-mohon supaya mereka diam, lalu aku berteriak-teriak, atau menjambak rambut seperti yang biasa kulakukan kalau berantem dengan Esel, sehingga sore ini mereka punya alat sparring yang menyenangkan dan menghibur.
“Kasih memek si Nurbayani, Bos! Kali aja sembuh,” usul Eric.
Apa? Nurbayani? Dia nerd student yang bahkan straight guy dan lesbian pun nggak nafsu menatapnya telanjang.
Apalagi gay.
“Jangan, entar si Nurbayani jadi lesbian. Saking jijiknya ama si Agaswati.”
Aku terus berjalan menyusuri jalan kecil menuju jalan raya, menghiraukan kumpulan bajingan-bajingan ini. Ke mana Zaki?! Kenapa belum sampai juga? Dia sebenarnya lewat mana, sih? Lewat Bulgaria dulu, hah?
“Kita mandiin aja di got! Kali aja sembuh!” Tiba-tiba tanganku dicengkram Derry dan aku dibuatnya berhenti. Ketiga Mahobia itu sudah mengelilingiku sekarang. Perutku mulas, seperti ada kupu-kupu di dalamnya. Mereka mau apa sekarang? Kurang puaskah mengejekku secara verbal sedari tadi?
“Mau apa lagi, sih?” tanyaku ketus.
“Mau bikin lu seger, Cong.”
Part 57
By
Mario
Kemudian kedua tanganku digenggam
erat oleh ketiga Mahobia itu. Aku didorongnya mundur, meski aku mencoba
bertahan dan melawan, tapi kekuatan mereka terlalu besar. Otot-otot lengan
Derry bahkan bikin pameran. Dengan kaki yang kadang berpijak dan kadang nggak,
karena aku banyak diangkat oleh ketiganya, aku meronta-ronta dan
menendang-nendang.
“Kalian mau ngapain!” seruku panik.
Gerbang sekolah sudah agak jauh, begitu juga kedai sushi. Sebentar lagi kami memang sampai di jalan raya, tapi sekarang tepatnya sedang ada di kebun kecil yang penuh semak-semak. Di dekat semak-semak tersebut ada selokan besar, dengan air kotor yang mengalir dengan tenang, dan sekotak sampah di atasnya yang belum diangkut dan dibersihkan. Kelihatannya aku mau di...
BYUR!
“Argh!” Aku mengerang kecil saat menyadari tubuhku terjatuh ke dalam selokan itu. Aku tercebur sebadan-badan, seluruh seragamku basah oleh air selokan yang kotor dan baru. Di ujung selokan aku melihat bangkai tikus, YUCK! Buru-buru aku melompat keluar dan bergidik ngeri membayangkan air selokan yang kini membasahi tubuhku ternyata sudah dicemari bangkai tikus.
Uek.
Aku mau muntah. Literally!
“Nah, kan, begini cocok!” sahut Derry gembira. “This is the place that belong to you!”
Mereka bertiga tertawa-tawa lagi.
Aku rasanya mau menangis. Aku berlutut di atas aspal, membiarkan beberapa anak CIS yang lewat menatapku dengan kasihan. Aku mengeluarkan semua barang yang ada di saku celanaku, dompet, ponsel, catatan pelajaran Kimia, lalu kujejerkan di atas aspal karena semuanya basah. Derry malah makin terbahak-bahak melihat ponselku ternyata ikut kecemplung juga.
“Aduh, kasihan banget ini anak... nggak bisa nelepon mamanya buat curhat...” Derry berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala kasihan. “Tapi tenang aja... Nyokap lo pasti ngerti, kok. Ini kan buat kebaikan lo juga.”
Lalu Derry mendengus cekikikan.
Mataku terasa panas. Tenggorokanku tercekat. Bisa-bisanya ada orang sekejam Derry! Orang tuaku saja nggak pernah memperlakukanku seperti ini! Bahkan Tuhan pun nggak pernah menceburkan aku ke selokan karena aku gay! Aku benci Derry! AKU BENCI! Aku kutuk dia jadi banci dan selama-lamanya nggak ada yang nafsu sama dia!
Sambil terisak-isak, aku menunduk menatap dompet dan ponselku yang basah. Tanganku gemetaran. Bahuku berguncang. Bukan soal ponsel yang basah yang aku yakin pasti sekarang rusak. Tapi penghinaan yang dilakukan mereka padaku, benar-benar keterlaluan. Apa sih salahku sama mereka? Apa sih yang udah aku perbuat ke mereka sampai aku pantas menerima ini? Kenapa mereka masih menyalahkan aku karena aku gay? Sudah kubilang, salahkan saja Tuhan! Karena Tuhan lah yang menciptakan aku begini. Mengapa aku, yang sudah menjadi korban karena diciptakan gay, menjadi korban pelecehan harga diri juga?!
BUUUKKK!!
Tiba-tiba aku mendengar suara hantaman keras. Ketika aku mendongak, aku sudah melihat Zaki sedang menghajar Derry hingga cowok itu tersungkur ke atas aspal. Kedua Mahobia sisanya langsung membantu Derry bangun, dan ketiganya shock melihat Zaki mengepalkan tangan.
“Apa-apaan nih?” sahut Derry sambil terduduk ketakutan.
“Manéh sorangan nanaonan, hah?!” bentak Zaki kasar, dalam bahasa Sunda, yang artinya kurang lebih sama dengan apa yang ditanyakan Derry. “Tong kurang ajar ka budak batur, Njing!”
Yang kalau nggak salah artinya, “Jangan kurang ajar sama anak orang lain, Puppy!”
Napas Derry memburu. Dia melirik sesekali ke arahku, lalu ke arah Zaki, sambil memutar otak mau membalas apa lagi. “Apa urusannya, lu?” tantang Derry.
“Kamu sendiri urusannya apa?!” sentak Zaki.
“Jangan sok ikut campur, lah!” Derry bangkit dan tanpa pikir panjang langsung meninjukan tangannya ke arah Zaki... yang ternyata sudah dapat diantisipasi.
Zaki menghindar sedikit lalu menyikut Derry perut. Derry membalas dengan menghantam punggung Zaki, yang kali ini kena, lalu mencoba menendang perut Zaki dengan lututnya. Yang ternyata kena juga. Tapi Zaki masih bertahan karena dia juga berhasil meninju Derry lagi hingga tersungkur, entah bagaimana caranya. Dua mahobia yang lain mencoba menghajar Zaki juga. Eric malah mengambil batu yang agak besar dan dilemparkannya ke arah Zaki... dan kena bahunya.
Tapi Zaki jadi membabi buta. Dia menendang salah satu Mahobia, lalu menginjaknya saat tersungkur. Dengan dorongan yang kuat diapun berhasil mendorong Eric hingga terjatuh ke dalam selokan seraya menerima tonjokan lain dari Derry. Kali ini Zaki yang tersungkur ke atas aspal, nyaris menindih ponselku yang basah.
Dengan gerakan kilat, Zaki bangkit lagi, menarik kerah baju Derry dan menonjoknya. Mereka lalu baku hantam sekitar dua menit, membuat beberapa orang berhenti untuk menyaksikan, satupun nggak ada yang berani melerai. Ada beberapa motor yang berhenti, takut terlibat dalam perkelahian. Mungkin dipikirnya ini tawuran anak SMA.
BRRRUUUKKK!!
Tanpa terduga, Zaki dengan ganasnya membanting Derry hingga menabrak mobil pick-up Zaki yang entah sejak kapan ada di belakangku. Ada darah mengalir di wajah Derry dan Zaki, dan kelihatannya Derry kelelahan. Aku baru hendak melerai mereka berdua ketika Zaki untuk terakhir kalinya menarik kerah baju Derry, mengangkatnya, meraih linggis dari dalam pick-up-nya, lalu mengacungkannya tinggi-tinggi ke arah Derry. Dalam satu detik saja, linggis itu bisa dihantamkan ke kepala Derry sampai mati.
Derry memejamkan mata ketakutan. Begitu pula aku. Tak sanggup melihat adegan it.....
Tapi lima detik sejak Zaki mengacungkan linggis itu tinggi-tinggi... Aku nggak mendengar suara apapun. Yang kudengar hanyalah suara napas memburu dari Derry dan Zaki, juga pekikan tertahan dari beberapa pejalan kaki maupun pengendara motor yang sedang menonton kami.
Zaki nggak menghantamkan linggis itu di kepala Derry.
Zaki masih hanya... mengancamnya...
“Jangan sok jadi orang!” sentak Zaki, tapi lebih pelan. “Orangtua udah mahal-mahal biayain sekolah di sini, tapi kamu sia-siain pake ngelabrak macam begituan! Kamu nggak ngehargain orangtua kamu sendiri, hah?!”
“Bukan urusan lu!” Derry meludah di wajah Zaki.
Zaki buru-buru mengangkat linggis itu tinggi-tinggi dan mulai mengayunkannya ke arah kepala Derry. Kali ini lebih serius. Karena Zaki mengayunkannya dengan...
... aku nggak mau lihat....
... oh, oke. Ternyata Zaki masih bercanda. Linggis itu mendarat tepat lima senti dari wajah Derry.
“Ngapain kamu nyeburin Agas ke selokan, hah?!” sentak Zaki.
Derry membuka matanya yang ketakutan, lalu lega setelah melihat linggis itu ternyata masih menggantung di sana, bukan di kepalanya. Dia lalu mendengus dan memalingkan wajah ke arahku.
“Gua alergi sama laki-laki homo kayak si Agas! Jadi gua ceburin dia ke got! Kenapa lu? Nggak suka, hah?”
“Kalian mau ngapain!” seruku panik.
Gerbang sekolah sudah agak jauh, begitu juga kedai sushi. Sebentar lagi kami memang sampai di jalan raya, tapi sekarang tepatnya sedang ada di kebun kecil yang penuh semak-semak. Di dekat semak-semak tersebut ada selokan besar, dengan air kotor yang mengalir dengan tenang, dan sekotak sampah di atasnya yang belum diangkut dan dibersihkan. Kelihatannya aku mau di...
BYUR!
“Argh!” Aku mengerang kecil saat menyadari tubuhku terjatuh ke dalam selokan itu. Aku tercebur sebadan-badan, seluruh seragamku basah oleh air selokan yang kotor dan baru. Di ujung selokan aku melihat bangkai tikus, YUCK! Buru-buru aku melompat keluar dan bergidik ngeri membayangkan air selokan yang kini membasahi tubuhku ternyata sudah dicemari bangkai tikus.
Uek.
Aku mau muntah. Literally!
“Nah, kan, begini cocok!” sahut Derry gembira. “This is the place that belong to you!”
Mereka bertiga tertawa-tawa lagi.
Aku rasanya mau menangis. Aku berlutut di atas aspal, membiarkan beberapa anak CIS yang lewat menatapku dengan kasihan. Aku mengeluarkan semua barang yang ada di saku celanaku, dompet, ponsel, catatan pelajaran Kimia, lalu kujejerkan di atas aspal karena semuanya basah. Derry malah makin terbahak-bahak melihat ponselku ternyata ikut kecemplung juga.
“Aduh, kasihan banget ini anak... nggak bisa nelepon mamanya buat curhat...” Derry berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala kasihan. “Tapi tenang aja... Nyokap lo pasti ngerti, kok. Ini kan buat kebaikan lo juga.”
Lalu Derry mendengus cekikikan.
Mataku terasa panas. Tenggorokanku tercekat. Bisa-bisanya ada orang sekejam Derry! Orang tuaku saja nggak pernah memperlakukanku seperti ini! Bahkan Tuhan pun nggak pernah menceburkan aku ke selokan karena aku gay! Aku benci Derry! AKU BENCI! Aku kutuk dia jadi banci dan selama-lamanya nggak ada yang nafsu sama dia!
Sambil terisak-isak, aku menunduk menatap dompet dan ponselku yang basah. Tanganku gemetaran. Bahuku berguncang. Bukan soal ponsel yang basah yang aku yakin pasti sekarang rusak. Tapi penghinaan yang dilakukan mereka padaku, benar-benar keterlaluan. Apa sih salahku sama mereka? Apa sih yang udah aku perbuat ke mereka sampai aku pantas menerima ini? Kenapa mereka masih menyalahkan aku karena aku gay? Sudah kubilang, salahkan saja Tuhan! Karena Tuhan lah yang menciptakan aku begini. Mengapa aku, yang sudah menjadi korban karena diciptakan gay, menjadi korban pelecehan harga diri juga?!
BUUUKKK!!
Tiba-tiba aku mendengar suara hantaman keras. Ketika aku mendongak, aku sudah melihat Zaki sedang menghajar Derry hingga cowok itu tersungkur ke atas aspal. Kedua Mahobia sisanya langsung membantu Derry bangun, dan ketiganya shock melihat Zaki mengepalkan tangan.
“Apa-apaan nih?” sahut Derry sambil terduduk ketakutan.
“Manéh sorangan nanaonan, hah?!” bentak Zaki kasar, dalam bahasa Sunda, yang artinya kurang lebih sama dengan apa yang ditanyakan Derry. “Tong kurang ajar ka budak batur, Njing!”
Yang kalau nggak salah artinya, “Jangan kurang ajar sama anak orang lain, Puppy!”
Napas Derry memburu. Dia melirik sesekali ke arahku, lalu ke arah Zaki, sambil memutar otak mau membalas apa lagi. “Apa urusannya, lu?” tantang Derry.
“Kamu sendiri urusannya apa?!” sentak Zaki.
“Jangan sok ikut campur, lah!” Derry bangkit dan tanpa pikir panjang langsung meninjukan tangannya ke arah Zaki... yang ternyata sudah dapat diantisipasi.
Zaki menghindar sedikit lalu menyikut Derry perut. Derry membalas dengan menghantam punggung Zaki, yang kali ini kena, lalu mencoba menendang perut Zaki dengan lututnya. Yang ternyata kena juga. Tapi Zaki masih bertahan karena dia juga berhasil meninju Derry lagi hingga tersungkur, entah bagaimana caranya. Dua mahobia yang lain mencoba menghajar Zaki juga. Eric malah mengambil batu yang agak besar dan dilemparkannya ke arah Zaki... dan kena bahunya.
Tapi Zaki jadi membabi buta. Dia menendang salah satu Mahobia, lalu menginjaknya saat tersungkur. Dengan dorongan yang kuat diapun berhasil mendorong Eric hingga terjatuh ke dalam selokan seraya menerima tonjokan lain dari Derry. Kali ini Zaki yang tersungkur ke atas aspal, nyaris menindih ponselku yang basah.
Dengan gerakan kilat, Zaki bangkit lagi, menarik kerah baju Derry dan menonjoknya. Mereka lalu baku hantam sekitar dua menit, membuat beberapa orang berhenti untuk menyaksikan, satupun nggak ada yang berani melerai. Ada beberapa motor yang berhenti, takut terlibat dalam perkelahian. Mungkin dipikirnya ini tawuran anak SMA.
BRRRUUUKKK!!
Tanpa terduga, Zaki dengan ganasnya membanting Derry hingga menabrak mobil pick-up Zaki yang entah sejak kapan ada di belakangku. Ada darah mengalir di wajah Derry dan Zaki, dan kelihatannya Derry kelelahan. Aku baru hendak melerai mereka berdua ketika Zaki untuk terakhir kalinya menarik kerah baju Derry, mengangkatnya, meraih linggis dari dalam pick-up-nya, lalu mengacungkannya tinggi-tinggi ke arah Derry. Dalam satu detik saja, linggis itu bisa dihantamkan ke kepala Derry sampai mati.
Derry memejamkan mata ketakutan. Begitu pula aku. Tak sanggup melihat adegan it.....
Tapi lima detik sejak Zaki mengacungkan linggis itu tinggi-tinggi... Aku nggak mendengar suara apapun. Yang kudengar hanyalah suara napas memburu dari Derry dan Zaki, juga pekikan tertahan dari beberapa pejalan kaki maupun pengendara motor yang sedang menonton kami.
Zaki nggak menghantamkan linggis itu di kepala Derry.
Zaki masih hanya... mengancamnya...
“Jangan sok jadi orang!” sentak Zaki, tapi lebih pelan. “Orangtua udah mahal-mahal biayain sekolah di sini, tapi kamu sia-siain pake ngelabrak macam begituan! Kamu nggak ngehargain orangtua kamu sendiri, hah?!”
“Bukan urusan lu!” Derry meludah di wajah Zaki.
Zaki buru-buru mengangkat linggis itu tinggi-tinggi dan mulai mengayunkannya ke arah kepala Derry. Kali ini lebih serius. Karena Zaki mengayunkannya dengan...
... aku nggak mau lihat....
... oh, oke. Ternyata Zaki masih bercanda. Linggis itu mendarat tepat lima senti dari wajah Derry.
“Ngapain kamu nyeburin Agas ke selokan, hah?!” sentak Zaki.
Derry membuka matanya yang ketakutan, lalu lega setelah melihat linggis itu ternyata masih menggantung di sana, bukan di kepalanya. Dia lalu mendengus dan memalingkan wajah ke arahku.
“Gua alergi sama laki-laki homo kayak si Agas! Jadi gua ceburin dia ke got! Kenapa lu? Nggak suka, hah?”
Zaki mendengus geli mendengar alasan
Derry. Dengan otot-ototnya yang kuat, Zaki menyeret Derry ke tepi selokan, lalu
membanting cowok itu ke dalamnya. Derry tercebur. Hanya saja lebih beruntung,
karena dia berhasil berdiri sehingga cuma sepatu dan sebagian celananya saja
yang basah.
“Ya! Saya nggak suka!” sahut Zaki sambil manggut-manggut marah. “Bukan urusan kamu laki-laki itu homo atau nggak! Emang dia udah ngelakuin apa ke kamu, hah?!”
Mereka berdua terdiam. Derry dan Zaki saling bertatapan, dengan pandangan bengis. Satu motor akhirnya lewat dan memutuskan untuk nggak menonton drama ini. Sementara sisanya masih asyik melihat kelanjutan Kisah Heboh Di Sore Hari.
“Sekali lagi saya denger kamu ngapa-ngapain si Agas,” lanjut Zaki, dengan nada marah dan mengancam yang paling menakutkan, “linggis ini nggak cuma melayang kayak barusan, tapi bakal saya tanemin di otak kamu, biar kamu MIKIR!”
“Siapa lo?!” Derry masih saja menantang. Memangnya dia nggak bisa menyerah, apa?
“Siapa saya?” tanya Zaki balik, sambil mendengus ingin tertawa. “Saya PACARNYA Agas! Puas, hah?! Lain kali saya lihat kamu, saya bakal sodomi kamu! Terus saya MUTILASI! Terus saya goreng dan saya jadiin kamu tutut!”
Derry tersentak kaget. Dia nggak bisa berkata apa-apa.
Sementara itu Zaki menoleh ke satu anak Mahobia, yang aku belum tahu namanya (saking banyaknya anak Mahobia), yang masih berdiri di atas aspal, sambil menunjuk dengan linggisnya. “Heh, kamu! Masuk!” Linggis itu pun dikedikkannya ke selokan.
Anak itu menurut dan dengan sukarela langsung masuk ke dalam selokan. Jongkok ketakutan di sana.
Kini semua anak Mahobia itu sudah sama-sama basah sepertiku. Bau air comberan dan air bekas tik—oh, Astaga, jangan diingat-ingat lagi, aku jadi pengen muntah lagi. Begitu pulang ke rumah aku bakal mandi susu!
Bukan. Aku bakal mandi minyak wangi. Akan kutumpah minyak wangiku ke dalam bathub, ditambah dettol dan alkohol, dan aku akan berendam di dalamnya selama dua jam.
Bukan. Dua hari.
Drama itu berakhir. Beberapa orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka meski sebagian masih saja ada yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Zaki membantuku berdiri dan membawakan ranselku yang juga basah. Aku pun berdiri, memungut semua ponsel dan dompetku, lalu...
DEG.
... oh, tidak.
Sialan.
Sial sial sial.
Salah satu dari motor yang berhenti itu adalah motornya Cazzo. Dia dengan motor besarnya yang sudah dibetulkan sejak dulu, berhenti beberapa meter dariku, membuka kaca helm full-face-nya, menatap padaku dengan pandangan nggak percaya, dan mungkin saja melihat semua drama itu termasuk kata-kata Zaki bahwa aku adalah pacarnya Zaki...
... yang berarti artinya...
... oh, tidak...
... aku mulas memikirkannya.
“Bos, nggak apa-apa, Bos?” bisik Zaki, menarik tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. Yang kalau dipikir-pikir jadi mirip seorang kekasih yang sedang membantu kekasihnya berjalan menuju mobil. Sialan.
Cazzo pun menutup lagi kaca helm-nya. Menarik gas motor. Melewatiku. Dan lenyap di jalan raya tanpa sedikit pun menoleh.
-XxX-
Sudah lima hari sejak sore yang menghebohkan itu. Aku melewati hari-hari sekolahku dengan lebih tenang, nggak ada ancaman secara fisik yang dilakukan Mahobia. Kecuali delikan-delikan benci itu. Dan sindiran-sindiran sarkatis yang diteriakkan Derry dari jauh. Dan kejadian mading itu...
Oke, mungkin sebetulnya masih sama parah. Derry memaksa salah satu anak mading untuk membuat berita tentang aku dan Zaki. Berita itu dipajang di mading, tepat sehari setelah kejadian itu, lalu seisi CIS menjadi heboh. Aku sekarang mirip Kurt Hummel di McKinley High, semua orang tahu aku gay. Bahkan mungkin dalam radius lima ratus meter dari CIS juga tahu aku gay. Dan parahnya, mereka menganggap Zaki adalah pacarku.
Kini makin banyak anak cowok yang bikin distance denganku, rata-rata mereka memilih untuk memutar jalan daripada harus berpapasan denganku di koridor. Yang cewek malah makin banyak yang pedekate denganku. Mereka percaya aku bisa jadi fashion advisor... or their fag hag... or something, tapi yang jelas aku tolak mereka semua.
Beberapa guru mulai gerah dengan isu tersebut. Katanya aku terlalu banyak tingkah. Aku dipanggil beberapa kali ke ruang BP, diberikan banyak brosur gimana caranya jadi straight, diberikan alamat perkumpulan Healed Gay Bandung (yang sudah dapat kuduga isinya bullshit), diwajibkan ikut ekstrakurikuler sepakbola biar aku jadi straight (which is questionable, karena aku pikir olahraga nggak menyangkut sama sekali dengan orientasi seksual), dan guru matematikaku kapan itu menyebut-nyebut soal kamp militer.
Aku membela diri karena jelas banget bukan aku yang membuat isu itu menjadi heboh. Kalau memang aku yang memasang berita itu di mading, berarti aku masalahnya. Tapi ini kan orang lain. Dan aku bahkan nggak meminta siapapun untuk mempublikasikan kehidupan pribadiku. Jadi mestinya guru-guru itu jangan menyalahkanku. Dan hari Jumat kemarin aku bahkan membentak Guru Agamaku, bahwa kalau mau menyalahkan kondisi ini, salahkan saja Tuhan, jangan aku, yang ujung-ujungnya berakibat aku diskors dari mata pelajaran Agama selama dua kali pertemuan sampai aku berpikir bahwa gay adalah murni kesalahanku, bukan Tuhan.
Dan jangan tanya soal DIGEOLS dan DIGOYANGS. Mereka mengirimku banyak sekali Private Message di Facebook dan Twitter, memberikan dukungan moral (secara sembunyi-sembunyi), dan bahkan mereka mengaku memberikan standing ovation karena aku berani membuka diri.
Isu ini tentu dilahap nikmat oleh Esel, yang langsung membawa copy-an artikel mading itu ke Jeng Nunuk, yang langsung disampaikan Jeng Nunuk ke Granny. Well, Granny langsung mendamprat Jeng Nunuk saat itu juga, karena aku sudah menjelaskan kejadian sebenarnya ke Granny di hari aku diceburkan ke selokan (bahwa Zaki membelaku yang sedang dibully, dan Zaki terpaksa membual soal menjadi pacarku biar tukang bully itu takut pada kami, dan Granny mengerti, dan sepanjang malam itu Granny memutar lagu Senyum Semangat-nya Sm*sh dari VCD, bermaksud menyemangatiku biar nggak depresi).
Dan, ya. Perang mereka makin panas sekarang.
“Gimana jambul Nenek?” Granny mematut-matut dirinya di depan cermin. “Mungkin bentar lagi Nenek bakal jadi trendsetter. Mungkin anak-anak muda bakal nyontek gaya Nenek.”
Sampai sejuta tahun pun nggak akan pernah, batinku.
“Bisa tolong kamu ambilkan bros emas di situ, Sayank? Di dalem laci paling atas.”
Jambul Granny memang dinamakan Jambul Jembatan Layang Pasupati. Tapi buatku sama sekali nggak mirip Jembatan Pasupati. Oke, sih, memang usaha yang dilakukan Granny patut diacungi jempol. Dia memanggil salah satu expert di salon depan komplek, memintanya membangun jambul yang sudah didesain Granny sbelumnya. Jambul itu melintang dari kanan ke kiri. Di bagian tengahnya ada satu sumpit tebal berwarna merah, yang berdiri vertikal ke atas, yang kemudian ditopang dengan beberapa jumput rambut ke sepanjang rambut yang melintang, sehingga nyaris mirip tugu tinggi di pertengahan Jembatan Layang Pasupati.
Dan setelah melihat penampilan Granny keseluruhan... Granny kelihatan kayak mau pergi ke pesta Haloween.
“Ya! Saya nggak suka!” sahut Zaki sambil manggut-manggut marah. “Bukan urusan kamu laki-laki itu homo atau nggak! Emang dia udah ngelakuin apa ke kamu, hah?!”
Mereka berdua terdiam. Derry dan Zaki saling bertatapan, dengan pandangan bengis. Satu motor akhirnya lewat dan memutuskan untuk nggak menonton drama ini. Sementara sisanya masih asyik melihat kelanjutan Kisah Heboh Di Sore Hari.
“Sekali lagi saya denger kamu ngapa-ngapain si Agas,” lanjut Zaki, dengan nada marah dan mengancam yang paling menakutkan, “linggis ini nggak cuma melayang kayak barusan, tapi bakal saya tanemin di otak kamu, biar kamu MIKIR!”
“Siapa lo?!” Derry masih saja menantang. Memangnya dia nggak bisa menyerah, apa?
“Siapa saya?” tanya Zaki balik, sambil mendengus ingin tertawa. “Saya PACARNYA Agas! Puas, hah?! Lain kali saya lihat kamu, saya bakal sodomi kamu! Terus saya MUTILASI! Terus saya goreng dan saya jadiin kamu tutut!”
Derry tersentak kaget. Dia nggak bisa berkata apa-apa.
Sementara itu Zaki menoleh ke satu anak Mahobia, yang aku belum tahu namanya (saking banyaknya anak Mahobia), yang masih berdiri di atas aspal, sambil menunjuk dengan linggisnya. “Heh, kamu! Masuk!” Linggis itu pun dikedikkannya ke selokan.
Anak itu menurut dan dengan sukarela langsung masuk ke dalam selokan. Jongkok ketakutan di sana.
Kini semua anak Mahobia itu sudah sama-sama basah sepertiku. Bau air comberan dan air bekas tik—oh, Astaga, jangan diingat-ingat lagi, aku jadi pengen muntah lagi. Begitu pulang ke rumah aku bakal mandi susu!
Bukan. Aku bakal mandi minyak wangi. Akan kutumpah minyak wangiku ke dalam bathub, ditambah dettol dan alkohol, dan aku akan berendam di dalamnya selama dua jam.
Bukan. Dua hari.
Drama itu berakhir. Beberapa orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka meski sebagian masih saja ada yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Zaki membantuku berdiri dan membawakan ranselku yang juga basah. Aku pun berdiri, memungut semua ponsel dan dompetku, lalu...
DEG.
... oh, tidak.
Sialan.
Sial sial sial.
Salah satu dari motor yang berhenti itu adalah motornya Cazzo. Dia dengan motor besarnya yang sudah dibetulkan sejak dulu, berhenti beberapa meter dariku, membuka kaca helm full-face-nya, menatap padaku dengan pandangan nggak percaya, dan mungkin saja melihat semua drama itu termasuk kata-kata Zaki bahwa aku adalah pacarnya Zaki...
... yang berarti artinya...
... oh, tidak...
... aku mulas memikirkannya.
“Bos, nggak apa-apa, Bos?” bisik Zaki, menarik tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. Yang kalau dipikir-pikir jadi mirip seorang kekasih yang sedang membantu kekasihnya berjalan menuju mobil. Sialan.
Cazzo pun menutup lagi kaca helm-nya. Menarik gas motor. Melewatiku. Dan lenyap di jalan raya tanpa sedikit pun menoleh.
-XxX-
Sudah lima hari sejak sore yang menghebohkan itu. Aku melewati hari-hari sekolahku dengan lebih tenang, nggak ada ancaman secara fisik yang dilakukan Mahobia. Kecuali delikan-delikan benci itu. Dan sindiran-sindiran sarkatis yang diteriakkan Derry dari jauh. Dan kejadian mading itu...
Oke, mungkin sebetulnya masih sama parah. Derry memaksa salah satu anak mading untuk membuat berita tentang aku dan Zaki. Berita itu dipajang di mading, tepat sehari setelah kejadian itu, lalu seisi CIS menjadi heboh. Aku sekarang mirip Kurt Hummel di McKinley High, semua orang tahu aku gay. Bahkan mungkin dalam radius lima ratus meter dari CIS juga tahu aku gay. Dan parahnya, mereka menganggap Zaki adalah pacarku.
Kini makin banyak anak cowok yang bikin distance denganku, rata-rata mereka memilih untuk memutar jalan daripada harus berpapasan denganku di koridor. Yang cewek malah makin banyak yang pedekate denganku. Mereka percaya aku bisa jadi fashion advisor... or their fag hag... or something, tapi yang jelas aku tolak mereka semua.
Beberapa guru mulai gerah dengan isu tersebut. Katanya aku terlalu banyak tingkah. Aku dipanggil beberapa kali ke ruang BP, diberikan banyak brosur gimana caranya jadi straight, diberikan alamat perkumpulan Healed Gay Bandung (yang sudah dapat kuduga isinya bullshit), diwajibkan ikut ekstrakurikuler sepakbola biar aku jadi straight (which is questionable, karena aku pikir olahraga nggak menyangkut sama sekali dengan orientasi seksual), dan guru matematikaku kapan itu menyebut-nyebut soal kamp militer.
Aku membela diri karena jelas banget bukan aku yang membuat isu itu menjadi heboh. Kalau memang aku yang memasang berita itu di mading, berarti aku masalahnya. Tapi ini kan orang lain. Dan aku bahkan nggak meminta siapapun untuk mempublikasikan kehidupan pribadiku. Jadi mestinya guru-guru itu jangan menyalahkanku. Dan hari Jumat kemarin aku bahkan membentak Guru Agamaku, bahwa kalau mau menyalahkan kondisi ini, salahkan saja Tuhan, jangan aku, yang ujung-ujungnya berakibat aku diskors dari mata pelajaran Agama selama dua kali pertemuan sampai aku berpikir bahwa gay adalah murni kesalahanku, bukan Tuhan.
Dan jangan tanya soal DIGEOLS dan DIGOYANGS. Mereka mengirimku banyak sekali Private Message di Facebook dan Twitter, memberikan dukungan moral (secara sembunyi-sembunyi), dan bahkan mereka mengaku memberikan standing ovation karena aku berani membuka diri.
Isu ini tentu dilahap nikmat oleh Esel, yang langsung membawa copy-an artikel mading itu ke Jeng Nunuk, yang langsung disampaikan Jeng Nunuk ke Granny. Well, Granny langsung mendamprat Jeng Nunuk saat itu juga, karena aku sudah menjelaskan kejadian sebenarnya ke Granny di hari aku diceburkan ke selokan (bahwa Zaki membelaku yang sedang dibully, dan Zaki terpaksa membual soal menjadi pacarku biar tukang bully itu takut pada kami, dan Granny mengerti, dan sepanjang malam itu Granny memutar lagu Senyum Semangat-nya Sm*sh dari VCD, bermaksud menyemangatiku biar nggak depresi).
Dan, ya. Perang mereka makin panas sekarang.
“Gimana jambul Nenek?” Granny mematut-matut dirinya di depan cermin. “Mungkin bentar lagi Nenek bakal jadi trendsetter. Mungkin anak-anak muda bakal nyontek gaya Nenek.”
Sampai sejuta tahun pun nggak akan pernah, batinku.
“Bisa tolong kamu ambilkan bros emas di situ, Sayank? Di dalem laci paling atas.”
Jambul Granny memang dinamakan Jambul Jembatan Layang Pasupati. Tapi buatku sama sekali nggak mirip Jembatan Pasupati. Oke, sih, memang usaha yang dilakukan Granny patut diacungi jempol. Dia memanggil salah satu expert di salon depan komplek, memintanya membangun jambul yang sudah didesain Granny sbelumnya. Jambul itu melintang dari kanan ke kiri. Di bagian tengahnya ada satu sumpit tebal berwarna merah, yang berdiri vertikal ke atas, yang kemudian ditopang dengan beberapa jumput rambut ke sepanjang rambut yang melintang, sehingga nyaris mirip tugu tinggi di pertengahan Jembatan Layang Pasupati.
Dan setelah melihat penampilan Granny keseluruhan... Granny kelihatan kayak mau pergi ke pesta Haloween.
Part 58
By
Mario
Ketika aku mengambil bros Granny,
aku menemukan G-string merah itu masih di sana, beserta kunci kamar
terlarang tergeletak rapi di dalamnya. Selintas benakku teringat kejadian Pak
Darmo beberapa minggu lalu. Dan aku jadi teringat Pak Darmo yang bersembunyi di
rumah Bang Dicky, mungkin mencari Bang Dicky di situ padahal Bang Dicky ada di
Cimahi. Lalu kemudian aku juga teringat dua hantu anak kecil yang setiap malam—note
this: SETIAP malam—selalu muncul dan melakukan hal yang sama.
Saking seringnya, aku sudah hafal apa saja yang mereka lakukan. Malam kemarin malah aku menunggu di kolong kasurku, mengintip mereka sedang berbaring berdua di bawah, membicarakan tentang “bersembunyi”, sampai akhirnya mereka berlari keluar dari kamarku dalam empat detik, dan voila! Mereka sama sekali lenyap, nggak muncul di ruang tengah atau ruang manapun.
Dan Bello nggak tau sama sekali soal dua hantu itu. “Aku nggak tau siapa mereka. Tapi mereka selalu ada setiap tahun,” ujarnya semalam. “Dan biasanya di workshop belakang juga suka ada. Dan di dapur juga kadang-kadang.”
“Dan mereka melakukan hal yang sama berulang-ulang?”
Bello mengangguk. “Ya! Dan memang biasanya di sekitar bulan-bulan ini mereka muncul. Tapi aku selalu sebel sama mereka. Itu artinya pertunjukan kuntilanakku jadi ada saingan, kan?”
“Mana, Gas?” Granny membuyarkan lamunanku.
Aku langsung menutup laci dan bergegas memberikan bros itu pada Granny.
“Granny berangkat jam berapa?” tanyaku.
“Bentar lagi, Darling. Nunggu si Zaki datang. Dia ngisiin bensin dulu di mobil Nenek. Deket kok, yang pom bensin Setiabudhi deket Borma itu, lho.”
Lima belas menit kemudian, Zaki datang dan Granny akhirnya pergi. Aku ditinggal sendiri di rumah, menikmati hari Sabtuku dengan menonton Ethnic Runaway dan memutuskan untuk ngefans Rio Dewanto, yang saat ini hanya memakai sarung saja di acara itu. Oooh, I like his tattoo.
Tapi jujur saja, pikiranku hanya bertahan lima menit menatap Rio Dewanto topless di acara itu (selain kadang-kadang Lia Waode kebetulan mendapat giliran tampil). Otakku entah kenapa teringat kunci kamar terlarang yang tergeletak di dalam laci Granny. Awalnya hanya selintas saja teringat, mungkin karena aku tadi nggak sengaja melihatnya. Tapi lama-lama aku jadi terobsesi. Pikiranku melantur kemana-mana membayangkan aku mencuri kunci itu lagi dan masuk ke dalam kamar terlarang.
Maksudku, Pak Darmo ada di rumah Bang Dicky, kan? Sama si Kitty malah. Berarti kamar terlarang itu aman, kan?
Apakah aku boleh masuk sekarang?
Memikirkannya saja aku sudah deg-degan. Mungkin aku kerasukan si Kitty atau apa gitu sampai-sampai punya pikiran untuk masuk lagi ke kamar terlarang. Tapi aku jadi teringat dua anak kecil yang selalu muncul setiap malam di kamarku, yang terus menerus mengulangi hal yang sama. Bagaimana kalau anak kecil itu sebetulnya muncul di kamar terlarang? Maksudku, aku nggak pernah melihat kemana kedua bocah itu pergi setelah lenyap dari kamar tidurku. Bisa jadi kan mereka tiba-tiba muncul di kamar terlarang. Mungkin saja pintu kamar tidurku adalah portkey. Seperti dalam Harry Potter.
Tanpa kusadari, aku sudah masuk ke kamar Granny dan berdiri di depan laci meja tidur. Jantungku berdegup kencang, tapi rasa penasaranku makin lama makin kuat.
POP!!
“Kamu ngapain?” sahut Bello, yang tiba-tiba muncul dan melayang di atas ranjang Granny.
“Aku nggak ngapa-ngapain!” balasku.
“Tapi kamu berdiri di depan laci!”
“Emang kenapa kalo berdiri di depan laci?”
Bello menyipitkan mata, menatapku curiga. “Kamu mau masuk kamar terlarang lagi, ya?”
“Nggak, kok!” sergahku defensif. “Aku mau lihat G-string-nya Granny!”
“Tapi di situ ada kunci kamar terlarang!”
“Aku nggak tahu di sini ada kunci kamar terlarang,” dustaku. “Dan sekarang aku jadi tahu. Oh, mungkin sekalian aku masuk kamar terlarang.”
“Nggak boleh!” pekik Bello.
“Kenapa nggak boleh?”
“Karena...” Bello memutar otak. “Karena nggak boleh.”
“Bukan alasan bagus. Aku bakal tetep masuk!”
Aku membuka laci dan mengambil kunci kamar terlarang. Lalu secepat kilat aku bergegas ke bagian belakang rumah, dibuntuti Bello yang melayang dengan cepat.
“Jangan masuk! Nanti aku bilangin Nanny, lho!”
“Well, nanti aku bilang Granny kalo kamu selama ini selalu nampakin diri kamu di depan aku. Mestinya kan aku nggak tahu soal kamu.”
“For God’s sake, itu nggak adil!”
Aku sudah tiba di depan kamar terlarang. Entah kenapa kalau sedang dipacu adrenalin begini, semua-muanya terasa lebih cepat. Tanganku gemetaran, tapi kunci itu sudah ada dalam genggamanku. Tinggal satu langkah lagi. Tinggal menunggu cukup keberanian dalam diriku untuk memasukkan kunci ke dalam lubangnya, lalu terbukalah pintu kamar terlarang itu.
“Kalau aku sih nggak bakal mau masuk ke situ,” ujar Bello, persis sama seperti berminggu-minggu lalu, waktu aku mau masuk kamar terlarang, waktu Bello belum menampakkan diri seperti sekarang.
“Kenapa nggak bakal masuk?”
“Karena di dalamnya banyak energi negatif.” Bello mengangkat dagu dengan sombong. “Makanya, sering-sering nonton Dunia Lain.”
“Kan energi negatifnya udah keluar. Energi negatifnya ada di rumah Bang Dicky!”
Bello kebingungan. Buru-buru aku menjelaskan, “Energi negatifnya kan Pak Darmo.”
“Tapi masih ada energi negatif lain.”
“Masih ada hantu lain?”
“Ngng...” Dengan gugup Bello memainkan jemarinya. “Nggak juga sih. Tapi pokoknya energi negatif, deh.”
Aku memutar bola mata dan tanpa pikir panjang, cekrek! membuka pintu kamar terlarang. Sudah tanggung berdebar-debar. Membatalkan niat ini bakal sia-sia saja. Mumpung nggak ada orang di rumah, mumpung Pak Darmo nggak ada di sini, mumpung Bello bersamaku—I mean, kalo terjadi apa-apa, Bello bisa melayang keluar dan mencari bantuan, kan?
Kamar terlarang itu masih sama seperti terakhir kali aku memasukinya. Ada satu dinding penuh foto-foto, dan aku bergidik ngeri melihat banyak sekali foto Pak Darmo di situ. Dan ibunya Bang Dicky juga! Wanita yang kutemui di Cimahi kemarin itu. Hanya saja di foto-foto ini wanita itu tampak lebih waras.
“Udah masuk, kan? Ayo keluar!” panggil Bello dari luar. Dia melongokkan kepalanya ke dalam, tapi nggak berani masuk. Matanya sibuk jelalatan ke segala penjuru ruangan, seolah sedang waspada akan sesuatu.
“Aku belum selesai,” sahutku. Aku berjalan menuju pintu kecil di pojok ruangan, yang dulu sempat kumasuki, tapi kemudian aku keburu kabur. Pintu itu tertutup rapat. Tapi begitu aku mencoba memutar kenopnya, pintu itu langsung terbuka.
Sungguh deh, kalo ini memang area “terlarang”, kenapa pengamanannya minim sekali? Siapapun bisa masuk dengan cantiknya ke area terlarang ini.
“Jangan masuk!” kecam Bello. Dia masih saja berdiri di depan pintu.
Aku mendengus. “You know what, makin kamu larang, aku makin pengen masuk!”
Dan tanpa pikir panjang, aku pun masuk ke dalam ruangan gelap itu.
Aku meraba-raba dinding di dekat pintu, mencari tombol lampu. Butuh sekitar dua menit sampai akhirnya sebuah lampu pijar keemasan menerangi ruangan kecil itu. Detik pertama begitu lampu menyala, sekujur tubuhku langsung dijalari rasa takut. Aku terkejut melihat di pojok ruangan terletak sebuah coffin besar berwarna coklat.
Peti mati yang kulihat tempo hari, batinku. Dan kelihatan seperti dirawat.
Saking seringnya, aku sudah hafal apa saja yang mereka lakukan. Malam kemarin malah aku menunggu di kolong kasurku, mengintip mereka sedang berbaring berdua di bawah, membicarakan tentang “bersembunyi”, sampai akhirnya mereka berlari keluar dari kamarku dalam empat detik, dan voila! Mereka sama sekali lenyap, nggak muncul di ruang tengah atau ruang manapun.
Dan Bello nggak tau sama sekali soal dua hantu itu. “Aku nggak tau siapa mereka. Tapi mereka selalu ada setiap tahun,” ujarnya semalam. “Dan biasanya di workshop belakang juga suka ada. Dan di dapur juga kadang-kadang.”
“Dan mereka melakukan hal yang sama berulang-ulang?”
Bello mengangguk. “Ya! Dan memang biasanya di sekitar bulan-bulan ini mereka muncul. Tapi aku selalu sebel sama mereka. Itu artinya pertunjukan kuntilanakku jadi ada saingan, kan?”
“Mana, Gas?” Granny membuyarkan lamunanku.
Aku langsung menutup laci dan bergegas memberikan bros itu pada Granny.
“Granny berangkat jam berapa?” tanyaku.
“Bentar lagi, Darling. Nunggu si Zaki datang. Dia ngisiin bensin dulu di mobil Nenek. Deket kok, yang pom bensin Setiabudhi deket Borma itu, lho.”
Lima belas menit kemudian, Zaki datang dan Granny akhirnya pergi. Aku ditinggal sendiri di rumah, menikmati hari Sabtuku dengan menonton Ethnic Runaway dan memutuskan untuk ngefans Rio Dewanto, yang saat ini hanya memakai sarung saja di acara itu. Oooh, I like his tattoo.
Tapi jujur saja, pikiranku hanya bertahan lima menit menatap Rio Dewanto topless di acara itu (selain kadang-kadang Lia Waode kebetulan mendapat giliran tampil). Otakku entah kenapa teringat kunci kamar terlarang yang tergeletak di dalam laci Granny. Awalnya hanya selintas saja teringat, mungkin karena aku tadi nggak sengaja melihatnya. Tapi lama-lama aku jadi terobsesi. Pikiranku melantur kemana-mana membayangkan aku mencuri kunci itu lagi dan masuk ke dalam kamar terlarang.
Maksudku, Pak Darmo ada di rumah Bang Dicky, kan? Sama si Kitty malah. Berarti kamar terlarang itu aman, kan?
Apakah aku boleh masuk sekarang?
Memikirkannya saja aku sudah deg-degan. Mungkin aku kerasukan si Kitty atau apa gitu sampai-sampai punya pikiran untuk masuk lagi ke kamar terlarang. Tapi aku jadi teringat dua anak kecil yang selalu muncul setiap malam di kamarku, yang terus menerus mengulangi hal yang sama. Bagaimana kalau anak kecil itu sebetulnya muncul di kamar terlarang? Maksudku, aku nggak pernah melihat kemana kedua bocah itu pergi setelah lenyap dari kamar tidurku. Bisa jadi kan mereka tiba-tiba muncul di kamar terlarang. Mungkin saja pintu kamar tidurku adalah portkey. Seperti dalam Harry Potter.
Tanpa kusadari, aku sudah masuk ke kamar Granny dan berdiri di depan laci meja tidur. Jantungku berdegup kencang, tapi rasa penasaranku makin lama makin kuat.
POP!!
“Kamu ngapain?” sahut Bello, yang tiba-tiba muncul dan melayang di atas ranjang Granny.
“Aku nggak ngapa-ngapain!” balasku.
“Tapi kamu berdiri di depan laci!”
“Emang kenapa kalo berdiri di depan laci?”
Bello menyipitkan mata, menatapku curiga. “Kamu mau masuk kamar terlarang lagi, ya?”
“Nggak, kok!” sergahku defensif. “Aku mau lihat G-string-nya Granny!”
“Tapi di situ ada kunci kamar terlarang!”
“Aku nggak tahu di sini ada kunci kamar terlarang,” dustaku. “Dan sekarang aku jadi tahu. Oh, mungkin sekalian aku masuk kamar terlarang.”
“Nggak boleh!” pekik Bello.
“Kenapa nggak boleh?”
“Karena...” Bello memutar otak. “Karena nggak boleh.”
“Bukan alasan bagus. Aku bakal tetep masuk!”
Aku membuka laci dan mengambil kunci kamar terlarang. Lalu secepat kilat aku bergegas ke bagian belakang rumah, dibuntuti Bello yang melayang dengan cepat.
“Jangan masuk! Nanti aku bilangin Nanny, lho!”
“Well, nanti aku bilang Granny kalo kamu selama ini selalu nampakin diri kamu di depan aku. Mestinya kan aku nggak tahu soal kamu.”
“For God’s sake, itu nggak adil!”
Aku sudah tiba di depan kamar terlarang. Entah kenapa kalau sedang dipacu adrenalin begini, semua-muanya terasa lebih cepat. Tanganku gemetaran, tapi kunci itu sudah ada dalam genggamanku. Tinggal satu langkah lagi. Tinggal menunggu cukup keberanian dalam diriku untuk memasukkan kunci ke dalam lubangnya, lalu terbukalah pintu kamar terlarang itu.
“Kalau aku sih nggak bakal mau masuk ke situ,” ujar Bello, persis sama seperti berminggu-minggu lalu, waktu aku mau masuk kamar terlarang, waktu Bello belum menampakkan diri seperti sekarang.
“Kenapa nggak bakal masuk?”
“Karena di dalamnya banyak energi negatif.” Bello mengangkat dagu dengan sombong. “Makanya, sering-sering nonton Dunia Lain.”
“Kan energi negatifnya udah keluar. Energi negatifnya ada di rumah Bang Dicky!”
Bello kebingungan. Buru-buru aku menjelaskan, “Energi negatifnya kan Pak Darmo.”
“Tapi masih ada energi negatif lain.”
“Masih ada hantu lain?”
“Ngng...” Dengan gugup Bello memainkan jemarinya. “Nggak juga sih. Tapi pokoknya energi negatif, deh.”
Aku memutar bola mata dan tanpa pikir panjang, cekrek! membuka pintu kamar terlarang. Sudah tanggung berdebar-debar. Membatalkan niat ini bakal sia-sia saja. Mumpung nggak ada orang di rumah, mumpung Pak Darmo nggak ada di sini, mumpung Bello bersamaku—I mean, kalo terjadi apa-apa, Bello bisa melayang keluar dan mencari bantuan, kan?
Kamar terlarang itu masih sama seperti terakhir kali aku memasukinya. Ada satu dinding penuh foto-foto, dan aku bergidik ngeri melihat banyak sekali foto Pak Darmo di situ. Dan ibunya Bang Dicky juga! Wanita yang kutemui di Cimahi kemarin itu. Hanya saja di foto-foto ini wanita itu tampak lebih waras.
“Udah masuk, kan? Ayo keluar!” panggil Bello dari luar. Dia melongokkan kepalanya ke dalam, tapi nggak berani masuk. Matanya sibuk jelalatan ke segala penjuru ruangan, seolah sedang waspada akan sesuatu.
“Aku belum selesai,” sahutku. Aku berjalan menuju pintu kecil di pojok ruangan, yang dulu sempat kumasuki, tapi kemudian aku keburu kabur. Pintu itu tertutup rapat. Tapi begitu aku mencoba memutar kenopnya, pintu itu langsung terbuka.
Sungguh deh, kalo ini memang area “terlarang”, kenapa pengamanannya minim sekali? Siapapun bisa masuk dengan cantiknya ke area terlarang ini.
“Jangan masuk!” kecam Bello. Dia masih saja berdiri di depan pintu.
Aku mendengus. “You know what, makin kamu larang, aku makin pengen masuk!”
Dan tanpa pikir panjang, aku pun masuk ke dalam ruangan gelap itu.
Aku meraba-raba dinding di dekat pintu, mencari tombol lampu. Butuh sekitar dua menit sampai akhirnya sebuah lampu pijar keemasan menerangi ruangan kecil itu. Detik pertama begitu lampu menyala, sekujur tubuhku langsung dijalari rasa takut. Aku terkejut melihat di pojok ruangan terletak sebuah coffin besar berwarna coklat.
Peti mati yang kulihat tempo hari, batinku. Dan kelihatan seperti dirawat.
Ruangan ini, jujur saja, makin lama makin menyeramkan.
Bayangkan ini: nggak ada jendela sedikitpun, ada lubang ventilasi kecil di
dinding sebelah sana, tapi ruangan ini tetap terasa lembap, seperti berada
dalam gua penuh lumut. Ada peti mati besar menempel di dinding, dan di
seberangnya diletakkan kursi goyang tua yang sudah dihiasi jaring laba-laba. Great. Sekarang aku benar-benar ada
di film horror! Di sudut lain ruangan kecil itu ada beberapa meja kecil, dan
rangka ranjang besi tanpa kasur, seperti ranjang rumah sakit, tapi minus kasur.
Di dindingnya pun terletak beberapa foto berpigura cantik, yang untuk kali ini
tidak kukenal siapa modelnya.
Aku mengelilingi ruangan itu dengan jantung berdebar kencang. Rasa takutku seimbang dengan rasa penasaranku. Sebagian otakku memerintahkan untuk berlari, sementara sebagian lagi berteriak, “Tunggu sebentar lagi! Mungkin kamu bisa menemukan petunjuk!” Aku meraba ranjang itu, dingin. Menatap meja-meja kecil di sekitarnya, dan akhirnya penasaran dengan apa yang ada di dalam peti mati itu.
Di sana nggak ada mayat, kan?
I mean, nggak mungkin ada mayat dibiarkan membusuk di sana tanpa ada bau bangkai sedikit pun di seantero rumah. Mungkin itu peti mati yang disiapkan Granny atau apa gitu, mungkin peti mati itu disimpan di sini karena tempat ini dianggap gudang.
“Udah, biar aku yang gantiin.”
Tiba-tiba kudengar suara anak kecil masuk dari pintu. Aku berbalik dan jantungku mencelos. Tubuhku langsung bergidik ngeri sampai-sampai aku mematung ketakutan. Kedua hantu anak kecil yang sering muncul di kamarku kini ada di depan pintu. Anak kecil yang memakai baju lengkap dan yang hanya bercelana pendek saja.
Mereka tampak ketakutan. Si anak tukang nangis masih tetap terisak-isak, menyusut hidung dengan kaus Power Ranger-nya dan dengan panik menoleh ke belakang berkali-kali. Sementara si anak topless menarik tangan anak berkaus ke arah kursi goy—
Tunggu!
Interior ruangan ini sudah berubah!
Aku memekik tertahan ketika menyadari aku sudah berada di dunia lain! Ya! Ini bukan tempat yang kukunjungi sepuluh detik lalu! Ini tempat lain!
Luas ruangannya masih sama, hanya saja ada dua jendela di ujung sebelah sana. Jendela itu begitu terang sampai-sampai aku nggak bisa melihat ke luarnya. Lalu peti mati tadi sudah lenyap, digantikan ranjang besi yang dipasangi kasur dan ada seprai Pokemon membalutnya. Kursi goyang tadi posisinya masih sama, hanya saja tanpa jaring laba-laba. Lalu di sudut ruangan berdiri lemari kayu jati yang kokoh, dengan cermin besar di pintunya, dan aku....
... aku nggak bisa melihat bayanganku di cermin lemari itu!
“Gimana tadi si Bapak bilang?” tanya si topless.
“Ya kayak biasa, disuruh ke belakang aja.” Anak yang berkaus mengusap-usap pipinya, menghapus bekas airmata. “Aku takut.”
“Kamu tenang aja,” topless memeluk anak berkaus dengan erat, “kalo si Bapak masuk ke sini, aku yang gantiin kamu.”
Anak berkaus menggeleng. “Jangan! Kamu nggak tau rasanya kayak gimana!”
“Nggak apa-apa,” tukas si topless. “Dulu aku sering disiksa sama tetangga aku kalo aku nakal ama ayam-ayam mereka. Aku bisa lah, ngadepinnya. Aku juga suka diajarin pencak silat sama pak Kiyai, kalo-kalo ada yang nggak beres entar.”
Si anak berkaus masih menggeleng-geleng tak rela.
Aku mengepalkan tanganku, ketakutan dan kebingungan. Kedua anak kecil itu berada hanya satu setengah meter dariku. Keduanya sedang bersembunyi di balik kursi goyang dan keduanya gemetaran. Mereka tampak lebih hidup sekarang, nggak pucat seperti biasanya.
Ketika aku baru hendak menyapa mereka, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan ini.
DEG!
Sial.
Itu Pak Darmo!
“Ooh, jadi kalian suka sembunyi di sini, ya?” katanya.
Jantungku rasanya sudah copot. Aku mengucurkan keringat dingin di sekujur tubuhku dan berjalan mundur perlahan-lahan. Pak Darmo tampak lebih menyeramkan dibandingkan sebelumnya. Matanya berkilat-kilat dan dia tampak bengis. Bukan seperti Pak Darmo yang dengan nelangsanya mencari-cari Dennis.
“Tolong jangan ganggu dia, om!” Si anak topless dengan heroik maju ke tengah ruangan, menantang Pak Darmo. “Kalo mau, aku aja yang gantiin dia.”
Anak itu sebenarnya gemetaran ketakutan. Tapi dia rela menggantikan posisi anak berkaus... meski aku kurang yakin posisi apa yang sedang diperbincangkan di sini.
“Jadi kamu mau juga, hah?” sergah Pak Darmo.
“Boleh! Tapi lepasin dulu dia!” Si anak topless menunjuk ke anak berkaus.
Pak Darmo menatap kedua bocah itu satu persatu. Kemudian menyeringai puas. “Kenapa harus lepasin dia?” katanya. “Kalo saya bisa pake kalian berdua.”
Tiba-tiba saja Pak Darmo menerkam si anak topless, yang kini meronta-ronta minta dilepaskan. Satu-satunya hal yang membalut anak itu, celana berwarna merah, dikoyaknya dan dirobeknya. Dan hal berikutnya yang terjadi adalah.......
... lenyap.
Semuanya tiba-tiba lenyap.
Peti mati itu kembali ke ruangan... jendela terang itu hilang... kursi goyang itu dipenuhi jaring laba-laba...
Semuanya kembali seperti semula.
-XxX-
“Dia pikir dia bisa ngalahin Nenek?” Granny muncul di pintu depan dengan berang. Jambul Jembatan Layang Pasupatinya sudah hancur, sudah rusak sebelah dan dari sini kelihatan agak miring. Aku juga melihat lipstick Granny yang tercoreng beberapa senti dari bibirnya, yang mengindikasikan ada pertarungan gladiator di acara party tersebut. “Kalo dia masuk neraka, Nenek pastiin dia masuk neraka bintang lima!”
“Kenapa lagi sekarang, Granny?” Aku duduk di sofa ruang tengah, menenangkan diriku yang gemetaran dan sebisa mungkin bersikap wajar saja. Bersikap seolah aku nggak pernah masuk kamar terlarang sore tadi.
“Si Nunuk Blekuk nantang Nenek buat Girlband Fight!” Granny mendengus. “Emangnya Nenek nggak bisa, apa?!”
“Girlband?”
“Iya, kayak Cherrybelle!” Granny melepaskan jambulnya dari kepala dengan geram. Zaki masuk beberapa detik kemudian, melempar-lempar kunci mobil lalu meletakkannya di atas meja. “Lihat aja ya, Blekuk! Gueh bakal ngalahin eloh!”
Zaki cekikikan. “Hajar terus, Nek!” sahutnya. “Entar saya vote buat Nenek deh...”
“Ini sebenernya ada apa sih, Granny?” Aku menarik Granny agar duduk di sampingku dan menceritakan apa yang terjadi. Granny meremas-remas sisa hair extension-nya dengan gemas, menatap ke arah teve seolah-olah di situ ada Jeng Nunuk.
“Biasa, deh. Dia suka cari gara-gara.”
“Kak Nunuk pake Jambul Pasupati juga!” potong Zaki buru-buru sambil cekikikan.
“Zaki, shut down!” pekik Granny. “Biar Nenek yang cerita!”
“Oke-oke-oke, Sorry.” Zaki mengangkat tangannya, masih cekikikan. “Saya bikin orange juice dulu di belakang.”
Zaki berlalu ke dapur, meninggalkan aku dan Granny yang kini saling bertatapan.
Aku mengelilingi ruangan itu dengan jantung berdebar kencang. Rasa takutku seimbang dengan rasa penasaranku. Sebagian otakku memerintahkan untuk berlari, sementara sebagian lagi berteriak, “Tunggu sebentar lagi! Mungkin kamu bisa menemukan petunjuk!” Aku meraba ranjang itu, dingin. Menatap meja-meja kecil di sekitarnya, dan akhirnya penasaran dengan apa yang ada di dalam peti mati itu.
Di sana nggak ada mayat, kan?
I mean, nggak mungkin ada mayat dibiarkan membusuk di sana tanpa ada bau bangkai sedikit pun di seantero rumah. Mungkin itu peti mati yang disiapkan Granny atau apa gitu, mungkin peti mati itu disimpan di sini karena tempat ini dianggap gudang.
“Udah, biar aku yang gantiin.”
Tiba-tiba kudengar suara anak kecil masuk dari pintu. Aku berbalik dan jantungku mencelos. Tubuhku langsung bergidik ngeri sampai-sampai aku mematung ketakutan. Kedua hantu anak kecil yang sering muncul di kamarku kini ada di depan pintu. Anak kecil yang memakai baju lengkap dan yang hanya bercelana pendek saja.
Mereka tampak ketakutan. Si anak tukang nangis masih tetap terisak-isak, menyusut hidung dengan kaus Power Ranger-nya dan dengan panik menoleh ke belakang berkali-kali. Sementara si anak topless menarik tangan anak berkaus ke arah kursi goy—
Tunggu!
Interior ruangan ini sudah berubah!
Aku memekik tertahan ketika menyadari aku sudah berada di dunia lain! Ya! Ini bukan tempat yang kukunjungi sepuluh detik lalu! Ini tempat lain!
Luas ruangannya masih sama, hanya saja ada dua jendela di ujung sebelah sana. Jendela itu begitu terang sampai-sampai aku nggak bisa melihat ke luarnya. Lalu peti mati tadi sudah lenyap, digantikan ranjang besi yang dipasangi kasur dan ada seprai Pokemon membalutnya. Kursi goyang tadi posisinya masih sama, hanya saja tanpa jaring laba-laba. Lalu di sudut ruangan berdiri lemari kayu jati yang kokoh, dengan cermin besar di pintunya, dan aku....
... aku nggak bisa melihat bayanganku di cermin lemari itu!
“Gimana tadi si Bapak bilang?” tanya si topless.
“Ya kayak biasa, disuruh ke belakang aja.” Anak yang berkaus mengusap-usap pipinya, menghapus bekas airmata. “Aku takut.”
“Kamu tenang aja,” topless memeluk anak berkaus dengan erat, “kalo si Bapak masuk ke sini, aku yang gantiin kamu.”
Anak berkaus menggeleng. “Jangan! Kamu nggak tau rasanya kayak gimana!”
“Nggak apa-apa,” tukas si topless. “Dulu aku sering disiksa sama tetangga aku kalo aku nakal ama ayam-ayam mereka. Aku bisa lah, ngadepinnya. Aku juga suka diajarin pencak silat sama pak Kiyai, kalo-kalo ada yang nggak beres entar.”
Si anak berkaus masih menggeleng-geleng tak rela.
Aku mengepalkan tanganku, ketakutan dan kebingungan. Kedua anak kecil itu berada hanya satu setengah meter dariku. Keduanya sedang bersembunyi di balik kursi goyang dan keduanya gemetaran. Mereka tampak lebih hidup sekarang, nggak pucat seperti biasanya.
Ketika aku baru hendak menyapa mereka, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan ini.
DEG!
Sial.
Itu Pak Darmo!
“Ooh, jadi kalian suka sembunyi di sini, ya?” katanya.
Jantungku rasanya sudah copot. Aku mengucurkan keringat dingin di sekujur tubuhku dan berjalan mundur perlahan-lahan. Pak Darmo tampak lebih menyeramkan dibandingkan sebelumnya. Matanya berkilat-kilat dan dia tampak bengis. Bukan seperti Pak Darmo yang dengan nelangsanya mencari-cari Dennis.
“Tolong jangan ganggu dia, om!” Si anak topless dengan heroik maju ke tengah ruangan, menantang Pak Darmo. “Kalo mau, aku aja yang gantiin dia.”
Anak itu sebenarnya gemetaran ketakutan. Tapi dia rela menggantikan posisi anak berkaus... meski aku kurang yakin posisi apa yang sedang diperbincangkan di sini.
“Jadi kamu mau juga, hah?” sergah Pak Darmo.
“Boleh! Tapi lepasin dulu dia!” Si anak topless menunjuk ke anak berkaus.
Pak Darmo menatap kedua bocah itu satu persatu. Kemudian menyeringai puas. “Kenapa harus lepasin dia?” katanya. “Kalo saya bisa pake kalian berdua.”
Tiba-tiba saja Pak Darmo menerkam si anak topless, yang kini meronta-ronta minta dilepaskan. Satu-satunya hal yang membalut anak itu, celana berwarna merah, dikoyaknya dan dirobeknya. Dan hal berikutnya yang terjadi adalah.......
... lenyap.
Semuanya tiba-tiba lenyap.
Peti mati itu kembali ke ruangan... jendela terang itu hilang... kursi goyang itu dipenuhi jaring laba-laba...
Semuanya kembali seperti semula.
-XxX-
“Dia pikir dia bisa ngalahin Nenek?” Granny muncul di pintu depan dengan berang. Jambul Jembatan Layang Pasupatinya sudah hancur, sudah rusak sebelah dan dari sini kelihatan agak miring. Aku juga melihat lipstick Granny yang tercoreng beberapa senti dari bibirnya, yang mengindikasikan ada pertarungan gladiator di acara party tersebut. “Kalo dia masuk neraka, Nenek pastiin dia masuk neraka bintang lima!”
“Kenapa lagi sekarang, Granny?” Aku duduk di sofa ruang tengah, menenangkan diriku yang gemetaran dan sebisa mungkin bersikap wajar saja. Bersikap seolah aku nggak pernah masuk kamar terlarang sore tadi.
“Si Nunuk Blekuk nantang Nenek buat Girlband Fight!” Granny mendengus. “Emangnya Nenek nggak bisa, apa?!”
“Girlband?”
“Iya, kayak Cherrybelle!” Granny melepaskan jambulnya dari kepala dengan geram. Zaki masuk beberapa detik kemudian, melempar-lempar kunci mobil lalu meletakkannya di atas meja. “Lihat aja ya, Blekuk! Gueh bakal ngalahin eloh!”
Zaki cekikikan. “Hajar terus, Nek!” sahutnya. “Entar saya vote buat Nenek deh...”
“Ini sebenernya ada apa sih, Granny?” Aku menarik Granny agar duduk di sampingku dan menceritakan apa yang terjadi. Granny meremas-remas sisa hair extension-nya dengan gemas, menatap ke arah teve seolah-olah di situ ada Jeng Nunuk.
“Biasa, deh. Dia suka cari gara-gara.”
“Kak Nunuk pake Jambul Pasupati juga!” potong Zaki buru-buru sambil cekikikan.
“Zaki, shut down!” pekik Granny. “Biar Nenek yang cerita!”
“Oke-oke-oke, Sorry.” Zaki mengangkat tangannya, masih cekikikan. “Saya bikin orange juice dulu di belakang.”
Zaki berlalu ke dapur, meninggalkan aku dan Granny yang kini saling bertatapan.
Part 59
By
Mario
“You know, Darling, Nenek bersyukur
kamu berantem ama si Esel. Itu jadi ngebuka mata Nenek akan beberapa hal.
Khususnya si Nunuk Blekuk itu.”
“Ya udah, Granny ceritain dong ada apa tadi di party-nya Jeng Rokayah?”
Bagus, deh. Dengan begini nggak perlu ada pembicaraan soal kamar terlarang, kan? Bello itu memang kadang-kadang lebay. Barusan kami berdua berdebat soal aku yang menerobos masuk ke kamar terlarang. Dia mengancam akan mengadukannya pada Granny, tapi tentunya aku juga mengancam akan mengadukan Bello ke Granny, bahwa dia selama ini muncul sebagai cupid di depan mataku. Dan juga suka ngintip tetangga ML.
Untung deh, sekarang ada isu yang lebih menarik. Bisa dipastikan Granny nggak akan pernah curiga soal kamar terlarang sampai seratus tahun ke depan.
Dari yang aku dengar, ternyata Jeng Nunuk mengenakan jambul yang sama persis dengan Granny. In fact, mereka menggunakan hairdresser yang sama. Dan si fucking-hairdresser ini nggak ngelapor kalo Jeng Nunuk juga pake jambul yang sama. (Besok pagi Granny mau panggil pengacara, nuntut si hairdresser untuk pencemaran nama baik, dan nuntut Jeng Nunuk untuk kejahatan copycat—entah maksudnya apa ini, hanya Granny yang tahu.)
Katanya Jeng Nunuk panik karena Granny tahu dia mau bikin Jambul Terowongan Casablanca. Jeng Nunuk nggak mau idenya itu dicontek Granny, untuk itulah Jeng Nunuk pake alternatif lain, yang entah kenapa jatuh ke Jambul Jembatan Layang Pasupati. Ketika mereka berdua bertemu di pesta itu, mereka jadi pusat perhatian. Bayi yang jadi alasan syukuran party pun nggak mendapat spotlight apa-apa, kalah ama pertarungan Gladiator antara Granny dan Jeng Nunuk.
Zaki masuk ke ruang tengah dan membantu Granny bercerita. Katanya berantemnya mirip James Bond, ada meja penuh gelas yang ditindih, ada meja yang terguling, ada lempar-lemparan orang, ada soundtrack film action yang diputar di speaker, dan tentunya ada security hotel yang langsung memisahkan kedua nenek-nenek ini sejauh lima meter. Di situlah mereka mulai perang kata, saling menghina satu sama lain, Jeng Nunuk parah banget dance-nya lah, Granny jelek banget suaranya lah, yang intinya mereka saling nantang bikin girlband paling keren.
Beberapa minggu dari sekarang mereka bakal bikin panggung di taman komplek, bikin girlband fight. Pemenangnya bakal divoting lewat sms dan yang kalah mesti menyerah dan minta maaf. (Juga mengembalikan semua koleksi mug Sm*sh, serta di-banned dari acara mingguan: nonton bareng Cinta Cenat Cenut.)
“Udahlah, yang penting kita usaha aja,” sahut Granny di akhir ceritanya. “Besok siang Sweet Strawberry bakal bikin pertemuan pertama ngebahas lagu apa yang bakal dipake. Kalau perlu kita bakal panggil mas Anang buat latihan vokal. Atau Ahmad Dhani. Siapapun, lah.”
“Melly Goeslaw,” saran Zaki.
“Apa itu Sweet Strawberry?” tanyaku.
“Itu nama Girlband Nenek, Darling. Membernya ada Jeng Novi, Jeng Yanti, Jeng Odah, Jeng Susie, Jeng Imas, sama Jeng Dedeh, yang waktu itu pernah main ke sini lho Gas. Jeng Dedeh itu jagonya pitch control. Kalau bukan karena umur, Jeng Dedeh pasti udah juara satu Akademi Fantasi Indosiar.”
Oh, Tuhan. Ternyata grup girlband-nya udah terbentuk.
“Oke, mana henfon Nenek? Nenek mau ngemention anggota Sweet Strawberry supaya kumpul besok siang.” Granny mengaduk-aduk tasnya. “Menurut kamu, Gas, bagus nggak kalo Nenek sekalian pengumuman juga di Facebook sama Youtube? Biar si Nunuk baca, gitu. Biar dia sirik.”
Pukul sebelas malam, kehebohan conference call Sweet Strawberry akhirnya berakhir. Setelah menelepon mereka satu persatu, entah kenapa Granny tiba-tiba membawa laptop ke ruang tengah dan memintaku menyetel video conference melalui Skype. Can you believe it? Enam kotak bergambar wajah nenek-nenek mengenakan piyama menghiasi laptop Granny, dan mereka semua berbincang-bincang seru seolah mereka ada di ruang yang sama.
Untungnya mereka nggak conference call semalaman. Aku sempat khawatir itu bakal terjadi mengingat sekarang malam minggu.
Pukul sebelas lewat lima belas, kedua bocah hantu itu muncul lagi di kamarku. Kali ini skenarionya lain. Si anak topless sekarang memakai kaus dalam warna putih, sementara anak tukang nangis mengenakan baju ksatria baja hitam. Kedua bocah itu berpegangan tangan, bersembunyi di belakang komputerku dan sesekali menengok ke arah pintu. Untuk lima menit pertama, mereka diam tak bicara. Aku bahkan sempat berpikiran untuk menyapa mereka, meskipun aku tahu mereka nggak akan merespon.
“Kamu nggak perlu ngelakuin itu padahal,” ujar anak berbaju Ksatria Baja Hitam.
“Udah aku bilangin, nggak apa-apa. Daripada kalian kena masalah, coba?”
“Tapi itu kan bukan gara-gara kamu.”
“Iya, aku tahu.” Anak berkaus dalam mendesah. “Lagian aku nggak pinter-pinter amat di sekolah. Nggak kayak kamu. Kalo kamu putus sekolah, sayang negeri ini. Entar Indonesia kehilangan anak pinter kayak kamu.”
Anak berbaju Ksatria Baja Hitam terharu. Bola matanya berkaca-kaca dan dia menggenggam tangan kawannya lebih erat.
Astaga, romantis sekali. Mereka baru tujuh atau delapan tahun, kan? Mereka bukan pasangan gay, kan?
“Pokoknya, sepanjang hidupku, aku bakal ngajarin kamu apa yang aku pelajarin dari sekolah,” ujar baju Ksatria Baja Hitam.
“Nggak usah mikirin itu sekarang,” kaus dalam menoleh ke arah pintu. “Kayaknya sekarang udah aman. Yuk, kita pergi.”
Kedua bocah itu berlari melintasi ruangan, menembus pintu, dan lenyap. Dan aku nggak perlu repot-repot mengejarnya lagi karena aku tahu, paling-paling mereka muncul di kamar terlarang.
Pop! Bello muncul di atas lemari, mengayun-ayunkan kakinya tapi untung saja dalam bentuk cupid, bukan kuntilanak.
“Mereka udah pergi?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Kenapa sih kamu benci sama mereka? Mereka kan cuma residual energy. Cuma pengulangan kejadian yang pernah terjadi di masa lampau—aku udah nge-google soal ini, dan mereka itu 100% harmless.”
Bello mengangkat bahu. “Aku tetep nggak suka. Mereka itu... suka nyari perhatian orang-orang tiap tahun. Suka bikin suara-suara berisik dan nyanyi lagu-lagu jelek. Warna tone astral mereka juga jelek banget. Bagusan aku waktu jadi kunti.”
Oh, Gosh... justru menurutku mereka lebih imut-imut dibandingkan kuntilanak nggak jelas kayak si Bello ini.
“Mereka cuma residual energy, they don’t even notice that you’re exist.” Aku turun dari ranjang dan mengenakan sandal rumahku. “Aku mau pipis dulu. Kamu mau nunggu di sini?”
“Nggak. Aku mau duduk-duduk di atas genteng, jadi kuntilanak. Akhir-akhir ini aku males masuk rumah. Pokoknya sampe hantu bocah itu udah nggak ngulangin lagi aktivitasnya, aku baru aktif di rumah.”
“[background=]For God’s sake[/background], Bello. Kamu pernah mukul kepala Pak Darmo pake teflon, the real ghost of Pak Darmo. Kenapa sekarang kamu takut ngadepin residual energy doang?”
“For God’s sake, Agas, bukan urusan kamu!” Bello menghilang lagi.
Aku bergegas menuju kamar mandi sambil memutar bola mata. Cupid yang satu ini memang nggak bisa ditebak jalan pikirannya. Kadang apa yang kita anggap wajar, Bello anggap impossible. Begitu pula sebaliknya.
Aku menyelesaikan pipis dalam waktu lima menit, diiringi gosok gigi dan membaca keterangan pencuci muka baru milik Granny yang diletakkan di rak peralatan mandi. Ketika aku berjalan keluar kamar mandi, aku mendengar suara-suara dari arah belakang. Ini bukan hal yang normal terjadi, meskipun udah nggak aneh lagi. Semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan, kecuali ruang tengah yang dibiarkan temaram dengan lampu berdiri. Aku kira Granny sudah tidur. Tapi kenapa aku masih mendengar suaranya dari arah belakang?
Aku berjalan melintasi dapur, menemukan pintu belakang terbuka sedikit. Secercah cahaya muncul menerangi dapur. Dari situ aku bisa melihat bayangan seseorang di teras belakang, sedang duduk-duduk di sofa tua dari rotan yang biasa kugunakan untuk santai-santai sore.
“Ya udah, Granny ceritain dong ada apa tadi di party-nya Jeng Rokayah?”
Bagus, deh. Dengan begini nggak perlu ada pembicaraan soal kamar terlarang, kan? Bello itu memang kadang-kadang lebay. Barusan kami berdua berdebat soal aku yang menerobos masuk ke kamar terlarang. Dia mengancam akan mengadukannya pada Granny, tapi tentunya aku juga mengancam akan mengadukan Bello ke Granny, bahwa dia selama ini muncul sebagai cupid di depan mataku. Dan juga suka ngintip tetangga ML.
Untung deh, sekarang ada isu yang lebih menarik. Bisa dipastikan Granny nggak akan pernah curiga soal kamar terlarang sampai seratus tahun ke depan.
Dari yang aku dengar, ternyata Jeng Nunuk mengenakan jambul yang sama persis dengan Granny. In fact, mereka menggunakan hairdresser yang sama. Dan si fucking-hairdresser ini nggak ngelapor kalo Jeng Nunuk juga pake jambul yang sama. (Besok pagi Granny mau panggil pengacara, nuntut si hairdresser untuk pencemaran nama baik, dan nuntut Jeng Nunuk untuk kejahatan copycat—entah maksudnya apa ini, hanya Granny yang tahu.)
Katanya Jeng Nunuk panik karena Granny tahu dia mau bikin Jambul Terowongan Casablanca. Jeng Nunuk nggak mau idenya itu dicontek Granny, untuk itulah Jeng Nunuk pake alternatif lain, yang entah kenapa jatuh ke Jambul Jembatan Layang Pasupati. Ketika mereka berdua bertemu di pesta itu, mereka jadi pusat perhatian. Bayi yang jadi alasan syukuran party pun nggak mendapat spotlight apa-apa, kalah ama pertarungan Gladiator antara Granny dan Jeng Nunuk.
Zaki masuk ke ruang tengah dan membantu Granny bercerita. Katanya berantemnya mirip James Bond, ada meja penuh gelas yang ditindih, ada meja yang terguling, ada lempar-lemparan orang, ada soundtrack film action yang diputar di speaker, dan tentunya ada security hotel yang langsung memisahkan kedua nenek-nenek ini sejauh lima meter. Di situlah mereka mulai perang kata, saling menghina satu sama lain, Jeng Nunuk parah banget dance-nya lah, Granny jelek banget suaranya lah, yang intinya mereka saling nantang bikin girlband paling keren.
Beberapa minggu dari sekarang mereka bakal bikin panggung di taman komplek, bikin girlband fight. Pemenangnya bakal divoting lewat sms dan yang kalah mesti menyerah dan minta maaf. (Juga mengembalikan semua koleksi mug Sm*sh, serta di-banned dari acara mingguan: nonton bareng Cinta Cenat Cenut.)
“Udahlah, yang penting kita usaha aja,” sahut Granny di akhir ceritanya. “Besok siang Sweet Strawberry bakal bikin pertemuan pertama ngebahas lagu apa yang bakal dipake. Kalau perlu kita bakal panggil mas Anang buat latihan vokal. Atau Ahmad Dhani. Siapapun, lah.”
“Melly Goeslaw,” saran Zaki.
“Apa itu Sweet Strawberry?” tanyaku.
“Itu nama Girlband Nenek, Darling. Membernya ada Jeng Novi, Jeng Yanti, Jeng Odah, Jeng Susie, Jeng Imas, sama Jeng Dedeh, yang waktu itu pernah main ke sini lho Gas. Jeng Dedeh itu jagonya pitch control. Kalau bukan karena umur, Jeng Dedeh pasti udah juara satu Akademi Fantasi Indosiar.”
Oh, Tuhan. Ternyata grup girlband-nya udah terbentuk.
“Oke, mana henfon Nenek? Nenek mau ngemention anggota Sweet Strawberry supaya kumpul besok siang.” Granny mengaduk-aduk tasnya. “Menurut kamu, Gas, bagus nggak kalo Nenek sekalian pengumuman juga di Facebook sama Youtube? Biar si Nunuk baca, gitu. Biar dia sirik.”
Pukul sebelas malam, kehebohan conference call Sweet Strawberry akhirnya berakhir. Setelah menelepon mereka satu persatu, entah kenapa Granny tiba-tiba membawa laptop ke ruang tengah dan memintaku menyetel video conference melalui Skype. Can you believe it? Enam kotak bergambar wajah nenek-nenek mengenakan piyama menghiasi laptop Granny, dan mereka semua berbincang-bincang seru seolah mereka ada di ruang yang sama.
Untungnya mereka nggak conference call semalaman. Aku sempat khawatir itu bakal terjadi mengingat sekarang malam minggu.
Pukul sebelas lewat lima belas, kedua bocah hantu itu muncul lagi di kamarku. Kali ini skenarionya lain. Si anak topless sekarang memakai kaus dalam warna putih, sementara anak tukang nangis mengenakan baju ksatria baja hitam. Kedua bocah itu berpegangan tangan, bersembunyi di belakang komputerku dan sesekali menengok ke arah pintu. Untuk lima menit pertama, mereka diam tak bicara. Aku bahkan sempat berpikiran untuk menyapa mereka, meskipun aku tahu mereka nggak akan merespon.
“Kamu nggak perlu ngelakuin itu padahal,” ujar anak berbaju Ksatria Baja Hitam.
“Udah aku bilangin, nggak apa-apa. Daripada kalian kena masalah, coba?”
“Tapi itu kan bukan gara-gara kamu.”
“Iya, aku tahu.” Anak berkaus dalam mendesah. “Lagian aku nggak pinter-pinter amat di sekolah. Nggak kayak kamu. Kalo kamu putus sekolah, sayang negeri ini. Entar Indonesia kehilangan anak pinter kayak kamu.”
Anak berbaju Ksatria Baja Hitam terharu. Bola matanya berkaca-kaca dan dia menggenggam tangan kawannya lebih erat.
Astaga, romantis sekali. Mereka baru tujuh atau delapan tahun, kan? Mereka bukan pasangan gay, kan?
“Pokoknya, sepanjang hidupku, aku bakal ngajarin kamu apa yang aku pelajarin dari sekolah,” ujar baju Ksatria Baja Hitam.
“Nggak usah mikirin itu sekarang,” kaus dalam menoleh ke arah pintu. “Kayaknya sekarang udah aman. Yuk, kita pergi.”
Kedua bocah itu berlari melintasi ruangan, menembus pintu, dan lenyap. Dan aku nggak perlu repot-repot mengejarnya lagi karena aku tahu, paling-paling mereka muncul di kamar terlarang.
Pop! Bello muncul di atas lemari, mengayun-ayunkan kakinya tapi untung saja dalam bentuk cupid, bukan kuntilanak.
“Mereka udah pergi?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Kenapa sih kamu benci sama mereka? Mereka kan cuma residual energy. Cuma pengulangan kejadian yang pernah terjadi di masa lampau—aku udah nge-google soal ini, dan mereka itu 100% harmless.”
Bello mengangkat bahu. “Aku tetep nggak suka. Mereka itu... suka nyari perhatian orang-orang tiap tahun. Suka bikin suara-suara berisik dan nyanyi lagu-lagu jelek. Warna tone astral mereka juga jelek banget. Bagusan aku waktu jadi kunti.”
Oh, Gosh... justru menurutku mereka lebih imut-imut dibandingkan kuntilanak nggak jelas kayak si Bello ini.
“Mereka cuma residual energy, they don’t even notice that you’re exist.” Aku turun dari ranjang dan mengenakan sandal rumahku. “Aku mau pipis dulu. Kamu mau nunggu di sini?”
“Nggak. Aku mau duduk-duduk di atas genteng, jadi kuntilanak. Akhir-akhir ini aku males masuk rumah. Pokoknya sampe hantu bocah itu udah nggak ngulangin lagi aktivitasnya, aku baru aktif di rumah.”
“[background=]For God’s sake[/background], Bello. Kamu pernah mukul kepala Pak Darmo pake teflon, the real ghost of Pak Darmo. Kenapa sekarang kamu takut ngadepin residual energy doang?”
“For God’s sake, Agas, bukan urusan kamu!” Bello menghilang lagi.
Aku bergegas menuju kamar mandi sambil memutar bola mata. Cupid yang satu ini memang nggak bisa ditebak jalan pikirannya. Kadang apa yang kita anggap wajar, Bello anggap impossible. Begitu pula sebaliknya.
Aku menyelesaikan pipis dalam waktu lima menit, diiringi gosok gigi dan membaca keterangan pencuci muka baru milik Granny yang diletakkan di rak peralatan mandi. Ketika aku berjalan keluar kamar mandi, aku mendengar suara-suara dari arah belakang. Ini bukan hal yang normal terjadi, meskipun udah nggak aneh lagi. Semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan, kecuali ruang tengah yang dibiarkan temaram dengan lampu berdiri. Aku kira Granny sudah tidur. Tapi kenapa aku masih mendengar suaranya dari arah belakang?
Aku berjalan melintasi dapur, menemukan pintu belakang terbuka sedikit. Secercah cahaya muncul menerangi dapur. Dari situ aku bisa melihat bayangan seseorang di teras belakang, sedang duduk-duduk di sofa tua dari rotan yang biasa kugunakan untuk santai-santai sore.
“Menurut kamu Agas udah lihat?” Itu
suara Granny.
Tidak ada balasan.
Granny sedang ngobrol dengan siapa, ya? Dengan Bello? Nggak mungkin. Bello kan lagi seneng-senengnya menclok di atas genteng.
“Ini bakal jadi bulan yang berat,” desah Granny. “Berat karena sekarang kita harus ngelindungin Agas.”
“Agas pasti baik-baik aja, Nek.”
Itu suara Zaki!
Beberapa detik mereka terdiam, suara jangkrik dari kebun halaman belakang mulai meramaikan obrolan mereka. “Dicky sekarang lagi rapuh. Mudah-mudahan kamu nggak ikut kebawa emosi, Zaki. Kamu kan ganteng. Lebih ganteng dari Dicky, jadi kamu mesti maklum.”
Zaki tergelak kecil lalu kulihat bayangan dirinya menggelengkan kepala. “Dari dulu juga saya mah suka maklum, Nek. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan.”
“Tapi kamu nggak capek, Zaki?”
Zaki menghembuskan napas lelah. Namun kemudian menggelengkan kepalanya. “Untuk orang-orang yang saya sayang, saya nggak pernah capek, Nek.”
“Oooh, so sweet. Sini, peluk Nenek. Besok pagi kita jogging bareng ya, ke Tegalega. Nenek mau pamerin kamu, Zaki. Mudah-mudahan orang mikir kamu itu brondongnya Nenek.”
Oh, Gosh... Yang bener aja deh, Granny.
Mereka terdiam beberapa saat... sampai akhirnya Granny menghela napas dan mulai bicara lagi. “Pak Darmo masih sembunyi di rumahnya Dicky?”
“Masih, Nek. Si Kitty juga ada di sana.”
“Kucing jelek itu?” Granny tergelak. “Astaga... Nenek nggak pernah tau kucing itu matinya kayak gimana.”
“Kan ikut kekubur waktu itu...”
“Oh, iya, lupa! Nenek baru inget. Aduh, kayaknya Nenek udah pikun sekarang. Kemaren aja Nenek lupa gimana caranya bikin lotek! Untung kamu bisa bikin lotek, Zaki.”
Memangnya Granny pernah bikin lotek?
“Ah, masakan mah masih enakan A Dicky, Nek. Kan pernah ikut kursus masak. Saya mah cuma sempet diajarin bikin oriental food doang.”
“Ya nggak apa-apa, yang penting halal masakannya dan si Dicky tetep bagi-bagi ilmu ke kamu.” Granny tergelak kecil. “Nah, kalo kamu SMA, kamu mau sekolah di mana? Di CIS?”
Zaki mendengus tertawa. “Nggak ah, Nek. Saya takut nggak sanggup jajannya. Mahal-mahal. Si Agas aja sekalinya makan ngabisin ratusan ribu buat Sushi, buat pancake, buat apalagi sih kemarin itu? Ngng... buat Iga Bakar.” Awas ya kamu, Zaki! Aku cekik kamu karena bilang-bilang soal jajanan aku! “Saya kalo SMA pengennya di jurusan pilot. Sekarang saya udah jago maen FSX yang di komputernya Agas itu lho, Nek. Jadi nanti Nenek tinggal beli pesawat Cessna, saya yang nyetirin, Nenek yang jadi penumpang.”
Granny tergelak kecil. Agak getir kedengarannya. Seolah itu tawa yang diselimuti sendu. “Kamu pengen jadi pilot?” desah Granny. “Sama kayak almarhum suami Nenek dong, ya. Berarti kamu harus sekolah di STPI Bogor.”
“Oh, iya ya. Kakek tuh kan pilot. Berarti darah Kakek nurun dong ke Agas ya, makanya Agas suka maen game pesawat terbang segala?”
Granpa seorang pilot?
Kenapa aku nggak pernah tahu soal ini?
“Oooh, bukan soal pesawat lagi. Semua-muanya mirip si Kakek. Rasa penasarannya sama, keberaniannya sama, peduli dan nerima orang lain apa adanya...” Kemudian Granny terisak-isak dan Zaki merangkulnya dengan lembut.
Granny merebahkan kepalanya ke bahu Zaki selama beberapa menit, membiarkan suara jangkrik menghiasi isak tangisnya yang pilu. Granny pasti teringat Granpa yang sudah meninggal jauh sebelum aku lahir. Berhubung sejak kecil aku sudah tinggal di U.S dan nggak diperkenalkan dengan sosok grandparents, aku nggak begitu peduli soal Grandpa and Granny-ku.
Granny yang ini adalah ibu dari Mom. Sementara Granny dan Granpa dari Dad sudah meninggal beberapa tahun lalu. Maka dari itu custody jatuh ke tangan Granny.
“Jadi kapan kamu kawin, Zaki?” tanya Granny, mencoba menghentikan kesedihannya.
Zaki tergelak. “Ah, jangan mikirin itu dulu dong, Nek. Sayanya juga masih muda.” Aku bisa membayangkan Zaki nyengir dan wajahnya memerah.
“Nenek cuma nggak mau kamu terus-terusan berada dalam kubangan yang sama. Nenek pengen kamu punya kehidupan kamu sendiri.”
“Iiih, nggak apa-apa kok, Nek. Saya mah justru seneng masih bisa deket ama Nenek, bisa ikut nonton teve di sini atau makan makanan enak.”
Mereka berdua tertawa.
“Nenek jadi keingetan, waktu pertama kali Agas ninggalin Indonesia buat tinggal di Amerika...”
“Ah, sayanya lagi nggak ada waktu itu,” rutuk Zaki. “Saya nggak ikut ke bandara.”
“Kalo bukan karena penjara dan rehabilitasi itu—“
“Yeee, udah Nek, nggak usah dibahas. Itu masa lalu,” sela Zaki.
Penjara dan rehabilitasi?
“Si Agas lucu banget. Dia suka banget pake sweter pink waktu itu. Waktu mau naik pesawat pun pengennya pake sweter pink kesayangannya. Berapa sih umurnya waktu itu? Lima? Enam, ya? Jaket army yang Nenek beliin buat si Agas ditolaknya. ‘No, Geni! No!’ katanya waktu itu. Hahaha. Si Agas emang udah diajarin bahasa Inggris sama Ibunya, dua tahun sebelum mereka berangkat ke Amerika. Imut banget, waktu itu... Dan sekarang dia udah gede aja. Haduuuh... Kira-kira Agas masih suka sweter warna pink nggak, ya?”
Pink?!
Oh my God... I can’t believe I loved pink when I was a child!
“Nggak lah, Nek... dianya juga udah gede.”
“Dan udah jadi anak yang pinter!” Granny berdecak kagum. “Waktu itu si Nunuk baru pindah ke komplek ini, kan? Dia sempet ketemu Agas nggak sih waktu itu?”
“Pernah mungkin. Nggak tau, saya mah. Kan saya lagi nggak di sini.”
Granny mendesah. “Menurut kamu kita perlu kasih tau Agas yang sebenernya?” tanya Granny.
“Jangan Granny,” jawab Zaki. “Kata saya mah nggak usah. Lagian itu bukan hal yang penting-penting amat, kok. Agasnya mungkin nggak peduli.”
Yang sebenernya apa, sih?
Granny memeluk Zaki lagi. “Kamu tau, Zaki... Meskipun kamu bukan anak yang paling pinter...” Granny menarik napas. “Kamu itu anak yang kuat. Untuk ukuran orang yang nerima cobaan sebesar itu, kamu termasuk hebat. Nenek bakal selalu bangga sama kamu. Walaupun nggak ada darah Nenek mengalir di tubuh kamu, tapi kamu tetap cucu Nenek.”
-XxX-
Tidak ada balasan.
Granny sedang ngobrol dengan siapa, ya? Dengan Bello? Nggak mungkin. Bello kan lagi seneng-senengnya menclok di atas genteng.
“Ini bakal jadi bulan yang berat,” desah Granny. “Berat karena sekarang kita harus ngelindungin Agas.”
“Agas pasti baik-baik aja, Nek.”
Itu suara Zaki!
Beberapa detik mereka terdiam, suara jangkrik dari kebun halaman belakang mulai meramaikan obrolan mereka. “Dicky sekarang lagi rapuh. Mudah-mudahan kamu nggak ikut kebawa emosi, Zaki. Kamu kan ganteng. Lebih ganteng dari Dicky, jadi kamu mesti maklum.”
Zaki tergelak kecil lalu kulihat bayangan dirinya menggelengkan kepala. “Dari dulu juga saya mah suka maklum, Nek. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan.”
“Tapi kamu nggak capek, Zaki?”
Zaki menghembuskan napas lelah. Namun kemudian menggelengkan kepalanya. “Untuk orang-orang yang saya sayang, saya nggak pernah capek, Nek.”
“Oooh, so sweet. Sini, peluk Nenek. Besok pagi kita jogging bareng ya, ke Tegalega. Nenek mau pamerin kamu, Zaki. Mudah-mudahan orang mikir kamu itu brondongnya Nenek.”
Oh, Gosh... Yang bener aja deh, Granny.
Mereka terdiam beberapa saat... sampai akhirnya Granny menghela napas dan mulai bicara lagi. “Pak Darmo masih sembunyi di rumahnya Dicky?”
“Masih, Nek. Si Kitty juga ada di sana.”
“Kucing jelek itu?” Granny tergelak. “Astaga... Nenek nggak pernah tau kucing itu matinya kayak gimana.”
“Kan ikut kekubur waktu itu...”
“Oh, iya, lupa! Nenek baru inget. Aduh, kayaknya Nenek udah pikun sekarang. Kemaren aja Nenek lupa gimana caranya bikin lotek! Untung kamu bisa bikin lotek, Zaki.”
Memangnya Granny pernah bikin lotek?
“Ah, masakan mah masih enakan A Dicky, Nek. Kan pernah ikut kursus masak. Saya mah cuma sempet diajarin bikin oriental food doang.”
“Ya nggak apa-apa, yang penting halal masakannya dan si Dicky tetep bagi-bagi ilmu ke kamu.” Granny tergelak kecil. “Nah, kalo kamu SMA, kamu mau sekolah di mana? Di CIS?”
Zaki mendengus tertawa. “Nggak ah, Nek. Saya takut nggak sanggup jajannya. Mahal-mahal. Si Agas aja sekalinya makan ngabisin ratusan ribu buat Sushi, buat pancake, buat apalagi sih kemarin itu? Ngng... buat Iga Bakar.” Awas ya kamu, Zaki! Aku cekik kamu karena bilang-bilang soal jajanan aku! “Saya kalo SMA pengennya di jurusan pilot. Sekarang saya udah jago maen FSX yang di komputernya Agas itu lho, Nek. Jadi nanti Nenek tinggal beli pesawat Cessna, saya yang nyetirin, Nenek yang jadi penumpang.”
Granny tergelak kecil. Agak getir kedengarannya. Seolah itu tawa yang diselimuti sendu. “Kamu pengen jadi pilot?” desah Granny. “Sama kayak almarhum suami Nenek dong, ya. Berarti kamu harus sekolah di STPI Bogor.”
“Oh, iya ya. Kakek tuh kan pilot. Berarti darah Kakek nurun dong ke Agas ya, makanya Agas suka maen game pesawat terbang segala?”
Granpa seorang pilot?
Kenapa aku nggak pernah tahu soal ini?
“Oooh, bukan soal pesawat lagi. Semua-muanya mirip si Kakek. Rasa penasarannya sama, keberaniannya sama, peduli dan nerima orang lain apa adanya...” Kemudian Granny terisak-isak dan Zaki merangkulnya dengan lembut.
Granny merebahkan kepalanya ke bahu Zaki selama beberapa menit, membiarkan suara jangkrik menghiasi isak tangisnya yang pilu. Granny pasti teringat Granpa yang sudah meninggal jauh sebelum aku lahir. Berhubung sejak kecil aku sudah tinggal di U.S dan nggak diperkenalkan dengan sosok grandparents, aku nggak begitu peduli soal Grandpa and Granny-ku.
Granny yang ini adalah ibu dari Mom. Sementara Granny dan Granpa dari Dad sudah meninggal beberapa tahun lalu. Maka dari itu custody jatuh ke tangan Granny.
“Jadi kapan kamu kawin, Zaki?” tanya Granny, mencoba menghentikan kesedihannya.
Zaki tergelak. “Ah, jangan mikirin itu dulu dong, Nek. Sayanya juga masih muda.” Aku bisa membayangkan Zaki nyengir dan wajahnya memerah.
“Nenek cuma nggak mau kamu terus-terusan berada dalam kubangan yang sama. Nenek pengen kamu punya kehidupan kamu sendiri.”
“Iiih, nggak apa-apa kok, Nek. Saya mah justru seneng masih bisa deket ama Nenek, bisa ikut nonton teve di sini atau makan makanan enak.”
Mereka berdua tertawa.
“Nenek jadi keingetan, waktu pertama kali Agas ninggalin Indonesia buat tinggal di Amerika...”
“Ah, sayanya lagi nggak ada waktu itu,” rutuk Zaki. “Saya nggak ikut ke bandara.”
“Kalo bukan karena penjara dan rehabilitasi itu—“
“Yeee, udah Nek, nggak usah dibahas. Itu masa lalu,” sela Zaki.
Penjara dan rehabilitasi?
“Si Agas lucu banget. Dia suka banget pake sweter pink waktu itu. Waktu mau naik pesawat pun pengennya pake sweter pink kesayangannya. Berapa sih umurnya waktu itu? Lima? Enam, ya? Jaket army yang Nenek beliin buat si Agas ditolaknya. ‘No, Geni! No!’ katanya waktu itu. Hahaha. Si Agas emang udah diajarin bahasa Inggris sama Ibunya, dua tahun sebelum mereka berangkat ke Amerika. Imut banget, waktu itu... Dan sekarang dia udah gede aja. Haduuuh... Kira-kira Agas masih suka sweter warna pink nggak, ya?”
Pink?!
Oh my God... I can’t believe I loved pink when I was a child!
“Nggak lah, Nek... dianya juga udah gede.”
“Dan udah jadi anak yang pinter!” Granny berdecak kagum. “Waktu itu si Nunuk baru pindah ke komplek ini, kan? Dia sempet ketemu Agas nggak sih waktu itu?”
“Pernah mungkin. Nggak tau, saya mah. Kan saya lagi nggak di sini.”
Granny mendesah. “Menurut kamu kita perlu kasih tau Agas yang sebenernya?” tanya Granny.
“Jangan Granny,” jawab Zaki. “Kata saya mah nggak usah. Lagian itu bukan hal yang penting-penting amat, kok. Agasnya mungkin nggak peduli.”
Yang sebenernya apa, sih?
Granny memeluk Zaki lagi. “Kamu tau, Zaki... Meskipun kamu bukan anak yang paling pinter...” Granny menarik napas. “Kamu itu anak yang kuat. Untuk ukuran orang yang nerima cobaan sebesar itu, kamu termasuk hebat. Nenek bakal selalu bangga sama kamu. Walaupun nggak ada darah Nenek mengalir di tubuh kamu, tapi kamu tetap cucu Nenek.”
-XxX-
Part 60
By
Mario
Dear
Cazzo,
Aku sama sekali GAK pacaran sama Zaki. AT ALL. Dia bilang gitu bwt nglindungin aku, biar Derry takut sm Zaki & akhirnya Derry ngjauhin aku. Itu tindakan defensif yg tujuannya bwt nglindungin aku dr bullyingnya Derry.
Jadi aku bukan “manusia tukang khianat suka nusuk dari belakang” spt yg pernah kamu tulis di status facebook kamu kemarin2, atau “tukang bikin patah hati orang lalu sengaja tampil di publik biar orangnya makin sakit hati” seperti yg kamu bilang di twitter pagi ini.
Aku. Bukan. Orang. Kayak. Begitu. Dan SEKALI LAGI, aku ciuman karena Zaki minta diajarin ciuman. That’s it! Dia punya pacar, namanya Zaenab, dia pengen ngasih ciuman yg bagus, tapi ga tau mesti latihan sm siapa, jadi dia ngajak aku latihan, dan kebetulan waktu itu kamu datang, lalu semuanya salah paham.
Pintu ga kekunci bukan berarti aku “sengaja biar orang2 nerobos masuk, mergokin, lalu sedunia tau” seperti yg kamu bilang di status BBM kamu—Yanto ngasih tau aku soal status BBM kamu yg ini, berhubung aku ga punya BB. Pintu ga kekunci berarti “aku ga ada apa2 sm Zaki, saking ga ada apa2nya, aku biarin pintu kebuka!”
Ini udah PM kesejuta yg aku kirim ke kamu. I know you read this. I know you read every single letter I wrote to you. Dan sekarang aku ga akan ngirim2 lagi. Aku udah capek minta maaf. Terserah mau dibales atau ga. Terserah masih mau kenal aku atau ga. Im nothing to lose now.
Sincerely,
Yang terinjak2 dan disalahpahami.
Aku nggak ngerti maksud Cazzo apa bikin twit macam begitu. Dia pikir aku mengharapkan digencet Derry ya, sambil mengumumkan ke seluruh dunia kalau aku pacarnya Zaki, lalu sengaja bikin timing yang tepat supaya kejadiannya berlangsung pas Cazzo lewat? For God’s sake, aku bahkan nggak tau kalau Cazzo masih ada di sekolah waktu kejadian itu berlangsung.
Aku udah capek memohon-mohon, jadi aku putuskan untuk berhenti minta maaf sama dia. Yang barusan adalah PM Facebook-ku yang terakhir buat dia. Aku nggak akan ngirim apa-apa lagi. Mungkin sekarang dia bahagia, karena inbox nya udah nggak akan dipenuhi PM dariku yang memohon-mohon dan meminta maaf. Aku udah capek ngurusin masalah yang satu ini. Sebab Cazzo pun nggak ngasih respon yang signifikan. Semua usahaku sia-sia.
Lagipula hari ini aku ada rencana yang lebih penting dan lebih berkontribusi daripada ngurusin soal Cazzo. Aku mau menyelidiki soal kehidupan masa kecilku di rumah ini!
Ya. Sejak aku mendengar percakapan Granny dan Zaki semalam, pikiranku dirasuki berbagai macam pertanyaan. Kenapa aku nggak ingat Zaki waktu kecil? Kenapa aku nggak ingat pernah main ke sini waktu kecil? Kenapa aku suka sweter pink? Apakah aku anak kandung Mom? Aku bukan Putri Yang Ditukar seperti di sinetron itu, kan? Ya Tuhan, jangan-jangan Zaki adalah anak kandung Mom, sementara aku ditemukan di dalam tong sampah dan dibesarkan karena Mom kasihan! Kami lalu ditukar dan semua orang nggak pernah tahu bahwa Zaki adalah anak yang sebenernya! Mungkin sebetulnya aku ditemukan Mom di Penjara dan Rehabilitasi! Mungkin aku anak napi! Anak haram, seperti kata Derry.
Makin aku memikirkan itu, makin frustasilah aku. Imajinasiku sudah melantur kemana-mana. Sampai-sampai aku berpikir bahwa mungkin aku ini reinkarnasi seseorang di zaman Dinasti Míng dari abad ke-15. Tapi aku keburu menepis pikiran melantur itu dan mulai fokus pada rencanaku hari ini.
Aku akan mencari kisah masa lalu itu melalui orang yang bisa dipercaya. I mean, Granny dan Zaki dalam sejuta tahun pun nggak akan pernah ngasih tahu aku yang sebenernya—pembicaraan semalam bisa menjelaskan semuanya. Jadi aku akan mencari sumber lain. Sumber yang menurutku bisa membantuku memberi petunjuk. Yaitu—
Eh, bentar. Cazzo nge-sms.
—Jgn ge-er ya! Emgnya itu smua buat lo?!—
Aku mendengus dan memutar bola mata.
—At, last! Ngbales jg. Of corz, itu smua bwt aq. Who else? Knp pas aq blg g akn ngrim2 lg, kmu bru ngbales?—
—Itu buat pacar gw, tau! Jgn sok ge-er deh lo!—
—Oh, udh pny pacar? Congratz! Akhrnya pny se2org yg bisa diajak brg dlm suka & duka. Pantesan g prnh bls pm dr aq. Udh pny pnggantinya toh... siapa?—
—Bukan urusan lo!—
—Sip! Sorry udh ganggu. Salamin aja bwt pacar barunya.—
—Ngpain? Gwnya jg udh putus. Makanya gw bkin status2 itu jg.—
Dasar pembual rendahan. Sejak kapan pula dia punya pacar? Jangankan cowok ya, pacar cewek pun nggak ada kabarnya tuh.
—What a pity... ya udah deh, good luck. Smoga k depannya bsa lebih baik lg. Amin.—
—Jgn suka ikut campur urusan orang deh!—
—Siapa yg ikut campur?! I’m prayin 4 u, 4 Gods sake! Trserah kmu aja, deh...—
—Gw ini orgnya skrg mandiri! Ga perlu bantuan org lg!—
Suit yourself, batinku.
Aku melemparkan ponsel ke atas ranjang dan membiarkan sms tersebut nggak dibalas. Kalau dibales, entar bakal merentet panjang. Aku tahu kok Cazzo lagi nyari perhatian aku. Dia sengaja manas-manasin aku biar aku memohon-mohon lagi padanya seperti yang aku lakukan selama dua minggu terakhir. Dia nggak mau kehilangan pesan-pesan facebook dariku yang biasanya dikirim sehari sekali.
Biarin aja, deh. Sekarang aku mau fokus sama rencanaku. Aku mau mewawancarai seseorang hari ini. Well, tepatnya sih tanya-tanya soal kehidupan di sini sekitar sepuluh tahun yang lalu, atau kalau bisa sebelum-sebelumnya. Dan narasumber yang cocok adalah...
... Jeng Nunuk!
Terdengar musik ingar-bingar begitu aku tiba di rumah Jeng Nunuk. Aku beralasan pergi ke warung waktu Granny memergokiku mengendap-endap di teras rumah mencari sandal. Jadi aku hanya akan menyelesaikan urusanku di sini sekejap saja. Paling hanya bertanya satu atau dua hal tentang Granny. Dan mungkin pura-pura tertarik dengan seminar-seminar gay-nya Jeng Nunuk supaya dia mau bekerja sama denganku.
Ketika aku membuka pagar Jeng Nunuk, bergegas menuju teras rumah kolonialnya yang disulap jadi modern (dengan penambahan waterfall-wall antara teras dan garasi... ya Tuhan, aku harus punya waterfall-wall itu!) aku mendengar suara ramai orang-orang dari ruang tamu. Suara musik membahana keras sampai ke jalanan.
Aku sama sekali GAK pacaran sama Zaki. AT ALL. Dia bilang gitu bwt nglindungin aku, biar Derry takut sm Zaki & akhirnya Derry ngjauhin aku. Itu tindakan defensif yg tujuannya bwt nglindungin aku dr bullyingnya Derry.
Jadi aku bukan “manusia tukang khianat suka nusuk dari belakang” spt yg pernah kamu tulis di status facebook kamu kemarin2, atau “tukang bikin patah hati orang lalu sengaja tampil di publik biar orangnya makin sakit hati” seperti yg kamu bilang di twitter pagi ini.
Aku. Bukan. Orang. Kayak. Begitu. Dan SEKALI LAGI, aku ciuman karena Zaki minta diajarin ciuman. That’s it! Dia punya pacar, namanya Zaenab, dia pengen ngasih ciuman yg bagus, tapi ga tau mesti latihan sm siapa, jadi dia ngajak aku latihan, dan kebetulan waktu itu kamu datang, lalu semuanya salah paham.
Pintu ga kekunci bukan berarti aku “sengaja biar orang2 nerobos masuk, mergokin, lalu sedunia tau” seperti yg kamu bilang di status BBM kamu—Yanto ngasih tau aku soal status BBM kamu yg ini, berhubung aku ga punya BB. Pintu ga kekunci berarti “aku ga ada apa2 sm Zaki, saking ga ada apa2nya, aku biarin pintu kebuka!”
Ini udah PM kesejuta yg aku kirim ke kamu. I know you read this. I know you read every single letter I wrote to you. Dan sekarang aku ga akan ngirim2 lagi. Aku udah capek minta maaf. Terserah mau dibales atau ga. Terserah masih mau kenal aku atau ga. Im nothing to lose now.
Sincerely,
Yang terinjak2 dan disalahpahami.
Aku nggak ngerti maksud Cazzo apa bikin twit macam begitu. Dia pikir aku mengharapkan digencet Derry ya, sambil mengumumkan ke seluruh dunia kalau aku pacarnya Zaki, lalu sengaja bikin timing yang tepat supaya kejadiannya berlangsung pas Cazzo lewat? For God’s sake, aku bahkan nggak tau kalau Cazzo masih ada di sekolah waktu kejadian itu berlangsung.
Aku udah capek memohon-mohon, jadi aku putuskan untuk berhenti minta maaf sama dia. Yang barusan adalah PM Facebook-ku yang terakhir buat dia. Aku nggak akan ngirim apa-apa lagi. Mungkin sekarang dia bahagia, karena inbox nya udah nggak akan dipenuhi PM dariku yang memohon-mohon dan meminta maaf. Aku udah capek ngurusin masalah yang satu ini. Sebab Cazzo pun nggak ngasih respon yang signifikan. Semua usahaku sia-sia.
Lagipula hari ini aku ada rencana yang lebih penting dan lebih berkontribusi daripada ngurusin soal Cazzo. Aku mau menyelidiki soal kehidupan masa kecilku di rumah ini!
Ya. Sejak aku mendengar percakapan Granny dan Zaki semalam, pikiranku dirasuki berbagai macam pertanyaan. Kenapa aku nggak ingat Zaki waktu kecil? Kenapa aku nggak ingat pernah main ke sini waktu kecil? Kenapa aku suka sweter pink? Apakah aku anak kandung Mom? Aku bukan Putri Yang Ditukar seperti di sinetron itu, kan? Ya Tuhan, jangan-jangan Zaki adalah anak kandung Mom, sementara aku ditemukan di dalam tong sampah dan dibesarkan karena Mom kasihan! Kami lalu ditukar dan semua orang nggak pernah tahu bahwa Zaki adalah anak yang sebenernya! Mungkin sebetulnya aku ditemukan Mom di Penjara dan Rehabilitasi! Mungkin aku anak napi! Anak haram, seperti kata Derry.
Makin aku memikirkan itu, makin frustasilah aku. Imajinasiku sudah melantur kemana-mana. Sampai-sampai aku berpikir bahwa mungkin aku ini reinkarnasi seseorang di zaman Dinasti Míng dari abad ke-15. Tapi aku keburu menepis pikiran melantur itu dan mulai fokus pada rencanaku hari ini.
Aku akan mencari kisah masa lalu itu melalui orang yang bisa dipercaya. I mean, Granny dan Zaki dalam sejuta tahun pun nggak akan pernah ngasih tahu aku yang sebenernya—pembicaraan semalam bisa menjelaskan semuanya. Jadi aku akan mencari sumber lain. Sumber yang menurutku bisa membantuku memberi petunjuk. Yaitu—
Eh, bentar. Cazzo nge-sms.
—Jgn ge-er ya! Emgnya itu smua buat lo?!—
Aku mendengus dan memutar bola mata.
—At, last! Ngbales jg. Of corz, itu smua bwt aq. Who else? Knp pas aq blg g akn ngrim2 lg, kmu bru ngbales?—
—Itu buat pacar gw, tau! Jgn sok ge-er deh lo!—
—Oh, udh pny pacar? Congratz! Akhrnya pny se2org yg bisa diajak brg dlm suka & duka. Pantesan g prnh bls pm dr aq. Udh pny pnggantinya toh... siapa?—
—Bukan urusan lo!—
—Sip! Sorry udh ganggu. Salamin aja bwt pacar barunya.—
—Ngpain? Gwnya jg udh putus. Makanya gw bkin status2 itu jg.—
Dasar pembual rendahan. Sejak kapan pula dia punya pacar? Jangankan cowok ya, pacar cewek pun nggak ada kabarnya tuh.
—What a pity... ya udah deh, good luck. Smoga k depannya bsa lebih baik lg. Amin.—
—Jgn suka ikut campur urusan orang deh!—
—Siapa yg ikut campur?! I’m prayin 4 u, 4 Gods sake! Trserah kmu aja, deh...—
—Gw ini orgnya skrg mandiri! Ga perlu bantuan org lg!—
Suit yourself, batinku.
Aku melemparkan ponsel ke atas ranjang dan membiarkan sms tersebut nggak dibalas. Kalau dibales, entar bakal merentet panjang. Aku tahu kok Cazzo lagi nyari perhatian aku. Dia sengaja manas-manasin aku biar aku memohon-mohon lagi padanya seperti yang aku lakukan selama dua minggu terakhir. Dia nggak mau kehilangan pesan-pesan facebook dariku yang biasanya dikirim sehari sekali.
Biarin aja, deh. Sekarang aku mau fokus sama rencanaku. Aku mau mewawancarai seseorang hari ini. Well, tepatnya sih tanya-tanya soal kehidupan di sini sekitar sepuluh tahun yang lalu, atau kalau bisa sebelum-sebelumnya. Dan narasumber yang cocok adalah...
... Jeng Nunuk!
Terdengar musik ingar-bingar begitu aku tiba di rumah Jeng Nunuk. Aku beralasan pergi ke warung waktu Granny memergokiku mengendap-endap di teras rumah mencari sandal. Jadi aku hanya akan menyelesaikan urusanku di sini sekejap saja. Paling hanya bertanya satu atau dua hal tentang Granny. Dan mungkin pura-pura tertarik dengan seminar-seminar gay-nya Jeng Nunuk supaya dia mau bekerja sama denganku.
Ketika aku membuka pagar Jeng Nunuk, bergegas menuju teras rumah kolonialnya yang disulap jadi modern (dengan penambahan waterfall-wall antara teras dan garasi... ya Tuhan, aku harus punya waterfall-wall itu!) aku mendengar suara ramai orang-orang dari ruang tamu. Suara musik membahana keras sampai ke jalanan.
... Soon as I step on the scene
I know that they’ll be watching me...
Watching me...
Ketika aku tiba di depan pintu rumah Jeng Nunuk, memang ada banyak orang di ruang tamu. Semua sofa sudah disingkirkan menempel ke tembok.
Imma be the hottest in this spot
There ain’t no stopping me...
Stopping me...
Ada sekumpulan nenek-nenek sedang mengenakan kaus sleeveless dan hot pants dari bahan katun. Semuanya sedang menari mengikuti Esel, sang instruktur.
...
I know life is a mystery
I’m gonna make history
I’m taking it from the staaart...
I’m gonna make history
I’m taking it from the staaart...
Badan mereka berputar, bahu naik turun, kaki melaju dua langkah, dan pinggang diputar...
... Call an emergency...
I’m watching the phone ring...
I’m feeling this is in my heeaaaarrtt...
My heeaaaarrrttt...
“Siaaap... tangan kanan di kuping kiri, tangan kiri lurus ke kanan...” seru Esel. “B-bring the boys out!”
...
Girls Generation make ‘em feel the heat
And we do it and we can’t be beat...
And we do it and we can’t be beat...
“B-bring the boys out...” senandung semua nenek-nenek itu.
...
We’re born to win
Better tell all your friends
Cause we get it in...
Better tell all your friends
Cause we get it in...
“You know the girls?” sahut Jeng Nunuk.
“B-bring the boys out!” timpal yang lainnya.
“Argh!” tiba-tiba seorang nenek di situ menjerit ketika melihatku berdiri di depan pintu. Buru-buru yang lainnya berhenti dan Esel pun mematikan tape.
“You ke sini mau mata-matain kita, ya?!” jerit Esel sambil memicingkan mata. “Dasar Sweet Strawberry busuk! Cara yang kalian lakuin rendahan banget!”
“Like I care...” timpalku. “Aku ke sini bukan untuk ngurusin girlband fight. Aku mau ngobrol sama Jeng Nunuk.”
“Ah, dasar munafik!”
Kumpulan nenek-nenek itu langsung berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Beberapa dari bisikannya dapat kudengar, misalnya, “Ini kan cucunya si Allya yang gay Jombang itu ya?”
“Aku udah sms Jeng Nunuk pagi tadi. Aku ada janji jam segini sama Jeng Nunuk,” ujarku. “Tanya aja Jeng Nunuknya.”
Jeng Nunuk menyeringai lebar ke arah Esel. Kelihatannya dia lupa kalau dia mau ketemuan denganku sepuluh menit sekitar jam sepuluh pagi.
“I nggak percaya!” sahut Esel. Dia langsung menghampiriku dan terciumlah ‘harum’ keringatnya. “Kami Itchy Bitchy nggak akan bisa kalian kalahin apapun caranya. I tahu kok, you ke sini mau nyontek koreo kita. Ngaku aja, deh. Ini persis film Bring It On yang pertama. Oh my God, persis banget. Dan you adalah pihak yang suka nyontek-nyontek koreo. But sorry, Itchy Bitchy nggak akan semudah itu kalian contek!”
Itchy Bitchy? Aku harus segera bicara dengan Granny menyangkut nama girlband-nya. Dilihat dari mana pun juga nama Sweet Strawberry kalah telak dengan nama Itchy Bitchy. Mungkin aku akan menyarankan nama WhorEver. Atau Slutty Slushie. Kadang Granny harus belajar untuk jadi gadis nakal sekali-sekali.
“Whatever, Itchy Bitchy Bitch. I don’t give a shit. Seperti yang aku bilang, aku ada urusan sama Jeng Nunuk. Aku sama sekali nggak peduli sama koreo kalian. In fact,” Aku memberikan tatapan menantang, “we’ve done better.”
Aku sebetulnya nggak tahu lagu apa yang bakal Granny pake buat Girlband Fight-nya. Yang pasti, aku bakal memastikan pilihan Granny lebih bagus daripada Itchy Bitchy Busuk ini.
“Oh, sorry Baby... I nggak bakal percaya sama omongan Tumila.”
Astaga. Sekarang Esel sudah punya nickname baru untukku. Sialan.
“I don’t care, Kecebong. I just wanna talk to Jeng Nunuk, okay Bong?”
Kami bertatapan untuk beberapa detik. Akhirnya Jeng Nunuk muncul dan melerai kami. Dia langsung menyeringai malu ke arah Esel dan mengedipkan mata padaku. “Sayang, kamu lanjutin aja latihannya gih, Kakak mau ngobrol dulu sama Agas sebentar.”
“Kakak yang bener deh, masa Kakak ngobrol sama Agas sih? Itu kayak Britney Spears ngobrol ama Ayu Ting-Ting, nggak pantes.”
“Nggak apa-apa, Darling. Kakak emang ada urusan bentar aja, kok, ama Agas. Bukan menyangkut Girlband Fight, tapi hal lain.”
“Janji ya Kakak nggak bakal ngebocorin selection list Itchy Bitchy kita?”
“Ya nggak dong, Honey... perang tetep lanjut.”
“Oke kalo gitu,” Esel dan Jeng Nunuk cipika-cipiki dulu sebelum akhirnya berpisah. “Jangan lupa telepon 911 kalo si Agas mulai desek-desek Kakak soal selection list kita entar.”
For God’s sake, emangnya NYPD bakal terbang ke Bandung kalau Jeng Nunuk nelepon 911?
Aku dibawa Jeng Nunuk masuk ke rumahnya, melewati ruang tengah, dapur, dan tiba di teras belakang. Wow, Jeng Nunuk jelas punya selera bagus dalam mendekorasi rumah. Ada halaman berumput rapi yang terhampar luas, dengan tanaman-tanaman khas berdaun ungu tua dan tumbuhan paku-pakuan. Di ujung halaman ada kolam ikan besar dengan tumbuhan semak mengelilinginya.
Suara musik di ruang tamu kembali membahana hingga teras belakang, tapi aku dan Jeng Nunuk sudah duduk di sebuah ayunan dari besi tua, berwarna putih dengan cat yang mulai mengelupas. Jeng Nunuk dengan gembira langsung mengeluarkan semua brosur yang pernah dia bawa, yang tadi diambilnya waktu kami melewati ruang tengah. Pagi tadi aku sudah meng-sms-nya untuk mengajak ketemuan, membicarakan “sesuatu” lalu menyebut-nyebut tentang seminar anti-gay. Otomatis Jeng Nunuk setuju. Tapi tentu saja tujuanku bukan itu.
“Kamu bisa datang ke seminar yang ini. Mereka punya software pencuci otak yang bagus, efeknya tahan lama.”
Pencuci otak? Astaga, memangnya ini Korea Utara, hah?
“Aku ambil semuanya aja, entar di rumah aku pilih-pilih lagi.” Buru-buru aku rebut semua brosur itu sambil nyengir. “Aku ada hal lain yang mau ditanyain.”
“Oh, iya, kalo kamu datang ke Program Penyembuhan Ketergantungan Seksual yang di jalan Riau itu, kamu bisa dapat T-shirt gratis ramah lingkungan.”
Ketergantungan Seksual? Keterlaluan. Apa saja sebenarnya yang sudah digosipkan Esel ke Jeng Nunuk?
“Okay-okay, listen, Jeng Nunuk—“
“Kakak,” ralat Jeng Nunuk. “Kamu tau Gas, ada dokter yang bilang kalau kita selalu berpikiran muda, kita bakal tampak lebih muda. Makanya Kakak lebih seneng dipanggil Kakak. Ke laut deh semua produk-produk penambah awet muda itu.”
“Okay, Kakak... Aku punya beberapa pertanyaan menyangkut... masa lalu.”
“Masa-masa waktu Kakak masih SMA?”
Apa? “Sooner than that. Nggak sejauh itu.”
“Oh. Waktu Kakak mau nikah?”
“Ini bukan soal Jeng Nu—I mean, Kakak. Ini bukan soal Kakak, okay? Aku mau nanya soal apa yang terjadi sekitar sepuluh tahun lalu di sini. Di komplek ini. Tepatnya di rumah Granny.”
“Oh.” Jeng Nunuk langsung melemparkan pandangannya ke arah lain dan mengingat-ingat. “Waktu pertama kali Kakak pindah ke sini?”
“Exactly!”
“Oh, waktu Kakak pertama kali ketemu Agas waktu masih bayi? Waktu pake sweter pink gambar kelinci itu?”
Astaga. Gambar kelinci pula?
“Ya, yang itu. Bisa tolong ceritain kejadian waktu itu? Misalnya, hal-hal heboh apa yang terjadi waktu itu?”
“Oh, bisa Darling, Kakak inget banget hal-hal heboh yang terjadi waktu itu. Soeharto lengser, Jakarta panik, teve-teve cuma nampilin demo mahasiswa, atau jembatan Semanggi, satu Dollar tujuh belas ribu Rupiah. Serem banget waktu itu. Makanya Kakak pindah ke Bandung dan tinggal di sini. Semua-muanya, sekeluarga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar